Banner 468 X 60

Rabu, 18 Agustus 2010

Haramnya Mengucapkan Salam kepada Orang Kafir

Dari Abu Hurairah -radhiallahu
‘anhu- bahwa Rasulullah -
shallallahu ‘alaihi wasallam-
bersabda:

لَا تَبْدَءُوا الْيَهُودَ وَلَا
النَّصَارَى بِالسَّلَامِ فَإِذَا
لَقِيتُمْ أَحَدَهُمْ فِي
طَرِيقٍ فَاضْطَرُّوهُ إِلَى
أَضْيَقِهِ

“Janganlah kalian yang memulai
mengucapkan salam kepada
orang-orang Yahudi dan Nasrani.
Apabila kalian berpapasan
dengan salah seorang di antara
mereka di jalan, maka desaklah
dia ke jalan yang paling sempit.”
(HR. Muslim no. 2167)
Dari Anas bin Malik -radhiallahu
‘anhu- dia berkata: Nabi -
shallallahu ‘alaihi wasallam-
bersabda:

إِذَا سَلَّمَ عَلَيْكُمْ أَهْلُ
الْكِتَابِ فَقُولُوا :
وَعَلَيْكُمْ

“Apabila ahli kitab mengucapkan
salam kepada kalian, maka
jawablah, “Wa ‘alaikum (dan
juga atasmu).” (HR. Al-Bukhari
no. 6258 dan Muslim no. 2163)
Dari Usamah bin Zaid -
radhiallahu ‘anhu- dia berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَكِبَ
حِمَارًا عَلَيْهِ إِكَافٌ
تَحْتَهُ قَطِيفَةٌ
فَدَكِيَّةٌ, وَأَرْدَفَ وَرَاءَهُ
أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ -وَهُوَ
يَعُودُ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ
فِي بَنِي الْحَارِثِ بْنِ
الْخَزْرَجِ- وَذَلِكَ قَبْلَ
وَقْعَةِ بَدْرٍ. حَتَّى مَرَّ
فِي مَجْلِسٍ فِيهِ أَخْلَاطٌ
مِنْ الْمُسْلِمِينَ
وَالْمُشْرِكِينَ عَبَدَةِ
الْأَوْثَانِ وَالْيَهُودِ,
وَفِيهِمْ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ
أُبَيٍّ ابْنُ سَلُولَ وَفِي
الْمَجْلِسِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ
رَوَاحَةَ. فَلَمَّا غَشِيَتْ
الْمَجْلِسَ عَجَاجَةُ الدَّابَّةِ,
خَمَّرَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ
أُبَيٍّ أَنْفَهُ بِرِدَائِهِ
ثُمَّ قَالَ: لَا تُغَبِّرُوا
عَلَيْنَا. فَسَلَّمَ عَلَيْهِمْ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ وَقَفَ
فَنَزَلَ فَدَعَاهُمْ إِلَى
اللَّهِ وَقَرَأَ عَلَيْهِمْ
الْقُرْآنَ

“Bahwa Nabi -shallallahu ‘alaihi
wasallam- mengendarai keledai
yang di atasnya ada pelana
bersulam beludru Fadaki,
sementara Usamah bin Zaid
membonceng di belakang beliau
ketika hendak menjenguk Sa’ad
bin ‘Ubadah di Bani Al Harits Al
Khazraj, dan peristiwa ini terjadi
sebelum perang Badar. Beliau
kemudian berjalan melewati
suatu majelis yang di dalam
majelis tersebut bercampur
antara kaum muslimin, orang-
orang musyrik, para penyembah
patung, dan orang-orang
Yahudi. Dan di dalam majelis
tersebut terdapat pula Abdullah
bin Ubay bin Salul dan Abdullah
bin Rawahah. Saat majlis itu
dipenuhi kepulan debu hewan
kendaraan, ‘Abdullah bin Ubay
menutupi hidungnya dengan
selendang sambil berkata,
“Jangan mengepuli kami dengan
debu.” Kemudian Nabi -
shallallahu ‘alaihi wasallam-
mengucapkan salam pada
mereka lalu berhenti dan turun,
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
mengajak mereka menuju Allah
sambil membacakan Al-Qur’an
kepada mereka.” (HR. Al-Bukhari
no. 6254 dan Muslim no. 1798)
Penjelasan ringkas:
Ucapan salam merupakan
ucapan penghormatan dan doa
kepada kaum muslimin,
karenanya kaum muslimin
dilarang untuk mengucapkan
salam kepada orang kafir,
karena mereka dilarang untuk
menghormati dan mendoakan
orang kafir. Hanya saja sebagai
bentuk keadilan yang
diperintahkan oleh Allah, kapan
mereka mengucapkan salam
kepada kita maka kitapun
menjawabnya, tapi dengan
lafazh, “Wa ‘alaikum,” yakni:
Untuk kamu juga yang semisal
dengannya. Hanya saja hadits
Usamah di atas menunjukkan
bolehnya mengucapkan salam
kepada sekelompok orang yang
di antara mereka ada orang-
orang muslim dan ada juga
orang-orang kafir.

Pelajaran tambahan dari dalil-
dalil di atas:

1. Disyariatkan mendesak
orang-orang kafir ke pinggir
jalan jika kita bertemu dengan
mereka. Tentunya
pengamalannya di zaman ini
disesuaikan dengan
pertimbangan maslahat dan
mafsadat.

2. Bolehnya berboncengan di
atas satu kendaraan, selama
tidak memberatkan kendaraan/
tunggangannya.

3. Tidak najisnya keledai jinak,
walaupun dia haram untuk
dimakan. Karena Nabi -
alaihishshalatu wassalam-
menaiki keledai dan keledai
termasuk hewan yang sering ada
di tengah-tengah manusia dan
mereka sulit untuk menjauh
darinya. Dan kaidahnya: Semua
hewan yang hidup di tengah-
tengah manusia dan mereka sulit
untuk menghindar darinya
adalah suci. Ini terambil dari
hadits Abu Qatadah riwayat
Imam Empat ketika Nabi -
alaihishshalatu wassalam-
bersabda tentang kucing:

إِنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسٍ
إِنَّمَا هِيَ مِنْ الطَّوَّافِينَ
عَلَيْكُمْ أَوْ الطَّوَّافَاتِ

“Kucing tidaklah najis. Dia
hanyalah merupakan hewan
yang biasa berkeliaran di
sekelilingmu.”
Jadi beliau menyebutkan sebab
tidak najisnya kucing karena dia
seringa berada di sekitar kita.

4. Disyariatkannya
mengunjungi kaum muslimin
yang sakit, bahkan Nabi 
menjadikan itu sebagai hak
seorang muslim dari muslim
lainnya.

5. Larangan menyayangi dan
berloyal kepada orang-orang
kafir tidak mengharuskan kita
tidak boleh bergaul dan berbaur
dengan mereka. Di sini Nabi -
alaihishshalatu wassalam- tidak
mengingkari berkumpulnya
sebagian kaum muslimin dengan
orang-orang musyrikin.

6. Sikap pemaaf Nabi -
alaihishshalatu wassalam-
kepada orang-orang yang jahil.

7. Semangat beliau -
alaihishshalatu wassalam- dalam
berdakwah, dimana walaupun
beliau dalam rangka menjenguk
orang sakit, akan tetapi beliau
sempatkan untuk mendakwahi
mereka.

8. Makna ucapan Nabi Isa -
alaihishshalatu wassalam- dalam
Al-Qur`an, “Dia menjadikan aku
berberkah dimanapun aku
berada.” Para ulama
menafsirkan makna berkah,
“Yakni Dia menjadikan aku
sebagai pengajar kebaikan
dimanapun aku berada.”

9. Bolehnya membacakan Al-
Qur`an kepada orang kafir,
maka berdasarkan hal ini
dibolehkan juga meruqyah orang
kafir.


www.al-atsariyyah.com/?p=1691#more-1691

0 komentar:

Posting Komentar