Banner 468 X 60

Rabu, 25 Agustus 2010

Pusaka Dakwah Para Nabi

Di zaman ini banyak
bermunculan da’i-da’i bagaikan
cendawan di musim hujan; mulai
dari da’i yang berpendidikan
agama sampai yang berlatang
belakang artis dan pelawak.
Petaka di atas petaka,
kebanyakan diantara para da’i
kita tidak mengenal dakwah para
nabi dan rasul sehingga kita
akan menyaksikan keanehan dan
keajaiban dalam berdakwah. Ada
yang memulai dakwahnya
dengan politik dan adu
kekuatan; ada yang memulai
dakwahnya dengan kudeta dan
revolusi berdarah. Lebih tragis
lagi, mereka terkadang
menghiasi dakwahnya dengan
“suara lolongan setan” alias
musik yang diharamkan dalam
agama kita. Semuanya demi
dakwah, atas nama dakwah.
Betulkah dakwah yang haq
demikian halnya?!

Semua fenomena dan realita
tersebut memaksa dan
mendesak kita untuk sedikit
mempelajari dan mengkaji
pusaka dakwah para nabi dan
rasul agar dakwah kita benar
dan meraih pahala dalam
dakwah; bukan asal-asalan
dalam berdakwah. Dakwah
adalah pusaka yang telah
diwariskan oleh para nabi
(khususnya, Nabi kita -
Shollallahu alaihi wa sallam-)
kepada generasi mukmin
sepeninggal mereka. Seorang
muslim -apalagi da’i- amat perlu
mengkaji metode dakwah
mereka agar ia berada di atas
petunjuk.
Pembaca yang budiman, coba
dengarkan ayat ini dengan
penuh perhatian, niscaya kalian
akan mendapatkan petunjuk.
Allah -Ta’ala- berfirman
menjelaskan jalan dan metode
dakwah para nabi dan rasul,
Katakanlah: "Inilah jalan (agama)
ku, aku dan orang-orang yang
mengikutiku mengajak (kamu)
kepada Allah dengan hujjah
yang nyata, Maha suci Allah, dan
aku tiada Termasuk orang-orang
yang musyrik".
Al-Imam Abu Ja’far Ath-
Thobariy -rahimahullah- berkata
saat mengomentari ayat ini,
“Allah -Ta’ala Dzikruh-
berfirman, “Katakanlah wahai
Muhammad, “Inilah dakwahku
yang kuajak menuju kepadanya,
dan jalanku yang aku pijaki
berupa dakwah menuju
tauhidullah (mengesakan
Allah dalam ibadah), dan
mengikhlaskan ibadah hanya
untuknya, tanpa untuk
sembahan, dan berhala lainnya,
serta bermuara menuju ketaatan
kepada-Nya, dan tidak
mendurhakai-Nya. Jalanku dan
dakwahku yang kuajak (manusia)
kepada (penyembahan) Allah
saja, tanpa ada sekutu bagi-Nya
berdasarkan hujjah tentang hal
itu, dan keyakinan yang
bersumber dari ilmu dariku
tentang hal itu. Aku mengajak
kepadanya di atas hujjah (ilmu),
dan juga orang-orang yang
mengikutiku”. [Lihat Jami’ Al-
Bayan fi Ta’wil Al-Qur’an
(7/314-315), cet. Dar Al-Kutub
Al-Ilmiyyah, 1412 H]
Jadi, dakwah Nabi -Shallallahu
alaihi wa sallam- dan para
sahabat beliau dimulai dengan
tauhid. Di samping itu dakwah
beliau didasari oleh ilmu dari
Allah -Ta’ala-. Disinilah letak
perbedaan antara dakwah Nabi -
Shallallahu alaihi wa sallam-
dengan dakwah orang-orang
jahil. Kalian lihat dakwah da’i-
da’i pada umumnya tidak dimulai
dengan tauhid dan prinsip
agama. Tapi mereka mulai
dengan perkara lain dengan
dalih “tauhid bisa memecah
umat”, “tauhid membuat orang
lari”, dan dalih-dalih kosong
lainnya. Tak heran jika semua
partai politik “Islam” menjauhi
perkara tauhid, dan malu atau
takut membahasnya, sebab
mereka beralasan, “Nanti umat
lari”, atau “orang tak akan
nyoblos kita”.
Selain itu, dakwah juga harus
dilandasi dengan ilmu yang
bersumber dari Al-Qur’an dan
Sunnah sesuai pemahaman para
sahabat. Karenanya, para
ulama mencela sebagian
kelompok dan kaum yang
memiliki semangat dakwah,
tapi dakwahnya tak dilandasi
dengan ilmu syar’i. Mereka
amat giat berdakwah kesana-
kemari, tapi dakwahnya kosong
dari tuntunan Al-Qur’an dan
Sunnah sehingga meraba-raba
ibarat orang buta. Akhirnya,
“ular disangka kayu bakar”; ia
mengira bahwa ia telah
mendapatkan jalan keluar dan
memberikan solusi, tapi ternyata
ia mendapatkan kecelakaan, dan
kebinasaan. Bahkan ia
membinasakan orang lain. Inilah
yang disinyalir oleh Rasulullah -
Shallallahu alaihi wa sallam-
dalam sabdanya,

إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ
الْعِلْمَ اِنْتِزَاعًا
يَنْتَزِعُهُ مِنَ النَّاسِ
وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ
بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى
إِذَا لَمْ يَتْرُكْ عَالِمًا
اِتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُسًا
جُهَّالًا فُسُئِلُوْا
فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ
فَضَلُّوْا وَأَضَلُّوْا

“Sesungguhnya Allah tidak
mengangkat ilmu dengan sekali
mencabutnya dari manusia. Akan
tetapi Allah mencabut ilmu
dengan mematikan para ulama’
sehingga apabila Allah tidak
menyisakan lagi seorang
ulama’pun, maka manusiapun
mengangkat pemimpin-
pemimpin yang jahil. Mereka
(para pemimpin itu) ditanyai, lalu
merekapun memberikan fatwa
tanpa ilmu. Akhirnya mereka
sesat dan menyesatkan
(manusia)” .[HR.Al-Bukhory
dalam Kitab Al-Ilm (100), dan
Muslim dalam Kitab Al-Ilm
(2673)]
Al-Imam Abu Zakariya An-
Nawawiy-rahimahullah- berkata
ketika menjelaskan makna hadits
di atas, "Hadits ini menjelaskan
maksud tercabutnya ilmu dalam
hadits-hadits lalu yang muthlaq
(umum), bukan menghapusnya
dari dada para penghafal
(pemilik) ilmu itu. Akan tetapi
maknanya, para pembawa ilmu
itu (yakni para ulama) akan mati.
Lalu manusia mengangkat
orang-orang jahil (sebagai
pemimpin dalam agama). Orang-
orang jahil itu memutuskan
perkara berdasarkan kejahilan-
kejahilannya. Lantaran itu ia
sesat, dan menyesatkan orang".
[Lihat Al-Minhaj Syarh Shohih
Muslim ibn Al-Hajjaj (16/224),
cet. Dar Ihya' At-Turots Al-
Arabiy]
Alangkah banyaknya pemimpin
dan ustadz-ustadz seperti ini.
Mereka diangkat oleh manusia
sebagai seorang da’i, ulama’ dan
ustadz. Padahal ia tidaklah
pantas berdakwah, karena ia
jahil. Lihatlah disana, manusia
mengangkat seorang pelawak
sebagai “da’i sejuta ummat”.
Padahal bisanya cuma tertawa
dan menggelitik para pendengar.
Adapun ceramahnya, maka
kosong dari ilmu yang memberi
bekas pada diri dan umat.
Disinilah hikmahnya Nabi -
Shallallahu alaihi wa sallam-
dalam mengutus para dai.
Beliau tak mengutus para da’i,
kecuali da’i itu adalah orang-
orang yang memiliki ilmu
agama, seperti Mu’adz bin Jabal,
Ali bin Tholib, Abu Bakr, Abu
Hurairah, Dihyah bin Kholifah
Al-Kalbiy, dan Abdullah bin
Mas’ud lainnya.
Nabi -Shallallahu alaihi wa
sallam- bersabda saat mengutus
Mu’adz bin Jabal menuju negeri
Yaman,

إِنَّكَ تَأْتِيْ قَوْمًا مِنْ
أَهْلِ الْكِتَابِ, فَلْيَكُنْ
أَوَّلَ مَا تَدْعُوْهُمْ إِلَيْهِ
شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ
–وَفِيْ رِوَايَةٍ: إِلَى أَنْ
يُّوَحِّدُوْا اللهَ – فَإِنْ هُمْ
أَطَاعُوْكَ لِذلِكَ
فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللهَ
افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ
صَلَوَاتٍ فِيْ كُلِّ يَوْمٍ
وَلَيْلَةٍ , فَإِنْ هُمْ
أَطَاعُوْكَ لِذلِكَ
فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللهَ
افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً
تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ
فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ,
فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوْكَ لِذلِكَ
فَإِيَّاكَ وَكَرَائِمَ
أَمْوَالِهِمْ وَاتَّقِ دَعْوَةَ
الْمَظْلُوْمِ فَإِنَّهُ لَيْسَ
بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللهِ
حِجَابٌ

“Sesungguhnya engkau akan
mendatangi suatu kaum dari
kalangan ahli Kitab. Karenanya,
perkara yang paling pertama
engkau dakwahi (ajak) menuju
kepadanya adalah persaksian
bahwa tiada ilah (sembahan)
yang haq, kecuali Allah –dalam
riwayat lain: sampai mereka
mengesakan Allah-. Jika mereka
mentaatimu dalam perkara
tersebut, maka beritahulah
mereka bahwa Allah telah
mewajibkan atas kalian sholat
lima kali sehari-semalam. Jika
mereka mentaatimu dalam
perkara tersebut, maka
beritahulah mereka bahwa Allah
telah mewajibkan atas kalian
zakat yang diambil dari orang-
orang kaya diantara mereka, lalu
dikembalikan (diberikan) kepada
orang-orang fakir diantara
mereka. Jika mereka mentaatimu
dalam perkara tersebut, maka
waspadailah (jauhilah) harta
mereka yang paling berharga.
Waspadailah doanya orang yang
terzholimi, karena tak ada lagi
hijab (penghalang) antara doa
mereka dengan Allah”. [HR. Al-
Bukhoriy dalam Kitab Az-Zakah
(1395), dan Muslim dalam Kitab
Al-Iman (19)]
Al-Allamah Syaikh Abdur
Rahman bin Hasan At-Tamimiy
–rahimahullah- berkata dalam
menuai faedah dari hadits ini, “Di
dalamnya terdapat dalil yang
menunjukkan bahwa tauhidul
ibadah (pemurnian ibadah hanya
untuk Allah) adalah kewajiban
yang paling utama, karena ia
(tauhid) adalah asas agama, dan
prinsip agama Islam”. [Lihat
Qurroh Uyun Al-Muwahhidin
(hal. 37), cet. Dar Ash-Shumai’iy,
1420 H]
Al-Imam Abu Sulaiman Al-
Khoththobiy -rahimahullah-
juga berkata, “Dalam hadits ini
terdapat faedah berupa ilmu
bahwa Allah telah menyusun
kewajiban-kewajiban syari’at.
Allah mendahulukan masalah
TAUHID, lalu kewajiban sholat
pada waktunya masing-masing,
dan menangguhkan zakat,
karena zakat hanya wajib atas
sekelompok manusia, tanpa yang
lainnya ”. [Lihat A’lam Al-Hadits
(1/721)]
Inilah rahasianya Allah -Ta’ala-
mengutus para rasul kepada
ummat manusia, agar mereka
mengajak manusia hanya
beribadah kepada Allah, tanpa
selainnya. Bahkan selain-Nya
harus dijauhi. Allah -Ta’ala-
berfirman,
"Dan sungguh Kami telah
mengutus rasul pada tiap-tiap
umat (untuk menyerukan),
"Sembahlah Allah (saja), dan
jauhilah thaghut itu". Maka di
antara umat itu ada orang-orang
yang diberi petunjuk oleh Allah
dan ada pula di antaranya
orang-orang yang telah pasti
kesesatan baginya. Maka
berjalanlah kamu dimuka bumi
dan perhatikanlah bagaimana
kesudahan orang-orang yang
mendustakan (rasul-rasul)". (QS.
An-Nahl: 36).
Al-Hafzih Ibnu Katsir Ad-
Dimasyqiy-rahimahullah-
berkata saat mengomentari ayat
ini, "Allah -Ta’ala- senantiasa
mengutus rasul-rasul kepada
umat manusia dengan membawa
misi tersebut (yakni, misi tauhid)
sejak munculnya syirik di
kalangan anak cucu Adam, yaitu
di kalangan kaumnya Nabi Nuh
yang telah diutus kepada mereka
Nuh. Beliau adalah rasul
pertama yang diutus oleh Allah
kepada penduduk bumi sampai
Allah menutup mereka dengan
Muhammad -Shollallahu ‘alaihi
wasallam- yang dakwahnya
meliputi jin dan manusia, baik di
timur, maupun barat". [Lihat
Tafsir Ibnu Katsir (2/750)]
Jadi, para nabi dan rasul,
semuanya mengajak agar kita
men-tauhid-kan (mengesakan)
Allah saat beribadah kepada-
Nya. Artinya, seorang hanya
beribadah kepada-Nya dengan
mengamalkan amalan-amalan
ketaatan, dan menjauhi maksiat,
karena mencari pahala di sisi-
Nya, dan karena takut siksaan-
Nya.
Diantara amalan ketaatan dan
ibadah yang tak boleh
dipersembahkan kepada selain
Allah, bahkan hanya untuk Allah
adalah sholat, baca Al-Qur’an,
puasa, berdo’a, meminta berkah
(tabarruk), kesembuhan,
meminta hajat, meminta
perlindungan (isti’adzah),
memohon pertolongan di kala
susah (istighotsah),
menyembelih hewan, bernadzar,
dan lainnya. Semua amalan ini
dikerjakan untuk Allah,
karena mencari pahala dan
ridho-Nya, bukan untuk
selainnya !!!
Inti dakwah para nabi dan rasul
adalah tauhidullah. Tak heran
jika Nabi -Shallallahu alaihi wa
sallam- sampai mengutus tentara
dan pasukan Islam untuk
menyebarkan dakwah tauhid, inti
dakwah agama Islam, agama
para nabi dan rasul –alaihimush
sholatu wassalam-.
Dari Sahl bin sa’d -radhiyallahu
anhuma- Rasulullah -Shallallahu
alaihi wa sallam- bersabda,

عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ
رَضِيَ اللهًُ عَنْهُمَا: أَنَّ
رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَوْمَ
خَيْبَرَ : لأُعْطِيَنَّ
الرَّايَةَ غَدًا رَجُلاً يُحِبُّ
اللهَ وَرَسُوْلَهُ وَ يُحِبُّهُ
اللهُ وَرَسُوْلَهُ, يَفْتَحُ
اللهُ عَلَى يَدَيْهِ. فَبَاتَ
النَّاسُ يَدُوْكُوْنَ
لَيْلَتَهُمْ أَيُّهُمْ يُعْطَاهَا,
فَلَمَّا أَصْبَحُوْا غَدَوْا
عَلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
كُلُّهُمْ يَرْجُوْ أَنْ يُعْطَاهَا,
فَقَالَ : أَيْنَ عَلِيُّ بْنُ
أَبِيْ طَالِبٍ, فَقِيْلَ: هُوَ
يَشْتَكِيْ عَيْنَيْهِ ,
فَأَرْسَلُوْا إِلَيْهِ فَأُتِيَ
بِهِ فَبَصَقَ فِيْ
عَيْنَيْهِ وَدَعَا لَهُ فَبَرَأَ
كَأَنْ لَمْ يَكُنْ بِهِ وَجَعٌ,
فَأَعْطَاهُ الرَّايَةَ فَقَالَ :
اُنْفُذْ عَلَى رِسْلِكَ حَتَّى
تَنْزِلَ بِسَاحَتِهِمْ, ثُمَّ
ادْعُهُمْ إِلَى اْلإِسْلاَمِ,
وَأَخْبِرْهُمْ بِمَا يَجِبُ
عَلَيْهِمْ مِنْ حَقِّ اللهِ
تَعَالَى فِيْهِ, فَوَاللهِ
لأَنْ يَهْدِيَ اللهُ بِكَ رَجُلاً
وَاحِدًا خَيْرٌ لَكَ مِنْ حُمُرِ
النَّعَمِ

“Bendera perang ini akan
kuberikan besok kepada seorang
yang mencintai Allah dan Rasul-
Nya, dan ia dicintai oleh Allah
dan Rasul-Nya. Allah akan
memberikan kemenangan
melalui tangannya”. Akhirnya,
orang-orang memperbincangkan
hal pada malam itu (dalam
keadaan bertanya-tanya),
“Siapakah yang akan diberi
bendera itu”. Tatkala mereka
berada di pagi hari, maka
mereka menuju kepada
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa
sallam- sedang mereka
mengharap diberi bendera
tersebut. Kemudian beliau
bersabda, “Mana Ali bin Abi
Tholib?” Ada yang bilang, “Dia
mengadukan matanya”. Mereka
pun mengutus orang kepada Ali,
lalu Ali didatangkan. Kemudian
Nabi -Shallallahu alaihi wa
sallam- meludahi kedua mata
Ali, dan mendoakannya
kesembuhan. Akhirnya, Ali
sembuh, seakan tak pernah ada
penyakitnya. Beliaupun
memberikan Ali bendera itu
seraya bersabda, “Berjalanlah
dengan pelan sampai kalian
singgah pada negeri mereka,
lalu dakwahilah mereka
menuju Islam, dan kabarilah
mereka tentang sesuatu yang
wajib aras mereka berupa hak
Allah -Ta’ala- pada dirinya. Demi
Allah, Jika Allah memberikan
hidayah melalui tanganmu, maka
itu lebih baik bagimu
dibandingkan dengan onta yang
merah”. [HR. Al-Bukhoriy dalam
Kitab Al-Jihad (2942), dan
Muslim dalam Kitab Fadho’il
Ash- Shohabah (2406)]
Ali diperintahkan oleh Nabi -
Shallallahu alaihi wa sallam-
untuk mengajak manusia kepada
Islam. Nah, lantas apa inti
dakwah Islam?! Tentunya adalah
TAUHID. Jadi, apa yang
diperintahkan oleh Nabi -
Shallallahu alaihi wa sallam-
kepada Mu’adz, itulah yang
beliau perintahkan juga kepada
Ali bin Abi Tholib.
Pembaca yang budiman, inilah
beberapa dalil yang
menunjukkan kepada kita
tentang keutamaan dan
pentingnnya DAKWAH TAUHID,
yaitu mengajak manusia untuk
menyembah Allah saja, dan tidak
menyekutukannya dengan
siapapun diantara makhluk-Nya,
baik itu malaikat, nabi, orang
sholeh, pohon, sapi, dan lainnya.
DAKWAH TAUHID adalah inti
dakwah para nabi dan rasul,
serta pengikut setia mereka. Inti
dakwah mereka bukanlah
mengajak manusia berpartai atau
fanatik kepada organisasi atau
kepada tanah air!!


Sumber : Buletin Jum’at At-
Tauhid edisi 107 Tahun II.
Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas.
Alamat : Pesantren Tanwirus
Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58,
Kel. Borong Loe, Kec. Bonto
Marannu, Gowa-Sulsel. HP :
08124173512 (a/n Ust. Abu
Fa’izah).

www.almakassari.com/artikel-islam/aqidah/pusaka-dakwah-para-nabi.html#more-585

0 komentar:

Posting Komentar