Banner 468 X 60

Senin, 31 Mei 2010

Fatwa-Fatwa Syaikh Muhamad bin Sholeh Al Utsaimin

Ada sebagian cerita atau kisah
yang ditujukan untuk anak,
tujuannya untuk memberikan
pengajaran ataupun hiburan
bagi anak. Yang menjadi tokoh
dalam kisah tersebut adalah
hewan, di mana digambarkan
hewan-hewan tersebut dapat
berbicara layaknya manusia
(dongeng fabel). Untuk
mengajarkan anak akibat jelek
dari berdusta misalnya,
dikisahkan ada seekor musang
berpura-pura jadi dokter hingga
ia dapat memperdaya seekor
ayam. Kemudian si musang
terperosok ke dalam lubang
akibat perbuatan dustanya. Apa
pendapat antum terhadap kisah
seperti ini?
Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Muhammad
ibnu Shalih Al- ’Utsaimin
rahimahullahu menjawab,
“ Tentang permasalahan seperti
ini, saya tawaqquf (mendiamkan,
belum bisa mengatakan boleh
atau tidak). Karena mengisahkan
seperti itu berarti mengeluarkan
si hewan dari keadaan asal
penciptaannya. Dikatakan ia bisa
berbicara, bisa mengobati/jadi
dokter, dan bisa mendapat
hukuman atas perbuatannya.
Terkadang mungkin dikatakan
bahwa ini hanya permisalan/
perumpamaan. Namun wallahu
a’lam, saya tawaqquf dalam
perkara ini. Saya tidak
mengatakan apa pun dalam hal
ini. ”
Ada bentuk lain dari cerita untuk
anak. Seorang ibu terkadang
bercerita kepada anaknya untuk
memberikan pengajaran pada si
anak dengan kisah yang
memang mungkin terjadi,
walaupun tidak mesti kisah itu
telah terjadi. Misalnya si ibu
berkata, “Ada seorang anak
bernama Hasan. Anak ini suka
mengganggu tetangganya. Suatu
hari ia memanjat tembok rumah
tetangganya. Tiba-tiba ia jatuh
dan patah tangannya. ” Yang
menjadi pertanyaan kami, apa
hukumnya cerita seperti ini, di
mana memang tidak dapat
dipungkiri anak yang
mendengarnya terkadang
beroleh pelajaran tentang
perangai yang mulia lagi terpuji.
Apakah cerita seperti ini
termasuk dusta yang dilarang?
Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Muhammad
ibnu Shalih Al- ’Utsaimin
rahimahullahu kembali
menjawab, “Yang zhahir, bila si
ibu menceritakannya hanya
sebagai perumpamaan dengan
misalnya ia mengatakan, “Di
sana ada seorang anak....” tanpa
menyebut nama tertentu dan
kisahnya seakan benar terjadi,
maka tidak apa-apa, karena di
dalamnya ada faedah dan tidak
ada madharat. ”
GAMBAR MAHLUK BERNYAWA
Dalam salah satu kurikulum
pelajaran di sekolah-sekolah,
anak diminta menggambar
makhluk bernyawa atau
diberikan gambar ayam betina
yang belum lengkap, lalu
dikatakan padanya,
“ Sempurnakanlah gambar ini.”
Terkadang si anak diminta
menggunting gambar bernyawa
lalu menempelkannya di kertas,
atau ia diminta mewarnai
gambar tersebut. Apa pendapat
antum tentang hal ini?
Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Muhammad
ibnu Shalih Al Utsaimin
rahimahullahu berkata, “Saya
memandang hal tersebut haram,
wajib untuk dilarang. Para
penanggung jawab pengajaran
harus menunaikan amanah
dalam masalah ini dan melarang
perkara yang seperti ini. Bila
mereka ingin mencari kejelasan
tentang kecerdasan seorang
murid, mereka bisa mengatakan,
‘ Buatlah gambar mobil atau
pohon’, atau benda-benda
semisalnya yang diketahuinya.
Dengan seperti itu dapat
diketahui sejauh mana
kecerdasan, kecermatan, dan
penerapannya terhadap
perkara-perkara yang ada.
Apa yang terjadi di sekolah-
sekolah tersebut merupakan
musibah yang menimpa manusia
dengan perantara setan, padahal
sebenarnya tidak ada bedanya
membuat gambar pohon,
gambar mobil, istana, ataupun
gambar manusia. Karenanya aku
memandang wajib bagi para
penanggung jawab untuk
melarang hal seperti itu. Bila
memang terpaksa menggambar
makhluk bernyawa maka
hendaknya mereka menggambar
hewan tanpa kepala. ”
BERHIJAB DI HADAPAN ANAK
LELAKI
Di hadapan anak lelaki usia
berapakah seorang wanita
ajnabiyyah harus berhijab?
Apakah ketika si anak telah
mencapai tamyiz ataukah saat ia
baligh?
Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Muhammad
bin Shalih Al- ’Utsaimin
rahimahullahu menjawab: “Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman
ketika menyebutkan orang-
orang yang diperkenankan
melihat perhiasan wanita (atau
seorang wanita boleh
menampakkan perhiasannya di
hadapan mereka):
أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ
يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ
النِّسَاءِ
“ ...Atau anak-anak lelaki yang
belum mengerti tentang aurat
wanita. ” (An-Nur: 31)
Dengan demikian bila seorang
anak lelaki telah mengerti aurat
wanita, yang membuatnya bisa
menilai seorang wanita ketika
memandangnya, dan ia banyak
berbicara kepada si wanita (atau
membicarakan wanita), maka
tidak boleh wanita itu membuka
perhiasannya di hadapan si anak
(ia harus berhijab dari si anak).
Adapun batas usianya, maka ini
berbeda-beda pada setiap anak,
ditinjau dari tabiatnya dan
dengan siapa anak itu biasa
duduk-duduk (teman
duduknya). Karena seorang anak
kecil terkadang bisa mengerti
perkara wanita bila ia biasa
duduk dengan orang-orang yang
banyak membicarakan tentang
wanita. Seandainya ia tidak
duduk atau tidak mendengar
dari mereka, niscaya si anak
tidak paham dan tidak akan
peduli dengan wanita. Yang
penting dalam perkara ini Allah
Subhanahu wa Ta ’ala telah
memberikan batasan dengan
firman-Nya:
أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ
يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ
النِّسَاءِ
“ Selama si anak belum mengerti
aurat wanita dan tidak ambil
peduli dengan perkara wanita
maka si wanita boleh tidak
berhijab di hadapannya. ”
Wallahu ta’ala a’lam bish-
shawab.
(Fatwa-fatwa di atas diambil dari
kitab Majmu ’ah As’ilah Tuhimmu
Al-Usrah Al-Muslimah, hal.
138-141, 148-149)
http://www.asysyariah.com/
print.php?id_online=873
Read more..

Minggu, 30 Mei 2010

Menepis Anggapan Bulan Shafar

Sebagaimana bulan Muharram
(Jawa: Suro) itu diyakini sebagai
bulan yang keramat dan
membawa sial, maka muncul
pula anggapan bahwa bulan
Shafar adalah bulan yang
membawa sial, naas, dan penuh
dengan malapetaka. Karena
bulan sial, maka tidak boleh
mengadakan hajatan pada bulan
tersebut, atau melakukan
pekerjaan-pekerjaan penting
lainnya karena akan
mendatangkan bencana, atau
kegagalan dalam pekerjaannya
itu.
Sungguh sangat disayangkan,
sebagian kaum muslimin di
negeri ini pun justru terpengaruh
oleh keyakinan yang merupakan
warisan dari tradisi Paganisme
Jahiliyyah para penyembah
berhala itu.
Menganggap sial waktu-waktu
tertentu, atau hewan-hewan
tertentu, atau sial karena melihat
adanya peristiwa dan mimpi
tertentu sebenarnya hanyalah
khayalan dan khurafat belaka.
Itu merupakan sebuah keyakinan
yang menunjukkan dangkalnya
aqidah dan tauhid orang-orang
yang mempercayai keyakinan
tersebut.
Alhamdulillah, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam yang
diutus oleh Allah subhanahu
wata ’ala dengan membawa misi
utama berdakwah kepada tauhid
dan memberantas segala bentuk
kesyirikan telah menepis
anggapan dan keyakinan yang
bengkok tersebut. Beliau
shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda:
لاَ عَدْوَى وَلاَ طِيَرَةَ وَلاَ
هَامَةَ وَلاَ صَفَرَ .
“Tidak ada penularan penyakit
(dengan sendirinya), tidak ada
thiyarah, tidak ada kesialan
karena burung hantu, dan tidak
ada kesialan pada bulan
Shafar. ” (HR. Al-Bukhari, Muslim,
Abu Dawud, dan Ahmad).
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
menolak keyakinan orang-orang
Musyrikin Jahiliyyah yang
menganggap bulan Shafar
sebagai bulan sial, mereka
mengatakan bahwa bulan Shafar
adalah bulan bencana.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam pun menepis
kebenaran anggapan tersebut.
Bulan Shafar itu seperti bulan-
bulan lainnya. Padanya ada
kebaikan, ada juga kejelekan.
Bulan Shafar tidak bisa
memberikan pengaruh apa-apa.
Bulan tersebut sama seperti
waktu-waktu lainnya yang telah
Allah subhanahu wata ’ala
jadikan sebagai kesempatan
untuk melakukan amal-amal
yang bermanfaat.
Keyakinan ini terus menerus ada
pada sebagian umat Islam hingga
hari ini. Ada di antara mereka
yang menganggap sial bulan
Shafar, ada yang menganggap
sial hari-hari tertentu, seperti
hari Rabu, atau hari Sabtu, atau
hari-hari lainnya. Sehingga pada
hari-hari tersebut mereka tidak
berani melangsungkan
pernikahan atau hajatan yang
lain, karena mereka meyakini
atau menganggap bahwa
pernikahan pada hari-hari
tersebut bisa menyebabkan
ketidakharmonisan rumah
tangga.
Ada pula yang berkeyakinan
kalau mendengar burung gagak,
melihat burung hantu,
berpapasan dengan kucing
hitam, atau yang lainnya, maka
sebentar lagi akan celaka, atau
akan ada orang meninggal, atau
yang lainnya, dan seterusnya dari
anggapan-anggapan negatif.
Anggapan Sial Terhadap Waktu-
Waktu Tertentu Adalah
Kesyirikan
Dalil-dalil yang ada di dalam Al-
Qu ’an dan hadits demikian jelas
menyatakan keharaman
kebiasaan tersebut. Perbuatan
atau anggapan sial seperti itu
termasuk kesyirikan dan tidak
ada pengaruhnya dalam
memberikan kemanfaatan atau
menolak kemudharatan, karena
tidak ada yang mampu
memberikan manfaat dan
menimpakan madharat kecuali
Allah subhanahu wata ’ala. Allah
subhanahu wata’ala berfirman:
وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللَّهُ
بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُ
إِلَّا هُوَ وَإِنْ يُرِدْكَ
بِخَيْرٍ فَلَا رَادَّ
لِفَضْلِهِ.
“Jika Allah menimpakan sesuatu
kemudharatan kepadamu, maka
tidak ada yang dapat
menghilangkannya kecuali Dia.
dan jika Allah menghendaki
kebaikan (manfaat) bagi kamu,
maka tak ada yang dapat
menolak karunia-Nya
tersebut. ” (QS. Yunus: 107)
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda:
وَاعْلَمْ أَنَّ اْلأُمَّةَ لَوِ
اجَتَمَعَتْ عَلَى أَنْ
يَنْفَعُوْكَ بِشَيْءٍ لَمْ
يَنْفَعُوْكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ
قَدْ كَتَبَهُ اللهُ لَكَ وَلَوِ
اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ
يَضُرُّوْكَ بِشَيْءٍ لَمْ
يَضُرُّوْكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ
كَتَبَهُ اللهُ عَلَيْكَ .
“Dan ketahuilah, seandainya
umat manusia berkumpul untuk
memberikan kemanfaatan
bagimu dengan sesuatu niscaya
mereka tidak dapat memberikan
kemanfaatan bagimu kecuali
dengan sesuatu yang telah Allah
tetapkan untukmu. Dan
sebaliknya, jika mereka semua
berkumpul untuk
memudharatkanmu dengan
sesuatu, niscaya mereka tidak
dapat menimpakan
kemudharatan tersebut kecuali
dengan sesuatu yang telah Allah
tetapkan atasmu. ” (HR. At-
Tirmidzi)
Perbuatan menganggap sial
waktu-waktu tertentu, atau
menganggap datangnya bencana
dengan berdasarkan apa yang
dia lihat, dia dengar, atau dia
rasakan, maka ini dinamakan
tathayyur atau thiyarah.
Thiyarah Adat Jahiliyyah
Secara bahasa (etimologi),
thiyarah atau tathayyur
merupakan bentuk mashdar dari
kata / kalimat تَطَيَّرَ
(tathayyara). Dan asalnya diambil
dari kata اَلطَّيْرُ (ath-thairu)
yang berarti burung, karena
musyrikin Arab Jahiliyyah dahulu
melakukan thiyarah dengan
menggunakan burung, yaitu
dengan cara melepaskan seekor
burung yang kemudian dilihat ke
mana arah terbangnya burung
tersebut. Kalau terbang ke arah
kanan, berarti ini tanda
keberuntungan sehingga dia pun
berangkat meneruskan
pekerjaannya. Dan sebaliknya,
kalau ternyata burung tersebut
terbang ke arah kiri, maka ini
tanda kesialan sehingga dia
menghentikan atau
membatalkan pekerjaannya
tersebut.
Adapun secara istilah
(terminologi) syari ’at, thiyarah
atau tathayyur adalah
beranggapan sial atau merasa
akan bernasib naas berdasarkan/
disebabkan sesuatu yang dia
lihat, dia dengar, atau waktu-
waktu tertentu. Penggunaan
istilah thiyarah atau tathayyur ini
lebih meluas daripada sekedar
beranggapan sial dengan
menggunakan burung. Sehingga
setiap orang yang beranggapan
atau merasa bernasib sial
dengan berdasarkan hal-hal
tersebut, maka dia telah terjatuh
kepada perbuatan thiyarah
walaupun tidak dengan
menggunakan burung.
Berikut beberapa contoh
perbuatan thiyarah berdasarkan
sebabnya:
1. Karena sesuatu yang dilihat
Seperti melihat kucing hitam,
melihat burung hantu, melihat
kecelakaan, melihat orang gila,
dan yang lainnya kemudian dia
beranggapan nanti akan
mengalami nasib yang naas.
2. Karena sesuatu yang didengar
Seperti mendengar suara burung
gagak, lolongan anjing, atau
ketika hendak berdagang, dia
mendengar orang yang
memanggilnya: ‘Wahai Si Rugi’,
yang kemudian dengan sebab itu
dia mengurungkan niatnya untuk
berjualan.
3. Karena waktu-waktu tertentu
Seperti menganggap sial hari-
hari tertentu (Jum ’at Kliwon,
Rabu Pon, dan lainnya), atau
bulan-bulan tertentu
(Muharram, Shafar, dan lainnya),
atau tahun-tahun tertentu.
Dan termasuk thiyarah pula
adalah menganggap sial angka-
angka tertentu, seperti angka
tiga belas. Dan ini seperti
anggapan sial orang-orang sesat
dari kalangan Syi ’ah Rafidhah
terhadap angka sepuluh. Mereka
tidak suka dengan angka ini
karena kebencian dan
permusuhan mereka terhadap
Al- ’Asyrah Al-Mubasysyarina bil
Jannah (sepuluh shahabat yang
diberi kabar gembira masuk Al-
Jannah). Yang demikian itu
disebabkan kebodohan dan
kedunguan akal mereka.
Demikian pula ahli nujum
(ramalan bintang/zodiak atau
yang semisalnya), mereka
membagi waktu menjadi waktu
naas dan sial, serta waktu
bahagia dan baik. Tidaklah
samar lagi bahwa ramalan
bintang seperti ini adalah haram
dan termasuk jenis sihir.
Pelaku thiyarah sesungguhnya
telah bergantung/bersandar
kepada sesuatu yang tidak ada
hakekatnya, bahkan hal itu
hanya merupakan sebuah
dugaan dan khayalannya saja.
Antara sesuatu yang dia
berthiyarah kepadanya dengan
kejadian yang menimpanya
tidaklah memiliki hubungan apa-
apa. Bagaimana bisa bulan
Muharram, bulan Shafar, hari
Rabu, Sabtu, mendengar burung
hantu atau burung gagak, dan
yang lainnya menjadi penentu
nasib seseorang? Hal ini jelas
dapat merusak aqidah dan
tauhid seseorang yang
meyakininya, karena dapat
memalingkan tawakkal dia
kepada selain Allah subhanahu
wata ’ala.
Seseorang yang membatalkan
rencananya untuk mengadakan
hajatan, atau mengurungkan
niatnya untuk bepergian karena
thiyarah yang dia lakukan,
berarti ia telah mengetuk pintu
kesyirikan bahkan ia telah masuk
ke dalamnya. Dia telah
menghilangkan tawakkalnya
kepada Allah subhanahu
wata ’ala dan membuka pintu
bagi dirinya untuk takut kepada
selain Allah subhanahu wata ’ala
dan bergantung kepada selain
Ash-Shamad (Dzat Maha Tempat
Bergantung). Sehingga pelaku
thiyarah telah menyimpang dari
apa yang Allah subhanahu
wata ’ala firmankan:
وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا
إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ .
“Dan hanya kepada Allah
hendaknya kamu bertawakkal,
jika kamu benar-benar orang
yang beriman. ” (Al-Ma’idah: 23)
Karena itulah Nabi shallallahu
‘ alaihi wasallam telah
memperingatkan dan
menegaskan kepada kita bahwa
thiyarah termasuk kesyirikan
sebagaimana dalam sabdanya:
اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ اَلطِّيَرَةُ
شِرْكٌ .
“Thiyarah adalah kesyirikan,
thiyarah adalah kesyirikan.” (HR.
Ahmad dan Abu Dawud).
Obat dari Penyakit Ini
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda:
مَنْ رَدَّتْهُ الطِّيَرَةُ عَنْ
حَاجَتِهِ فَقَدْ أَشْرَكَ،
قَالُوْا: فَمَا كَفَّارَةُ ذَلِكَ؟
قَالَ : أَنْ تَقُوْلَ : اَللّهُمَّ
لاَ خَيْرَ إِلاَّ خَيْرُكَ، وَلاَ
طَيْرَ إِلاَّ طَيْرُكَ، وَلاَ إِلهَ
غَيْرُكَ.
“Barangsiapa yang keperluannya
tidak dilaksanakan disebabkan
berbuat thiyarah, maka sungguh
dia telah berbuat kesyirikan. Para
shahabat bertanya: Bagaimana
cara menghilangkan anggapan
(thiyarah) seperti itu? Beliau
bersabda: Hendaknya engkau
mengucapkan (do ’a):
اَللّهُمَّ لاَ خَيْرَ إِلاَّ
خَيْرُكَ، وَلاَ طَيْرَ إِلاَّ
طَيْرُكَ، وَلاَ إِلهَ غَيْرُكَ .
“Ya Allah, tidak ada kebaikan
kecuali itu datang dari Engkau,
tidak ada kejelekan kecuali itu
adalah ketetapan dari Engkau,
dan tidak ada yang berhak
diibadahi dengan benar selain
Engkau. ” (HR. Ahmad dan Ath-
Thabarani).
Selain itu, thiyarah dapat
dihilangkan dengan berusaha
untuk tawakkal kepada Allah
subhanahu wata ’ala saja.
Bergantung hanya kepada-Nya
dalam rangka meraih apa yang
diinginkan dan menghindari dari
sesuatu yang tidak diinginkan,
serta mengiringi itu semua
dengan usaha dan amal yang
tidak menyelisihi syari’at.
Apapun yang menimpa kita baik
berupa kesenangan, kelapangan,
kesedihan, musibah, dan yang
lainnya, kita meyakini bahwa itu
semua merupakan kehendak
Allah subhanahu wata ’ala yang
penuh dengan keadilan dan
hikmah-Nya.
Sumber:
Kitab At-Tauhid, Asy-Syaikh
Muhammad bin ‘Abdil Wahhab.
Al-Qaulul Mufid ‘ala Kitabi At-
Tauhid, Asy-Syaikh Muhammad
bin Shalih Al- ’Utsaimin.
Al-Khuthab Al-Minbariyyah, Asy-
Syaikh Shalih Al-Fauzan.
Fatwa Asy-Syaikh Muhammad
bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh.
Fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah lil
Buhutsil ‘Ilmiyyah wal Ifta’.
Ditulis oleh Abu Abdillah Kediri.
Artikel Terkait:
1. Dilarang Menganggap Sial
Bulan Shafar
2. Bulan Shafar Bulan Sial??
(Dikutip dari http://
www.assalafy.org/mahad/?
p=425#more-425)
Read more..

Sabtu, 29 Mei 2010

Sebuah Renungan Bagi Yang Suka Maksiat

Tatkala masih di bangku
sekolah, aku masih hidup
bersama kedua orang tuaku
dalam lingkungan yang baik.
Aku selalu mendengar do'a
ibuku saat pulang dari
keluyuran dan begadang
malam. Demikian pula ayahku,
ia selalu dalam shalatnya yang
panjang. Aku heran, mengapa
ayah shalat begitu lama,
apalagi jika saat musim dingin
yang menyengat tulang. Aku
sungguh heran. Bahkan hingga
aku berkata kepada diri
sendiri : "Alangkah sabarnya
mereka …setiap hari begitu…
benar-benar mengherankan!"
Aku belum tahu bahwa di
situlah kebahagiaan orang
mukmin, dan itulah shalat
orang-orang pilihan …Mereka
bangkit dari tempat tidurnya
untuk bermunajat kepada
Allah.
Setelah menjalani pendidikan
militer, aku tumbuh sebagai
pemuda yang matang. Tetapi
diriku semakin jauh dari Allah.
Padahal berbagai nasehat
selalu kuterima dan kudengar
dari waktu ke waktu. Setelah
tamat dari pendidikan, aku
ditugaskan ke kota yang jauh
dari kotaku. Perkenalanku
dengan teman-teman sekerja
membuatku agak ringan
menanggung beban sebagai
orang terasing. Di sana aku tak
mendengar lagi suara bacaan
Al Qur'an. Tak ada lagi suara
ibu yang membangunkan dan
menyuruhku shalat. Aku
benar-benar hidup sendirian,
jauh dari lingkungan keluarga
yang dulu kami nikmati. Aku
ditugaskan mengatur lalu lintas
di sebuah jalan tol. Di samping
menjaga keamanan jalan,
tugasku membantu orang-
orang yang membutuhkan
bantuan. Pekerjaan baruku
sungguh menyenangkan. Aku
lakukan tugas-tugasku dengan
semangat dan dedikasi tinggi.
Tetapi, hidupku bagai selalu
diombang-ambingkan ombak.
Aku bingung dan sering
melamun sendirian …banyak
waktu luang…pengetahuanku
terbatas. Aku mulai jenuh…tak
ada yang menuntunku di
bidang agama. Aku sebatang
kara. Hampir tiap hari yang
kusaksikan hanya kecelakaan
dan orang-orang yang
mengadu kecopetan atau
bentuk-bentuk penganiayaan
lain. Aku bosan dengan
rutinitas. Sampai suatu hari
terjadilah suatu peristiwa yang
hingga kini tak pernah
kulupakan.
Ketika kami dengan seorang
kawan sedang bertugas di
sebuah pos jalan. Kami asyik
ngobrol …tiba-tiba kami
dikagetkan oleh suara
benturan yang amat keras.
Kami mengalihkan pandangan.
Ternyata, sebuah mobil
bertabrakan dengan mobil lain
yang meluncur dari arah
berlawanan. Kami segera
berlari menuju tempat kejadian
untuk menolong korban.
Kejadian yang sungguh tragis.
Kami lihat dua awak salah satu
mobil dalam kondisi sangat
kritis. Keduanya segera kami
keluarkan dari mobil lalu kami
bujurkan di tanah.
Kami cepat-cepat menuju
mobil satunya. Ternyata
pengemudinya telah tewas
dengan amat mengerikan.
Kami kembali lagi kepada dua
orang yang berada dalam
kondisi koma. Temanku
menuntun mereka
mengucapkan kalimat
syahadat. Ucapkanlah “LAA
ILAAHA ILLALLAAH… LAA
ILAAHA ILLALLAAH…" perintah
temanku. Tetapi sungguh
mengherankan, dari mulutnya
malah meluncur lagu-lagu.
Keadaan itu membuatku
merinding. Temanku
tampaknya sudah biasa
menghadapi orang-orang yang
sekarat …Kembali ia menuntun
korban itu membaca syahadat.
Aku diam membisu. Aku tak
berkutik dengan pandangan
nanar. Seumur hidupku, aku
belum pernah menyaksikan
orang yang sedang sekarat,
apalagi dengan kondisi seperti
ini. Temanku terus menuntun
keduanya mengulang-ulang
bacaan syahadat. Tetapi …
keduanya tetap terus saja
melantunkan lagu. Tak ada
gunanya …Suara lagunya
semakin melemah…lemah dan
lemah sekali. Orang pertama
diam, tak bersuara lagi, disusul
orang kedua. Tak ada gerak …
keduanya telah meninggal
dunia.
Kami segera membawa mereka
ke dalam mobil. Temanku
menunduk, ia tak berbicara
sepatah pun. Selama
perjalanan hanya ada
kebisuan, hening. Kesunyian
pecah ketika temanku memulai
berbicara. Ia berbicara tentang
hakikat kematian dan su'ul
khatimah (kesudahan yang
buruk). Ia berkata : "Manusia
akan mengakhiri hidupnya
dengan baik atau buruk.
Kesudahan hidup itu biasanya
pertanda dari apa yang
dilakukan olehnya selama di
dunia". Ia bercerita panjang
lebar padaku tentang berbagai
kisah yang diriwayatkan dalam
buku-buku Islam. Ia juga
berbicara bagaimana
seseorang akan mengakhiri
hidupnya sesuai dengan masa
lalunya secara lahir dan batin.
Perjalanan ke rumah sakit
terasa singkat oleh
pembicaraan kami tentang
kematian. Pembicaraan itu
makin sempurna gambarannya
tatkala ingat bahwa kami
sedang membawa mayat. Tiba-
tiba aku menjadi takut mati.
Peristiwa ini benar-benar
memberi pelajaran berharga
bagiku. Hari itu, aku shalat
khusyu' sekali. Tetapi
perlahan-lahan aku mulai
melupakan peristiwa itu.
Aku kembali pada kebiasaanku
semula …Aku seperti tak
pernah menyaksikan apa yang
menimpa dua orang yang tak
kukenal beberapa waktu lalu.
Tetapi sejak saat itu, aku
memang benar-benar menjadi
benci kepada yang namanya
lagu-lagu. Aku tak mau
tenggelam menikmatinya
seperti sedia kala. Mungkin itu
ada kaitannya dengan lagu
yang pernah kudengar dari
dua orang yang sedang
sekarat dahulu.
*Kejadian yang menakjubkan…
Selang enam bulan dari
peristiwa mengerikan itu…
Sebuah kejadian menakjubkan
kembali terjadi di depan
mataku. Seseorang
mengendarai mobilnya dengan
pelan, tetapi tiba-tiba mobilnya
mogok di sebuah terowongan
menuju kota. Ia turun dari
mobilnya untuk mengganti ban
yang kempes. Ketika ia berdiri
di belakang mobil untuk
menurunkan ban serep, tiba-
tiba sebuah mobil dengan
kecepatan tinggi menabraknya
dari arah belakang. Lelaki itu
pun langsung tersungkur
seketika.
Aku dengan seorang kawan, -
bukan yang menemani- ku
pada peristiwa yang pertama-
cepat-cepat menuju tempat
kejadian. Dia kami bawa
dengan mobil dan segera pula
kami menghubungi rumah
sakit agar langsung mendapat
penanganan. Ketika
mengangkatnya ke mobil, kami
berdua cukup panik, sehingga
tak sempat memperhatikan
kalau ia menggumamkan
sesuatu. Ketika kami
membujurkannya di dalam
mobil, kami baru bisa
membedakan suara yang
keluar dari mulutnya. Ia
melantunkan ayat-ayat suci Al-
Qur'an …dengan suara amat
lemah. "Subhanallah!" dalam
kondisi kritis seperti itu, ia
masih sempat melantunkan
ayat-ayat suci Al-Qur'an?
Darah mengguyur seluruh
pakaiannya; tulang-tulangnya
patah, bahkan ia hampir mati.
Dalam kondisi seperti itu, ia
terus melantunkan ayat-ayat
Al-Qur'an dengan suaranya
yang merdu. Selama hidup aku
tak pernah mendengar suara
bacaan Al-Qur'an seindah itu.
Dalam batin aku bergumam
sendirian: "Aku akan
menuntun membaca syahadat
sebagaimana yang dilakukan
oleh temanku terdahulu …
apalagi aku sudah punya
pengalaman". Aku meyakinkan
diriku sendiri. Aku dan
kawanku seperti kena hipnotis
mendengarkan suara bacaan
Al-Qur'an yang merdu itu.
Sekonyong-konyong tubuhku
merinding menjalar dan
menyelusup ke setiap rongga.
Tiba-tiba suara itu berhenti.
Aku menoleh ke belakang.
Kusaksikan dia mengacungkan
jari telunjuknya lalu
bersyahadat. Kepalanya
terkulai, aku melompat ke
belakang. Kupegang
tangannya, detak jantungnya,
nafasnya, tidak ada yang
terasa. Dia telah meninggal
dunia. Aku lalu
memandanginya lekat-lekat,
air mataku menetes,
kusembunyikan tangisku, takut
diketahui kawanku. Ku
kabarkan kepada kawanku
kalau pemuda itu telah wafat.
Kawanku tak kuasa menahan
tangisnya. Demikian pula
halnya dengan diriku. Aku
terus menangis, air mataku
deras mengalir. Suasana dalam
mobil betul-betul sangat
mengharukan.
Sampai di rumah sakit…kepada
orang-orang di sana, kami
mengabarkan perihal kematian
pemuda itu dan peristiwa
menjelang kematiannya yang
menakjubkan. Banyak orang
yang terpengaruh dengan
kisah kami, sehingga tak sedikit
yang meneteskan air mata.
Salah seorang dari mereka,
demi mendengar kisahnya,
segera menghampiri jenazah
dan mencium keningnya.
Semua orang yang hadir
memutuskan untuk tidak
beranjak sebelum mengetahui
secara pasti kapan jenazah
akan dishalatkan. Mereka ingin
memberi penghormatan
terakhir kepada jenazah,
semua ingin ikut menyalatinya.
Salah seorang petugas rumah
sakit menghubungi rumah
almarhum. Kami ikut
mengantarkan jenazah hingga
ke rumah keluarganya. Salah
seorang saudaranya
mengisahkan ketika
kecelakaan sebetulnya
almarhum hendak menjenguk
neneknya di desa. Pekerjaan
itu rutin ia lakukan setiap hari
Senin. Di sana almarhum juga
menyantuni para janda, anak
yatim dan orang-orang miskin.
Ketika terjadi kecelakaan,
mobilnya penuh dengan beras,
gula, buah-buahan dan
barang-barang kebutuhan
pokok lainnya. Ia juga tak lupa
membawa buku-buku agama
dan kaset-kaset pengajian.
Semua itu untuk dibagi-
bagikan kepada orang-orang
yang ia santuni. Bahkan ia juga
membawa permen untuk
dibagi-bagikan kepada anak-
anak kecil. Bila ada yang
mengeluhkan padanya tentang
kejenuhan dalam perjalanan,
ia menjawab dengan halus.
“Justru saya memanfaatkan
waktu perjalananku dengan
menghafal dan mengulang-
ulang bacaan Al-Qur ’an, juga
dengan mendengarkan kaset-
kaset pengajian, aku
mengharap ridha Allah pada
setiap langkah kaki yang aku
ayunkan. ” kata almarhum. Aku
ikut menyalati jenazah dan
mengantarnya sampai ke
kuburan. Dalam liang lahat
yang sempit, almarhum
dikebumikan. Wajahnya
dihadapkan ke kiblat. “Dengan
nama Allah dan atas agama
Rasulullah. ” Pelan-pelan, kami
menimbuninya dengan
tanah...Mintalah kepada Allah
keteguhan hati saudaramu,
sesungguhnya dia akan
ditanya...Almarhum
menghadapi hari petamanya
dari hari-hari akhirat...
Dan aku...sungguh seakan-
akan sedang menghadapi hari
pertamaku di dunia. Aku
benar-benar bertaubat dari
kebiasaan burukku. Mudah-
mudahan Allah mengampuni
dosa-dosaku di masa lalu dan
meneguhkanku untuk tetap
mentaatinya, memberiku
kesudahan hidup yang baik
(khusnul khatimah) serta
menjadikan kuburanku dan
kuburan kaum muslimin
sebagai taman-taman Surga.
Amin...
Sumber: “Saudariku, apa yang
menghalangimu untuk
berhijab ?” Oleh : Syaikh Abdul
Hamid Al Bilaly.
Read more..

Rabu, 26 Mei 2010

Ziarah Kubur

Islam adalah agama yang paling
mulia di sisi Allah , karena Islam
dibangun diatas agama yang
wasath (adil) diseluruh sisi
ajarannya, tidak tafrith
(bermudah-mudahan dalam
beramal) dan tidak pula ifrath
(melampaui batas dari ketentuan
syari ’at). Allah berfirman
(artinya):
“ Dan demikian pula, Kami telah
menjadikan kalian (umat Islam)
umat yang adil dan pilihan
… .” (Al Baqarah: 142)
Ziarah kubur termasuk ibadah
yang mulia di sisi Allah bila
dilandasi dengan prinsip wasath
(tidak ifrath dan tidak pula
tafrith). Tentunya prinsip ini tidak
akan terwujud kecuali harus
diatas bimbingan sunnah
Rasulullah . Barangsiapa yang
menjadikan Rasulullah sebagai
suri tauladan satu-satunya,
sungguh ia telah berjalan diatas
hidayah Allah . Allah berfirman
(artinya):
“ Dan jika kalian mentaati (nabi
Muhammad ), pasti kalian akan
mendapatkan hidayah (dari
Allah ). ” (An-Nuur: 54)
Hikmah Dilarangnya Ziarah
Kubur Sebelum Diizinkannya
Dahulu Rasulullah melarang
para sahabatnya untuk berziarah
kubur sebelum disyari ’atkannya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wassallam bersabda:
إِنِّي كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ
عَنْ زِياَرَةِ الْقُبُوْرِ
فَزُوْرُوْهاَ فَإِنَّهاَ
تُذَكِّرُكُمُ اْلآخِرَةَ
وَلْتَزِدْكُمْ زِياَرَتُهاَ
خَيْرًا فَمَنْ أَراَدَ أَنْ يَزُوْرَ
فَلْيَزُرْ وَلاَ تَقُوْلُوا
هُجْرًا ) وِفِي رِوَايَةِ أحْمَدَ:
وَلاَتَقُولُوا مَا يُسْخِطُ
الرَّبُّ )
“Sesungguhnya aku dahulu telah
melarang kalian untuk berziarah
kubur, maka sekarang
berziarahlah! Karena dengannya,
akan bisa mengingatkan kepada
hari akhirat dan akan
menambah kebaikan bagi kalian.
Maka barangsiapa yang ingin
berziarah maka lakukanlah, dan
jangan kalian mengatakan
‘ hujr’ (ucapan-ucapan
batil).” (H.R. Muslim), dalam
riwayat (HR. Ahmad): “dan
janganlah kalian mengucapkan
sesuatu yang menyebabkan
kemurkaan Allah. ”
Al Imam An Nawawi berkata:
“ Sebab (hikmah) dilarangnya
ziarah kubur sebelum
disyari ’atkannya, yaitu karena
para sahabat di masa itu masih
dekat dengan masa jahiliyah,
yang ketika berziarah diiringi
dengan ucapan-ucapan batil.
Setelah kokoh pondasi-pondasi
Islam dan hukum-hukumnya
serta telah tegak simbol-simbol
Islam pada diri-diri mereka,
barulah disyari ’atkan ziarah
kubur. (Al Majmu’: 5/310)
Tidak ada keraguan lagi, bahwa
amalan mereka di zaman
jahiliyah yaitu berucap dengan
sebatil-batilnya ucapan, seperti
berdo ’a, beristighotsah, dan
bernadzar kepada berhala-
berhala/patung-patung di sekitar
Makkah ataupun di atas
kuburan-kuburan yang
dikeramatkan oleh mereka.
Tujuan Disyari’atkannya Ziarah
Kubur
Para pembaca, marilah kita
perhatikan hadits-hadits dibawah
ini:
1. Hadits Buraidah bin Hushaib ,
Rasulullah bersabda:
إِنِّي كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ
عَنْ زِياَرَةِ الْقُبُوْرِ
فَزُوْرُوْهاَ فَإِنَّهاَ
تُذَكِّرُكُمُ اْلآخِرَةَ
وَلْتَزِدْكُمْ زِياَرَتُهاَ
خَيْرًا
“ Sesungguhnya aku dahulu telah
melarang kalian untuk berziarah
kubur, maka (sekarang)
berziarahlah karena akan bisa
mengingatkan kalian kepada
akhirat dan akan menambah
kebaikan bagi kalian. ” (HR.
Muslim)
dari sahabat Buraidah juga,
beliau berkata: “Rasulullah telah
mengajarkan kepada para
sahabatnya, bilamana berziarah
kubur agar mengatakan:
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ
الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤمِنِيْنَ
وَالْمُسْلِمِيْنَ وَإِنَّا إِنْ
شَاءَ اللهُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَ
أَنْتُمْ لَنَا فرَطٌ وَنَحْنُ
لَكُمْ تَبَعٌ وَأَسْأَلُ اللهَ
لَنَا لَكُمُ الْعَافِيَةِ
“ Assalamu’alaikum wahai
penduduk kubur dari kalangan
kaum mukminin dan muslimin.
Kami Insya Allah akan menyusul
kalian. Kalian telah mendahului
kami, dan kami akan mengikuti
kalian. Semoga Allah
memberikan ampunan untuk
kami dan kalian. ”(HR. Muslim
3/65)
2. Hadits Abu Sa’id Al Khudri
dan Anas bin Malik :
فَزُوْرُوْهاَ فَإِنّ فِيهَا
عِبْرَةً )وِفِي رِوَايَةِ أَنَسِ
بْنِ مَالِكٍ: تُرِقُّ الْقَلْبَ
وَتُدْمِعُ الْعَيْنَ وَتُذَكِّرُ
الْآخِرَةَ )
“sekarang berziarahlah ke
kuburan karena sesungguhnya di
dalam ziarah itu terdapat
pelajaran yang besar … . Dalam
riwayat sahabat Anas bin Malik :
… karena dapat melembutkan
hati, melinangkan air mata dan
dapat mengingatkan kepada hari
akhir. ” (H.R Ahmad 3/37-38,
dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-
Albani dalam Ahkamul Janaiz
hal: 228).
3. Hadits ‘Aisyah :
“Dahulu, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wassallam pernah keluar
menuju kuburan Baqi’ lalu beliau
mendo’akan kebaikan untuk
mereka. Kemudian ‘Aisyah
bertanya kepada Rasulullah
tentang perkara itu. Beliau
berkata: “Sesungguhnya aku
(diperintahkan oleh Allah) untuk
mendo ’akan mereka. (HR.
Ahmad 6/252 dishahihkan oleh
Asy Syaikh Al Albani , lihat
Ahkamul Janaiz hal. 239)
Dalam riwayat lain, ‘Aisyah
bertanya: “Apa yang aku
ucapkan untuk penduduk
kubur? Rasulullah berkata:
“ Ucapkanlah:
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ
الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤمِنِيْنَ
وَالْمُسْلِمِيْنَ وَيَرْحَمُ
اللهُ الْمُسْتَقْدِمِيْنَ مِنَّا
وَالمُسَتَأْخِرِيْنَ وَإِنَّا إِنْ
شَاءَ اللهُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَ
“ Assalamu’alaikum wahai
penduduk kubur dari kalangan
kaum mukminin dan muslimin.
Semoga Allah memberikan
rahmat kepada orang-orang
yang mendahului kami ataupun
yang akan datang kemudian.
Dan kami Insya Allah akan
menyusul kalian. ” (HR. Muslim
hadits no. 974)
Dari hadits-hadits di atas, kita
dapat mengetahui kesimpulan-
kesimpulan penting tentang
tujuan sebenarnya dari ziarah
kubur:
a. Memberikan manfaat bagi
penziarah kubur yaitu untuk
mengambil ibrah (pelajaran),
melembutkan hati,
mengingatkan kematian dan
mengingatkan tentang akan
adanya hari akhirat.
b. Memberikan manfaat bagi
penghuni kubur, yaitu ucapan
salam (do ’a) dari penziarah
kubur dengan lafadz-lafadz yang
terdapat pada hadits-hadits di
atas, karena inilah yang diajarkan
oleh Nabi , seperti hadits Aisyah
dan yang lainnya.
Bilamana ziarah kubur kosong
dari maksud dan tujuan tersebut,
maka itu bukanlah ziarah kubur
yang diridhoi oleh Allah . Al-
Imam Ash-Shan ’ani rahimahullah
mengatakan: “Semuanya
menunjukkan tentang
disyariatkannya ziarah kubur dan
penjelasan tentang hikmah yang
terkandung padanya yaitu agar
dapat mengambil ibrah
(pelajaran). Apabila kosong dari
ini (maksud dan tujuannya) maka
bukan ziarah yang
disyariatkan. ” (Lihat Subulus
Salam, 2/162)
Catatan Penting Bagi Penziarah
Kubur
Beberapa hal penting yang harus
diperhatikan bagi penziarah
kubur, yaitu:
Pertama: Menjauhkan hujr yaitu
ucapan-ucapan batil.
Sebagaimana hadits Rasulullah :
“… maka barangsiapa yang ingin
berziarah maka lakukanlah dan
jangan kalian mengatakan
‘ hujr’ (ucapan-ucapan
batil).” (H.R. Muslim), dalam
riwayat (HR. Ahmad): “…dan
janganlah kalian mengucapkan
sesuatu yang menyebabkan
kemurkaan Allah. ”
Berbicara realita sekarang, maka
sering kita jumpai para penziarah
kubur yang terjatuh dalam
perbuatan ini. Mereka
mengangkat kedua tangannya
sambil berdo ’a kepada penghuni
kubur (merasa belum puas /
khusyu ’) mereka sertai dengan
sujud, linangan air mata
(menangis), mengusap-usap dan
mencium kuburannya. Tidak
sampai disini, tanah kuburannya
dibawa pulang sebagai oleh-oleh
keluarganya untuk mendapatkan
barakah atau sebagai penolak
bala ’. Adakah perbuatan yang
lebih besar kebatilannya di
hadapan Allah dari perbuatan
ini? Padahal tujuan diizinkannya
ziarah kubur -sebagaimana yang
telah disebutkan- adalah untuk
mendo ’akan penghuni kubur,
dan bukan berdo’a kepada
penghuni kubur.
Kedua: Tidak menjadikan
kuburan sebagai masjid.
Rasulullah bersabda:
اللهمَّ لاَتَجْعَل قَبْرِيْ
وَثَنًا يُعْبَدُ اشْتَدَّ
غَضَبُ اللهِ عَلى قَوْمٍ
اتَّخَذُوا قُبُورَ
أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
“ Ya Allah, janganlah Engkau
jadikan kuburanku sebagai
watsan (sesembahan selain
Allah), sungguh amat besar
sekali kemurkaan Allah terhadap
suatu kaum yang menjadikan
kuburan-kuburan para nabi
sebagai masjid-masjid.” (HR.
Ahmad)
Kalau demikian, bagaimana
besarnya kemurkaan Allah
kepada orang yang menjadikan
kuburan selain para nabi sebagai
masjid?
Makna menjadikan kuburan
sebagai masjid mencakup
mendirikan bangunan masjid di
atasnya ataupun beribadah
kepada Allah di sisi kuburan.
Maka dari itu, tidak pernah
dijumpai para sahabat Nabi
meramaikan kuburan dengan
berbagai jenis ibadah seperti
shalat, membaca Al Qur ’an, atau
jenis ibadah yang lainnya. Karena
pada dasarnya perbuatan itu
adalah terlarang, lebih tegas lagi
larangan tersebut ketika
Rasulullah bersabda:
لاَتَجْعَلُوا بُيُوْتَكُمْ
قُبُوْرًا وَلاَ تَجْعَلُوا
قَبْرِيْ عِيْدًا وَصَلُّوا
عَلَيَّ فَإِنَّ صَلاَتَكُمْ
تَبْلُغُنِيْ حَيْثُ كُنْتُمْ
“ Janganlah kalian menjadikan
rumah-rumah kalian seperti
kuburan dan jangan pula kalian
menjadikan kuburanku sebagai
tempat yang selalu dikunjungi.
Karena di manapun kalian
bershalawat untukku, niscaya
akan sampai kepadaku.” (HR.
Abu Dawud)
Ketiga: Tidak melakukan safar
(perjalanan jauh) dalam rangka
ziarah kubur.
Rasulullah bersabda:
لاَ تَشُدُّوا الرِّحاَلَ إِلاَّ
إِلَى ثَلاَثَةِ مَساَجِدَ.
مَسْجِدِي هَذاَ وَالْمَسْجِدِ
الْحَراَمِ وَالْمَسْجِدِ
اْلأَقْصَى
“ Jangan kalian bepergian
mengadakan safar (dengan
tujuan ibadah) kecuali kepada
tiga masjid: masjidku ini, Masjid
Al-Haram, dan Masjid Al-
Aqsha. ” (HR. Al-Bukhari no. 1139
dan Muslim no. 415)
Ziarah ke kubur Nabi dan dua
sahabatnya Abu Bakar dan Umar
merupakan amalan
mustahabbah (dicintai) dalam
agama ini, namun dengan syarat
tidak melakukan safar semata-
mata dengan niat ziarah.
Sehingga salah kaprah anggapan
orang bahwa safar ke masjid An
Nabawi atau safar ke tanah Suci
(Masjidil Haram) hanya dalam
rangka berziarah ke kubur Nabi
dan tidak dibenarkan pula safar
ke tempat-tempat napak tilas
para nabi dengan niat ibadah,
sebagaimana penegasan hadits di
atas tidak bolehnya mengadakan
safar dalam rangka ibadah
kecuali ke tiga masjid saja.
Al Imam Ahmad meriwayatkan
tentang kejadian Abu bashrah Al
Ghifari yang bertemu Abu
Hurairah . Beliau bertanya
kepada Abu bashrah: “Dari
mana kamu datang? Abu
bashrash menjawab: “Aku
datang dari Bukit Thur dan aku
shalat di sana. ” Berkata Abu
Hurairah : “Sekiranya aku
menjumpaimu niscaya engkau
tidak akan pergi ke sana, karena
aku mendengar Rasulullah
bersabda: “Jangan kalian
bepergian mengadakan safar
(dengan tujuan ibadah) kecuali
kepada tiga masjid: masjidku ini,
Masjid Al-Haram, dan Masjid Al-
Aqsha. ”
Adapun hadits-hadits yang
tersebar di masyarakat seperti:
مَنْ زَارَ قَبْرِي فَقَدْ
وَجَبَتْ لَهُ شَفَاعَتِي
“ Barang siapa yang berziarah ke
kuburanku, niscaya baginya akan
mendapatkan syafaatku. ”
مَنْ زَرَانِي وَ زَارَ أَبِي فِي
عَامٍ وَاحِدٍ ضَمِنْتُ لَهُ
عَلَى اللهِ الْجَنَّةَ
“ Barangsiapa berziarah ke
kuburanku dan kuburan
bapakku pada satu tahun (yang
sama), aku menjamin baginya Al
Jannah. ”
مَنْ حَجَّ وَلَمْ يَزُرْنِي
فَقَدْ جَفَانِي
“ Barangsiapa berhaji dalam
keadaan tidak berziarah ke
kuburanku, berarti ia
meremehkanku ”
Semua hadits-hadits di atas ini
dho ’if (lemah) bahkan
maudhlu’ (palsu), sehingga tidak
diriwayatkan oleh Al-Imam
Bukhari, Muslim, tidak pula
Ashabus-Sunan; Abu Daud, An-
Nasai ’ dan selain keduanya, tidak
pula Imam Malik, Asy-Syafi’i,
Ahmad, Ats-Tsauri, Al-Auzai’, Al-
Laitsi dan lainnya dari para
imam-imam ahlu hadits. (lihat
Majmu ’ Fatawa 27/29-30).
Keempat: Tanah kubur Nabi
tidaklah lebih utama dibanding
Masjid Nabawi
Tidak ada satu dalil pun dari Al
Qur ’an, As Sunnah ataupun
perkataan dari salah satu ulama
salaf yang menerangkan bahwa
tanah kubur Nabi lebih utama
dibanding Masjidil Haram, Masjid
Nabawi atau Masjidil Aqsha.
Hanyalah pernyataan ini berasal
dari Al Qadhi Iyadh. Segala
pernyataan yang tidak dilandasi
dengan Al Qur ’an ataupun As
Sunnah sangat perlu
dipertanyakan, apalagi tidak ada
seorang pun dari ulama yang
menyatakan demikian. (Lihat
Majmu ’ Fatawa 27/37)
Kelima: Tidak mengkhususkan
waktu tertentu baik hari ataupun
bulan. Karena tidak ada satu
nash pun dari Al-Qur ’an, As-
Sunnah ataupun amalan para
sahabat nabi yang menjelaskan
keutamaan waktu tertentu untuk
ziarah.
Keenam: Tidak diperbolehkan
jalan ataupun duduk diatas
kubur. Sebagaimana Rasulullah
bersabda:
لأَنْ يَجْلِسَ أَحَدُكُمْ عَلَى
جَمْرَةٍ فَتُحْرِقَ ِثيَابَهُ
فَتُخْلِصَ إِلَى جِلْدِهِ
خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَجِلِسَ
عَلَى قَبْرٍ
“ Sungguh jika salah seorang
diantara kalian duduk di atas
bara api, sehingga membakar
bajunya dan menembus kulitnya,
lebih baik baginya daripada
duduk di atas kubur ”. (HR.
Muslim 3/62)
لأَنْ أَمْشِي عَلَى جَمْرَةٍ أَوْ
سَيْفٍ أو أَخْصِفَ نَعْلِي
بِرِجْلِي أَحَبُّ إلَيَّ مِنْ أَن
أَمْشِيَ عَلَى قَبْرِ مُسْلِمٍ
“ Sungguh aku berjalan di atas
bara api, atau (tajamnya) sebilah
pedang, ataupun aku menambal
sandalku dengan kakiku, lebih
aku sukai daripada aku berjalan
di atas kubur seorang
muslim. ” (HR. Ibnu Majah dan
selainnya)
(Sumber http://
www.assalafy.org/mahad/?
p=114 )
Read more..

Selasa, 25 Mei 2010

Menanamkan Pondasi Akidah Yang Kokoh Sejak Usia Dini bag 2

Makna perkataan Rasul:
“ Jagalah Allah, niscaya engkau
akan dapati Allah di
hadapanmu …”. Syaikh
Abdirrahman bin Muhammad
bin Qasim al- Hanbaly an-Najdi
-Rahimahullaah- dalam
kitabnya Hasyiyah Tsalatsatil
Ushul, menjelaskan makna
hadits tersebut: “Jagalah
batasan-batasan Allah dan
perintah-perintah-Nya, niscaya
Ia akan menjagamu di
manapun kamu berada ”. “Jika
engkau memohon,
memohonlah kepada Allah,
jika engkau meminta
pertolongan, minta tolonglah
kepada Allah ”.
Ini adalah sebagai perwujudan
pengakuan kita yang selalu
kita ulang-ulang dalam
sholat :Iyyaaka na ’budu
waiyyaaka nasta’iin “Hanya
kepada-Mu lah kami
menyembah dan hanya
kepada-Mu lah kami meminta
pertolongan ”(Q.S. Al-Fatihah:
5). Kalimat yang sering kita
ulang-ulang dalam munajad
kita dengan Penguasa seluruh
dunia ini, akankah benar-
benar membekas dan
mewarnai kehidupan kita?
Sudahkah kita benar-benar
menjiwai makna pernyataan ini
sehingga terminal keluhan dan
pelarian kita yang terakhir
adalah Dia Yang Berkuasa atas
segala sesuatu?
Demikianlah yang seharusnya.
Di saat kita meyakini ada titik
tertentu , sebagai batas semua
makhluk siapapun dia, tidak
akan mampu mengatasinya,
pulanglah kita pada tempat
kita berasal dan tempat kita
kembali. Apakah dengan
penguakan kesadaran yang
paling dalam ini kita masih rela
berbagi permintaan tolong kita
yang sebenarnya hanya Allah
saja yang mampu, kepada
makhluk selain-Nya? Sungguh
hal itu merupakan bentuk
kedzaliman yang paling besar.
Allah mengabadikan salah satu
bentuk nasehat mulya yang
akan senantiasa dikenang :
Artinya: “Dan ingatlah ketika
Luqman berkata kepada
anaknya, dalam keadaan dia
menasehatinya: “Wahai anakku
janganlah engkau
menyekutukan Allah,
sesungguhnya kesyirikan
adalah kedzaliman yang paling
besar ” (Q.S.Luqman:13)
Meminta pertolongan dalam
permasalahan yang hanya
Allah saja yang mampu
memenuhinya, seperti rezeki,
kebahagiaan, kesuksesan,
keselamatan, dan yang
semisalnya, kepada selain Allah
adalah termasuk bentuk
kedzaliman yang terbesar itu
(syirik). Berbeda halnya jika
kita minta tolong dalam
permasalahan yang manusia
memang diberi kemampuan
secara normal oleh Allah
untuk memenuhinya, seperti
tolong menolong sesama
muslim dalam hal finansial,
perdagangan dan semisalnya.
“Ketahuilah…kalaupun seluruh
umat (jin dan manusia)
berkumpul untuk memberikan
satu pemberian yang
bermanfaat kepadamu, tidak
akan bermanfaat hal itu
bagimu, kecuali jika itu telah
ditetapkan Allah (akan
bermanfaat bagimu) …
Ketahuilah… kalaupun seluruh
umat (jin dan
manusia)berkumpul untuk
mencelakakan kamu, tidak
akan mampu
mencelakakanmu sedikitpun,
kecuali jika itu telah ditetapkan
Allah (akan sampai dan
mencelakakanmu) …” Dua bait
ucapan Rasulullah Shalallahu
‘ alaihi Wassalam ini
mempertegas dan memberikan
argumen yang pasti bahwa
Allah sajalah yang berhak
dijadikan tempat bergantung,
meminta pertolongan, karena
hanya Ia saja yang bisa
menentukan kemanfaatan
atau kemudharatan akan
menimpa suatu makhluk.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
Wassalam juga mengajarkan
kepada kita dzikir seusai sholat
yang menguatkan pengakuan
itu: “Allahumma laa maani’a
limaa a’thoyta walaa mu’tiya
limaa mana’ta.” Artinya: “…
Wahai Allah tidak ada yang
mencegah apa yang Engkau
berikan dan tidak ada yang
bisa memberi apa yang Engkau
cegah/halangi …” (hadits
riwayat Bukhari 2/325 dan
Muslim 5/90, lihat kitab Shahih
al-Waabilus Shayyib minal
Kalamit Thayyib, Syaikh Salim
bin ‘Ied Al-Hilaly). Dalam
hadits itu pula terkandung
pelajaran penting wajibnya
iman terhadap taqdir dari
Allah baik maupun buruk.
Seandainya seluruh makhluk
berkumpul dan mengerahkan
segala daya dan upayanya
untuk memberikan sesuatu
pada seseorang, tidak akan
bisa diterimanya jika tidak
ditakdirkan oleh Allah,
demikian pula sebaliknya
dalam hal usaha untuk
mencelakakan.
Kesadaran ini pula yang harus
ditanamkan sejak dini. Orang
tua hendaknya memberikan
gambaran-gambaran yang
mudah dimengerti oleh si anak
tentang kekuasaan Allah dan
taqdirnya. Anak-anak mulai
diajak berpikir secara Islamy,
bahwa segala sesuatu yang
menjadi kepunyaannya itu
adalah pemberian dari Allah
dan telah Allah takdirkan
sampai padanya. Demikian
pula apa yang luput dari usaha
anak itu untuk mencapainya,
telah Allah takdirkan tidak
akan sampai padanya. Telah
diangkat pena-pena dan telah
kering lembaran-
lembaran ….maksudnya, segala
sesuatu yang terjadi di dunia
ini telah tertulis ketentuannya
dan hanya Allah saja yang
mengetahuinya. Allah
berfirman: “Tiada suatu
bencanapun yang menimpa di
bumi dan (tidak pula) pada
dirimu sendiri melainkan telah
tertulis dalam kitab (Lauh
Mahfuzh) sebelum Kami
menciptakannya.
Sesungguhnya yang demikian
itu adalah mudah bagi Allah.
(Kami jelaskan yang demikian
itu) supaya kamu jangan
berduka cita terhadap apa
yang luput dari kamu, dan
supaya kamu jangan terlalu
gembira terhadap apa yang
diberikan-Nya kepadamu. Dan
Allah tidak menyukai setiap
orang yang sombong lagi
membanggakan diri, ”(Q.S. Al-
hadiid:22-23).
Sungguh indah rasanya jika
teladan pengajaran dari
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
Wassalam ini benar-benar kita
tindak lanjuti sebagai upaya
pembekalan bagi anak-anak
kita. Mewarnai kalbu mereka
yang masih putih seputih
kertas tanpa ada goresan
sedikitpun sebelumnya.
Sehingga di saat mereka
beranjak dewasa, kita akan
menuai hasilnya. Orangtua
mana yang tak kan bangga
melihat anak-anaknya tumbuh
menjadi manusia yang
tangguh, beriman dan berilmu
Dien yang mantap serta siap
menghambakan dirinya untuk
Allah semata dan siap
berjuang untuk menegakkan
Kalimat-Nya, berjihad fi
sabiilillah. Tidak ada yang
ditakuti kecuali hanya kepada,
dan karena Allah semata.
Daftar rujukan:
1. Syarah al-Arba’in Hadiitsan
an-Nawawiyah, Imam Ibn
Daqiiqil ‘Ied.
2. Taisiril Kariimir Rahman fi
tafsiiri Kalaamil Mannan,
Syaikh Abdirrahman bin
Naashir As Sa ’di
3. Tafsir Al-Qurthuby.
4. Shahih al-Waabilus Shayyib
minal Kalamit Thayyib, Syaikh
Salim bin ‘Ied al-Hilaly. 5.
Hasyiyah Tsalaatsatil Ushul,
Syaikh Abdirrahman bin
Muhammad bin Qasim al-
Hanbaly an-Najdi.
(Bulletin Al Wala wal Bara Edisi
ke-10 Tahun ke-1 / 21
Februari 2003 M / 19 Dzul
Hijjah 1423 H. Url sumber
http://fdawj.atspace.org/awwb/
th1/10.htm)
Sumber:
http://
rumahbelajarku.wordpress.com/2010/05/16/
menanamkan-pondasi-akidah-
yang-kokoh-sejak-usia-dini/
Read more..

Menanamkan Pondasi Akidah Yang Kokoh Sejak Usia Dini bag 1

Oleh: al-Ustadz Abu Hamzah
Yusuf
Setiap mukmin pasti tidak bisa
memungkiri pengakuan dalam
lubuk hatinya yang paling
dalam bahwa Rasulullah
Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam adalah figur guru/
pengajar yang terbaik.
Sehingga metode Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi Wassalam
dalam menanamkan keyakinan
aqidah kepada para
Sahabatnya, termasuk yang
masih sangat muda belia,
adalah metode yang paling
relevan diterapkan dalam
berbagai situasi zaman.
Di saat setiap orang tua
muslim mulai khawatir dengan
keimanan dan moral anaknya,
para pendidik mulai
mencemaskan perkembangan
kepribadian peserta didiknya,
patutlah kita menengok
kembali bagaimana Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi Wassalam
memberikan contoh peletakan
pondasi keimanan yang kokoh
kepada seorang sahabat,
sekaligus sepupu beliau yang
masih kecil waktu itu, yakni
Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhu.
Bukti sejarah memaparkan
keunggulan metode
pengajaran Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi Wassalam
tersebut yang membuahkan
pribadi yang beriman dan
berilmu seperti Ibnu Abbas
radliyallahu ‘anhu. Kita
kemudian mengenal beliau
sebagai seorang Ulama ’ di
kalangan sahabat Nabi,
seorang ahli tafsir, sekaligus
seorang panutan yang
menghiasi dirinya dengan
akhlaqul karimah, sikap wara’,
taqwa, dan perasaan takut
hanya kepada Allah semata.
Begitu banyak keutamaan Ibnu
Abbas radliyallahu ‘anhu yang
tidak bisa kita sebutkan hanya
dalam hitungan jari. Beliau
adalah seseorang yang
didoakan oleh Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi Wassalam:
“Wahai Allah, pahamkanlah ia
dalam permasalahan Dien, dan
ajarilah ia ta ’wil (ilmu tafsir Al
Quran)”. Beliau pula yang dua
kali didoakan Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi Wassalam
supaya dianugerahi hikmah
oleh Allah. Tidak ada yang
menyangsikan maqbulnya doa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam, manusia yang paling
bertaqwa di sisi Allah. Mari
kitak simak salah satu metode
pengajaran agung itu, untuk
selanjutnya kita gunakan pula
dalam membimbing anak-anak
kita meretas jalan menuju
hidayah dan bimbingan Allah.
Disebutkan dalam suatu hadits:
Dari Ibnu Abbas radliyallahu
‘ anhu: “Pada suatu hari aku
pernah berboncengan di
belakang Nabi (di atas
kendaraan), beliau berkata
kepadaku: “Wahai anak, aku
akan mengajari engkau
beberapa kalimat: Jagalah
Allah, niscaya Allah akan
menjagamu … Jagalah Allah,
niscaya engkau akan dapati
Allah di hadapanmu … Jika
engkau memohon, mohonlah
kepada Allah … Jika engkau
meminta tolong, minta
tolonglah kepada Allah…
Ketahuilah…kalaupun seluruh
umat (jin dan manusia)
berkumpul untuk memberikan
satu pemberian yang
bermanfaat kepadamu, tidak
akan bermanfaat hal itu
bagimu, kecuali jika itu telah
ditetapkan Allah (akan
bermanfaat bagimu) …
Ketahuilah… kalaupun seluruh
umat (jin dan
manusia)berkumpul untuk
mencelakakan kamu, tidak
akan mampu
mencelakakanmu sedikitpun,
kecuali jika itu telah ditetapkan
Allah (akan sampai dan
mencelakakanmu) … Pena telah
diangkat… dan telah kering
lembaran-lembaran…(hadits
riwayat Tirmidzi, Hasan, shahih)
Inilah salah satu wasiat
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
Wassalam yang mewarnai
kalbu Ibnu Abbas,
menghunjam dan mengakar,
serta membuahkan keimanan
yang mantap kepada Allah.
Kita juga melihat bagaimana
metode dakwah Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi Wassalam,
hal pertama kali yang
ditanamkan adalah tauhid,
bagaimana seharusnya
manusia memposisikan dirinya
di hadapan Allah. Manusia
seharusnya mencurahkan
segala hidup dan
kehidupannya untuk
menghamba hanya kepada
Allah. Tidaklah Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi Wassalam
mendahulukan sesuatu
sebelum masalah tauhid
diajarkan. Kalau manusia ingin
selalu berada dalam penjagaan
Allah, maka dia harus
‘ menjaga’ Allah. Makna
perkataan Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi Wassalam:
“Jagalah Allah, niscaya Allah
akan menjagamu…” dijelaskan
oleh seorang Ulama’ bernama
Ibnu Daqiqiel ‘Ied -
Rahimahullah-: “Jadilah
engkau orang yang taat
kepada Rabbmu, mengerjakan
perintah-perintah-Nya, dan
berhenti dari (mengerjakan)
larangan-larangan-Nya ”.
(Syarah al-Arba’in hadiitsan
an-nawawiyah).
Kita jaga batasan-batasan
Allah dan tidak melampauinya.
Batasan-batasan itu adalah
syariat Allah, penentuan
hukum halal dan haram dari
Allah, yang memang hanya
Allah sajalah yang berhak
menetapkan hukum tersebut,
sebagaimana dalam ayat:
Artinya: “…penetapan hukum
hanyalah hak
Allah ” (Q.S.Yusuf: 40 ) Allah
mencela orang-orang yang
melampaui batasan-batasan-
Nya: Artinya: “…dan
barangsiapa yang melampaui
batasan-batasan Allah, maka
mereka itu adalah orang-
orang yang dhalim ”(Q.S.
Albaqarah:229). Imam al-
Qurthubi -Rahimahullaah-
dalam kitab tafsirnya tentang
ayat ini menyebutkan:
“ Batasan itu terbagi dua, yaitu:
“Batasan perintah (untuk)
dikerjakan dan batasan
larangan (untuk) ditinggalkan.”
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
Wassalam dalam hadits ini
memberikan sinyalemen
bahwa barangsiapa yang
senantiasa menjaga batasan-
batasan Allah itu maka dia
akan senantiasa dalam
penjagaan Allah. Maka
siapakah lagi yang lebih baik
penjagaannya selain Allah?
Sesungguhnya Allah adalah
sebaik-baik penjaga. Dalam
AlQuran disebutkan: “Dan jika
mereka berpaling, maka
ketahuilah bahwasanya Allah
Pelindungmu. Dia adalah
sebaik-baik Pelindung dan
sebaik-baik Penolong ”(Q.S. Al-
Anfaal:40). Syaikh
Abdirrahman bin Naashir As-
Sa ’di -Rahimahullaah- dalam
tafsirnya menjelaskan: ”Allah
lah yang memelihara hamba-
hambanya yang mu ’min,dan
menyampaikan pada mereka
(segala) kebaikan/mashlahat,
dan memudahkan bagi mereka
manfaat-manfaat Dien
maupun kehidupan dunianya,
dan Allah yang menolong dan
melindungi mereka dari makar
orang-orang fujjar, dan
permusuhan secara terang-
terangan dari orang-orang
yang jelek akhlaq dan
Diennya. ” (Kitab Taisiril Kariimir
Rahman fi Tafsiiri Kalaamil
Mannaan).
Read more..

Senin, 24 Mei 2010

Tukang Ramal

Oleh: Al-Ustadz Abu Karimah
Askar
“Barang siapa yang
mendatangi Al-’Arraf (dukun),
lalu dia bertanya kepadanya
tentang sesuatu, lalu kemudian
dia membenarkannya, maka
tidak akan diterima shalat
orang tersebut selama 40
hari ” (HR. Muslim).
Al-Kuhhaan (tukang-tukang
ramal) adalah jama ’ dari Al-
Kaahin (tukang ramal)
Syaithan saling bertumpu satu
dengan yang lainnya untuk
mencuri berita dari langit. Hal
ini sering dilakukan syaithan di
antara masa Nabi Muhammad
dengan nabi sebelumnya.
Setelah Rasulullah diutus maka
hal ini berkurang karena Allah
menjadikan bintang / meteor
sebagai senjata untuk
membunuh syaitan yang
bertumpu mencuri berita dari
langit. Dukun mendapatkan
berita yang dicuri dari langit
tersebut setelah bercampur
dengan berbagai macam
kebohongan.
Disebutkan bab mengenai
tukang ramal atau dukun ini
karena mereka adalah musuh
dakwah tauhid, mereka adalah
teman jin yang jahat untuk
menyebarkan kesesatan. Apa
yang ada pada dukun tentu
merupakan kedustaan karena
seseorang tidak akan
mengetahui sesuatu yang
belum terjadi ataupun hal
ghaib lainnya tanpa kehendak
Allah. Oleh karena itu
Rasulullah melarang umat
Islam mendatangi dukun dan
yang semisalnya untuk
menjaga aqidah.
Datang ke Dukun, Shalatnya
Tidak Berpahala 40 hari
Diriwayatkan dari sebagian istri
Nabi Shalallahu ‘alaihi wa
salam (disebutkan dalam
riwayat lain dari sahabat Ibnu
Mas ’ud bahwa beliau adalah
Hafshah) bahwa Rasulullah
bersabda, “Barang siapa yang
mendatangi Al-’Arraf, lalu dia
bertanya kepadanya tentang
sesuatu, lalu kemudian dia
membenarkannya, maka tidak
akan diterima shalat orang
tersebut selama 40 hari ” (HR.
Muslim)
Sebagian ulama menjelaskan
bahwa Al- ’Arraf adalah
seseorang yang melakukan
sesuatu pendahuluan-
pendahuluan (yang biasanya
dilakukan untuk meramal atau
suatu tanda yang dijadikan
tanda dengan melihat telapak
tangan, dll) untuk mengetahui
tentang sesuatu yang hilang.
Sebagian ulama yang lain
menjelaskan bahwa makna
Al- ’Arraf lebih umum,
mencakup orang yang
meramal sesuatu yang akan
terjadi di masa datang, dll.
Imam Al-Qurthubi
mengatakan, bahwa wajib atas
setiap orang yang memiliki
kemampuan yang
mengharapkan keridha-an
Allah untuk :
* Mengingkari siapa saja yang
melakukan hal tersebut
(praktik dukun) baik di pasar
atau selainnya dengan
pengingkaran yang keras,
* Mengingkari orang-orang
yang mendatangi dukun,
* Jangan tertipu kalau kadang
mereka benar
* Jangan tertipu dengan
banyaknya orang yang datang
kepada mereka
* Jangan tertipu dengan gelar
ustadz, kyai, ataupun ulama
(gelar yang palsu). Karena
mereka tidak termasuk orang
yang dalam pengetahuannya
(terhadap syariat), tetapi
termasuk orang yang bodoh.
Makna tidak diterima shalat
selama 40 hari
Orang yang mendatangi
tukang ramal kemudian
bertanya dan membenarkan
maka dia tidak mendapatkan
pahala atas shalat yang dia
kerjakan selama 40 hari.
Makna suatu amalan tidak
diterima :
* Amalan tersebut tidak
diterima baik berupa pahala
ataupun amalan tersebut
sendiri, sehingga dia harus
mengulangi ibadahnya. Seperti
shalat orang yang berhadats
dan belum berwudhu. Maka
dia tidak mendapatkan pahala
atas shalatnya tersebut dan
shalatnya sendiri tidak diterima
sehingga dia harus mengulangi
shalatnya.
* Amalan tersebut tidak
mendapatkan pahala, akan
tetapi amalan yang dikerjakan
sah (diterima). Seperti amalan
ibadah shalat orang yang
mendatangi dukun kemudian
bertanya dan membenarkan
perkataan tukang ramal maka
dia tidak mendapatkan pahala
atas shalat yang dia kerjakan
selama 40 hari akan tetapi
ibadahnya diterima dan tidak
harus mengulangi shalatnya
selama 40 hari. Mengandung
makna yang lain juga bahwa
walaupun dia tidak diberikan
pahala atas shalatnya selama
40 hari tersebut akan tetapi dia
harus tetap mengerjakan
shalat.
Hukum Mendatangi Dukun
atau Tukang Ramal
Dari shahabat Abu Hurairah,
Rasulullah bersabda, “Barang
siapa yang mendatangi Kaahin
(Dukun) dan dia
membenarkan apa yang
diucapkan maka dia telah kafir
terhadap apa yang diturunkan
kepada (Nabi) Muhammad ”,
(HR. Abu Dawud)
Akibat Bagi Orang yang
Mendatangi Dukun :
* Tidak diterima pahala
shalatnya selama 40 hari bagi
orang yang hanya sekedar
bertanya. Hal ini karena
bertanya kepada dukun dapat
membawa dia untuk
membenarkan perkataan
tukang ramal atau dukun
tersebut.
* Telah kafir (yang tidak
mengeluarkan dari Islam)
terhadap apa yang diturunkan
kepada Rasulullah bagi orang
yang mendatangi dukun atau
tukang ramal kemudian
bertanya dan membenarkan.
Hukum mendatangi dukun
adalah haram. Kecuali bagi
orang berilmu yang
mendatangi paranormal
dengan tujuan menguji maka
hukumnya adalah boleh.
Sedangkan bagi orang berilmu
yang mendatangi dukun
dengan tujuan melemahkan
atau menghinakannya di muka
umum maka hukumnya
dianjurkan dan kadang wajib
apabila memang sangat
dibutuhkan untuk
menunjukkan kepada
masyarakat batilnya dukun
tersebut. Perincian ini
disebutkan oleh Asy Syaih
Muhammad bin Shalih
Al- ’Utsaimin.
Dari shahabat Imran bin
Hushain, “Bukan termasuk dari
kami orang yang bertathayyur,
atau meminta untuk
ditathayurkan, atau seorang
dukun, atau yang minta
didukunkan, atau tukang sihir,
atau yang meminta disihirkan.
Dan barang siapa yang
mendatangi tukang dukun dan
dia membenarkannya, maka
dia telah kafir terhadap apa
yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad ”
Diriwayatkan Al Bazzar dengan
sanad yang bagus.
Diriwayatkan Ath Thabarani
dengan sanad yang hasan dari
sahabat Ibnu Abbas tanpa
kalimat “Dan barang siapa
yang mendatangi tukang
dukun dan dia
membenarkannya, maka dia
telah kafir terhadap apa yang
diturunkan kepada Nabi
Muhammad ”.
Read more..