Banner 468 X 60

Senin, 02 Agustus 2010

Al Mahdi, Yang Di Imani Dan Dinanti

Penulis : Al-
Ustadz Abulfaruq Ayip
Syafruddin

Keyakinan terhadap Imam Mahdi
adalah salah satu tonggak
penting dari pilar-pilar keimanan
yang mesti kita imani. Sebab,
kemunculannya di penghujung
zaman menjadi salah satu
penanda besar akan datangnya
hari kiamat. Tinggal bagaimana
kita menerjemahkan keyakinan
itu dalam bingkai akidah yang
lurus.
Bagi seorang muslim, tentu
bukan satu yang asing bila
disebutkan kepadanya tentang
rukun-rukun iman. Sudah
menjadi tradisi dalam lingkup
pendidikan Islam, rukun-rukun
iman diajarkan bahkan dihafal
semenjak usia bocah. Rukun-
rukun iman merupakan
perwujudan dari dasar-dasar
akidah Islam. Salah satu unsur
dalam rukun-rukun iman
tersebut yaitu adanya keimanan
terhadap Hari Akhir.
Beriman kepada Hari Akhir
merupakan salah satu tanda dari
tanda-tanda keimanan kepada
perkara ghaib. Satu perkara
yang sulit dijangkau oleh akal,
ilmu pengetahuan, dan hanya
bisa melalui pendekatan
keimanan yang sempurna
melalui pemahaman nash dari
jalan wahyu.
Masalah Hari Akhir ini
merupakan perkara yang
teramat penting. Ayat-ayat
dalam Al-Qur`an pun banyak
mengangkat tema ini saat
membicarakan masalah yang
bersifat keimanan. Sebagai misal:

لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا
وُجُوْهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ
وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ
مَنْ آمَنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ
اْلآخِرِ...

“Bukanlah menghadapkan
wajahmu ke arah timur dan
barat itu suatu kebajikan, akan
tetapi sesungguhnya kebajikan
itu ialah beriman kepada Allah,
Hari Akhir….” (Al-Baqarah: 177)

ذَلِكُمْ يُوْعَظُ بِهِ مَنْ
كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ
وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ ...

“Demikianlah diberi pengajaran
dengan itu orang yang beriman
kepada Allah dan Hari
Akhir….” (Ath-Thalaq: 2)
Hidup, dalam pandangan Islam,
tak sekadar berkutat dalam alam
mayapada ini, yang fana, singkat
dan terbatas sekali.
Sesungguhnya, hidup, dalam
pandangan Islam merupakan
satu masa yang panjang yang
berada dalam zaman keabadian,
yang menempati ruang (dan
waktu) di alam lain, yaitu surga
yang luasnya seluas langit dan
bumi, atau neraka yang dahsyat
siksanya.
Sesungguhnya beriman kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
Hari Akhir serta apa yang ada di
dalamnya, yaitu menyangkut
pahala dan siksa, mampu
mengarahkan tingkah laku
manusia untuk berbuat
kebajikan. Tak ada satu pun
sistem perundangan yang dibuat
manusia yang mampu
mengarahkan perilaku manusia
ke arah semacam itu, kecuali
dengan menanamkan keimanan
kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala dan Hari Akhir.
Inilah yang membedakan bentuk
perilaku pada manusia. Seorang
yang beriman kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan Hari
Akhir, mengetahui bahwa dunia
ini hanya sekadar ladang akhirat,
sedangkan amal-amal yang
shalih merupakan sebaik-baik
bekal untuk akhirat. Tentu akan
berbeda dengan seorang yang
tanpa keimanan tersebut.

وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ
الزَّادِ التَّقْوَى

“Berbekallah, dan sesungguhnya
sebaik-baik bekal adalah
takwa.” (Al-Baqarah: 197)
Sebagaimana telah diperbuat
seorang sahabat mulia, ‘Umair
ibnul Humam Al-Anshari
radhiyallahu 'anhu yang
memperoleh kesyahidan dalam
perang Badr. Kurma yang ada
padanya dibuang tatkala Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata, “Bangkitlah, menuju
surga seluas langit dan bumi.”
“Wahai Rasulullah, surga seluas
langit dan bumi?” ‘Umair balik
bertanya. Jawab Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Ya.”
Kata ‘Umair, “Bagus, bagus.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam lantas bertanya, “Apa
yang membuatmu mengucapkan
‘bagus, bagus’?”
“Tidak. Demi Allah, wahai
Rasulullah, melainkan karena
saya menaruh harapan menjadi
penghuni surga itu,” jawab
‘Umair. Kata Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Sesungguhnya engkau termasuk
penghuninya.”
Maka dia lantas mengeluarkan
beberapa butir kurma dari
kantung anak panahnya. Dia
pun memakan sebagian kurma
itu lantas berucap, “Jika saya
hidup hingga memakan kurma-
kurma itu, sungguh yang
demikian ini sekadar (menunda)
untuk hidup lebih lama lagi.”
Diapun bergegas seraya
melempar butir-butir kurma
tersebut, dan tandang ke
gelanggang medan pertempuran
Badr. Dia terbunuh dalam
pertempuran tersebut. (Shahih
Muslim, dengan syarah Al-Imam
An-Nawawi rahimahullahu, Kitab
Al-Jihad, Bab Tsubut Al-Jannah
lisy Syahid, no. 4892)

Maka, nampak beda. Perilaku
seorang yang tidak didasari
keimanan kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan Hari
Akhir dengan seorang yang
hatinya diliputi keimanan. Beda.
Seorang yang mengimani adanya
pahala dan siksa, yang menatap
jauh ke depan akan adanya
timbangan langit, bukan
timbangan bumi, adanya hisab
akhirat bukan lantaran
perhitungan dunia. Karenanya,
dia akan memiliki sikap hidup
tersendiri. Akan terpancar
padanya sikap istiqamah, luas
pandangan dan memiliki
kekokohan ilmu. Teguh saat
menghadapi beratnya hidup,
sabar tatkala musibah mendera.
Yang diharapkan hanyalah
ganjaran dan pahala. Dia akan
benar-benar mengetahui dan
yakin bahwa apa yang di sisi
Allah Subhanahu wa Ta’ala
adalah lebih baik dan kekal.
(Asyrath As-Sa’ah, Yusuf bin
Abdillah bin Yusuf Al-Wabil, hal.
27-28)
Inilah buah keimanan terhadap
Hari Akhir. Bagi seorang
mukmin, ia akan mengarahkan
setiap langkahnya dalam
kehidupan di dunia ini guna
kehidupan di akhiratnya kelak.
Dirinya mengharap dan
senantiasa berupaya agar di Hari
Akhir nanti tak muncul
penyesalan sebagaimana
digambarkan ayat berikut:

أَنْ تَقُوْلَ نَفْسٌ يَا
حَسْرَتَا عَلَى مَا فَرَّطْتُ
فِي جَنْبِ اللهِ وَإِنْ كُنْتُ
لَمِنَ السَّاخِرِيْنَ. أَوْ
تَقُوْلَ لَوْ أَنَّ اللهَ هَدَانِي
لَكُنْتُ مِنَ الْمُتَّقِيْنَ.
أَوْ تَقُوْلَ حِيْنَ تَرَى
الْعَذَابَ لَوْ أَنَّ لِي كَرَّةً
فَأَكُوْنَ مِنَ الْمُحْسِنِيْنَ

“Agar jangan ada orang yang
mengatakan: ‘Amat besar
penyesalanku atas kelalaianku
dalam (menunaikan kewajiban)
terhadap Allah, sedangkan aku
sesungguhnya termasuk orang-
orang yang memperolok-olok
(agama Allah)’. Atau, supaya
jangan ada yang berkata: ‘Kalau
sekiranya Allah memberi
petunjuk kepadaku tentulah aku
termasuk orang-orang yang
bertakwa.’ Atau, supaya jangan
ada yang berucap saat melihat
adzab: ‘Kalau sekiranya aku
dapat kembali (ke dunia), niscaya
aku akan termasuk orang-orang
yang berbuat baik’.” (Az-Zumar:
56-58)
Penyesalan tinggallah
penyesalan. Kala Hari Akhir itu
tiba, maka tiada guna lagi
penyesalan. Semua petaka itu
terjadi karena diri larut dalam
hawa nafsu, menjauh dari nilai-
nilai syariat. Setiap keterangan
yang datang dari Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-
Nya ditentangnya. Dia berupaya
menampik apa yang telah
dikabarkan Allah Subhanahu wa
Ta’ala dan Rasul-Nya dengan
alasan ‘tidak rasional’ atau ‘tidak
masuk akal’. Seakan-akan nilai
Islam hanya sebatas kapasitas
akalnya. Sesuatu yang di luar
akalnya, ditolak dan
ditentangnya meski itu berasal
dari Allah Subhanahu wa Ta’ala
dan Rasul-Nya. Keimanan tiada
lagi tertancap di hatinya. Dia
sombong dan mendustakan
keterangan-keterangan Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-
Nya.

بَلَى قَدْ جَاءَتْكَ آيَاتِي
فَكَذَّبْتَ بِهَا
وَاسْتَكْبَرْتَ وَكُنْتَ مِنَ
الْكَافِرِيْنَ

“(Bukan demikian) sebenarnya
telah datang keterangan-
keterangan-Ku kepadamu lalu
kamu mendustakannya dan
kamu menyombongkan diri dan
adalah kamu termasuk orang-
orang yang kafir.” (Az-Zumar:
59)
Bagi seorang muslim, ia harus
mengedepankan keimanannya.
Termasuk dalam mengimani
tanda-tanda yang bakal muncul
menjelang terjadinya Hari
Kiamat. Satu di antara tanda-
tanda itu adalah akan
munculnya Al-Mahdi.
Ahlus Sunnah wal Jamaah
meyakini bahwa Al-Mahdi akan
muncul pada akhir zaman,
sebelum Nabi ‘Isa ‘alaihissalam
turun. Dia seorang laki-laki
keturunan ahlul bait. Melalui dia,
Allah Subhanahu wa Ta’ala
kokohkan agama. Dia akan
berkuasa selama tujuh tahun.
Pada masanya bumi ditaburi
dengan keadilan sebagaimana
kelaliman dan kezhaliman
sempat meliputi bumi
sebelumnya. Umat merasakan
nikmat di bawah kekuasaannya
dan belum pernah ada
kenikmatan yang dirasakan
seperti itu. Bumi mengeluarkan
tetumbuhan, langit mengguyuri
dengan hujan. Kala itu, harta
diberikan tanpa batas. (Asyrath
As-Sa’ah, Yusuf bin Abdillah Al-
Wabil, hal. 249, At-Tadzkirah fi
Ahwalil Mauta wa Umuril
Akhirah, Al-Qurthubi, hal. 517)
Al-Mahdi yang diyakini Ahlus
Sunnah wal Jamaah adalah
seorang laki-laki yang bernama
seperti Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Nama ayahnya
seperti nama ayah Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Maka, dia bernama Muhammad
atau Ahmad bin Abdillah. Dia
dari keturunan Fathimah bintu
Rasulillah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, kemudian berasal dari
Al-Hasan bin ‘Ali radhiyallahu
'anhuma. Menurut Ibnu Katsir
rahimahullahu dalam An-
Nihayah fil Fitan wal Malahim
(hal. 45), disebutkan nama Al-
Mahdi adalah Muhammad bin
Abdillah Al-‘Alawi Al-Fathimi Al-
Hasani.
Berbeda dengan Syi’ah. Al-
Mahdi di kalangan mereka
adalah penghuni bangunan di
bawah tanah, yaitu imam
keduabelas dari silsilah al-
imamiyyah al-itsna ‘asyariyyah.
Dia bernama Muhammad bin Al-
Hasan Al-‘Askari, seorang imam
al-muntazhar (yang ditunggu)
kemunculannya dari tempat
persembunyiannya di Samarra`.
(lihat Kitabul Imamah war Radd
‘alar Rafidhah, karya Al-Hafizh
Abu Nu’aim Al-Ashbahani
rahimahullahu, hal. 116)
Maka, sosok Al-Mahdi yang
disebutkan kalangan Syi’ah
Rafidhah adalah sosok yang
batil. Ini bertentangan dengan
hadits-hadits shahih sebagaimana
dinyatakan Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah rahimahullahu,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda dalam hadits
yang diriwayatkan dari Ibnu
Mas’ud radhiyallahu 'anhu:

لَوْ لَمْ يَبْقَ مِنَ الدُّنْيَا
إِلاَّ يَوْمٌ لَطَوَّلَ اللهُ
ذَلِكَ الْيَوْمَ حَتَّى
يُبْعَثَ فِيْهِ رَجُلٌ مِنِّي
أَوْ مِنْ أَهْلِ بَيْتِي،
يُوَاطِئُ اسْمُهُ اسْمِي وَاسْمُ
أَبِيْهِ اسْمَ أَبِي، يَمْلَأُ
اْلأَرْضَ قِسْطًا وَعَدْلاً كَمَا
مُلِئَتْ جُوْرًا وَظُلْمًا

“Andai tak tersisa lagi di dunia
kecuali satu hari yang Allah
panjangkan hari itu sehingga
akan muncul seorang laki-laki
dari keturunanku atau dari ahli
baitku, yang namanya sama
dengan namaku, nama ayahnya
sama dengan nama ayahku,
(saat itu) bumi dipenuhi dengan
kejujuran dan keadilan
sebagaimana sebelumnya yang
diliputi dengan kelaliman dan
kezhaliman.” (HR. At-Tirmidzi,
Abu Dawud, dan Ahmad)
Maka sesungguhnya lafadz:

يُوَاطِئُ اسْمُهُ اسْمِي وَاسْمُ
أَبِيْهِ اسْمَ أَبِي

“Namanya sama dengan
namaku, nama ayahnya sama
dengan nama
ayahku.” (menunjukkan) bahwa
Al-Mahdi yang dikabarkan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
namanya Muhammad bin
Abdillah bukan Muhammad bin
Al-Hasan. (Minhajus Sunnah An-
Nabawiyyah fi Naqdi Kalami Asy-
Syi’ah Al-Qadariyyah, karya
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullahu hal. 95)
Orang-orang Syi’ah
berkeyakinan bahwa Al-Mahdi
tengah sembunyi. Sebagaimana
dinyatakan Al-Hafizh Abu Nu’aim
Al-Ashbahani rahimahullahu
yang mengutip pernyataan Al-
Kulaini (seorang ulama
terkemuka Syi’ah) dalam
kitabnya Al-Kafi, bahwa Al-
Mahdi yang diyakini kaum Syi’ah
terhalangi kemunculannya
karena takut dibunuh. Lantas,
dia akan muncul dari dalam
bangunan bawah tanah
Samarra. (Kitabul Imamah war
Radd ‘ala Ar-Rafidhah, hal. 116)
Maka perkataan kaum Syi’ah
yang meyakini Al-Mahdi
menetap dalam bangunan
bawah tanah Samarra
merupakan waham dan sekadar
mitos belaka. Seperti
diungkapkan Ibnu Katsir
rahimahullahu dalam An-
Nihayah fil Fitan wal Malahim
(hal. 44), bahwa keyakinan
orang-orang Rafidhah dungu
yang menyatakan bahwa Al-
Mahdi sekarang berada di
bangunan bawah tanah Samarra
dan mereka akan menunggu
munculnya pada akhir zaman
nanti; merupakan satu bentuk
igauan yang hina dari setan.
Sebab, tidak ada dalil maupun
keterangan sama sekali baik dari
Al-Qur`an maupun As-Sunnah.
Tidak pula dari akal yang shahih
dan istihsan.
Menukil pernyataan Asy-Syaikh
Abdul Muhsin bin Hamd
Al-‘Abbad dalam risalah beliau
Ar-Raddu ‘ala Man Kadzaba bil
Ahadits Ash-Shahihah Al-
Waridah fil Mahdi wa ‘Aqidatu
Ahlis Sunnah wal Atsar fil Mahdi,
disebutkan bahwa jumlah
sahabat yang telah meriwayatkan
hadits-hadits tentang Al-Mahdi
sebanyak 26 orang sahabat.
Beliau pun menyebutkan nama-
nama sahabat tersebut. Lantas
diikuti dengan nama-nama para
imam yang meriwayatkan hadits-
hadits dan atsar al-waridah
tentang Al-Mahdi yang terdapat
dalam kitab-kitab mereka
sejumlah 36 imam. Kemudian
disertakan juga nama-nama yang
menulis kitab tentang masalah
Al-Mahdi. Sesungguhnya tidak
ada kaitan antara akidah Ahlus
Sunnah dengan Rafidhah dalam
masalah Al-Mahdi.
Disebutkan juga oleh beliau
bahwa hadits-hadits tentang Al-
Mahdi berjumlah banyak yang
telah dituliskan oleh para
penulis. Hadits-hadits tersebut
diungkapkan dalam bentuk
mutawatir di kalangan jamaah.
Keyakinan yang wajib, di
kalangan Ahlus Sunnah dan
selainnya seperti Asya’irah,
menunjukkan kenyataan yang
kuat dan tidak diragukan lagi.
Berita tentang Al-Mahdi itu
benar-benar akan terjadi di akhir
zaman. Dan tidak ada kaitan
sama sekali secara hakikat yang
kuat (Al-Mahdi) di kalangan
Ahlus Sunnah dengan akidah
Syi’ah. Karena, keyakinan Syi’ah,
bahwa (Al-Mahdi) yang akan
keluar adalah Mahdi Al-
Muntazhar (yang ditunggu
kemunculannya) bernama
Muhammad bin Al-Hasan
al-‘Askari dari garis keturunan
Al-Husain radhiyallahu 'anhu.
Maka, apa yang diyakini kaum
Syi’ah ini secara hakiki tidak ada.
Keyakinan mereka yang
dinisbatkan terhadap Al-Mahdi
menurut versi mereka tidak ada
asal-usulnya. Secara hakikat, Al-
Mahdi yang menjadi keyakinan
kaum Syi’ah dibangun atas dasar
akidah waham. Tidak nyata, tidak
ada wujudnya. Kecuali masalah
keimamahan ‘Ali bin Abi Thalib
dan puteranya, Al-Hasan
radhiyallahu 'anhuma. Dan
keduanya, ‘Ali bin Abi Thalib dan
Al-Hasan, berlepas diri dari
kaum Syi’ah dan segala bentuk
keyakinan mereka tanpa
diragukan lagi. (Lihat Kitabul
Imamah war Radd ‘ala Ar-
Rafidhah, Al-Hafizh Abu Nu’aim
Al-Ashbahani, tahqiq dan ta’liq
Dr. ‘Ali bin Muhammad bin
Nashir Al-Faqihi, hal. 120)
Pernyataan Asy-Syaikh Abdul
Muhsin di atas cukup memberi
penjelasan terutama terhadap
kalangan yang menolak akan
munculnya Al-Mahdi pada akhir
zaman. Penolakan ini
sebagaimana dinyatakan
Muhammad Rasyid Ridha dalam
Tafsir Al-Manar. Disebutkannya,
bahwa hadits-hadits tentang Al-
Mahdi satu dengan lainnya saling
bertentangan. Misal, nama Al-
Mahdi adalah Muhammad bin
Abdullah, sedangkan riwayat lain
–seperti dinyatakan Syi’ah
Imamiyyah– adalah Muhammad
bin Al-Hasan Al-‘Askari. Maka
anggapan bahwa hadits-hadits
Al-Mahdi itu kontradiktif, muncul
lantaran adanya riwayat-riwayat
yang tidak shahih. Sedangkan
pada hadits-hadits yang shahih,
tidak ada pertentangan sama
sekali. (Asyrath As-Sa’ah, Yusuf
bin Abdillah Al-Wabil, hal. 267
dan 270)
Karenanya, meyakini akan
munculnya Al-Mahdi
sebagaimana disebutkan dalam
riwayat-riwayat yang shahih
adalah sebuah keniscayaan. Ini
merupakan bagian dari
keyakinan (i’tiqad) Ahlus Sunnah
wal Jamaah. Wallahu a’lam.


www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=506

3 komentar:

Ivan Axel mengatakan...

sesuatu yang pasti datangnya hanya Allah yang mengetahui....

semoga kita dapat bercermin melalui sikap dan perilaku serta tujuan hidup sebagai umat muslim...

o iya gak da buku tamu gan?

Hidup sederhana mengatakan...

ga punya. Afwan.

elfan mengatakan...

Baik Dajjal, Al Mahdi ataupun Nabi Isa As. yang akan turun kembali ke bumi, pada dasarnya tidak ada dalam Al Quran.

Dajjal sudah ada sejak manusia ada, seperti kasus Habil;

Al Mahdi atau Imam Mahdi sudah datang sebagaimana diharapkan oleh Nabi Ibrahim As. dlm QS. 2:129 yakni nabi pamungkas, penutup para nabi, ajarannya berlaku sampai akhir zaman itulah Nabi kita Muhammad SAW (QS. 5:3 dan 33:40), inilah Al Mahdi yang sesungguhnya.

Nabi Isa As. yang 'konon' akan datang kembali ke dunia, ternyata dibantah oleh Al Quran sendiri, bahwa misi para rasul dan nabi terdahulu sudah selesai dan dia tak akan diminta pertanggung jawaban atas nabi/rasul sesudahnya yakni Nabi Muhammad SAW (QS. 2:134 dan 141).

Posting Komentar