Banner 468 X 60

Selasa, 29 Juni 2010

Fatwa Seputar Ramadhan Oleh Syaikh Utsaimin

1. Hukum Puasa Orang yang
Sembuh dari Sakitnya

Tanya : Apabila seorang sembuh
dari sakitnya yang mana dulu
dokter menyatakan bahwa dia
tidak mungkin bisa disembuhkan.
Dan kesembuhannya ialah
setelah berlalu beberapa hari
dari bulan Ramadhan
(maksudnya ketinggalan puasa
beberapa hari karena sakit-red).
Apakah ia diperintah (dituntut)
untuk mengganti puasa hari
yang lalu ketika dia sakit?

Jawab : Jika seseorang berbuka
di bulan Ramadhan atau
sebagian bulan Ramadhan
dikarenakan sakit yang tidak
diahrapkan lagi kesembuhannya,
mungkin karena kebiasaan atau
adanya pernyataan dari dokter
yang dipercaya, maka yang wajib
atasnya adalah memberi makan
setiap harinya satu orang miskin.
Jika ia sudah melakukan ini, lalu
Allah takdirkan setelah itu dia
sembuh dari sakitnya, maka tak
wajib baginya untuk berpuasa
karena telah memberi makan
orang miskin tersebut, yang
demikian itu karena tanggung
jawabnya sudah lepas dengan
dia memberi makan tersebut
sebagai ganti dari puasa.
Apabila tanggung jawabnya telah
lepas, maka tak ada kewajiban
setelah itu. Dan yang semisal
dengan ini apa yang disebutkan
oleh para ulama ahlul fiqh
tentang seorang yang tak
mampu untuk menunaikan
kewajiban haji yang mana
kelemahannya itu tidak bisa
diharapkan untuk hilang
(sembuh). Kemudian digantikan
oleh orang yang berhaji
untuknya lalu setelah itu dia
sembuh, maka tidak wajib
baginya untuk melakukan
kewajiban haji untuk kedua
kalinya.

2. Berlebih-lebihan dalam Makan
dan Tidur di Bulan Ramadhan

Tanya : Kebanyakan manusia di
bulan Ramadhan berlebih-
lebihan dalam makan dan tidur
sehingga mereka bermalas-
malasan dan lemas.
Sebagaimana mereka begadang
di malam hari dan tidur di siang
hari. Apa nasehat AsySyaikh
untuk mereka?

Jawab : Saya berpendapat bahwa
pada hakekatnya ini menyia-
nyiakan waktu dan harta. Jika
manusia tidak memiliki keinginan
kecuali memperbanyak jenis
makanan, berlebihan dalam
tidur siang hari dan waktu sahur
serta melakukan perkara-
perkara yang tidak bermanfaat
di malam hari maka tidak
diragukan lagi ini merupakan
penyia-nyiaan kesempatan yang
sangat berharga. Bisa jadi
kesempatan ini tidak akan
didapatkan lagi oleh mereka di
masa hidupnya.
Seorang yang cerdik (cerdas)
adalah orang yang menjalani
bulan Ramadhan untuk hal-hal
yang sepantasnya, yaitu dia tidur
di awal malam lalu menegakkan
shalat tarawih. Dan shalat
tarawih tidak memberatkan.
Demikian juga tidak berlebihan
dalam makan dan minum.
Selayaknya bagi orang yang
memiliki kemampuan untuk
bersemangat dalam memberikan
ifthar (buka) kepada orang yang
berpuasa, baik itu di masjid
ataupun di tempat lain. Sebab
orang yang memberikan buka
puasa kepada orang yang
berpuasa, baginya pahala seperti
orang yang berpuasa. Apalagi
jika kepada saudara-saudaranya
kaum muslimin yang berpuasa.
Maka sepantasnya bagi orang-
orang yang Allah berikan
kemudahan/kelebihan harta
untuk betul-betul menggunakan
kesempatan ini sehingga dia
mendapatkan pahala yang
sangat banyak.

3. Hukum Seseorang Masuk
Islam setelah Ramadhan Berlalu
Beberapa Hari

Tanya : Jika seseorang masuk
Islam setelah berlalu darinya
beberapa hari dari bulan
Ramadhan, apakah dia dituntut
untuk mengganti puasa di hari-
hari yang dia lewati sebelum
Islam. Artinya bulan Ramadhan
yang disitu dia masuk Islam?

Jawab : Orang ini tidak dituntut
untuk berpuasa di hari-hari yang
telah lalu di bulan Ramadhan
tersebut karena dahulu ia
seorang yagn kafir. Dan orang
kafir tidak diperintahkan atau
dituntut untuk mengganti apa-
apa yang luput darinya dari
amalan-amalan shalih. Berdasar
firman Allah Ta ’ala :
"Katakanlah kepada orang-
orang kafir, jika mereka berhenti
(dari kekafirannya), pasti Allah
akan mengampuni mereka atas
dosa-dosa mereka yang telah
lalu."
Dan juga dikarenakan dahulu
para shahabat yang masuk Islam
di zaman Nabi Shallallaahu
‘ alaihi wasallam dan beliau tidak
memerintahkan meraka untuk
mengganti apa yang luput dari
mereka. Seperti puasa, shalat,
dan zakat. Akan tetapi, di kala
masuk Islam di siang hari bulan
Ramadhan wajibkah baginya
untuk berpuasa selebih
waktunya (hingga terbenam
matahari), dan mengganti
puasanya tersebut? Atau dia
hanya berpuasa di waktu
selebihnya tanpa harus
menggantinya? Ataukah tidak
wajib baginya berpuasa di waktu
selebihnya dan mengganti
puasanya?
Dalam permasalahan ini ulama
berbeda pendapat. Adapun
pendapat yang paling kuat
adalah wajib baginya untuk
berpuasa selebih waktunya
hingga matahari terbenam tanpa
harus menggantinya. Diwajibkan
baginya puasa karena ia telah
menjadi orang yang diwajibkan
puasa dan tidak diwajibkan
untuk menggantinya karena
sebelum itu bukan termasuk
orang-orang yang diwajibkan
puasa (masih kafir-red). Sama
halnya seperti anak kecil, jika dia
telah baligh di siang hari maka
wajib baginya untuk terus
menahan (puasa) dan tak wajib
baginya untuk mengganti
menurut pendapat yang kuat
dalam masalah ini.

4. Hukum Donor Darah dalam
Bulan Ramadhan

Tanya : Apakah mengambil
sedikit darah (donor) dengan
tujuan sebagai penghalalan atau
bersedekah kepada seseorang di
siang hari bulan Ramadhan
dapat membatalkan puasa atau
tidak ?

Jawab : Jika seseorang
mengambil sedikit darahnya yang
tidak memberikan efek kepada
badannya seperti membuat dia
lemah, maka ini tidak
membatalkan puasanya baik
diambil sebagai penghalalan,
atau donor untuk seorang yang
sakit, atau bersedekah kepada
seseorang yang membutuhkan.
Adapun jika darahnya diambil
dengan jumlah yang banyak,
yang menjadikan badan lemas,
maka dia berbuka dengannya
(donor itu telah menjadi sebab
sehingga dia berbuka/tidak
berpuasa lagi-red). Dikiaskan
seperti berbekam yang telah
datang riwayatnya dari sunnah
bahwa berbekam adalah
termasuk salah satu dari
pembatal-pembatal puasa.
Dengan demikian, maka tidak
boleh bagi seseorang untuk
menyedekahkan darahnya yang
sagat banyak dalam keadaan dia
sedang berpuasa wajib, seperti
puasa pada bulan Ramadhan.
Kecuali jika di sana ada
keperluan yang darurat
(mendesak), maka dalam
keadaan seperti ini boleh
baginya untuk menyedekahkan
darahnya untuk menolak/
mencegah darurat tadi. Dengan
demikian dia berbuka dengan
makan dan minum. Lalu dia
harus mengganti puasanya yang
dia tinggalkan/berbuka.

5. Shalat Tarwih di Belakang
Imam yang Melebihi 11 Rakaat

Tanya : Jika ada seorang shalat
tarawih di belakang imam yang
melebihi 11 rakaat, haruskah ia
mengikuti shalatnya imam
ataukah ia berpaling dari imam
setelah ia menyempurnakan 11
rakaat di belakangnya ??

Jawab : Sunnahnya dia tetap
mengikuti imam walaupun lebih
dari 11 rakaat. Karena jika dia
berpaling sebelum selesainya
imam dari shalatnya, dia tak
mendapatkan pahala qiyamul
lailnya. Dan Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi wasallam
bersabda :

من قا م مع الإ مام حتى ينصرف
كتب له قيام ليلة

"Barangsiapa yang shalat
bersama imam sampai imam itu
selesai dari shalatnya maka
ditulis untuknya pahala shalat
lailnya" (HR. Abu Dawud No.
1375, Tirmidzi No. 706 dan
dishahihkan oleh AsySyaikh
Albani)
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi
wasallam menyatakan demikian
dalam rangka mendorong kita
untuk menjaga agar kita tetap
shalat dibelakangnya hingga
imam itu selesai. Dan juga para
shahabat, mereka mengikuti
imam. Mereka pada shalat yang
di situ imam menambah rakaat
dari yang disyariatkan,
sebagaimana yang terjadi bersama
Amirul Mukminin Ustsman bin
Affan, ketika beliau
menyempurnakan shalat empat
rakaat. Dimana pada waktu haji
bersama Nabi, kemudian Abu
Bakr, ‘Umar, dan Utsman bin
Affan pada awal
pemerintahannya sampai
bertahan delapan tahun, mereka
shalat dua rakaat. Kemudian
setelah itu mereka tetap
mengikuti beliau shalat
dibelakangnya shalat empat
rakaat. Jika demikian petunjuk
para shahabat, yang mana
mereka adalah orang-orang
yang paling bersemangat dalam
mengikuti imam, maka
bagaimana keadaan sebagian
manusia yang mana mereka
ketika melihat imam shalat
melebihi rakaat yang ditentukan
oleh Nabi Shallallaahu ‘alaihi
wasallam lalu mereka berpaling
di tengah-tengah shalat,
sebagaimana yang kita saksikan
di Masjidil Haram mereka pergi
meninggalkan imam dengan
alasan bahwa yang disyariatkan
adalah 11 rakaat.

6. Hukum Donor Darah dalam
Bulan Ramadhan

Tanya : Apakah mengambil
sedikit darah (donor) dengan
tujuan sebagai penghalalan atau
bersedekah kepada seseorang di
siang hari bulan Ramadhan
dapat membatalkan puasa atau
tidak ?

Jawab : Jika seseorang
mengambil sedikit darahnya yang
tidak memberikan efek kepada
badannya seperti membuat dia
lemah, maka ini tidak
membatalkan puasanya baik
diambil sebagai penghalalan,
atau donor untuk seorang yang
sakit, atau bersedekah kepada
seseorang yang membutuhkan.
Adapun jika darahnya diambil
dengan jumlah yang banyak,
yang menjadikan badan lemas,
maka dia berbuka dengannya
(donor itu telah menjadi sebab
sehingga dia berbuka/tidak
berpuasa lagi-red). Dikiaskan
seperti berbekam yang telah
datang riwayatnya dari sunnah
bahwa berbekam adalah
termasuk salah satu dari
pembatal-pembatal puasa.
Dengan demikian, maka tidak
boleh bagi seseorang untuk
menyedekahkan darahnya yang
sagat banyak dalam keadaan dia
sedang berpuasa wajib, seperti
puasa pada bulan Ramadhan.
Kecuali jika di sana ada
keperluan yang darurat
(mendesak), maka dalam
keadaan seperti ini boleh
baginya untuk menyedekahkan
darahnya untuk menolak/
mencegah darurat tadi. Dengan
demikian dia berbuka dengan
makan dan minum. Lalu dia
harus mengganti puasanya yang
dia tinggalkan/berbuka.

7. Hukum Seorang Pemuda yang
Melakukan Onani di Bulan
Ramadhan

Tanya : Apa hukum seorang
pemuda yang melakukan onani
di bulan Ramadhan dalam
keadaan dia tidak mengetahui
bahwa perbuatan ini merupakan
pembatal puasa dan ketika
syahwat bergejolak, sahkah
puasanya?

Jawab : Hukumnya ialah tidak
apa-apa baginya. Artinya
puasanya tetap sah. Karena
sebagaimana yang telah kita
ketahui sebelumnya bahwa
seseorang itu tidaklah batal
puasanya kecuali dari tiga
syarat :

a. Dia dalam keadaan tahu kalau
ini termasuk pembatal puasa

b. Dia ingat dan tidak dalam
keadaan lupa

c. Memiliki kemauan (bukan
dipaksa-red)

Akan tetapi saya katakan bahwa
wajib baginya bersabar untuk
tidak melakukan onani karena ia
adalah HARAM. Berdasarkan
firman Allah :
"Orang-orang yang beriman
ialah orang yang menjaga
kemaluannya. Kecuali terhadap
istri-istri mereka atau budak-
budak yang mereka miliki. Maka
sesungguhnya dalam hal ini tidak
tercela. Barangsiapa yang
mencari di balik itu maka mereka
itulah orang-orang yang
melampaui batas" (QS. Al-
Mukminun : 5-7)
Dan juga Nabi Shallallaahu
‘ alaihi wasallam bersabda :
"Wahai para pemuda,
barangsiapa diantara kalian yang
mampu untuk menikah maka
menikahlah, karena menikah itu
lebih menundukkan pandangan
dan lebih menjaga kemaluan.
Dan barangsiapa yang belum
mampu, maka hendaklah ia
berpuasa" (HR. Bukhari No.
1905, Muslim 3379)
Jika saja onani itu dibolehkan,
niscaya Rasulullah akan
membimbing kepada hal yang
demikian, karena hal ini sangat
mudah bagi para mukallaf dan
seorang itu mendapatkan
kesenangan. Berbeda dengan
berpuasa, padanya terdapat
kesusahan. Maka tatkala Nabi
Shallallaahu ‘alaihi wasallam
mengarahkan bagi orang yang
tidak mampu menikah, untuk
berpuasa.Ini menunjukkan
bahwa onani itu suatu yang tidak
boleh untuk dilakukan oleh
seseorang.

8. Hukum Memerintahkan Anak
Kecil yang belum Mencapai 15
Tahun/Baligh untuk Berpuasa.

Tanya : Apakah anak kecil yang
belum mencapai usia 15 tahun
diperintahkan untuk berpuasa
sebagaimana dalam shalat??

Jawab : Ya, anak-anak kecil yang
belum mencapai usia baligh
diperintahkan untuk berpuasa
jika mereka mampu.
Sebagaimana hal ini dilakukan
oleh para shahabat terhadap
anak-anak mereka.
Sungguh para ulama telah
mengatakan dengan tegas
bahwa seorang pemimpin itu
memerintahkan orang yang
dibawah kepemimpinannya dari
anak-anak kecil untuk berpuasa
agar mereka terlatih dan terbiasa
serta akan menjadi tabiat
(kebiasaan-red) untuk
melaksanakan prinsip (dasar)
dari agama Islam pada hati-hati
mereka.
Akan tetapi jika hal ini
memberatkan atau bermudharat
kepada mereka, tidak diharuskan
bagi mereka untuk
melaksanakannya. Dan saya
ingin memeberi peringatan
terhadap apa yang dilakukan
oleh para bapak dan ibu,
dimana mereka melarang anak-
anak mereka untuk berpuasa.
Mereka mengannggap bahwa
pelarangan terhadap anak-anak
mereka untuk berpuasa
merupakan kasih sayang buat
mereka dan merasa kasihan.
Padahal, hakikatnya mengasihi
para anak itu ialah dengan
memerintahkan mereka untuk
mengerjakan syariat-syariat Islam
dan membiasakannya. Karena ini
tidak diragukan lagi adalah
sebaik-baik mendidik mereka
dan sempurna dia dalam
mengatur orang yang di bawah
pimpinannya (tanggung
jawabnya). Telah bersabda Nabi
Shallallaahu ‘alaihi wasallam :
"Sesungguhnya seseorang itu
akan menjadi pemimpin
terhadap keluarganya dan akan
dimintai pertanggungjawaban
terhadap apa yang
dipimpinnya" (HR. Bukhari No.
2409, Muslim No. 1829)
Sepantasnya bagi para pemimpin
yaitu orang-orang yang Allah
jadikan di sebagai pemimpin
terhadap keluarganya dan anak-
anak kecil untuk bertakwa
(takut) kepada Allah dalam
urusan mereka dan hendaklah
para pemimpin itu
memerintahkan mereka dengan
syariat Islam.



(Sumber : 48 Soal Jawab tentang
Puasa bersama Syaikh Utsaimin-
rahimahullah, Penulis : Syaikh
Salim bin Muhammad Al-Juhani,
Penerbit : Maktabah Al-Ghuroba’
Solo. Url sumber
www.almakassari.com)

www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=1490
Read more..

Rabu, 23 Juni 2010

Mengapa Sibuk Membantah Sesama Muslim Dan Mendiamkan Orang Kafir ?

Pertanyaan atau ucapan seperti
ini sering muncul dari berbagai
kalangan, baik dari orang-orang
awam maupun dari kalangan
yang diistilahkan dengan ”para
aktivis” atau “pegiat da’wah”.
Kalau munculnya dari orang-
orang awam maka hal itu bisa
dimaklumi, karena keawamannya
itu mereka cenderung menilai
dan bersikap berdasarkan
tingkat pengetahuannya
terhadap agama. Karena
bersumber dari orang awam,
maka pengaruh dari ucapan
tersebut tidak terlalu berarti.
Namun apabila ucapan atau
pertanyaan seperti itu diucapkan
oleh orang-orang yang disebut
“ para aktivis” atau “pegiat
da’wah” maka akan memiliki
pengaruh negatif yang cukup
berarti, antara lain:

1.Mendidik umat untuk
diam terhadap berbagai
penyimpangan dan kesesatan
yang terjadi di tengah-tengah
kaum muslimin. Tentunya
bertentangan dengan perintah
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
dalam beberapa haditsnya,
antara lain:

انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ
مَظْلُومًا فَقَالَ رَجُلٌ يَا
رَسُولَ اللَّهِ أَنْصُرُهُ إِذَا
كَانَ مَظْلُومًا، أَفَرَأَيْتَ
إِذَا كَانَ ظَالِمًا كَيْفَ
أَنْصُرُهُ قَالَ: تَحْجُزُهُ أَوْ
تَمْنَعُهُ مِنَ الظُّلْمِ ،
فَإِنَّ ذَلِكَ نَصْرُهُ.

Tolong saudaramu, baik yang
berbuat kezhaliman maupun
yang terzhalimi. Seorang
shahabat bertanya: ‘Wahai
Rasulullah, jelas aku akan
menolongnya jika ia pihak yang
terzhalimi, tapi bagaimana
menurut engkau jika ia adalah
pihak yang berbuat kezhaliman,
bagaimana mungkin aku akan
menolongnya?’ Rasulullah
menjawab: Yaitu (dengan cara)
kamu mencegah atau melarang
dia dari perbuatan zhalim. Maka
sesungguhnya itu adalah bentuk
pertolongan untuknya. ” [HR. Al-
Bukhari]
Begitu juga dengan hadits:

مَثَلُ الْقَائِمِ عَلَى حُدُودِ
اللَّهِ وَالْوَاقِعِ فِيهَا
كَمَثَلِ قَوْمٍ اسْتَهَمُوا
عَلَى سَفِينَةٍ، فَأَصَابَ
بَعْضُهُمْ أَعْلاَهَا
وَبَعْضُهُمْ أَسْفَلَهَا،
فَكَانَ الَّذِينَ فِى
أَسْفَلِهَا إِذَا اسْتَقَوْا مِنَ
الْمَاءِ مَرُّوا عَلَى مَنْ
فَوْقَهُمْ فَقَالُوا لَوْ أَنَّا
خَرَقْنَا فِى نَصِيبِنَا
خَرْقًا، وَلَمْ نُؤْذِ مَنْ
فَوْقَنَا. فَإِنْ يَتْرُكُوهُمْ
وَمَا أَرَادُوا هَلَكُوا جَمِيعًا،
وَإِنْ أَخَذُوا عَلَى أَيْدِيهِمْ
نَجَوْا وَنَجَوْا جَمِيعًا.

Permisalan antara seseorang
yang menjalanlan syari ’at Allah
dengan orang yang
melanggarnya bagaikan suatu
kaum yang mengundi penentuan
tempat pada sebuah kapal
(bahtera). Sebagian mereka
berhasil mendapatkan tempat di
bagian atas, sementara yang lain
di bagian bawah. Orang-orang
berada di bagian bawah kapal,
jika membutuhkan air minum
terpaksa harus melewati orang-
orang yang berada di atasnya.
Akhirnya mereka berkata: Kalau
seandainya kita lobangi (dinding
kapal) sedikit (untuk
mendapatkan air) sehingga kita
tidak mengganggu orang-orang
yang berada di atas kita. Jika
mereka membiarkan orang-
orang yang ada di bawah
dengan kemauannya itu niscaya
mereka semua akan binasa.
Namun apabila mereka
berupaya mencegahnya niscaya
mereka akan selamat dan
selamat pulalah seluruh (yang
ada di kapal tersebut). [Al-
Bukhari 2493, 2686]

2.Akan semakin
berkembangnya penyimpangan
dan paham sesat.
Ketika upaya pengingkaran
terhadap berbagai
penyimpangan telah diabaikan,
tentu umat yang jauh dari
bimbingan ilmu ini akan mengira
suatu kesesatan sebagai suatu
kebenaran, para pengusung
paham dan aliran yang
menyesatkan dianggapnya
sebagai penyeru kebaikan, dan
umatpun akan semakin terpecah
belah dalam berbagai kelompok.
Para penganut paham Syi‘ah
yang menyesatkan akan dengan
mudah menjerumuskan umat
kepada aqidahnya yang
menyesatkan itu. Para penganut
paham Khawa rij akan terus
dengan mudah menggiring para
pemuda khususnya untuk
memusuhi dan mengkafirkan
pemerintahnya dan orang-orang
yang tidak berada dalam satu
kelompok dengan mereka,
melakukan pengeboman,
pembunuhan, dan berbagai
tindakan sadis lainnya dengan
mengatasnamakan agamanya.
Begitu pula para pengusung
paham sesat lainnya.

3.Akan semakin
menjauhkan umat dari
pertolongan Allah ‘azza wajalla
dalam menghadapi musuh-
musuhnya.
Kita semua tahu dan yakin,
bahwa Allah tidak akan
menolong umat ini tehadap
musuh-musuhnya selama
mereka masih banyak melanggar
Allah dan Rasul-Nya. Terkhusus
jika pelanggaran tersebut dalam
permasalahan aqidah dan
manhaj, yang tersebar di tengah-
tengah umat dalam berbagai
paham dan aliran yang
menyelisihi Al-Qur ’an dan As-
Sunnah dalam koridor
bimbingan generasi as-salafush
sha lih.
Sehingga dengan itu umat akan
semakin lemah di hadapan
musuh-musuhnya dengan tidak
adanya pertolongan dari Allah
subhanahu wata ’ala.
Dalam kesempatan ini, kami
akan nukilkan untuk para
pembaca sekalian nasehat Asy-
Syaikh Al- ’Allamah DR. Shalih
bin Fauzan Al-Fauzan, salah satu
anggota Majelis Hai’ah Kibaril
‘Ulama‘ Kerajaan Saudi ‘Arabia,
dalam jawabannya terhadap
pertanyan sebagai berikut:
Pertanyaan: Kenapa harus
diterapkan tahdzir (peringatan
keras)terhadap berbagai ahlul
bid’ah sementara umat ini
sedang menghadapi permusuhan
dengan kaum Yahudi, Nashara,
dan para sekuleris.

Jawaban: Tidak mungkin bagi
kaum muslimin untuk melawan
Yahudi dan Nashara kecuali jika
mereka memberantas berbagai
bid’ah yang ada di tengah-
tengah mereka, mengobati
berbagai penyakit (kesesatan)
yang ada di antara mereka,
sehingga mereka menang atas
Yahudi dan Nashara. Namun
apabila kaum muslimin masih
saja mengabaikan urusan agama
mereka dan masih saja
melakukan berbagai bid’ah dan
perbuatan-perbuatan haram
lainnya serta terus meremehkan
untuk mengaplikasikan syari’at
Allah maka tidak akan mungkin
mereka menang atas Yahudi dan
tidak pula atas Nashara. Bahkan
mereka akan dikalahkan oleh
Yahudi dan Nashara dengan
sebab sikap meremehkan urusan
agama mereka. Karena itu wajib
adanya upaya pembersihan
masyarakat (muslimin)dari
berbagai macam bid’ah dan
kemungkaran, serta wajib
berupaya menerapkan perintah-
perintah Allah dan Rasul-Nya
sebelum kita memerangi Yahudi
dan Nashara. Kalau kita terus
memerangi Yahudi dan Nashara
dalam keadaan kondisi kita
masih seperti ini, maka kita tidak
akan menang atas mereka
selama-lamanya Bahkan
merekalah yang akan menang
atas kita disebabkan dosa-dosa
kita. [dari kitab Al-Ijabatul
Muhimmah fil Masyakil Al-
Mulimmah, hal 28; lihat http://
www.misrsalaf.com/vb/
showthread.php?t=35]

Sumber: Menebar Dusta
Membela Teroris Khawarij,
hal. 51-54.
www.merekaadalahteroris.com/mat/?p=76
Read more..

Minggu, 20 Juni 2010

Biografi Al Imam Ibnu Ajurum

Siapa yang tidak kenal kitab Al
Ajurumiyah? Setiap penuntut
ilmu syar ’i pasti mengenal kitab
ini, kitab kecil yang menjadi
pegangan ilmu nahwu bagi para
pemula. Banyak dari para
penuntut ilmu memulai pelajaran
bahasa Arabnya melalui kitab ini.
Tidak hanya itu, banyak juga di
antara mereka yang
menghapalnya.
Siapakah pengarang kitab yang
sangat masyhur ini? Mari kita
simak biografi ringkas beliau.

Nama dan Nisbah Beliau

Beliau adalah Abu Abdillah
Muhammad bin Muhammad bin
Dawud Ash Shinhaji (kadang
disebut Ash Shonhaji), yang lebih
dikenal dengan nama Ibnu
Ajurum. Nisbah beliau Ash
Shinhaji, merupakan nisbah
kepada qabilah Shinhajah di
daerah Maghrib. Beliau dikenal
dengan nama Ibnu Ajurum.
Ajurum artinya orang yang fakir
dan seorang shufi.
Kelahiran Beliau
Ibnu Ajurum dilahirkan di kota
Fas, sebuah daerah yang besar
di Negeri Maghrib pada tahun
672 H. Pada tahun itu pula
seorang pakar nahwu yang
terkenal yaitu pengarang Kitab
Alfiyah yang bernama Ibnu Malik
– rahimahullah- meninggal dunia.

Wafat Beliau

Ibnu Ajurum rahimahullah wafat
di Kota Fas pada hari Senin,
tanggal 10 Safar 723 H.

Perjalanan Beliau Menimba
Ilmu


Awalnya, Ibnu Ajurum belajar di
kota Fas, kemudian beliau
berangkat haji ke kota Makkah.
Ketika melewati Kairo, beliau
belajar nahwu kepada Abu
Hayyan, salah seorang pakar
nahwu negeri Andalusia,
penyusun Kitab Al Bahrul
Muhith, sampai beliau
mendapatkan ijazah
(rekomendasi) dari Abu Hayyan.

Penyusunan Matan Al
Ajurumiyah


Ibnu Ajurum menyusun matan Al
Ajurumiyah pada tahun 719 H,
empat tahun sebelum beliau
wafat. Ibnu Maktum yang
sezaman dengan Ibnu Ajurum –
setelah memuji Ibnu Ajurum-
menyebutkan di dalam
Tadzkirahnya bahwa pada saat
dia menulis tadzkirah tersebut,
Ibnu Ajurum masih hidup.
Ar Ra’i dan Ibnul Haj
menyebutkan bahwa Ibnu
Ajurum menulis kitab ini di
hadapan Ka ’bah. Dan
ditambahkan oleh Al Hamidi
bahwa setelah menulis kitab ini,
Ibnu Ajurum membuang
kitabnya ke laut sambil berkata,
“ Kalau memang kitab ini kutulis
ikhlas karena Allah, maka
niscaya kitab ini tidak akan
basah. ” Ternyata kitab Al
Ajurumiyah yang beliau tulis
tidak basah. Sehingga walaupun
kitab ini tipis dan ditujukan bagi
pemula, namun karya tulis beliau
ini diterima oleh semua
kalangan.

Madzhab Ibnu Ajurum dalam
Penyusunan Kitab

Dalam menyusun kitab ini, Ibnu
Ajurum mengikuti madzhab
Kufah. Di antara bukti-buktinya
adalah:
  1. Beliau menyebut kasrah atau
    yang menggantikannya dengan
    khafd ( خفض). Adapun pengikut
    madzhab Basrah menyebutnya
    dengan jar ( جر).

  2. Beliau berpendapat bahwa fi’il
    amr itu di-jazm-kan. Ini adalah
    pendapat madzhab Kufah.
    Adapun ahlu Bashrah
    berpendapat bahwa fi ’il amr itu
    mabni ‘ala sukun.

  3. Beliau mengganggap kaifama
    ( كيفما) termasuk jawazim (alat
    yang menjazmkan fi’il mudhari’)
    sebagaimana pendapat Ahlu
    Kufah. Adapun ahlu Bashrah
    menolak kaifama sebagai
    jawazim.

  4. Ibnu Ajurum menyatakan
    bahwa di antara tanda isim
    adalah menerima alif dan lam
    ( الأليف واللام ). Ini adalah
    pendapat ulama nahwu Kufah.
    Adapun ahlu Bashrah
    menggunakan istilah “al” (ال).

  5. Beliau menyebutkan istilah
    asmaul khomsah ( الأسماء
    الخمسة) yang terdiri dari
    ذو مال, فوك, حموك أخوك ,أبوك
    Adapun ahli nahwu Bashrah
    menyebutnya dengan ( الأسماء
    الستة) dengan menambahkan
    هنوك

Ini sebagian bukti yang
menunjukkan bahwa Ibnu
Ajurum menganut madzhab
Kufah.
Beberapa Syarah (Penjelasan)
terhadap Kitab Al Ajurumiyah
Ada banyak ulama yang
mensyarah Kitab Al Ajurumiyah
baik dari kalangan ulama
terdahulu maupun ulama di
masa kita. Di antara ulama
terdahulu adalah Abu Abdillah
Muhammad bin Muhammad Al
Maliki yang dikenal dengan Ar
Ra ’i (wafat 853 H). Beliau menulis
syarah beliau yang berjudul
( المستقل بالمفهوم في شرح
ألفاظ الللآجرمية )
Adapun syarah yang ditulis oleh
ulama muta ’akhirin (ulama di
masa belakangan ini) antara lain:

1. ( التحفة السانية بشرح
المقدمة الآجرمية ) karya
Muhammad Muhyiddin Abdul
Hamid

2. ( شرح المقدمة الآجرمي )
karya Asy Syaikh Muhammad bin
Shalih Al Utsaimin.

Wallahu a’lam bisshawwab


Sumber:
- Dars Al Ajurumiyah bersama Al
Ustadz Agus Suaidi hafizhahullah

- At Ta’liqaat Al Jaliiyah ‘ala
Syarh Muqaddimah Al
Ajurumiyah, Abu Anas Asyraf bin
Yusuf bin Hasan, Darul Aqidah,
Kairo.

Ditulis oleh Abu Umar Al
Bankawy di Sidayu, Gresik.

ulamasunnah.wordpress.com/2009/11/30/biografi-al-imam-ibnu-ajurum-penulis-matan-al-ajurumiyah/#more-1191

Read more..

Biogrgfi Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Bani

Beliau adalah
Pembaharu Islam
(mujadid) pada abad
ini. Karya dan jasa-jasa
beliau cukup banyak
dan sangat membantu
umat Islam terutama
dalam menghidupkan
kembali ilmu Hadits.
Beliau telah
memurnikan Ajaran
islam terutama dari
hadits-hadits lemah
dan palsu, meneliti
derajat hadits.

Nasab (Silsilah Beliau)
Nama beliau adalah
Abu Abdirrahman
Muhammad
Nashiruddin bin Nuh
al-Albani. Dilahirkan
pada tahun 1333 H di
kota Ashqodar ibu
kota Albania yang
lampau. Beliau
dibesarkan di tengah
keluarga yang tak
berpunya, lantaran
kecintaan terhadap
ilmu dan ahli ilmu.
Ayah al Albani yaitu Al
Haj Nuh adalah
lulusan lembaga
pendidikan ilmu-ilmu
syari`at di ibukota
negara dinasti
Utsmaniyah (kini
Istambul), yang ketika
Raja Ahmad Zagho
naik tahta di Albania
dan mengubah sistem
pemerintahan menjadi
pemerintah sekuler,
maka Syeikh Nuh amat
mengkhawatirkan
dirinya dan diri
keluarganya. Akhirnya
beliau memutuskan
untuk berhijrah ke
Syam dalam rangka
menyelamatkan
agamanya dan karena
takut terkena fitnah.
Beliau sekeluargapun
menuju Damaskus.
Setiba di Damaskus,
Syeikh al-Albani kecil
mulai aktif mempelajari
bahasa arab. Beliau
masuk sekolah pada
madrasah yang
dikelola oleh Jum`iyah
al-Is`af al-Khairiyah.
Beliau terus belajar di
sekolah tersebut
tersebut hingga kelas
terakhir tingkat
Ibtida`iyah.
Selanjutnya beliau
meneruskan belajarnya
langsung kepada para
Syeikh. Beliau
mempelajari al-Qur`an
dari ayahnya sampai
selesai, disamping itu
mempelajari pula
sebagian fiqih madzab
Hanafi dari ayahnya.
Syeikh al-Albani juga
mempelajari
keterampilan
memperbaiki jam dari
ayahnya sampai mahir
betul, sehingga beliau
menjadi seorang ahli
yang mahsyur.
Ketrampilan ini
kemudian menjadi
salah satu mata
pencahariannya.
Pada umur 20 tahun,
pemuda al-Albani ini
mulai mengkonsentrasi
diri pada ilmu hadits
lantaran terkesan
dengan pembahasan-
pembahsan yang ada
dalam majalah al-
Manar, sebuah
majalah yang
diterbitkan oleh Syeikh
Muhammad Rasyid
Ridha. Kegiatan
pertama di bidang ini
ialah menyalin sebuah
kitab berjudul al-
Mughni `an Hamli al-
Asfar fi Takhrij ma fi al-
Ishabah min al-Akhbar.
Sebuah kitab karya al-
Iraqi, berupa takhrij
terhadap hadits-hadits
yang terdapat pada
Ihya` Ulumuddin al-
Ghazali. Kegiatan
Syeikh al-Albani dalam
bidang hadits ini
ditentang oleh ayahnya
seraya berkomentar.
Sesungguhnya ilmu
hadits adalah
pekerjaan orang-orang
pailit (bangkrut).
Namun Syeikh al-
Albani justru semakin
cinta terhadap dunia
hadits. Pada
perkembangan
berikutnya, Syeikh al-
Albani tidak memiliki
cukup uang untuk
membeli kitab-kitab.
Karenanya, beliau
memanfaatkan
Perpustakaan adh-
Dhahiriyah di sana
(Damaskus). Di
samping juga
meminjam buku-buku
dari beberapa
perpustakaan khusus.
Begitulah, hadits
menjadi kesibukan
rutinnya, sampai-
sampai beliau menutup
kios reparasi jamnya.
Beliau lebih betah
berlama-lama dalam
perpustakaan adh-
Dhahiriyah, sehingga
setiap harinya
mencapai 12 jam. Tidak
pernah istirahat
mentelaah kitab-kitab
hadits, kecuali jika
waktu sholat tiba.
Untuk makannya,
seringkali hanya sedikit
makanan yang
dibawanya ke
perpustakaan.
Akhirnya kepala kantor
perpustakaan
memberikan sebuah
ruangan khusus di
perpustakaan untuk
beliau. Bahkan
kemudiaan beliau
diberi wewenang untuk
membawa kunci
perpustakaan. Dengan
demikian, beliau
menjadi leluasa dan
terbiasa datang
sebelum yang lainnya
datang. Begitu pula
pulangnya ketika
orang lain pulang pada
waktu dhuhur, beliau
justru pulang setelah
sholat isya. Hal ini
dijalaninya sampai
bertahun-tahun.

Pengalaman Penjara
Syeikh al-Albani
pernah dipenjara dua
kali. Kali pertama
selama satu bulan dan
kali kedua selama
enam bulan. Itu tidak
lain karena gigihnya
beliau berdakwah
kepada sunnah dan
memerangi bid`ah
sehingga orang-orang
yang dengki
kepadanya
menebarkan fitnah.

Beberapa Tugas yang
Pernah Diemban
Syeikh al-Albani Beliau
pernah mengajar di
Jami`ah Islamiyah
(Universitas Islam
Madinah) selama tiga
tahun, sejak tahun
1381-1383 H, mengajar
tentang hadits dan
ilmu-ilmu hadits.
Setelah itu beliau
pindah ke Yordania.
Pada tahun 1388 H,
Departemen
Pendidikan meminta
kepada Syeikh al-
Albani untuk menjadi
ketua jurusan Dirasah
Islamiyah pada
Fakultas Pasca Sarjana
di sebuah Perguruan
Tinggi di kerajaan
Yordania. Tetapi situasi
dan kondisi saat itu
tidak memungkinkan
beliau memenuhi
permintaan itu. Pada
tahun 1395 H hingga
1398 H beliau kembali
ke Madinah untuk
bertugas sebagai
anggota Majelis Tinggi
Jam`iyah Islamiyah di
sana. Mandapat
penghargaan tertinggi
dari kerajaan Saudi
Arabia berupa King
Faisal Fundation
tanggal 14 Dzulkaidah
1419 H.

Beberapa Karya Beliau
Karya-karya beliau
amat banyak,
diantaranya ada yang
sudah dicetak, ada
yang masih berupa
manuskrip dan ada
yang mafqud (hilang),
semua berjumlah 218
judul. Beberapa
Contoh Karya Beliau
yang terkenal adalah :
1. Adabuz-Zifaf fi As-
Sunnah al-
Muthahharah
2. Al-Ajwibah an-
Nafi`ah `ala as`ilah
masjid al-Jami`ah
3. Silisilah al-Ahadits
ash Shahihah
4. Silisilah al-Ahadits
adh-Dha`ifah wal
maudhu`ah
5. At-Tawasul wa
anwa`uhu
6. Ahkam Al-Jana`iz
wabida`uha
Di samping itu, beliau
juga memiliki kaset
ceramah, kaset-kaset
bantahan terhadap
berbagai pemikiran
sesat dan kaset-kaset
berisi jawaban-jawaban
tentang pelbagai
masalah yang
bermanfaat.
Selanjutnya Syeikh al-
Albani berwasiat agar
perpustakaan
pribadinya, baik
berupa buku-buku
yang sudah dicetak,
buku-buku foto
copyan, manuskrip-
manuskrip (yang ditulis
oleh beliau sendiri
ataupun orang lain)
semuanya diserahkan
ke perpustakaan
Jami`ah tersebut
dalam kaitannya
dengan dakwah
menuju al-Kitab was
Sunnah, sesuai dengan
manhaj salafush Shalih
(sahabat nabi
radhiyallahu anhum),
pada saat beliau
menjadi pengajar
disana.


Wafatnya
Beliau wafat pada hari
Jum`at malam Sabtu
tanggal 21 Jumada
Tsaniyah 1420 H atau
bertepatan dengan
tanggal 1 Oktober
1999 di Yoradania.
Rahimallah asy-Syaikh
al-Albani rahmatan
wasi`ah wa
jazahullahu`an al-
Islam wal muslimiina
khaira wa adkhalahu fi
an-Na`im al-Muqim.


Sumber: http://
ahlulhadist.wordpress.com//?
p=11

http://ulamasunnah.wordpress.com

Read more..

Sabtu, 19 Juni 2010

Hukum Menonton Pertandingan Olahraga

Oleh: Asy Syaikh Muhammad
bin Shalih Al- ‘Utsaimin
rahimahullah


Soal:

Wahai fadilatus syaikh, bolehkah
menonton acara olahraga di
televisi?

Jawab:

Aku ingin bertanya tentang
menonton acara olahraga di
televisi ini, apa manfaat yang
diperoleh?

(Si Penanya menjawab): Aku
berselisih pendapat dengan
seseorang dalam masalah ini.
Aku katakan kepadanya,
“ Pertama, ini menghabiskan
waktu. Kedua, ini
memperlihatkan aurat, karena
para olahragawan itu hanya
mengenakan celana sampai
setengah paha, ” dia menjawab,
“Tidak! Ini diperbolehkan,” maka
aku katakan kepadanya,
“ Perkara ini akan aku tanyakan
kepada Syaikh Ibnu Utsaimin.”

Jawab:

Nabi shallallahu alaihi wasallam
bersabda,

وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ
خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

“Barangsiapa yang beriman
kepada hari akhir, maka
hendaknya dia berkata yang baik
atau diam ”
Jika kita dilarang dari berucap
kecuali yang baik-baik saja, maka
terlebih lagi perbuatan. Maka
menonton acara olahraga ini
mengandung beberapa perkara
yang berbahaya:
  • Menghabiskan Waktu. Orang
    yang kecanduan menonton
    pertandingan olahraga ini, kita
    lihat dia begitu ketagihan
    sampai-sampai dia habiskan
    waktu yang banyak. Terkadang
    dia luput dari shalat jama ’ah,
    dan terkadang dia pun luput
    dari shalat pada waktunya.

  • Dia melihat sekelompok
    orang yang menyingkap
    pakaiannya sampai
    pertengahan pahanya .
    Menurut banyak ulama, paha
    adalah aurat. Demikian pula
    mereka berpendapat bahwa
    para para pemuda tidak boleh
    menampilkan bagian pahanya
    dan bagian apapun di atas
    lututnya.

  • Terkadang di hatinya
    muncul pengagungan
    terhadap si pemenang
    pertandingan , padahal yang
    menang adalah hamba Allah
    yang paling fasiq, atau bahkan
    hamba Allah yang paling kafir.
    Maka muncul di hatinya
    pengagungan terhadap
    seseorang yang sama sekali tidak
    pantas untuk dipuji. Dan tidak
    diragukan lagi bahwa ini adalah
    perkara yang membahayakan.

  • Memboroskan Harta. Di
    mana Televisi menggunakan
    listrik. Televisi menghabiskan
    listrik, meskipun cuma sedikit, ini
    menghabiskan biaya untuk
    sesuatu yang tidak ada
    manfaatnya untuk agamanya
    maupun kehidupan akhiratnya
    kelak. Oleh karena itu, perkara
    ini termasuk memboroskan harta
    saja.

  • Terkadang pertandingan ini
    menimbulkan saling mencerca
    dan permusuhan .
Apabila
sebagian orang menyemangati
dan mendukung tim yang
menang, di sisi lain orang yang
lain menyokong dan mendukung
tim musuhnya. Ini menyebabkan
terjadinya permusuhan di antara
mereka, serta perdebatan yang
panjang.
Oleh karena ini aku katakan, aku
nasehatkan kepada para
pemuda secara khusus dan yang
selainnya secara umum agar
mereka tidak menghabiskan
waktu mereka untuk menonton
acara olahraga, dan agar mereka
memikirkan apa yang mereka
peroleh dari menyaksikan acara-
acara ini? Apa faedahnya?
Sebagai tambahan, kamu akan
lihat mereka yang bertanding
saling mendorong dan
menjatuhkan satu sama lain.
Terkadang pula mereka
menunggangi pundak yang lain,
dan perbuatan-perbuatan yang
merendahkan muru ’ah
(kehormatan) .


(Sumber: لقاءات الباب
المفتوح لفقيه الزمان محمد
بن صالح العثيمين رحمه الله
تعالى, diterjemahkan untuk
blog ulamasunnah dari http://
www.sahab. net/forums/
showthread. php?t=358863)
groups.yahoo.com/group/nashihah/message/3282
Read more..

Perbedaan Antara Jin,Setan Dan Iblis

Penulis : Al-
Ustadz Abu Hamzah Yusuf

Sumber:asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=349



Tema Jin, Setan, dan Iblis masih
menyisakan kontroversi hingga
kini. Namun yang jelas, eksistensi
mereka diakui dalam syariat.
Sehingga, jika masih ada dari
kalangan muslim yang
meragukan keberadaan mereka,
teramat pantas jika diragukan
keimanannya.
Sesungguhnya Allah Subhanahu
wa Ta'ala telah mengutus nabi
kita Muhammad Shallallahu
'alaihi wa sallam dengan risalah
yang umum dan menyeluruh.
Tidak hanya untuk kalangan
Arab saja namun juga untuk
selain Arab. Tidak khusus bagi
kaumnya saja, namun bagi umat
seluruhnya. Bahkan Allah
Subhanahu wa Ta'ala
mengutusnya kepada segenap
Ats-Tsaqalain: jin dan manusia.
Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman:

قُلْ يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي
رَسُوْلُ اللهِ إِلَيْكُمْ
جَمِيْعًا

Katakanlah: `Wahai manusia,
sesungguhnya aku adalah utusan
Allah kepadamu semua. ” (Al-
A’raf: 158)
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda:

وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ
إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً
وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ
كَافَّةً

Adalah para nabi itu diutus
kepada kaumnya sedang aku
diutus kepada seluruh
manusia. ” (HR. Al-Bukhari dan
Muslim dari Jabir bin Abdillah
radhiallahu 'anhuma)
Allah Subhanahu wa Ta'ala juga
berfirman:

وَإِذْ صَرَفْنَا إِلَيْكَ
نَفَرًا مِنَ الْجِنِّ
يَسْتَمِعُوْنَ الْقُرْآنَ
فَلَمَّا حَضَرُوْهُ قَالُوا
أَنْصِتُوا فَلَمَّا قُضِيَ
وَلَّوْا إِلَى قَوْمِهِمْ
مُنْذِرِيْنَ. قَالُوا يَا قَوْمَنَا
إِنَّا سَمِعْنَا كِتَابًا أُنْزِلَ
مِنْ بَعْدِ مُوْسَى مُصَدِّقًا
لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ يَهْدِي
إِلَى الْحَقِّ وَإِلَى طَرِيْقٍ
مُسْتَقِيْمٍ. يَا قَوْمَنَا
أَجِيْبُوا دَاعِيَ اللهِ وَآمِنُوا
بِهِ يَغْفِرْ لَكُمْ مِنْ
ذُنُوْبِكُمْ وَيُجِرْكُمْ مِنْ
عَذَابٍ أَلِيْمٍ. وَمَنْ لاَ
يُجِبْ دَاعِيَ اللهِ فَلَيْسَ
بِمُعْجِزٍ فِي اْلأَرْضِ
وَلَيْسَ لَهُ مِنْ دُوْنِهِ
أَوْلِيَاءُ أُولَئِكَ فِي
ضَلاَلٍ مُبِيْنٍ
Dan ingatlah ketika Kami
hadapkan sekumpulan jin
kepadamu yang mendengarkan
Al-Qur`an. Maka ketika mereka
menghadiri pembacaannya lalu
mereka berkata: `Diamlah kamu
(untuk mendengarkannya )’.
Ketika pembacaan telah selesai,
mereka kembali kepada
kaumnya (untuk) memberi
peringatan. Mereka berkata:
`Wahai kaum kami,
sesungguhnya kami telah
mendengarkan kitab (Al-
Qur`an) yang telah diturunkan
setelah Musa, yang
membenarkan kitab-kitab yang
sebelumnya lagi memimpin
kepada kebenaran dan jalan
yang lurus. Wahai kaum kami,
terimalah (seruan) orang yang
menyeru kepada Allah dan
berimanlah kepada-Nya, niscaya
Allah akan mengampuni dosa-
dosa kamu dan melepaskan
kamu dari azab yang pedih. Dan
orang yang tidak menerima
(seruan) orang yang menyeru
kepada Allah, maka dia tidak
akan lepas dari azab Allah di
muka bumi dan tidak ada
baginya pelindung selain Allah.
Mereka itu dalam kesesatan
yang nyata ’.” (Al-Ahqaf: 29-32)
Jin Diciptakan Sebelum Manusia
Tak ada satupun dari golongan
kaum muslimin yang mengingkari
keberadaan jin. Demikian pula
mayoritas kaum kuffar meyakini
keberadaannya. Ahli kitab dari
kalangan Yahudi dan Nashrani
pun mengakui eksistensinya
sebagaimana pengakuan kaum
muslimin, meski ada sebagian
kecil dari mereka yang
mengingkarinya. Sebagaimana
ada pula di antara kaum
muslimin yang mengingkarinya
yakni dari kalangan orang bodoh
dan sebagian Mu ’tazilah.
Jelasnya, keberadaan jin
merupakan hal yang tak dapat
disangkal lagi mengingat
pemberitaan dari para nabi
sudah sangat mutawatir dan
diketahui orang banyak. Secara
pasti, kaum jin adalah makhluk
hidup, berakal dan mereka
melakukan segala sesuatu
dengan kehendak. Bahkan
mereka dibebani perintah dan
larangan, hanya saja mereka
tidak memiliki sifat dan tabiat
seperti yang ada pada manusia
atau selainnya. (Idhahu Ad-
Dilalah fi ’Umumi Ar-Risalah hal.
1, lihat Majmu’ul Fatawa, 19/9)
Anehnya orang-orang filsafat
masih mengingkari keberadaan
jin. Dan dalam hal inipun
Muhammad Rasyid Ridha telah
keliru. Dia mengatakan:
“ Sesungguhnya jin itu hanyalah
ungkapan/ gambaran tentang
bakteri-bakteri. Karena ia tidak
dapat dilihat kecuali dengan
perantara
mikroskop. ” (Nashihatii li Ahlis
Sunnah minal Jin oleh Asy-Syaikh
Muqbil bin Hadi rahimahullahu)
Jin lebih dahulu diciptakan
daripada manusia sebagaimana
dikabarkan Allah Subhanahu wa
Ta'ala dalam firman-Nya:
وَلَقَدْ خَلَقْنَا اْلإِنْسَانَ
مِنْ صَلْصَالٍ مِنْ حَمَإٍ
مَسْنُوْنٍ. وَالْجَانَّ
خَلَقْنَاهُ مِنْ قَبْلُ مِنْ
نَارِ السَّمُوْمِ
“Dan sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia (Adam)
dari tanah liat kering (yang
berasal) dari lumpur hitam yang
diberi bentuk. Dan Kami telah
menciptakan jin sebelum (Adam)
dari api yang sangat panas. ” (Al-
Hijr: 26-27)
Karena jin lebih dulu ada, maka
Allah Subhanahu wa Ta'ala
mendahulukan penyebutannya
daripada manusia ketika
menjelaskan bahwa mereka
diperintah untuk beribadah
seperti halnya manusia. Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ
وَاْلإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُوْنِ
“Dan Aku tidak menciptakan jin
dan manusia melainkan supaya
mereka menyembah-Ku. ” (Adz-
Dzariyat: 56)
Jin, Setan, dan Iblis
Kalimat jin, setan, ataupun juga
Iblis seringkali disebutkan dalam
Al-Qur`an, bahkan mayoritas
kita pun sudah tidak asing lagi
mendengarnya. Sehingga
eksistensinya sebagai makhluk
Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak
lagi diragukan, berdasarkan Al-
Qur`an dan As-Sunnah serta
ijma ’ ulama Ahlus Sunnah wal
Jamaah. Tinggal persoalannya,
apakah jin, setan, dan Iblis itu
tiga makhluk yang berbeda
dengan penciptaan yang
berbeda, ataukah mereka itu
bermula dari satu asal atau
termasuk golongan para
malaikat?
Yang pasti, Allah Subhanahu wa
Ta'ala telah menerangkan asal-
muasal penciptaan jin dengan
firman-Nya:
وَالْجَانَّ خَلَقْنَاهُ مِنْ
قَبْلُ مِنْ نَارِ السَّمُوْمِ
“Dan Kami telah menciptakan jin
sebelum (Adam) dari api yang
sangat panas. ” (Al-Hijr: 27)
Juga firman-Nya:
وَخَلَقَ الْجَانَّ مِنْ مَارِجٍ
مِنْ نَارٍ
“Dan Dia menciptakan jin dari
nyala api.” (Ar-Rahman: 15)
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda:
خُلِقَتِ الْمَلاَئِكَةُ مِنْ
نُوْرٍ وَخُلِقَتِ الْجَانُّ مِنْ
مَّارِجٍ مِنْ نَارٍ وَخُلِقَ آدَمُ
مِمَّا وُصِفَ لَكُمْ
“Para malaikat diciptakan dari
cahaya, jin diciptakan dari nyala
api, dan Adam diciptakan dari
apa yang disifatkan kepada
kalian. ” (HR. Muslim no. 2996
dari ’Aisyah radhiallahu 'anha)
Adapun Iblis, maka Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman
tentangnya:
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلاَئِكَةِ
اسْجُدُوا لآدَمَ فَسَجَدُوا إِلاَّ
إِبْلِيْسَ كَانَ مِنَ الْجِنِّ
“Dan (ingatlah) ketika Kami
berfirman kepada para malaikat:
‘ Sujudlah kamu kepada Adam’,
maka sujudlah mereka kecuali
Iblis. Dia adalah dari golongan
jin …” (Al-Kahfi: 50)
Ibnu Katsir rahimahullahu
berkata: “Iblis mengkhianati asal
penciptaannya, karena dia
sesungguhnya diciptakan dari
nyala api, sedangkan asal
penciptaan malaikat adalah dari
cahaya. Maka Allah Subhanahu
wa Ta'ala mengingatkan di sini
bahwa Iblis berasal dari kalangan
jin, dalam arti dia diciptakan dari
api. Al-Hasan Al-Bashri berkata:
‘ Iblis tidak termasuk malaikat
sedikitpun. Iblis merupakan asal
mula jin, sebagaimana Adam
sebagai asal mula
manusia ’.” (Tafsir Al-Qur`anul
’Azhim, 3/94)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin
Nashir As-Sa ’di rahimahullahu
mengatakan: “Iblis adalah abul
jin (bapak para jin).” (Taisir Al-
Karim Ar-Rahman, hal. 406 dan
793)
Sedangkan setan, mereka adalah
kalangan jin yang durhaka. Asy-
Syaikh Muqbil bin Hadi
rahimahullahu pernah ditanya
tentang perbedaan jin dan setan,
beliau menjawab: “Jin itu meliputi
setan, namun ada juga yang
shalih. Setan diciptakan untuk
memalingkan manusia dan
menyesatkannya. Adapun yang
shalih, mereka berpegang teguh
dengan agamanya, memiliki
masjid-masjid dan melakukan
shalat sebatas yang mereka
ketahui ilmunya. Hanya saja
mayoritas mereka itu
bodoh. ” (Nashihatii li Ahlis
Sunnah Minal Jin)
Siapakah Iblis?1
Terjadi perbedaan pendapat
dalam hal asal-usul iblis, apakah
berasal dari malaikat atau dari
jin.
Pendapat pertama menyatakan
bahwa iblis berasal dari jenis jin.
Ini adalah pendapat Al-Hasan
Al-Bashri rahimahullahu. Beliau
menyatakan: “Iblis tidak pernah
menjadi golongan malaikat
sekejap matapun sama sekali.
Dan dia benar-benar asal-usul
jin, sebagaimana Adam adalah
asal-usul
manusia. ” (Diriwayatkan Ibnu
Jarir dalam tafsir surat Al-Kahfi
ayat 50, dan dishahihkan oleh
Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya)
Pendapat ini pula yang
tampaknya dikuatkan oleh Ibnu
Katsir, Al-Jashshash dalam
kitabnya Ahkamul Qur‘an
(3/215), dan Asy-Syinqithi dalam
kitabnya Adhwa`ul Bayan
(4/120). Penjelasan tentang dalil
pendapat ini beliau sebutkan
dalam kitab tersebut. Secara
ringkas, dapat disebutkan
sebagai berikut:
1. Kema ’shuman malaikat dari
perbuatan kufur yang dilakukan
iblis, sebagaimana firman Allah:
لاَ يَعْصُوْنَ اللهَ مَا أَمَرَهُمْ
وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ
“…yang tidak mendurhakai Allah
terhadap apa yang
diperintahkan-Nya kepada
mereka dan selalu mengerjakan
apa yang diperintahkan. ” (At-
Tahrim: 6)
لاَ يَسْبِقُوْنَهُ بِالْقَوْلِ
وَهُمْ بِأَمْرِهِ يَعْمَلُوْنَ
“Mereka itu tidak mendahului-
Nya dengan perkataan, dan
mereka mengerjakan perintah-
perintah-Nya. ” (Al-Anbiya`: 27)
2. Dzahir surat Al-Kahfi ayat 50
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلاَئِكَةِ
اسْجُدُوا لآدَمَ فَسَجَدُوا إِلاَّ
إِبْلِيْسَ كَانَ مِنَ الْجِنِّ
فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ
“Dan (ingatlah) ketika Kami
berfirman kepada para malaikat:
‘ Sujudlah kamu kepada Adam’,
maka sujudlah mereka kecuali
iblis. Dia adalah dari golongan
jin, lalu ia mendurhakai perintah
Rabbnya. ”
Allah menegaskan dalam ayat ini
bahwa iblis dari jin, dan jin
bukanlah malaikat. Ulama yang
memegang pendapat ini
menyatakan: “Ini adalah nash Al-
Qur`an yang tegas dalam
masalah yang diperselisihkan ini.”
Beliau juga menyatakan: “Dan
hujjah yang paling kuat dalam
masalah ini adalah hujjah
mereka yang berpendapat
bahwa iblis bukan dari malaikat.”
Adapun pendapat kedua yang
menyatakan bahwa iblis dari
malaikat, menurut Al-Qurthubi,
adalah pendapat jumhur ulama
termasuk Ibnu ‘Abbas
radhiallahu 'anhuma. Alasannya
adalah firman Allah:
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلاَئِكَةِ
اسْجُدُوا لآدَمَ فَسَجَدُوا إِلاَّ
إِبْلِيْسَ أَبَى
وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ
الْكَافِرِيْنَ
“Dan (ingatlah) ketika Kami
berfirman kepada para malaikat:
‘ Sujudlah kamu kepada Adam,’
maka sujudlah mereka kecuali
Iblis; ia enggan dan takabur dan
adalah ia termasuk golongan
orang-orang yang kafir. ” (Al-
Baqarah: 34)
Juga ada alasan-alasan lain
berupa beberapa riwayat
Israiliyat.
Pendapat yang kuat adalah
pendapat yang pertama, insya
Allah, karena kuatnya dalil
mereka dari ayat-ayat yang jelas.
Adapun alasan pendapat kedua
(yakni surat Al-Baqarah ayat 34),
sebenarnya ayat tersebut tidak
menunjukkan bahwa iblis dari
malaikat. Karena susunan
kalimat tersebut adalah susunan
istitsna` munqathi ’ (yaitu yang
dikecualikan tidaklah termasuk
jenis yang disebutkan).
Adapun cerita-cerita asal-usul
iblis, itu adalah cerita Israiliyat.
Ibnu Katsir menyatakan: “Dan
dalam masalah ini (asal-usul
iblis), banyak yang diriwayatkan
dari ulama salaf. Namun
mayoritasnya adalah Israiliyat
(cerita-cerita dari Bani Israil) yang
(sesungguhnya) dinukilkan untuk
dikaji –wallahu a’lam–, Allah
lebih tahu tentang keadaan
mayoritas cerita itu. Dan di
antaranya ada yang dipastikan
dusta, karena menyelisihi
kebenaran yang ada di tangan
kita. Dan apa yang ada di dalam
Al-Qur`an sudah memadai dari
yang selainnya dari berita-berita
itu. ” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/94)
Asy-Syinqithi menyatakan: “Apa
yang disebutkan para ahli tafsir
dari sekelompok ulama salaf,
seperti Ibnu ‘Abbas dan
selainnya, bahwa dahulu iblis
termasuk pembesar malaikat,
penjaga surga, mengurusi urusan
dunia, dan namanya adalah
‘ Azazil, ini semua adalah cerita
Israiliyat yang tidak bisa dijadikan
landasan. ” (Adhwa`ul Bayan,
4/120-121)
Siapakah Setan?2
Setan atau Syaithan (شَيْطَانٌ)
dalam bahasa Arab diambil dari
kata ( شَطَنَ) yang berarti jauh.
Ada pula yang mengatakan
bahwa itu dari kata ( شَاطَ) yang
berarti terbakar atau batal.
Pendapat yang pertama lebih
kuat menurut Ibnu Jarir dan
Ibnu Katsir, sehingga kata
Syaithan artinya yang jauh dari
kebenaran atau dari rahmat
Allah Subhanahu wa Ta'ala (Al-
Misbahul Munir, hal. 313).
Ibnu Jarir menyatakan, syaithan
dalam bahasa Arab adalah setiap
yang durhaka dari jin, manusia
atau hewan, atau dari segala
sesuatu.
Demikianlah Allah Subhanahu
wa Ta'ala berfirman:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ
نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِيْنَ
اْلإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوْحِي
بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ
زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُوْرًا
“Dan demikianlah Kami jadikan
bagi tiap-tiap nabi itu musuh,
yaitu setan-setan (dari jenis)
manusia dan (dari jenis) jin,
sebahagian mereka membisikkan
kepada sebahagian yang lain
perkataan-perkataan yang
indah-indah untuk menipu
(manusia). ” (Al-An’am: 112)
(Dalam ayat ini) Allah
menjadikan setan dari jenis
manusia, seperti halnya setan
dari jenis jin. Dan hanyalah setiap
yang durhaka disebut setan,
karena akhlak dan perbuatannya
menyelisihi akhlak dan
perbuatan makhluk yang
sejenisnya, dan karena jauhnya
dari kebaikan. (Tafsir Ibnu Jarir,
1/49)
Ibnu Katsir menyatakan bahwa
syaithan adalah semua yang
keluar dari tabiat jenisnya
dengan kejelekan (Tafsir Ibnu
Katsir, 2/127). Lihat juga Al-
Qamus Al-Muhith (hal. 1071).
Yang mendukung pendapat ini
adalah surat Al-An’am ayat 112:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ
نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِيْنَ
اْلإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوْحِي
بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ
زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُوْرًا
“Dan demikianlah Kami jadikan
bagi tiap-tiap nabi itu musuh,
yaitu setan-setan (dari jenis)
manusia dan (dari jenis) jin,
sebahagian mereka membisikkan
kepada sebahagian yang lain
perkataan-perkataan yang
indah-indah untuk menipu
(manusia). ” (Al-An’am: 112)
Al-Imam Ahmad meriwayatkan
dari Abu Dzar radhiallahu 'anhu,
ia berkata: Aku datang kepada
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
dan beliau berada di masjid.
Akupun duduk. Dan beliau
menyatakan: “Wahai Abu Dzar
apakah kamu sudah shalat?”
Aku jawab: “Belum.” Beliau
mengatakan: “Bangkit dan
shalatlah.” Akupun bangkit dan
shalat, lalu aku duduk. Beliau
berkata: “Wahai Abu Dzar,
berlindunglah kepada Allah dari
kejahatan setan manusia dan
jin. ” Abu Dzar berkata: “Wahai
Rasulullah, apakah di kalangan
manusia ada setan ?” Beliau
menjawab: “Ya.”
Ibnu Katsir menyatakan setelah
menyebutkan beberapa sanad
hadits ini: “Inilah jalan-jalan
hadits ini. Dan semua jalan-jalan
hadits tersebut menunjukkan
kuatnya hadits itu dan
keshahihannya. ” (Tafsir Ibnu
Katsir, 2/172)
Yang mendukung pendapat ini
juga hadits Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam dalam riwayat
Muslim:
الْكَلْبُ اْلأَسْوَدُ شَيْطَانٌ
“Anjing hitam adalah setan.”
Ibnu Katsir menyatakan:
“ Maknanya –wallahu a’lam–
yaitu setan dari jenis
anjing. ” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/173)
Ini adalah pendapat Qatadah,
Mujahid dan yang dikuatkan
oleh Ibnu Jarir, Ibnu Katsir, Asy-
Syaukani dan Asy-Syinqithi.
Dalam masalah ini ada tafsir lain
terhadap ayat itu, tapi itu adalah
pendapat yang lemah. (ed)
Ketika membicarakan tentang
setan dan tekadnya dalam
menyesatkan manusia, Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
قَالَ أَنْظِرْنِي إِلَى يَوْمِ
يُبْعَثُوْنَ. قَالَ إِنَّكَ مِنَ
الْمُنْظَرِيْنَ. قَالَ فَبِمَا
أَغْوَيْتَنِي لأَقْعُدَنَّ لَهُمْ
صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيْمَ.
ثُمَّ لآتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ
أَيْدِيْهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ
وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ
شَمَائِلِهِمْ وَلاَ تَجِدُ
أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِيْنَ
“Iblis menjawab: ‘Beri tangguhlah
aku sampai waktu mereka
dibangkitkan ’, Allah berfirman:
‘Sesungguhnya kamu termasuk
mereka yang diberi tangguh.’
Iblis menjawab: ‘Karena Engkau
telah menghukumiku tersesat,
aku benar-benar akan
(menghalang-halangi) mereka
dari jalan Engkau yang lurus.
Kemudian aku akan mendatangi
mereka dari muka dan dari
belakang mereka, dari kanan
dan kiri mereka. Dan Engkau
tidak akan mendapati
kebanyakan mereka bersyukur
(taat). ” (Al-A’raf: 14-17)
Setan adalah turunan Iblis,
sebagaimana firman Allah
Subhanahu wa Ta'ala:
أَفَتَتَّخِذُوْنَهُ
وَذُرِّيَّتَهُ أَوْلِيَاءَ مِنْ
دُوْنِي وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّ
بِئْسَ لِلظَّالِمِيْنَ بَدَلاً
“Patutkah kamu mengambil dia
dan turunan-turunannya sebagai
pemimpin selain-Ku, sedang
mereka adalah musuhmu? Amat
buruklah Iblis itu sebagai
pengganti (Allah) bagi orang-
orang yang dzalim. ” (Al-Kahfi:
50)
Turunan-turunan Iblis yang
dimaksud dalam ayat ini adalah
setan-setan. (Taisir Al-Karim Ar-
Rahman, hal. 453)
Penggambaran Tentang Jin
Al-jinnu berasal dari kata janna
syai`un yajunnuhu yang
bermakna satarahu (menutupi
sesuatu). Maka segala sesuatu
yang tertutup berarti
tersembunyi. Jadi, jin itu disebut
dengan jin karena keadaannya
yang tersembunyi.
Jin memiliki roh dan jasad. Dalam
hal ini, Syaikhuna Muqbil bin
Hadi rahimahullahu mengatakan:
“Jin memiliki roh dan jasad.
Hanya saja mereka dapat
berubah-ubah bentuk dan
menyerupai sosok tertentu, serta
mereka bisa masuk dari tempat
manapun. Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam memerintahkan
kepada kita agar menutup pintu-
pintu sembari beliau
mengatakan: ‘Sesungguhnya
setan tidak dapat membuka yang
tertutup ’. Beliau memerintahkan
agar kita menutup bejana-bejana
dan menyebut nama Allah
Subhanahu wa Ta'ala atasnya.
Demikian pula bila seseorang
masuk ke rumahnya kemudian
membaca bismillah, maka setan
mengatakan: ‘Tidak ada
kesempatan menginap’. Jika
seseorang makan dan
mengucapkan bismillah, maka
setan berkata: ‘Tidak ada
kesempatan menginap dan
bersantap malam ’.” (Nashihatii li
Ahlis Sunnah Minal Jin)
Jin bisa berujud seperti manusia
dan binatang. Dapat berupa ular
dan kalajengking, juga dalam
wujud unta, sapi, kambing, kuda,
bighal, keledai dan juga burung.
Serta bisa berujud Bani Adam
seperti waktu setan mendatangi
kaum musyrikin dalam bentuk
Suraqah bin Malik kala mereka
hendak pergi menuju Badr.
Mereka dapat berubah-ubah
dalam bentuk yang banyak,
seperti anjing hitam atau juga
kucing hitam. Karena warna
hitam itu lebih signifikan bagi
kekuatan setan dan mempunyai
kekuatan panas. (Idhahu Ad-
Dilalah, hal. 19 dan 23)
Kaum jin memiliki tempat tinggal
yang berbeda-beda. Jin yang
shalih bertempat tinggal di
masjid dan tempat-tempat yang
baik. Sedangkan jin yang jahat
dan merusak, mereka tinggal di
kamar mandi dan tempat-tempat
yang kotor. (Nashihatii li Ahlis
Sunnah Minal Jin)
Tulang dan kotoran hewan
adalah makanan jin. Di dalam
sebuah hadits, Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam
berkata kepada Abu Hurairah
radhiallahu 'anhu:
ابْغِنِي أَحْجَارًا
أَسْتَنْفِضْ بِهَا وَلاَ
تَأْتِنِي بِعَظْمٍ وَلاَ
بِرَوْثَةٍ. فَأَتَيْتُهُ
بِأَحْجَارٍ أَحْمَلُهَا فِي
طَرَفِ ثَوْبِي حَتَّى
وَضَعْتُهَا إِلَى جَنْبِهِ
ثُمَّ انْصَرَفْتُ حَتَّى إِذَا
فَرَغَ مَشَيْتُ فَقُلْتُ: مَا
بَالُ الْعَظْمِ وَالرَّوْثَةِ؟
قَالَ: هُمَا مِنْ طَعَامِ الْجِنِّ
وَإِنَّهُ أَتَانِي وَفْدُ جِنِّ
نَصِيْبِيْنَ وَنِعْمَ الْجِنُّ
فَسَأَلُوْنِي الزَّادَ
فَدَعَوْتُ اللهَ لَهُمْ أَنْ لاَ
يَمُرُّوا بِعَظْمٍ وَلاَ
بِرَوْثَةٍ إِلاَّ وَجَدُوا
عَلَيْهَا طَعَامًا
“Carikan beberapa buah batu
untuk kugunakan bersuci dan
janganlah engkau carikan tulang
dan kotoran hewan. ” Abu
Hurairah radhiallahu 'anhu
berkata: “Aku pun membawakan
untuknya beberapa buah batu
dan kusimpan di sampingnya.
Lalu aku menjauh hingga beliau
menyelesaikan hajatnya. ”
Aku bertanya: “Ada apa dengan
tulang dan kotoran hewan?”
Beliau menjawab: “Keduanya
termasuk makanan jin. Aku
pernah didatangi rombongan
utusan jin dari Nashibin, dan
mereka adalah sebaik-baik jin.
Mereka meminta bekal
kepadaku. Maka aku berdoa
kepada Allah untuk mereka agar
tidaklah mereka melewati tulang
dan kotoran melainkan mereka
mendapatkan makanan. ” (HR.
Al-Bukhari no. 3860 dari Abu
Hurairah radhiallahu 'anhu,
dalam riwayat Muslim
disebutkan: “Semua tulang yang
disebutkan nama Allah
padanya ”, ed)
Gambaran Tentang Iblis dan
Setan
Iblis adalah wazan dari fi ’il,
diambil dari asal kata al-iblaas
yang bermakna at-tai`as (putus
asa) dari rahmat Allah
Subhanahu wa Ta'ala.
Mereka adalah musuh nomer
wahid bagi manusia, musuh bagi
Adam dan keturunannya.
Dengan kesombongan dan
analoginya yang rusak serta
kedustaannya, mereka berani
menentang perintah Allah
Subhanahu wa Ta'ala saat
mereka enggan untuk sujud
kepada Adam.
Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman:
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلاَئِكَةِ
اسْجُدُوا لآدَمَ فَسَجَدُوا إِلاَّ
إِبْلِيْسَ أَبَى
وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ
الْكَافِرِيْنَ
“Dan (ingatlah) ketika Kami
berfirman kepada para malaikat:
‘ Sujudlah kamu kepada Adam,’
maka sujudlah mereka kecuali
Iblis. Ia enggan dan takabur, dan
adalah ia termasuk golongan
orang-orang yang kafir. ” (Al-
Baqarah: 34)
Malah dengan analoginya yang
menyesatkan, Iblis menjawab:
قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ
خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ
وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِيْنٍ
“Aku lebih baik darinya: Engkau
ciptakan aku dari api sedang dia
Engkau ciptakan dari tanah. ” (Al-
A’raf: 12)
Analogi atau qiyas Iblis ini adalah
qiyas yang paling rusak. Qiyas ini
adalah qiyas batil karena
bertentangan dengan perintah
Allah Subhanahu wa Ta'ala yang
menyuruhnya untuk sujud.
Sedangkan qiyas jika berlawanan
dengan nash, maka ia menjadi
batil karena maksud dari qiyas
itu adalah menetapkan hukum
yang tidak ada padanya nash,
mendekatkan sejumlah perkara
kepada yang ada nashnya,
sehingga keberadaannya menjadi
pengikut bagi nash.
Bila qiyas itu berlawanan dengan
nash dan tetap digunakan/
diakui, maka konsekuensinya
akan menggugurkan nash. Dan
inilah qiyas yang paling jelek!
Sumpah mereka untuk
menggoda Bani Adam terus
berlangsung sampai hari kiamat
setelah mereka berhasil
menggoda Abul Basyar (bapak
manusia) Adam dan vonis sesat
dari Allah Subhanahu wa Ta'ala
untuk mereka. Allah Subhanahu
wa Ta'ala mengingatkan kita
dengan firman-Nya:
يَابَنِي آدَمَ لاَ
يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ
كَمَا أَخْرَجَ أَبَوَيْكُمْ مِنَ
الْجَنَّةِ يَنْزِعُ عَنْهُمَا
لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا
سَوْآتِهِمَا إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ
وَقَبِيْلُهُ مِنْ حَيْثُ لاَ
تَرَوْنَهُمْ إِنَّا جَعَلْنَا
الشَّيَاطِيْنَ أَوْلِيَاءَ
لِلَّذِيْنَ لاَ يُؤْمِنُوْنَ
“Hai anak Adam, janganlah
sekali-kali kamu dapat ditipu
oleh setan sebagaimana ia telah
mengeluarkan kedua ibu
bapakmu dari surga. Ia
menanggalkan pakaian
keduanya untuk memperlihatkan
kepada keduanya auratnya.
Sesungguhnya ia dan pengikut-
pengikutnya melihat kamu dari
suatu tempat yang kamu tidak
bisa melihat mereka.
Sesungguhnya Kami telah
menjadikan setan-setan itu
pemimpin-pemimpin bagi orang-
orang yang tidak beriman. ” (Al-
A’raf: 27)
Karena setan sebagai musuh
kita, maka kita diperintahkan
untuk menjadi musuh setan.
Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman:
إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ
فَاتَّخِذُوْهُ عَدُوًّا إِنَّمَا
يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُوْنُوا
مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيْرِ
“Sesungguhnya setan itu adalah
musuh bagimu, maka anggaplah
ia musuhmu, karena
sesungguhnya setan-setan itu
hanya mengajak golongannya
supaya mereka menjadi
penghuni neraka yang menyala-
nyala.” (Fathir: 6)
Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman:
أَفَتَتَّخِذُوْنَهُ
وَذُرِّيَّتَهُ أَوْلِيَاءَ مِنْ
دُوْنِي وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّ
بِئْسَ لِلظَّالِمِيْنَ بَدَلاً
“Patutkah kamu mengambil dia
dan turunan-turunannya sebagai
pemimpin selain-Ku, sedangkan
mereka adalah musuhmu? Amat
buruklah Iblis itu sebagai
pengganti (Allah) bagi orang-
orang yang dzalim. ” (Al-Kahfi:
50)
Semoga kita semua terlindung
dari godaan-godaannya. Wal
’ ilmu ’indallah.
1 Tambahan dari redaksi
2 Tambahan dari redaksi
Read more..

Jumat, 18 Juni 2010

Selamatan Tujuh Bulan

PERTANYAAN:
Apakah ada dasar hukum
selamatan kehamilan, seperti 3
bulanan atau 7 bulanan (bahasa
Jawa : Mitoni). Pada acara
tersebut juga disertai dengan
pembacaan diba'. Terus terang
saya belum pernah membaca
riwayat tentang selamatan
seperti di atas pada masa
Rasulullah. Mohon
penjelasannya

JAWAB:
Selamatan kehamilan, seperti 3
bulanan atau 7 bulanan (Nujuh
Bulanan) [*], tidak ada dalam
ajaran Islam. Itu termasuk
perkara baru dalam agama,
dan semua perkara baru dalam
agama adalah bid’ah,dan semua
bid’ah merupakan kesesatan.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda:

وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ
الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ
مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ
بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

Jauhilah semua perkara baru
(dalam agama), karena semua
perkara baru (dalam agama)
adalah bid’ah, dan semua bid’ah
merupakan kesesatan. (HR Abu
Dawud, no. 4607; Tirmidzi, 2676;
Ad Darimi; Ahmad; dan lainnya
dari Al ‘Irbadh bin Sariyah).
Kemudian, jika selamatan
kehamilan tersebut disertai
dengan keyakinan akan
membawa keselamatan dan
kebaikan, dan sebaliknya jika
tidak dilakukan akan
menyebabkan bencana atau
keburukan, maka keyakinan
seperti itu merupakan
kemusyrikan. Karena
sesungguhnya keselamatan dan
bencana itu hanya di tangan
Allah Subhanahu wa Ta'ala
semata. Allah berfirman:

قُلْ أَتَعْبُدُونَ مِن دُونِ
اللهِ مَا لاَ يَمْلِكُ لَكُمْ
ضَرًّا وَلاَ نَفْعًا واللهُ هُوَ
السَّمِيعُ الْعَليِمُ

Katakanlah: "Mengapa kamu
menyembah selain daripada
Allah, sesuatu yang tidak dapat
memberi mudharat kepadamu
dan tidak (pula) memberi
manfa'at?". Dan Allah-lah Yang
Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui. (QS Al Maidah:76).
Demikian juga dengan
pembacaan diba ’ pada saat
perayaan tersebut, ataupun
lainnya, tidak ada dasarnya
dalam ajaran Islam. Karena pada
zaman Nabi Muhammad
Shallallahu 'alaihi wa sallam dan
para sahabat, diba' itu tidak ada.
Diba’ yang dimaksudkan ialah
Maulid Ad Daiba’ii, buku yang
berisi kisah kelahiran Nabi
Muhammad Shallallahu 'alaihi
wa sallam, dan pujian serta
sanjungan kepada Beliau. Banyak
pujian tersebut yang ghuluw
(berlebihan, melewati batas).
Misalnya seperti perkataan:

فَجْرِيُّ الْجَبِيْنِ
لَيْلِيُّ الذَّوَآئِبِ *
اَلْفِيُّ الْأََنْفِ مِيْمِيُّ
الْفَمِ نُوْنِيُّ الْحَاجِبِ *
سَمْعُهُ يَسْمَعُ صَرِيْرَ
الْقَلَمِ بَصَرُهُ إِليَ
السَّبْعِ الطِّبَاقِ ثَاقِبٌ *
Dahi Beliau (Nabi Muhammad
Shallallahu 'alaihi wa sallam )
seperti fajar, rambut depan
Beliau seperti malam, hidung
Beliau berbentuk (huruf) alif,
mulut Beliau berbentuk (huruf)
mim, alis Beliau berbentuk
(huruf) nun, pendengaran Beliau
mendengar suara qolam (pena
yang menulis taqdir), pandangan
Beliau menembus tujuh lapisan
(langit atau bumi). (Lihat
Majmu’atul Mawalid, hlm. 9,
tanpa nama penerbit. Buku ini
banyak dijual di toko buku-toko
buku agama).
Kalimat “pendengaran Beliau
mendengar suara qolam (pena
yang menulis taqdir )”, jika yang
dimaksudkan pada saat mi’raj
saja, memang benar,
sebagaimana telah disebutkan di
dalam hadits-hadits tentang
mi ’raj. Namun jika setiap saat,
maka ini merupakan kalimat
yang melewati batas. Padahal
nampaknya, demikian inilah yang
dimaksudkan, dengan dalil
kalimat berikutnya, yaitu kalimat
“ pandangan Beliau menembus
tujuh lapisan (langit atau bumi)”.
Dan kalimat kedua ini juga pujian
ghuluw (melewati batas). Karena
sesungguhnya Nabi Muhammad
Shallallahu 'alaihi wa sallam
tidak mengetahui perkara ghaib.
Yang mengetahui perkara ghaib
hanyalah Allah Azza wa Jalla .
Allah berfirman:

قُل لاَّ يَعْلَمُ مَن فِي
السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ
الْغَيْبَ إِلاَّ اللهُ وَمَا
يَشْعُرُونَ أَيَّانَ
يُبْعَثُونَ
Katakanlah: "Tidak ada
seorangpun di langit dan di bumi
yang mengetahui perkara yang
ghaib, kecuali Allah", dan
mereka tidak mengetahui bila
mereka akan dibangkitkan. (QS
An Naml:65).
‘Aisyah Radhiyallahu 'anha, istri
Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam, pernah menerima
tuduhan keji pada peristiwa
“ haditsul ifk”. Dan Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam
tidak mengetahui kebenaran
tuduhan tersebut, sampai
kemudian turun pemberitaan
dari Allah dalam surat An Nuur
yang membersihkan ‘Aisyah dari
tuduhan keji tersebut. Dan buku
Maulid Ad Daiba ’ii berisi hadits
tentang Nur (cahaya)
Muhammad Shallallahu 'alaihi
wa sallam, yang termasuk hadits
palsu.
Dalam peristiwa Bai’atur
Ridhwan, Nabi Muhammad
Shallallahu 'alaihi wa sallam
tidak mengetahui hakikat berita
kematian Utsman bin ‘Affan
Radhiyallahu 'anhu , sehingga
terjadilah Bai ’atur Ridhwan.
Namun ternyata, waktu itu
Utsman Radhiyallahu 'anhu
masih hidup. Bahkan Allah
Subhanahu wa Ta'ala
memerintahkan RasulNya untuk
mengumumkan:

قُل لآأَقُولُ لَكُمْ عِندِى
خَزَآئِنُ اللهِ وَلآأَعْلَمُ
الْغَيْبَ
Katakanlah: "Aku tidak
mengatakan kepadamu, bahwa
perbendaharaan Allah ada
padaku, dan tidak (pula) aku
mengetahui yang ghaib ”. (QS Al
An’am:50).
Berdasarkan penjelasan tersebut
di atas, bagaimana mungkin
seseorang boleh mengatakan
“ pandangan Beliau menembus
tujuh lapisan (langit atau bumi)”?
Semoga jawaban ini cukup bagi
kita. Kesimpulan yang dapat kita
ambil, bahwa selamatan
kehamilan [1] dan pembacaan
diba ’ termasuk perbuatan
maksiat, karena termasuk bid’ah.

Catatan sendiri:
PERHATIAN
[*] Mitoni/Telonan dan
tingkepan (tujuh bulanan) yang
sering kita jumpai di tengah-
tengah masyarakat adalah
termasuk tradisi agama hindu
(ini kesaksian mantan Pendeta
Hindu yang masuk Islam).
Upacara ini dalam rangka
memohon keselamatan anak
yang ada dalam rahim
(kandungan). Upacara ini biasa
disebut GARBA WEDANA.
Garba artinya perut, Wedana
artinya yang lagi mengandung.
Selama bayi dalam kandungan di
buatkan TUMPENG selamatan
telonan, tingkepan. Ini terdapat
dalam kitab UPADESA halaman
46.
Adapun intisari sesajinya antara
lain :
a. Pengambean, yaitu upacara
pemanggilan atman (urip)
b. Sambutan, yaitu acara
pembetulan letak cabang bayi
c. Janganan, yaitu suguhan
terhadap EMPAT SAUDARA yang
menyertai kelahiran sang bayi.
yaitu : Darah, Air (ketuban),
barah dan ari-ari (masyimah/
tembuni).
[1] termasuk selamatan 4
bulanan


Sumber : http://bukhari.or.id/
home/index.php?
option=com_content&view=article&id=206:selamatan-
wanita-hamil-dan-pembacaan-
diba&catid=37&Itemid=378

www.abuayaz.co.cc/
Read more..

Kamis, 17 Juni 2010

Hukum Nikah Dalam Keadaan Hamil

Perempuan yang dinikahi dalam
keadaan hamil ada dua macam:
Perempuan yang diceraikan oleh
suaminya dalam keadaan hamil.
Perempuan yang hamil karena
melakukan zina, sebagaimana
yang banyak terjadi di zaman ini
-wal ‘ iyadzu billah , mudah-
mudahan Allah menjaga kita dan
seluruh kaum muslimin dari dosa
terkutuk ini-.
Adapun perempuan hamil yang
diceraikan oleh suaminya, maka
tidak boleh dinikahi sampai lepas
‘ iddah[1] nya, dan ‘ iddahnya
ialah sampai ia melahirkan,
sebagaimana dalam firman Allah
Subhanahu Wa Ta ’ ala ,
“ Dan perempuan-perempuan
yang hamil, waktu ‘ iddah
mereka sampai mereka
melahirkan kandungannya.
” [ Ath-Thalaq: 4 ]

Hukum menikah dengan
perempuan hamil seperti ini
adalah haram, dan nikahnya
batil, tidak sah, sebagaimana
dalam firman Allah Ta ’ ala ,
“ Dan janganlah kalian ber- ‘
azam (bertetap hati) untuk
beraqad nikah sebelum habis ‘
iddahnya. ” [ Al-Baqarah: 235 ]
Berkata Ibnu Katsir, dalam
Tafsir -nya, tentang makna ayat
ini, “ Yaitu, jangan kalian
melakukan akad nikah sampai
lepas ‘ iddahnya. ” Kemudian
beliau berkata, “ Dan para
ulama telah bersepakat bahwa
akad tidaklah sah pada masa ‘
iddah. ”
Lihat Al-Mughny 11/227,
Takmilah Al-Majmu ’
17/347-348, Al-Muhalla 10/263,
dan Zadul Ma ‘ ad 5/156.

Adapun perempuan yang hamil
karena zina, kami perlu merinci
lebih meluas, karena pentingnya
perkara ini dan banyaknya kasus
yang terjadi di seputarnya. Maka,
dengan mengharap curahan
taufiq dan hidayah dari Allah Al-
‘ Alim Al-Khabir , masalah ini
kami uraikan sebagai berikut.
Tentang perempuan yang telah
berzina dan menyebabkan dia
hamil atau tidak, dalam hal
bolehnya melakukan pernikahan
dengannya, terdapat persilangan
pendapat di kalangan ulama.
Secara global, para ulama
berbeda pendapat dalam
pensyaratan dua perkara untuk
sahnya nikah dengan
perempuan yang berzina.
Syarat pertama , bertaubat dari
perbuatan zinanya yang nista.
Dalam pensyaratan taubat, ada
dua pendapat di kalangan
ulama:
Disyaratkan bertaubat. Ini
merupakan madzhab Imam
Ahmad dan pendapat Qatadah,
Ishaq, dan Abu ‘ Ubaid.
Tidak disyaratkan bertaubat. Ini
merupakan pendapat Imam
Malik, Syafi ’ iy, dan Abu
Hanifah.
Tarjih
Yang benar dalam masalah ini
adalah pendapat pertama yang
mengatakan disyaratkan untuk
bertaubat.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah dalam Al-Fatawa
32/109, “ Menikahi perempuan
pezina adalah haram sampai ia
bertaubat, apakah yang
menikahinya itu adalah yang
menzinahinya atau selainnya.
Inilah (pendapat) yang benar
tanpa keraguan. ”
Tarjih di atas berdasarkan firman
Allah ‘ Azza Wa Jalla ,
“ Laki-laki yang berzina tidak
menikahi melainkan perempuan
yang berzina atau perempuan
yang musyrik. Dan perempuan
yang berzina tidak dinikahi
melainkan oleh laki-laki yang
berzina atau laki-laki musyrik.
Dan telah diharamkan hal
tersebut atas kaum mukminin.
” [ An-Nur: 3 ]
Lalu, dalam hadits ‘Amr bin
Syu’aib dari ayahnya, dari
kakeknya, ‘Abdullah bin ‘Amr
bin ‘Âsh, beliau berkata,

أَنَّ مَرْثَدَ بْنَ أَبِيْ
مَرْثَدٍ الْغَنَوِيَّ رَضِيَ
اللهُ عَنْهُ كَانَ يَحْمِلُ
الْأَسَارَى بِمَكَّةَ وَكَانَ
بِمَكَّةَ امْرَأَةٌ بَغِيٌّ
يُقَالُ لَهَا عَنَاقٌ وَكَانَتْ
صَدِيْقَتَهُ. قَالَ :
فَجِئْتُ إِلىَ النَّبِيِّ
صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى
آلِهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ يَا
رَسُوْلَ اللهِ أَنْكِحُ عَنَاقًا ؟
قَالَ : فَسَكَتَ عَنِّيْ
فَنَزَلَتْ : ))وَالزَّانِيَةُ لَا
يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ
مُشْرِكٌ(( فَدَعَانِيْ
فَقَرَأَهَا عَلَيَّ. وَقَالَ : لاَ
تَنْكِحْهَا

“ Sesungguhnya Martsad bin Abi
Martsad Al-Ghanawy membawa
tawanan perang dari Makkah,
dan di Makkah ada seorang
perempuan pelacur disebut
dengan (nama) ‘Anaq dan ia
adalah teman (Martsad).
(Martsad) berkata, ‘ Maka saya
datang kepada Nabi shallallahu ‘
alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam lalu
saya berkata, ‘ Ya Rasulullah,
(apakah) saya (boleh) menikahi ‘
Anaq? ’.’ Martsad berkata, ‘
Maka beliau diam, lalu turunlah
(ayat), ‘ Dan perempuan yang
berzina tidak dinikahi melainkan
oleh laki-laki yang berzina atau
laki-laki musyrik .’ Kemudian
beliau memanggilku lalu
membacakannya padaku dan
beliau berkata, ‘ Jangan kamu
menikahi dia .’ . ” (Hadits hasan,
riwayat Abu Daud no. 2051, At-
Tirmidzy no. 3177, An-Nasa`i
6/66 dan dalam Al-Kubra 3/269,
Al-Hakim 2/180, Al-Baihaqy
7/153, Ibnul Jauzy dalam At-
Tahqiq no. 1745, dan disebutkan
oleh Syaikh Muqbil rahimahullah
dalam Ash-Shahih Al-Musnad
Min Asbabin Nuzul )
Ayat dan hadits ini tegas
menunjukkan haram menikah
dengan perempuan pezina.
Namun, hukum haram tersebut
berlaku bila ia belum bertaubat.
Adapun kalau ia telah bertaubat
maka terhapuslah hukum haram
menikah dengan perempuan
pezina tersebut, berdasarkan
sabda Rasulullah shallallahu ‘
alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam,

التَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ
كَمَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ

“ Orang yang bertaubat dari
dosa seperti orang yang tidak
ada dosa baginya. ” (Dihasankan
oleh Syaikh Al-Albany dalam
Adh-Dha’ifah 2/83 dari seluruh
jalan-jalannya)
Adapun para ulama yang
mengatakan bahwa kata nikah
dalam ayat 3 surah An-Nur ini
bermakna jima ’ , atau yang
mengatakan bahwa ayat ini
mansukh ‘ terhapus hukumnya ’,
adalah pendapat yang jauh dari
kebenaran, dan pendapat ini
(yaitu yang mengatakan
bermakna jima’ atau mansukh)
telah dibantah secara tuntas
oleh Ibnu Taimiyah dalam Al-
Fatawa 32/112-116. Pendapat
yang mengatakan haram
menikah dengan perempuan
pezina sebelum bertaubat juga
dikuatkan oleh Asy-Syinqithy
dalam Adhwa` Al-Bayan
6/71-84 dan lihat Zadul Ma’ad
5/114-115.
Lihat permasalahan di atas
dalam Al-Ifshah 8/81-84, Al-
Mughny 9/562-563 (cet. Dar
‘Âlamil Kutub), dan Al-Jami’ Lil
Ikhtiyarat Al-Fiqhiyah
2/582-585.

Catatan
Sebagian ulama berpendapat
bahwa perlu diketahui
kesungguhan taubat perempuan
yang berzina ini dengan cara
dirayu untuk berzina. Kalau ia
menolak, berarti taubatnya telah
baik. Pendapat ini disebutkan
oleh Al-Mardawy dalam Al-
Inshaf 8/133, diriwayatkan dari
‘Umar dan Ibnu ‘Abbas, dan
merupakan pendapat Imam
Ahmad. Ibnu Taimiyah, dalam
Al-Fatawa 32/125, kelihatan
condong ke pendapat ini.
Tetapi Ibnu Qudamah, dalam Al-
Mughny 9/564, berpendapat
lain. Beliau berkata, “ Tidak
pantas bagi seorang muslim
mengajak perempuan untuk
berzina dan memintanya. Karena
permintaannya ini (dilakukan)
pada saat ber-khalwat
‘berduaan’ padahal tidak halal
ber-khalwat dengan Ajnabiyah
‘perempuan bukan mahram’
walaupun untuk mengajarinya
(Ajnabiyah) Al-Qur`an, maka
bagaimana (bisa) hal tersebut
dihalalkan dalam merayunya
(Ajnabiyah) untuk berzina? ”
Maka yang benar adalah ia
bertaubat atas perbuatan
zinanya, sebagaimana ia
bertaubat kalau melakukan dosa
besar yang lainnya. Yaitu dengan
lima syarat:
  1. Ikhlas karena Allah.

  2. Menyesali perbuatannya.

  3. Meninggalkan dosa tersebut.

  4. Ber-‘azam dengan sungguh-
    sungguh tidak akan
    mengulanginya.

  5. Pada waktu yang masih bisa
    bertaubat seperti sebelum
    matahari terbit dari Barat dan
    sebelum ruh sampai ke
    tenggorokan.

Dan bukan di sini tempat
menguraikan dalil-dalil lima
syarat ini. Wallahu A’lam.

Syarat Kedua , telah lepas
‘iddah.
Para ulama berbeda pendapat
apakah lepas ‘iddah, apakah
merupakan syarat bolehnya
menikahi perempuan yang
berzina atau tidak, ada dua
pendapat:
Pertama , wajib ‘iddah. Ini
adalah pendapat Hasan Al-
Bashry, An-Nakha’iy, Rabi’ah bin
‘Abdurrahman, Imam Malik, Ats-
Tsaury, Imam Ahmad dan Ishaq
bin Rahawaih.
Kedua , tidak wajib ‘iddah. Ini
adalah pendapat Imam Syafi’iy
dan Abu Hanifah, tapi ada
perbedaan antara mereka
berdua pada satu hal, yaitu
menurut Imam Syafi’iy boleh
untuk melakukan akad nikah
dengan perempuan yang berzina
dan boleh ber-jima’ dengannya
setelah akad, apakah orang yang
menikahinya itu adalah orang
yang menzinahinya itu sendiri
atau selainnya. Sedangkan Abu
Hanifah berpendapat boleh
melakukan akad nikah
dengannya dan boleh ber-jima’
dengannya, apabila yang
menikahinya adalah orang yang
menzinahinya itu sendiri. Tapi
kalau yang menikahinya selain
orang yang menzinahinya maka
boleh melakukan akad nikah
tapi tidak boleh ber- jima’
sampai istibra` (telah nampak
kosongnya rahim dari janin)
dengan satu kali haid atau
sampai melahirkan kalau
perempuan tersebut dalam
keadaan hamil.
Tarjih
Yang benar dalam masalah ini
adalah pendapat pertama yang
wajib ‘iddah berdasarkan dalil-
dalil berikut ini.
Dalil pertama , hadits Abu Sa’id
Al-Khudry radhiyallahu ‘anhu,
sesungguhnya Nabi shallallahu ‘
alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam
bersabda tentang tawanan
perang Authas,

لاَ تُوْطَأُ حَامِلٌ حَتَّى
تَضَعُ وَلاَ غَيْرُ حَامِلٍ
حَتَّى تَحِيْضَ حَيْضَةً

“ Jangan dipergauli perempuan
hamil sampai ia melahirkan dan
jangan (pula) yang tidak hamil
sampai ia telah haid satu kali.
” (diriwayatkan olehAhmad
3/62,87, Abu Daud no. 2157, Ad-
Darimy 2/224, Al-Hakim 2/212,
Al-Baihaqy 5/329, 7/449, Ath-
Thabarany dalam Al-Ausath no.
1973,dan Ibnul Jauzy dalam At-
Tahqiq no. 307. Di dalam
sanadnya ada rawi yang
bernama Syarik bin ‘Abdullah
An-Nakha’iy dan ia lemah
karena hafalannya yang jelek,
tetapi hadits ini mempunyai
dukungan dari jalan yang lain
dari beberapa orang shahabat
sehingga dishahihkan dari
seluruh jalan-jalannya oleh
Syaikh Al-Albany dalam Al-
Irwa` no. 187)
Dalil kedua , hadits Ruwaifi’ bin
Tsabit radhiyallahu ‘anhu dari
Nabi shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala
alihi wa sallam , beliau bersabda,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلاَ يَسْقِ
مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ

“ Siapa yang beriman kepada
Allah dan hari akhirat, maka
jangan ia menyiramkan airnya ke
tanaman orang lain.
” (diriwayatkan olehAhmad
4/108,Abu Daud no. 2158,At-
Tirmidzy no. 1131, Al-Baihaqy
7/449, Ibnu Qani’ dalam Mu’jam
Ash-Shahabah 1/217, Ibnu Sa’ad
dalam Ath-Thabaqat 2/114-115,
dan Ath-Thabarany 5/no. 4482.
Dihasankan oleh Syaikh Al-
Albany dalam Al-Irwa` no.
2137)
Dalil ketiga , hadits Abu Ad-
Darda` riwayat Muslimdari Nabi
shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi
wa sallam ,

أَنَّهُ أَتَى بِامْرَأَةٍ مُجِحٍّ
عَلَى بَابِ فُسْطَاطٍ
فَقَالَ لَعَلَّهُ يُرِيْدُ أَنْ
يُلِمَّ بِهَا فَقَالُوْا نَعَمْ
فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ
اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ
وَسَلَّمَ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ
أَلْعَنَهُ لَعْنًا يَدْخُلُ مَعَهُ
قَبْرَهُ كَيْفَ يُوَرِّثُهُ
وَهُوَ لاَ يَحِلُّ لَهُ كَيْفَ
يَسْتَخْدِمُهُ وَهُوَ لاَ
يَحِلُّ لَهُ .

“ Beliau mendatangi seorang
perempuan yang hampir
melahirkan di pintu Pusthath.
Beliau bersabda, ‘ Barangkali
orang itu ingin menggaulinya?
’ ( Para sahabat) menjawab, ‘
Benar. ’ Maka Rasulullah
shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi
wa sallam bersabda, ‘ Sungguh
saya telah berkehendak untuk
melaknatnya dengan laknat yang
dibawa ke kuburnya. Bagaimana
ia mewarisinya sedangkan itu
tidak halal baginya dan
bagaimana ia
memperbudakkannya sedang ia
tidak halal baginya ’ . ”
Berkata Ibnul Qayyim
rahimahullah, “ Dalam (hadits)
ini ada dalil yang sangat jelas
akan haramnya menikahi
perempuan hamil, apakah
hamilnya itu karena suaminya,
tuannya (kalau ia seorang
budak-pent.), syubhat (yaitu
nikah dengan orang yang haram
ia nikahi karena tidak tahu atau
karena ada kesamar-samaran-
pent.) atau karena zina. ”
Nampaklah dari sini kuatnya
pendapat yang mengatakan
wajib ‘iddah dan pendapat ini
yang dikuatkan oleh Ibnu
Taimiyah, Ibnul Qayyim, Asy-
Syinqithy, Syaikh Ibnu Baz dan
Al-Lajnah Ad-Daimah (Lembaga
Fatwa Saudi Arabia). Wallahu
A’lam.

Catatan

Nampak dari dalil-dalil yang
disebutkan di atas bahwa
perempuan hamil karena zina
tidak boleh dinikahi sampai
melahirkan, maka ini ‘iddah bagi
perempuan yang hamil karena
zina dan ini juga ditunjukkan
oleh keumuman firman Allah ‘
Azza Wa Jalla,
“ Dan perempuan-perempuan
yang hamil waktu ‘iddah mereka
sampai mereka melahirkan
kandungannya. ” [ Ath-Thalaq:
4 ]
Adapun perempuan yang
berzina dan belum nampak
hamilnya, ‘iddahnya
diperselisihkan oleh para ulama
yang mewajibkan ‘iddah bagi
perempuan yang berzina.
Sebagian para ulama
mengatakan bahwa iddahnya
adalah istibra` dengan satu kali
haid, sedangkan ulama yang
lainnya berpendapat bahwa tiga
kali haid yaitu sama dengan
‘iddah perempuan yang ditalak.
Namun, yang dikuatkan oleh
Imam Malik dan Ahmad, dalam
satu riwayat, adalah cukup
dengan istibra` dengan satu kali
haid. Pendapat ini yang
dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah
berdasarkan hadits Abu Sa’id Al-
Khudry di atas. Adapun ‘iddah
dengan tiga kali haid hanya
disebutkan dalam Al-Qur`an
bagi perempuan yang ditalak
(diceraikan) oleh suaminya,
sebagaimana dalam firman Allah
Jalla Sya`nuhu,
“ Dan wanita-wanita yang ditalak
(hendaknya) mereka menahan
diri (menunggu) selama tiga kali
quru`(haid). ” [ Al-Baqarah:
228 ]
Kesimpulan

  1. Tidak boleh menikah dengan
    perempuan yang berzina kecuali
    dengan dua syarat, yaitu bila
    perempuan tersebut telah
    bertaubat dari perbuatan
    nistanya dan telah lepas
    ‘iddahnya.

  2. Ketentuan perempuan yang
    berzina dianggap lepas ‘iddah
    adalah sebagai berikut:
    Kalau ia hamil, ‘iddahnya adalah
    sampai melahirkan.
    Kalau ia belum hamil, ‘iddahnya
    adalah sampai ia telah haid satu
    kali semenjak melakukan
    perzinahan tersebut.
Wallahu
Ta’ala A’lam.

Lihat pembahasan di atas dalam
Al-Mughny 9/561-565,
11/196-197, Al-Ifshah 8/81-84,
Al-Inshaf 8/132-133, Takmilah
Al-Majmu’ 17/348-349,
Raudhah Ath-Thalibin 8/375,
Bidayatul Mujtahid 2/40, Al-
Fatawa 32/109-134, Zadul
Ma’ad 5/104-105, 154-155,
Adhwa` Al-Bayan 6/71-84, dan
Jami’ Lil Ikhtiyarat Al-Fiqhiyah
Li Syaikhil Islam Ibnu Taimiyah
2/582-585, 847-850.

Telah jelas, dari uraian di atas,
bahwa perempuan yang hamil,
baik hamil karena pernikahan
sah, syubhat maupun karena
zina, ‘iddahnya adalah sampai
melahirkan. Para ulama
bersepakat bahwa akad nikah
pada masa ‘iddah adalah akad
yang batil lagi tidak sah. Kalau
keduanya tetap melakukan akad
nikah dan melakukan hubungan
suami-istri setelah keduanya
mengetahui haramnya
melakukan akad pada masa
‘iddah, keduanya dianggap
pezina dan keduanya harus
diberi hadd ‘ hukuman ’ sebagai
pezina kalau negara mereka
menerapkan hukum Islam.
Demikian keterangan Imam Ibnu
Qudamah dalam Al-Mughny
11/242.


Di sadur sebagian dari http://an-nashihah.com/?p=93

Read more..

Rabu, 16 Juni 2010

Kisah Kantong Sutra

Hakim Abu Bakar Muhammad
bin Abdul Baqi bin Muhammad
Al-
Bazzaz Al-Anshari

mengisahkan.
Aku tinggal dekat Mekah Al-
Mukarramah. Suatu hari aku
kelaparan,
tidak ada sepotong makanan
yang dapat mengganjal perutku,
sampai
akhirnya kutemukan sebuah
kantong sutra berhias rumbai-
rumbai sutra.
Aku mengambil dan membawa
pulang kantong itu. Setelah aku
buka,
ternyata isinya adalah seuntai
kalung mutiara yang sangat
indah tiada tara.
Ketika keluar dari rumah, aku
mendengar ada seorang tua
yang
membawa-bawa kantong berisi
uang 500 dinar berseru, “Akan
kuberikan
uang ini bagi siapa saja yang
mengembalikan kepadaku
kantong yang
berisi kalung mutiara. ”
Mendengar itu aku bergumam,
“ Aku sedang kekurangan dan
kelaparan, akan kuambil dinar
emas itu dan akan kukembalikan
kantong
miliknya. ”
Aku kemudian berkata kepada
orang tua itu, “Kemari, kek!”
Aku
mengajaknya ke rumah, lalu dia
menyampaikan padaku semua
ciri-ciri
kantong, rumbai-rumbai, dan
kalung mutiara lengkap dengan
jenis benang
yang digunakan untuk
merangkainya. Aku
mengeluarkan kantong itu dan
memberikannya. Sesuai janjinya,
dia kemudian memberikan lima
ratus
dinar, tapi aku tolak, “Aku harus
mengembalikan kantong itu
kepada Anda
tanpa meminta balas jasa
sepeserpun. ”
Namun, dia berkata, “Kamu
harus mengambilnya,” ia terus
mendesakku, tapi tetap aku
tolak, sampai dia pergi
meninggalkanku.

Tak lama berselang, aku
meninggalkan Mekah dengan
menaiki sebuah
kapal. Di tengah pelayaran,
kapal yang kutumpangi bocor
dan tenggelam.
Banyak penumpang dan harta
bawaan yang tenggelam,
sedangkan aku
selamat dengan berpegangan
pada sebuah potongan kayu
kapal. Arus laut
menghanyutkanku entah
kemana.
Singkat cerita, aku terdampar di
sebuah pulau yang ditinggali
oleh
sekelompok orang. Tak tahu
harus kemana, aku masuk ke
sebuah masjid
dan membaca al-Qur ’an.
Ternyata, banyak orang yang
mendengar
bacaanku. Mereka berkumpul di
sekelilingku dan berkata,
“ Ajarkan kami
al-Quran.”
Sejak saat itu aku mengajarkan
al-Qur ’an kepada mereka
sampai aku
berhasil mengumpulkan banyak
uang sebagai hasil jerih payahku
mengajarkan al-Qur ’an.
Waktu berlalu, sampai suatu saat
ketika aku sedang membaca
lembaran
mushaf Qur ’an di masjid,
beberapa orang bertanya
kepadaku, “Apakah
kamu dapat menulis?”
“Ya,” jawabku.
“Tolong ajari kami tulis menulis,”
kata mereka.
Tak lama berselang, mereka
kembali bersama anak-anak dan
para
pemuda untuk kuajari tulis-
menulis. Sekali lagi aku berhasil
mendapatkan
uang banyak sebagai hasil jerih
payahku mengajar mereka tulis-
menulis.
Waktu berlalu, ketika pada suatu
hari orang-orang datang
kepadaku
menyampaikan sesuatu, “Ada
seorang gadis yatim yang kaya
tinggal di sini,
kami memintamu untuk
menikahinya, ” ujar mereka.
Aku terkejut mendengar
permintaan mereka. Aku
menolaknya, tetapi
mereka terus mendesakku,
sampai aku tak kuasa menolak
permintaan
mereka.

Ketika dipertemukan dengan
gadis yatim itu, aku terkejut,
karena gadis
itu mengenakan kalung yang
dulu pernah kutemukan dan
telah
kukembalikan kepada
pemiliknya. Mataku tak berkedip
melihat kalung di
lehernya itu, sampai orang-orang
di sekelilingku berkata, “Wahai
Syaikh,
mengapa kau hancurkan hati
gadis itu dengan lebih
memperhatikan
kalung di lehernya dan
mengabaikannya. ”
Aku ceritakan kisahku dan
kalung itu dari awal.
Selesai mendengar ceritaku, tiba-
tiba mereka menyerukan takbir
dan
tahlil, sampai hampir seluruh
penduduk pulau itu mengetahui
apa yang
terjadi.
Dengan heran aku bertanya,
“ Apa gerangan yang terjadi?”
Salah seorang dari mereka
berkata, “Kakek tua yang
menerima
kalungnya darimu adalah ayah
gadis ini. Dulu, dia pernah
berdoa, ‘Aku
tidak pernah menemukan
seorang muslim seperti pemuda
yang
mengembalikan kalungku ini.
Oleh karena itu, ya Allah,
pertemukan aku
dengannya untuk aku
jodohkan dengan anakku.’”
Kini, aku telah menikah dengan
gadis yatim itu sampai kami
dikaruniai
dua orang anak. Beberapa saat
kemudian, istriku wafat,
meninggalkan
kalung mutiara dan dua orang
anak.
Setelah anakku meninggal,
tinggallah aku dengan kalung
bersejarah
itu. Kalung itu lalu kujual
seharga 1000 dinar dan
kulanjutkan hidupku
dengan hartaku itu.


Kisah ini tentang wara’ Dinukil
dari Al-Mukhtar min Faraid An-
Nuqul wa Al-Akhbar,jilid 3, hal.
63-67 dan Thabaqat Al-
Hanabilah, jilid 1, hal. 196.


Sumber:
http://facebook.com/
http://
rezasalafy.wordpress.com/
rumahbelajarku.wordpress.com/2010/06/15/%20kisah-kantong-sutra/

Read more..

Selasa, 15 Juni 2010

Mengenal Bid'ah

Penulis : Ustadz
Muslim Abu Ishaq Al Atsari

Al Allamah Asy Syaikh
Abdurrahman bin Nashir As
Sa`di rahimahullah memaparkan
tentang bid`ah : "Bid`ah adalah
perkara yang diada-adakan
dalam agama. Sesungguhnya
agama itu adalah apa yang
datangnya dari Nabi shallallahu
'alaihi wasallam sebagaimana
termaktub dalam Al Qur'an dan
As Sunnah. Dengan demikian
apa yang ditunjukkan oleh Al
Qur'an dan As Sunnah itulah
agama dan apa yang menyelisihi
Al Qur'an dan As Sunnah berarti
perkara itu adalah bid`ah. Ini
merupakan defenisi yang
mencakup dalam penjabaran arti
bid`ah. Sementara bid`ah itu
dari sisi keadaannya terbagi dua :

Pertama : Bid`ah I'tiqad
(bid`ah yang bersangkutan
dengan keyakinan)

Bid`ah ini juga diistilahkan
bid`ah qauliyah (bid`ah dalam
hal pendapat) dan yang menjadi
patokannya adalah sabda
Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam yang diriwayatkan
dalam kitab sunan :
"Umat ini akan terpecah menjadi
73 golongan, semuanya berada
dalam neraka kecuali satu
golongan".
Para shahabat bertanya : "Siapa
golongan yang satu itu wahai
Rasulullah ?.
Beliau menjawab : "Mereka yang
berpegang dengan apa yang aku
berada di atasnya pada hari ini
dan juga para shahabatku".
Yang selamat dari perbuatan
bid`ah ini hanyalah ahlus
sunnah wal jama`ah yang
mereka itu berpegang dengan
ajaran Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam dan apa yang
dipegangi oleh para shahabat
radliallahu anhum dalam
perkara ushul (pokok) secara
keseluruhannya, pokok-pokok
tauhid , masalah kerasulan
(kenabian), takdir, masalah-
masalah iman dan selainnya.
Sementara yang selain mereka
dari kelompok sempalan (yang
menyempal/keluar dari jalan
yang benar) seperti Khawarij,
Mu`tazilah, Jahmiyah,
Qadariyah, Rafidhah, Murji`ah
dan pecahan dari kelompok-
kelompok ini , semuanya
merupakan ahlul bid`ah dalam
perkara i`tiqad. Dan hukum
yang dijatuhkan kepada mereka
berbeda-beda, sesuai dengan
jauh dekatnya mereka dari
pokok-pokok agama, sesuai
dengan keyakinan atau
penafsiran mereka, dan sesuai
dengan selamat tidaknya ahlus
sunnah dari kejelekan pendapat
dan perbuatan mereka. Dan
perincian dalam permasalahan
ini sangatlah panjang untuk
dibawakan di sini.

Kedua : Bid`ah Amaliyah
(bid`ah yang bersangkutan
dengan amalan ibadah)

Bid`ah amaliyah adalah
penetapan satu ibadah dalam
agama ini padahal ibadah
tersebut tidak disyariatkan oleh
Allah dan Rasul-Nya. Dan perlu
diketahui bahwasanya setiap
ibadah yang tidak diperintahkan
oleh Penetap syariat (yakni Allah
ta`ala) baik perintah itu wajib
ataupun mustahab (sunnah)
maka itu adalah bid`ah amaliyah
dan masuk dalam sabda nabi
shallallahu alaihi wasallam :
"Siapa yang mengamalkan suatu
amalan yang tidak di atas
perintah kami maka amalannya
itu tertolak".
Karena itulah termasuk kaidah
yang dipegangi oleh para imam
termasuk Imam Ahmad
rahimahullah dan selain beliau
menyatakan :
"Ibadah itu pada asalnya
terlarang (tidak boleh
dikerjakan)"
Yakni tidak boleh menetapkan/
mensyariatkan satu ibadah
kecuali apa yang disyariatkan
oleh Allah dan Rasul-Nya.
Dan mereka menyatakan pula :
"Muamalah dan adat (kebiasaan)
itu pada asalnya dibolehkan
(tidak dilarang)"
Oleh karena itu tidak boleh
mengharamkan sesuatu dari
muamalah dan adat tersebut
kecuali apa yang Allah ta`ala
dan rasul-Nya haramkan.
Sehingga termasuk dari
kebodohan bila mengklaim
sebagian adat yang bukan
ibadah sebagai bid`ah yang
tidak boleh dikerjakan, padahal
perkaranya sebaliknya (yakni
adat bisa dilakukan) maka yang
menghukumi adat itu dengan
larangan dan pengharaman dia
adalah ahlu bid`ah (mubtadi).
Dengan demikian, tidak boleh
mengharamkan satu adat kecuali
apa yang diharamkan oleh Allah
dan Rasul-Nya.
Dan adat itu sendiri terbagi tiga :

Pertama : yang membantu
mewujudkan perkara kebaikan
dan ketaatan maka adat seperti
ini termasuk amalan qurbah
(yang mendekatkan diri kepada
Allah).
Kedua : yang membantu/
mengantarkan kepada
perbuatan dosa dan
permusuhan maka adat seperti
ini termasuk perkara yang
diharamkan.
Ketiga : adat yang tidak
masuk dalam bagian pertama
dan kedua (yakni tidak masuk
dalam amalan qurbah dan
tidak pula masuk dalam
perkara yang diharamkan)
maka adat seperti ini mubah
(boleh dikerjakan). Wallahu
a`lam.*****

(Al Fatawa As Sa`diyah, hal.
63-64 sebagaimana dinukil
dalam Fatawa Al Mar'ah Al
Muslimah)

asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=29
Read more..