Banner 468 X 60

Senin, 30 Agustus 2010

Anugrah Yang Terdzolimi

Agama Islam yang dibawa oleh
Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa
sallam- telah disempurnakan
oleh Allah -Subhanahu wa
Ta’ala- sebagai rahmat bagi
seluruh hamba-Nya, sehingga
agama ini tidak butuh tambahan,
pengurangan dan otak-atik.

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ
دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ
عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي
وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ
دِينًا

“Pada hari ini telah
Kusempurnakan untuk kamu
agamamu, dan telah Ku-
cukupkan kepadamu ni`mat-Ku,
dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi
agama bagimu”. (QS. Al-
Ma`idah: 3)
Di antara rahmat Allah -Ta’ala-
kepada hamba hamba-Nya,
disyari’atkannya “poligami”
(seorang laki laki memiliki lebih
dari satu istri) berdasarkan dalil-
dalil yang akan datang.
Namun berbicara masalah
poligami akan mengundang
berbagai tanggapan. Ada yang
menanggapinya secara posotif
dan ini datangnya dari ulama’
dan kaum beriman. Tetapi, ada
pula yang menanggapinya secara
negatif, bahkan menentangnya
dengan keras di antara segelintir
orang dari kalangan orang-
orang munafiq, dan orang-orang
yang jahil dari kaum wanita dan
laki-laki. Berbagai alasan
dilontarkan intuk menolak
poligami, entah dengan alasan
kecemburuan, emosi, atau tidak
siap dimadu, bahkan dengan
alasan ketidakadilan.
Mungkin dengan dasar inilah,
ada seorang penulis wanita (kami
tidak sebutkan namanya)
berusaha menentang, dan
menzholimi “anugerah
poligami” ini untuk membela
kaum wanita -menurut
sangkaannya-, padahal
sebenarnya ia menzholimi kaum
wanita. Maka dia pun
menuangkan
“ pembelaannya” (baca:
penzholimannya) tersebut dalam
bentuk tulisan yang dimuat oleh
koran “Kompas”, edisi 11
Desember 2006, dengan judul,
“Wabah itu Bernama
Poligami”. Sebuah judul yang
memukau bagi orang-orang jahil,
terlebih lagi orang-orang
munafiq. Namun hal itu sangat
berbahaya bagi keimanannya,
dan mengerikan bagi kaum
beriman. Betapa tidak, dia telah
berani menyebut poligami
sebagai “wabah”, dan telah
lancang berani menyebut syari’at
yang Allah -Ta’ala- sendiri yang
menurunkan-Nya sebagai
“wabah”. Dia telah menghina,
menentang dan mengingkari
anugerah yang Allah berikan
kepada hamba-Nya. Kalau
wanita ini menganggap
poligami adalah wabah,
berarti dia telah menganggap
bahwa Allah -Ta’ala- telah
menurunkan wabah kepada
para hamba-Nya,“Subhanallah
wa -Ta’ala- ‘an qaulihim
uluwwan kabiran !!!” Maha Suci,
dan Maha Tinggi Allah atas apa
yang mereka ucapkan.

Wanita untuk memuntahkan
kebenciannya, dan
penolakannya kepada syari’at
poligami, maka ia pun tidak
tanggung-tanggung
membawakan hadits untuk
menguatkan pendapatnya.
Padahal hadits itu tidaklah
menguatkan dirinya sedikitpun,
bahkan menolak dengan
kejahilannya: Wanita itu
membawakan hadits, bahwa
dilaporkan Nabi -Shollallahu
‘alaihi wasallam- marah ketika
beliau mendengar putrinya
Fatimah akan di poligami
suaminya, Ali bin Abi Thalib.
Beliau bergegas menuju mesjid,
naik mimbar dan menyampaikan
pidato, “Keluarga Bani Hasim bin
Al-Mughiroh telah meminta
izinku untuk menikahkan putri
mereka dengan Ali Bin Abi Thalib
saya tidak mengizinkan sama
sekali kecuali Ali menceraikan
putri Saya terlebih dahulu”.
Kemudian Nabi -Shollallahu
‘alaihi wasallam- melanjutkan,
“Fatimah adalah bagian dari-ku.
Apa yang mengganggu dia
adalah menggangguku dan apa
yang menyakiti dia adalah
menyakitiku juga”. Akhirnya, Ali
bin Abi Thalib tetap monogami
hingga Fatimah wafat.
Setelah membaca hadits diatas,
mungkin kita akan
menganggukkan kepala dan
membenarkan wanita tersebut.
Namun Saking “pandainya”
wanita ini, ia lupa riwayat lain
dalam Shohih Muslim (2449),
“Sesungguhnya aku tidak
mengharamkan yang halal
dan tidak menghalalkan yang
haram. Tapi, demi Allah, tidak
akan berkumpul putri
Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi
wa sallam- dengan putri
musuh Allah selamanya”.
Artinya, Nabi -Shollallahu ‘alaihi
wasallam- tidak mengharamkan
atas umatnya sesuatu yang halal,
yaitu poligami. Selain itu, Syaikh
Al-Adawiy dalam Fiqh Ta’addud
Az-Zaujat (126) berkata, “Di
antara kekhususan Nabi -
Shallallahu ‘alaihi wa sallam-,
putrinya tidak boleh dimadu. Ini
yang dikuatkan oleh Al-Hafizh
Ibnu Hajar dalam Fath Al-Bari
(9/329)”.
Perlu diketahui bahwa para
sahabat sepeninggal Nabi -
Shallallahu ‘alaihi wa sallam-,
bahkan Ali sendiri berpoligami
setelah Fathimah wafat. Ali bin
Rabi’ah berkata, “Dulu Ali
memiliki dua istri”. [HR. Ahmad
dalam Fadho’il Ash-Shohabah
(no.889)]. Ini menunjukkan
bahwa poligami tetap diamalkan
oleh para sahabat sepeninggal
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa
sallam-, bukan bersifat
kondisional !!
Lebih jauh lagi, Wanita itu
mengomentari ayat berikut,

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا
تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى
فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ
مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى
وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ
خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا
فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا
تَعُولُوا

“Dan jika kamu takut tidak akan
dapat berlaku adil terhadap
(hak-hak) perempuan yatim
(bilamana kamu mengawininya),
maka kawinilah wanita-wanita
(lain) yang kamu senangi: dua,
tiga atau empat. Kemudian jika
kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil, maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak
yang kamu miliki. Yang demikian
itu adalah lebih dekat kepada
tidak berbuat aniaya”. (QS. An-
Nisa`: 3)
Wanita ini berkata, “Ayat
tersebut turun setelah perang
Uhud, dimana banyak sahabat
wafat di medan perang. Ayat ini
memungkinkan lelaki muslim
mengawini janda, atau anak
yatim, jika dia yakin inilah cara
melindungi kepentingan mereka,
dan hartanya dengan penuh
keadilan. Jadi, ayat ini bersifat
kondisional”.
Yang menjadi pembahasan kita
dalam perkataannya adalah
bahwa ayat ini bersifat
kondisional, padahal seandainya
ayat ini bersifat kondisional,
justru ayat ini sangat
memungkinkan untuk diamalkan
pada zaman sekarang, karena
melihat perbandingan jumlah
wanita jauh lebih banyak
dibandingkan jumlah laki-laki.
Oleh karena itu, poligami di saat
sekarang ini mestinya lebih
disemarakkan! Selain itu, para
ulama membuat kaedah,
“Barometer dalam
menafsirkan ayat dilihat pada
keumuman lafazhnya, bukan
pada kekhususan sebab
turunnya ayat tertentu”. Jadi,
dilihat cakupan dan keumuman
ayat di atas dan lainnya, maka
mencakup semua lelaki yang
memiliki kemampuan lahiriah.
Kemudian, dia pun
mengomentari firman Allah
berikut -layaknya sebagai ahli
tafsir, padahal ia bukan
termasuk darinya-,

وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ
تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ
وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا
تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ
فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ
وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا
فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا
رَحِيمًا

“Dan kamu sekali-kali tidak akan
dapat berlaku adil di antara
isteri- isteri (mu), walaupun
kamu sangat ingin berbuat
demikian, karena itu janganlah
kamu terlalu cenderung
(kepada yang kamu cintai),
sehingga kamu biarkan yang lain
terkatung-katung. Dan jika kamu
mengadakan perbaikan dan
memelihara diri (dari
kecurangan), maka
sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha
Penyayang”. (QS. An-Nisa`:
129)
Wanita ini berkata dengan
congkak, “Ayat ini dapat
disimpulkan, Islam pada
dasarnya agama monogami”.
Pembaca -semoga dirahmati
Allah- beginilah apabila
menafsirkan ayat dengan
penafsiran sendiri, tanpa mau
melihat bagaimana para ulama
tafsir ketika menafsirkan ayat-
ayat Allah. Ayat ini justru
menunjukan disyari’atkannya
poligami. Dengarkan para ahli
tafsir ketika mereka menafsirkan
ayat di atas (QS. An-Nisa`: 129)
Ath-Thabariy -rahimahullah-
berkata, “Kalian, wahai kaum
lelaki, tak akan mampu
menyamakan istri-istrimu dalam
hal cinta di dalam hatimu sampai
kalian berbuat adil di antara
mereka dalam hal itu. Maka
tidak di hati kalian rasa cinta
kepada sebagiannya, kecuali ada
sesuatu yang sama dengan
madunya, karena hal itu kalian
tidak mampu melakukannya,
dan urusannya bukan kepada
kalian”. [Lihat Jami’ Al-Bayan
(9/284)]

Syaikh Muhammad bin Nashir
As-Sa’diy-rahimahullah- dalam
menafsirkan ayat di atas (QS.
An-Nisa`: 129), “Allah -Ta’ala-
mengabarkan bahwa suami tidak
akan mampu. Bukanlah
kesanggupan mereka berbuat
adil secara sempurna di antara
para istri, sebab keadilan
mengharuskan adanya
kecintaan, motivasi, dan
kecenderungan yang sama
dalam hati kepada para istri,
kemudian demikian pula
melakukan konsekuensi hal
tersebut. Ini adalah perkara yang
susah dan tidak mungkin. Oleh
karena itu, Allah -Ta’ala-
memaafkan perkara yang tidak
sangup untuk dilakukan.
Kemudian, Allah -Ta’ala-
melarang sesuatu yang mungkin
terjadi (yaitu, terlalu condong
kepada istri yang lain, tanpa
menunaikan hak-hak mereka
yang wajib-pent),

فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ
فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ

“Karena itu janganlah kamu
terlalu cenderung (kepada
yang kamu cintai), sehingga
kamu biarkan yang lain
terkatung-katung”. (QS. An-
Nisa`: 129)
Maksudnya, janganlah engkau
terlalu condong (kepada istri
yang lain) sehingga engkau tidak
menunaikan hak-haknya yang
wajib, bahkan kerjakanlah
sesuatu yang berada pada batas
kemampauan kalian berupa
keadilan. Maka memberi
nafkah, pakaian, pembagian
dan semisalnya, wajib bagi
kalian untuk berbuat adil di
antara istri-istri dalam hal
tersebut, lain halnya dengan
masalah kecintaan, jimak
(bersetubuh), dan semisalnya,
karena seorang istri, apabila
suaminya meninggalkan sesuatu
yang wajib (diberikan) kepada
sang istri, maka jadilah sang istri
dalam kondisi terkatung-katung
bagaikan wanita yang tidak
memiliki suami, lantaran itu sang
istri bisa luwes dan bersiap untuk
menikah lagi serta tidak lagi
memiliki suami yang menunaikan
hak-haknya”. [Lihat Taisir Al-
Karim Ar-Rahman (hal. 207)]
Lebih gamblang, seorang
mufassir ulung, Syaikh Asy-
Syinqithiy -rahimahullah- berkata
dalam Adhwa’ Al-Bayan (1/375)
ketika menafsirkan ayat di atas,
“Keadilan ini yang disebutkan
oleh Allah disini bahwa ia tak
mampu dilakukan adalah
keadilan dalan cinta, dan
kecenderungan secara tabi’at,
karena hal itu bukan di bawah
kemampaun manusia. Lain
halnya dengan keadilan dalam
hak-hak yang syar’iy, maka
sesuangguhnya itu mampu
dilakukan”.
Jadi, dari komentar para ahli
tafsir tadi, tidak ada di antara
mereka yang berdalil dengan
ayat itu untuk menolak poligami.
Lantas kenapa wanita ini tak mau
menoleh ucapan para ulama’
tafsir? Jawabnya, karena tafsiran
mereka tidak tunduk kepada
hawa nafsu wanita ini.
Adapun dalil dalil yang
menunjukan disyariatkannya
poligami antara lain, maka telah
berlalu dalam (QS. An-Nisa`:
3).

Di antara dalil poligami, Seorang
tabi’in, Sa’id bin Jubair, “Ibnu
Abbbas berkata kepadaku:
“Apakah engkau telah
menikah ?” Aku menjawab “
Belum”. Ibnu Abbas berkata,
“Maka menikahlah, karena
sebaik baik manusia pada umat
ini adalah orang yang paling
banyak istrinya”. [HR. Al-
Bukhariydalam Shohih-nya).
Satu lagi dalil poligami -namun
sebenarnya masih banyak-, Anas
bin Malik -radhiyallahu ‘anhu-
berkata, “Termasuk sunnah jika
seorang laki laki menikahi
perawan setellah istri
sebelumnya janda maka sang
suami pun tinggal di rumah istri
yang perawan ini selama tujuh
hari maka sang suami tinggal
dirumah istri yang janda selama
tiga hari kemudian dia bagi”. [HR
Bukhariy dalam Ash-Shohih]
Seorang ulama’ Syafi’iyyah, Al-
Hafizh Ibnu Hajar -rahimahullah-
dalam Fatul Bari (9/10) berkata,
“Dalam hadits ini, ada anjuran
untuk menikah dan
meninggalkan hidup
membujang”.
Setelah kita mengetahui dalil-
dalil yang menunjukan
disyari’atkannya seorang muslim,
laki-laki maupun wanita
melakukan poligami. Jadi, kami
nasihatkan kepada diri kami dan
para suami dan calon suami
untuk menikah hingga empat
orang istri, jika dia sanggup
untuk berbuat adil dalam
perkara lahirah, seperti,
pembagian malam, dan nafkah.
Adapun adil dalam perkara batin
(seperti, cinta, kesenangan jimak,
perasaan bahagia bersama
dengan salah satu diantara
mereka), maka ini bukan
merupakan syarat berdasarkan
hadits-hadits dari Nabi -
Shallallahu ‘alaihi wa sallam-
sebagaimana yang diterangkan
oleh para ulama.
Terakhir, Kami nasihatkan
kepada para wanita agar bersiap
untuk dimadu dan berlapang
dada untuk menerima anugerah
poligami ini, serta tidak
menentang syari’at poligami,
karena ini adalah kekufuran.
Samahatusy Syaikh Abdul Azizi
bin Baz-rahimahullah- berkata,
“Barangsiapa yang membenci
sedikitpun dari sesuatu yang
dibawa Rasulullah -Shollallahu
‘alaihi wasallam-, meskipun dia
mengamalkannya, maka
sungguh dia telah kafir. Allah -
Ta’ala- berfirman,

ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَرِهُوا مَا
أَنْزَلَ اللَّهُ فَأَحْبَطَ
أَعْمَالَهُمْ

“Yang demikian itu adalah
karena sesungguhnya mereka
benci kepada apa yang
diturunkan Allah (Al Qur’an) lalu
Allah menghapuskan (pahala-
pahala) amal-amal mereka”.
(QS. Muhammad: 9)[Lihat
Nawaqid Al-Islam]


Sumber : Buletin Jum’at Al-
Atsariyyah edisi 07 Tahun I.
Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas.
Alamat : Pesantren Tanwirus
Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58,
Kel. Borong Loe, Kec. Bonto
Marannu, Gowa-Sulsel. HP :
08124173512 (a/n Ust. Abu
Fa’izah).
www.almakassari.com/artikel-islam/fiqh/anugerah-yang-terzholimi.html#more-44

1 komentar:

Iwan setiawan mengatakan...

aku bangga dengan agaku(islam)...
ALLAHU AKBAR!!

Posting Komentar