Banner 468 X 60

Sabtu, 23 Oktober 2010

Hafalan Al Quran Menjadi Mahar Dalam Pernikahan

Penulis: Al-Ustadz Abu Ubaidah
Syafruddin

أَنْكَحْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ
مِنَ الْقُرْآنِ

Dari Sahl bin Sa’d As-Sa’idi
radhiyallahu ‘anhu berkata:
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah bersabda: “Aku
nikahkan kamu dengan dia
dengan mahar apa yang ada
padamu dari Al-Qur`an.”
Hadits ini diriwayatkan oleh:
Al-Imam Ahmad rahimahullahu
dalam Musnad-nya no. hadits
21733, 21783;
Al-Imam Al-Bukhari
rahimahullahu dalam Kitabul
Wakalah no. hadits 2310, Kitab
Fadhailul Qur`an no. hadits
5029, no. hadits 5030, Kitabun
Nikah no. hadits 5087, 5121,
5126, 5135, 5141, 5149, 5150;
Al-Imam Muslim rahimahullahu
dalam Kitabun Nikah no. hadits
1425;
Al-Imam At-Tirmidzi
rahimahullahu dalam Kitabun
Nikah ‘an Rasulillah no. hadits
1023;
Al-Imam An-Nasa`i
rahimahullahu dalam Kitabun
Nikah no. hadits 3228, 3306;
Al-Imam Abu Dawud
rahimahullahu dalam Kitabun
Nikah no. hadits 1806;
Al-Imam Ibnu Majah
rahimahullahu dalam Kitabun
Nikah no. hadits 1879;
Al-Imam Malik rahimahullahu
dalam Kitabun Nikah no. hadits
968;
Al-Imam Ad-Darimi
rahimahullahu dalam Kitabun
Nikah no. hadits 2104.
Adapun kelengkapan hadits di
atas dalam Shahih Al-Bukhari
Kitabun Nikah no. 5149:

عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ
السَّاعِدِيِّ يَقُولُ: إِنِّي
لَفِي الْقَوْمِ عِنْدَ رَسُولِ
اللهِ صلى الله عليه وسلم إِذْ
قَامَتِ امْرَأَةٌ فَقَالَتْ: يَا
رَسُولَ اللهِ، إِنَّهَا قَدْ
وَهَبَتْ نَفْسَهَا لَكَ فَرَ
فِيهَا رَأْيَكَ. فَلَمْ
يُجِبْهَا شَيْئًا، ثُمَّ
قَامَتْ فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ
اللهِ، إِنَّهَا قَدْ وَهَبَتْ
نَفْسَهَا لَكَ فَرَ فِيهَا
رَأْيَكَ. فَلَمْ يُجِبْهَا
شَيْئًا ثُمَّ قَامَتِ
الثَّالِثَةَ فَقَالَتْ: إِنَّهَا
قَدْ وَهَبَتْ نَفْسَهَا لَكَ
فَرَ فِيهَا رَأْيَكَ، فَقَامَ
رَجُلٌ فَقَالَ: يَا رَسُولَ
اللهِ، أَنْكِحْنِيهَا. قَالَ: هَلْ
عِنْدَكَ مِنْ شَيْءٍ؟ قَالَ: لاَ.
قَالَ: اذْهَبْ فَاطْلُبْ وَلَوْ
خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ. فَذَهَبَ
فَطَلَبَ ثُمَّ جَاءَ فَقَالَ:
مَا وَجَدْتُ شَيْئًا وَلاَ
خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ. فَقَالَ:
هَلْ مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ
شَيْءٌ؟ قَالَ: مَعِي سُورَةُ
كَذَا وَسُورَةُ كَذَا. قَالَ:
اذْهَبْ فَقَدْ أَنْكَحْتُكَهَا
بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ

Dari Sahl bin Sa’id As-Sai’di, ia
berkata: Sesungguhnya aku
berada pada suatu kaum di sisi
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam tiba-tiba berdirilah
seorang wanita seraya berkata:
“Wahai Rasulullah,
sesungguhnya dia telah
menghibahkan dirinya untukmu,
perhatikanlah dia, bagaimana
menurutmu.”1 Beliau pun diam
dan tidak menjawab sesuatupun.
Kemudian berdirilah wanita itu
dan berkata: “Wahai Rasulullah,
sesungguhnya dia telah
menghibahkan dirinya untukmu,
perhatikanlah dia, bagaimana
menurutmu.” Beliaupun diam
dan tidak menjawab sesuatupun.
Kemudian ia pun berdiri untuk
yang ketiga kalinya dan berkata:
“Sesungguhnya ia telah
menghibahkan dirinya untukmu,
perhatikan dia, bagaimana
menurutmu.” Kemudian
berdirilah seorang laki-laki dan
berkata: “Ya Rasulullah,
nikahkanlah saya dengannya.”
Beliaupun menjawab: “Apakah
kamu memiliki sesuatu?” Ia
berkata: “Tidak.” Kemudian
beliaupun berkata: “Pergilah dan
carilah (mahar) walaupun cincin
dari besi.” Kemudian iapun
mencarinya dan datang kembali
kepada Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam sambil berkata:
“Saya tidak mendapatkan
sesuatupun walaupun cincin dari
besi.” Maka Rasulullah bersabda:
“Apakah ada bersamamu
(hafalan) dari Al-Qur`an?” Ia
berkata: “Ada, saya hafal surat
ini dan itu.” Kemudian Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Pergilah, telah aku
nikahkan engkau dengan dia
dengan mahar berupa Al-
Qur`an yang ada padamu.”
Jalur Periwayatan Hadits
Hadits ini bermuara pada Abu
Hazim Salamah bin Dinar Al-
A’raj Al-Madani. Adapun para
rawi yang meriwayatkan dari
beliau yaitu Sufyan bin ‘Uyainah,
Malik bin Anas, Ya’qub bin
Abdurrahman, Hammad bin
Zaid, Abdul Aziz bin Muhammad
Ad-Darawardi, Za`idah bin
Qudamah Abu Ash-Shalt, Abdul
‘Aziz bin Abi Hazim Abu Tamam,
Abu Ghassan Al-Madani
Muhammad bin Mutharrif, dan
Fudhail bin Sulaiman An-
Numairi.
Makna dan Faedah Hadits
 Kalimat:

إِنِّي لَفِي الْقَوْمِ عِنْدَ
رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه
وسلم إِذْ قَامَتْ امْرَأَةٌ

“Sesungguhnya aku berada pada
suatu kaum di sisi Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba-
tiba berdirilah seorang wanita.”
Pada riwayat Fudhail bin
Sulaiman terdapat lafadz:

كُنَّا عِنْدَ النَّبِيِّ صلى
الله عليه وسلم جُلُوسًا
فَجَاءَتْهُ امْرَأَةٌ

Tatkala kami duduk-duduk di
sisi Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi
wa sallam, datanglah kepada
beliau seorang wanita.”
Pada riwayat Hisyam bin Sa’d
dengan lafadz:

بَيْنَمَا نَحْنُ عِنْدَ
النَّبِيِّ صلى الله عليه
وسلم أَتَتْ إِلَيْهِ امْرَأَةٌ

“Tatkala kami berada di sisi Nabi
Shallallâhu ‘alaihi wa sallam,
datanglah kepada beliau seorang
wanita. ”
Dan demikianlah keumuman
riwayat menggunakan lafadz
“Telah datang seorang wanita
kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam.”
Apabila dilihat secara zhahir,
riwayat ini bertentangan dengan
riwayat dari jalan Sufyan bin
‘Uyainah yang menggunakan
lafadz:

إِذْ قَامَتْ امْرَأَةٌ

Ketika berdiri seorang wanita.”
Yang mana, kemungkinan makna
قَامَتْ di sini adalah وَقَفَتْ,
artinya “berhenti berdiri
menghadap” maksudnya adalah
dia datang hingga berhenti
berdiri di tengah-tengah mereka,
bukan sebelumnya duduk di
majelis kemudian berdiri.
Dan pada riwayat Sufyan Ats-
Tsauri yang diriwayatkan oleh Al-
Isma’ili disebutkan:

جَاءَتِ امْرَأَةٌ إِلَى النَّبِيِّ
صلى الله عليه وسلم وَهُوَ
فِي الْمَسْجِدِ

“Telah datang seorang wanita
kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan beliau sedang
berada di masjid.”
Riwayat ini menerangkan tempat
kejadian kisah ini, yaitu di masjid.
Adapun nama wanita dalam
kisah ini, Al-Hafizh
rahimahullahu berkata: “Saya
belum menemukan siapa
namanya. Disebutkan dalam
kitab Al-Ahkam karya Ibnu Al-
Qasha’, wanita itu bernama
Khaulah bintu Hakim atau
Ummu Syarik radhiyallahu ‘anha.
Jika demikian, nama ini diperoleh
dari penukilan wanita yang
menawarkan dirinya kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang tersebut dalam tafsir
surat Al-Ahzab ayat 50:

وَامْرَأَةً مُؤْمِنَةً إِنْ وَهَبَتْ
نَفْسَهَا لِلنَّبِيِّ

“Dan perempuan beriman yang
menghibahkan dirinya kepada
Nabi.”
Dalam Kitab Tafsir, hadits no.
4788, Al-Hafizh Ibnu Hajar
rahimahullahu menyebutkan:
“Yang nampak, wanita yang
menghibahkan (menawarkan
diri) itu lebih dari satu orang.”
Namun beliau memastikan
bahwa wanita yang menawarkan
diri dalam hadits ‘Aisyah
radhiyallahu ‘anha adalah
Khaulah bintu Hakim
radhiyallahu ‘anha, meskipun
ada yang mengatakan ia adalah
Ummu Syarik atau Fathimah
bintu Syuraih. Ada juga yang
mengatakan bahwa dia adalah
Laila bintu Hathim atau Zainab
bintu Khuzaimah, dan dalam
riwayat yang lain Maimunah
bintul Harits. (Fathul Bari 8/646
dan 9/250)
 Kalimat:

فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ،
إِنَّهَا قَدْ وَهَبَتْ نَفْسَهَا
لَكَ

Ia berkata: ‘Sesungguhnya dia
telah menghibahkan dirinya
untukmu’.”
Dalam riwayat lain terdapat
lafadz:

فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ،
جِئْتُ أَهَبُ لَكَ نَفْسِي

“Ia berkata: ‘Ya Rasulullah, aku
datang untuk menghibahkan
diriku kepadamu’.”
Al-Imam An-Nawawi
rahimahullahu berkata:
“Diamnya Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam perkara
ini menjadi dalil atas bolehnya
seorang wanita menghibahkan
dirinya sebagai ganti atas mahar
dalam pernikahan. Hal ini
sebagaimana firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala:

وَامْرَأَةً مُؤْمِنَةً إِنْ وَهَبَتْ
نَفْسَهَا لِلنَّبِيِّ إِنْ
أَرَادَ النَّبِيُّ أَنْ
يَسْتَنْكِحَهَا خَالِصَةً
لَكَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ

“Dan perempuan beriman yang
menyerahkan dirinya kepada
Nabi, kalau Nabi mau
menikahinya, sebagai
pengkhususan bagimu, bukan
untuk semua orang
beriman.” (Al-Ahzab: 50)
Para sahabat kami (yakni
pengikut mazhab Syafi’iyah)
berkata bahwa ayat dan hadits
ini menjadi dalil dalam masalah
tersebut (penghibahan diri
seorang wanita). Maka, apabila
seorang wanita telah
menghibahkan dirinya untuk
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam kemudian beliau
menikahinya tanpa mahar, yang
demikian itu halal (sah) untuk
beliau. Tidak ada kewajiban sama
sekali atas beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam setelah itu
untuk membayar maharnya.
Berbeda dengan selain beliau,
karena pernikahannya tetap
diwajibkan untuk membayar
mahar sebagaimana telah
disebutkan.
Tentang perihal keabsahan akad
nikah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dengan lafadz ‘hibah’
terdapat dua pendapat:
- Ada yang mengatakan sah
sesuai dengan ayat dan hadits di
atas.
- Ada yang berpendapat tidak
sah, bahkan akad nikah tidak
sah kecuali dengan lafadz tazwij
atau inkah. Tidaklah sah akad
nikah, kecuali dengan salah satu
dari dua kalimat tersebut. (Al-
Minhaj, 9/215)
Al-Hafizh rahimahullahu berkata:
“ Pada lafadz penghibahan
terdapat dalil bahwasanya
menghibahkan diri dalam
pernikahan merupakan
kekhususan bagi Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal
ini berdasarkan ucapan para
sahabat ketika ingin menikahi
wanita yang telah menghibahkan
dirinya kepada Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam dengan
mengatakan: “Nikahkanlah saya
dengannya.” Mereka tidak
mengatakan: “Hibahkanlah dia
untuk saya.” Juga berdasarkan
ucapan wanita tersebut: “Aku
telah menghibahkan diriku
untukmu.” Dan beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak memberikan komentar atas
perkara itu. Hal ini menjadi bukti
tentang bolehnya perkara ini
khusus bagi beliau. Juga
didukung dengan ayat:
خَالِصَةً لَكَ مِنْ دُونِ
الْمُؤْمِنِينَ
“Sebagai pengkhususan bagimu,
bukan untuk semua orang
beriman.” (Al-Ahzab: 50)
[Fathul Bari, 9/254-255]
 Lafadz:
فَلَمْ يُجِبْهَا شَيْئًا
“Dan beliau tidak memberi
jawaban sesuatupun.”
Pada riwayat Ma’mar, Ats-Tsauri,
dan Za`idah menggunakan
lafadz:
فَصَمَتَ
“Beliau diam.”
Adapun pada riwayat Ya’qub,
Ibnu Abi Hazim, dan Hisyam bin
Sa’d dengan lafadz:
فَصَعَّدَ النَّظَرَ فِيهَا
وَصَوَّبَهُ
“Beliau melihat bagian atas dan
bawahnya.”
An-Nawawi rahimahullahu
berkata: فَصَعَّدَ bermakna
رَفَعَ artinya menengadahkan
pandangan (melihat bagian atas).
Adapun صَوَّبَهُ bermakna
خَفَضَ artinya menundukkan
(melihat bagian bawah). Setelah
itu beliau menundukkan kepala,
terdiam, dan tidak memberikan
jawaban. Dalam hal ini terdapat
dalil bolehnya melihat seorang
wanita yang akan dinikahi,
walaupun dengan memerhatikan
keadaan dirinya secara saksama.
 Lafadz:
فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ: يَا
رَسُولَ اللهِ أَنْكِحْنِيهَا
“Lalu berdiri seorang laki-laki
dan berkata: ‘Ya Rasulullah,
nikahkanlah saya dengannya’.”
Pada riwayat Fudhail bin
Sulaiman terdapat tambahan
“dari sahabat Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Al-Hafizh rahimahullahu berkata:
“ Saya tidak mengetahui siapa
nama sahabat tersebut. Namun
dalam riwayat Ma’mar dan Ats-
Tsauri yang diriwayatkan Al-
Imam Ath-Thabarani
rahimahullahu disebutkan:
“Berdirilah seorang laki-laki, saya
kira dia dari kaum Anshar.”
Adapun pada riwayat Za`idah:
“Telah berdiri seorang laki-laki
dari kaum Anshar dan ia
berkata: ‘Ya Rasulullah,
nikahkanlah saya dengannya’.”
Pada riwayat Malik
rahimahullahu dengan lafadz:
زَوِّجْنِيهَا إِنْ لَمْ تَكُنْ
لَكَ بِهَا حَاجَةٌ
“Nikahkanlah saya dengannya
jika engkau tidak berkeinginan
terhadapnya.”
 Lafadz:
قَالَ: هَلْ عِنْدَكَ مِنْ شَيْءٍ
“Beliau berkata: ‘Apakah engkau
memiliki sesuatu?’.”
Dalam riwayat Malik terdapat
tambahan: “Sesuatu yang dapat
kamu (berikan) kepadanya
sebagai mahar?” Iapun
menjawab: “Tidak.”
Dalam riwayat Ya’qub dan Ibnu
Abi Hazim: Ia menjawab: “Tidak,
demi Allah, wahai Rasulullah.”
Sedangkan pada riwayat Hisyam
bin Sa’d dengan lafadz:
“Rasulullah berkata: ‘Harus ada
sesuatu (mahar) untuknya’.”
Dalam hadits Ibnu ‘Abbas
radhiyallahu ‘anhuma disebutkan
bahwa seorang laki-laki berkata:
“Jika seorang wanita ridha
dengan saya, nikahkanlah saya
dengannya.” Maka Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun
bertanya: “Apa maharnya?” Ia
menjawab: “Saya tidak punya
sesuatupun.” Beliau berkata:
“Carilah mahar untuknya, sedikit
atau banyak.” Ia berkata: “Demi
Dzat yang mengutusmu dengan
kebenaran, saya tidak punya
apa-apa.”
 Lafadz:

اذْهَبْ فَاطْلُبْ وَلَوْ
خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ

“Pergi dan carilah, walaupun
sebuah cincin dari besi.”
An-Nawawi rahimahullahu
berkata: “Di sini terdapat dalil
bahwa nikah tidak sah kecuali
dengan adanya mahar. Karena
hal ini merupakan jalan keluar
dari perselisihan, lebih
bermanfaat bagi wanita dari sisi
andaikata terjadi perceraian
sebelum ia menggaulinya, wajib
atasnya separuh dari mahar yang
telah disebutkan. Kalaupun
dilakukan akad nikah tanpa
mahar, maka sah nikahnya,
sebagaimana firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala:

لاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ
طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ
تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا
لَهُنَّ فَرِيضَةً

“Tidak ada kewajiban membayar
(mahar) atas kamu, jika kamu
menceraikan istri-istrimu sebelum
kamu bercampur dengan
mereka dan sebelum kamu
menentukan maharnya.” (Al-
Baqarah: 236)
Pada lafadz ini terdapat dalil
tentang bolehnya mahar itu
sedikit atau banyak dari sesuatu
yang berupa harta jika terjadi
keridhaan pada kedua belah
pihak. Karena cincin besi
menunjukkan harta yang paling
sedikit. Dan inilah pendapat
mayoritas ulama dahulu dan
sekarang, sebagaimana
dinyatakan oleh Rabi’ah, Abu
Zinad, Ibnu Abi Zaid, Yahya bin
Sa’id, Laits bin Sa’d, Ats-Tsauri,
Al-Auza’i, Muslim bin Khalid Az-
Zanji, Ibnu Abi Laila, Dawud, dan
ahli fiqih dari kalangan ahlul
hadits serta Ibnu Wahab.
Al-Qadhi rahimahullahu berkata:
“Inilah mazhab atau pendapat
seluruh ulama penduduk Hijaz,
Bashrah, Kufah, Syam dan selain
mereka, bahwa boleh bentuk
mahar apapun selama
dengannya terjadi keridhaan dari
kedua belah pihak, walaupun
sedikit. Seperti cambuk/cemeti,
sandal, cincin besi, dan
semisalnya.”
Al-Imam Malik rahimahullahu
berkata: “Paling sedikit
seperempat dinar seperti batasan
hukuman bagi orang yang
mencuri.” Al-Qadhi Iyadh
rahimahullahu berkata:
“Pendapat ini termasuk
pendapat yang Al-Imam Malik
rahimahullahu menyendiri
padanya.”
Abu Hanifah rahimahullahu dan
pengikutnya berkata: “Sedikitnya
sepuluh dirham.” Ibnu
Syubrumah rahimahullahu
berkata: “Paling sedikit lima
dirham, seperti batasan
dipotongnya tangan bagi
seorang yang mencuri.”
Dalam perkara pernikahan, An-
Nakha’i rahimahullahu tidak
menyukai mahar yang kurang
dari 42 dirham. Terkadang beliau
mengatakan kurang dari sepuluh
(dirham).
Semua pendapat ini selain
pendapat jumhur, merupakan
pendapat yang menyelisihi As-
Sunnah. Pendapat mereka
terbantah dengan hadits yang
shahih serta jelas ini.
Dalam hadits ini juga terdapat
dalil atas pendapat yang
menyatakan bolehnya memakai
cincin dari besi walaupun di
dalamnya terdapat perselisihan
di kalangan ulama salaf,
sebagaimana yang dihikayatkan
oleh Al-Qadhi rahimahullahu. Di
kalangan Syafi’iyah ada dua
pendapat, dan yang paling benar
dari keduanya adalah pendapat
yang membolehkan, karena
hadits yang melarang dalam hal
ini lemah.
Juga disunnahkan untuk
menyegerakan dalam
menyerahkan mahar kepada
calon istri.
 Lafadz:

هَلْ مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ
شَيْءٌ؟ قَالَ: مَعِي سُورَةُ
كَذَا وَسُورَةُ كَذَا

“Apakah ada bersamamu
(hafalan) dari Al-Qur`an?” Ia
berkata: “Ada, saya hafal surat
ini dan itu.”
Dalam riwayat Sunan Abu
Dawud dan An-Nasa`i dari
hadits Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu disebutkan, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bertanya: “Apa yang kamu hafal
dari Al-Qur`an?” Sahabat itu
pun menjawab: “Surat Al-
Baqarah dan yang berikutnya.”
Dalam hadits Ibnu ‘Abbas
radhiyallahu ‘anhuma dengan
lafadz: “Aku nikahkan dia
denganmu dengan engkau
ajarkan kepadanya empat atau
lima surat dari Kitabullah
(sebagai maharnya).”
 Lafadz:
اذْهَبْ فَقَدْ أَنْكَحْتُكَهَا
بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ
“Pergilah, telah aku nikahkan
engkau dengannya dengan
mahar apa yang ada padamu
dari Al-Qur`an.”
Pada riwayat dari jalan Al-Imam
Malik rahimahullahu terdapat
lafadz:
قَدْ زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ
مِنَ الْقُرْآنِ
“Sungguh aku nikahkan engkau
dengannya dengan (mahar) Al-
Qur`an yang ada padamu.”
Demikian pula pada riwayat Ats-
Tsauri yang diriwayatkan Ibnu
Majah rahimahullahu dengan
lafadz:
قَدْ زَوَّجْتُكَهَا عَلَى مَا
مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ
“Sungguh aku nikahkan engkau
dengannya atas (mahar) Al-
Qur`an yang ada padamu.”
Pada riwayat Ats-Tsauri dan
Ma’mar yang diriwayatkan Ath-
Thabarani rahimahullahu dengan
lafadz:
قَدْ مَلَكْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ
مِنَ الْقُرْآنِ
“Sungguh aku jadikan engkau
memilikinya dengan (mahar) Al-
Qur`an yang ada padamu.”
Sebagian ulama (Abu Bakr Ar-
Razi dari kalangan Hanafiyah
dan Ar-Rafi’i dari kalangan
Syafi’iyah) menjadikan hadits ini
sebagai dalil bahwa barangsiapa
yang berkata: “Nikahkanlah aku
dengan fulanah,” kemudian
dikatakan kepadanya:
زَوَّجْتُكَهَا بِكَذَا
“Telah aku nikahkan engkau
dengannya dengan mahar
demikian dan demikian.” Maka
telah cukup yang demikian itu
dan calon suami tidak butuh
untuk mengatakan: قَبِلْتُ
(Aku terima).
Sebagian yang lain menjadikan
dalil bolehnya menikahkan dan
sah dengan lafadz selain tazwij
atau inkah berdasarkan lafadz
hadits مَلكْتُكَهَا.
Al-Hafizh rahimahullahu berkata:
“ Meski terdapat sekian lafadz,
namun yang nampak bahwa
yang diucapkan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah salah satu dari yang ada.
Maka yang benar dalam masalah
yang seperti ini adalah
memandang kepada yang
terkuat. Dan telah dinukil dari
Al-Imam Ad-Daraquthni
rahimahullahu, bahwa yang
benar adalah riwayat yang
menyebutkan dengan lafadz:
زَوَّجْتُكَهَا karena mereka
lebih banyak dan lebih kuat
hafalannya.
Ibnul Jauzi rahimahullahu
mengkritik bahwa riwayat Abu
Ghassan dengan lafadz
أَنْكَحْتُكَهَا dan riwayat yang
lainnya dengan lafadz
زَوَّجْتُكَهَا tidaklah
diriwayatkan kecuali dari tiga
orang saja. Mereka adalah
Ma’mar, Ya’qub, dan Ibnu Abi
Hazim. Beliau berkata: “Ma’mar
banyak kesalahan dan dua yang
lainnya (Ya’qub dan Ibnu Abi
Hazim) bukanlah orang yang
kuat hafalannya.”
Berkata Al-Hafizh rahimahullahu:
“ Apa yang dituturkan Ibnul Jauzi
rahimahullahu berupa kritikan
atas tiga orang rawi tadi
terbantah. Lebih-lebih Abdul
Aziz bin Abi Hazim, riwayatnya
dikuatkan karena beliau
meriwayatkan dari orangtuanya.
Seseorang yang meriwayatkan
dari keluarganya, lebih tahu
tentang riwayat tersebut
dibandingkan orang lain. Kami
telah memilih orang-orang yang
meriwayatkan dengan lafadz
تَزْوِيج dibandingkan yang
meriwayatkan dengan lafadz
selain tadi. Lebih-lebih di
dalamnya terdapat riwayat para
hafizh seperti Al-Imam Malik
rahimahullahu, Sufyan bin
Uyainah rahimahullahu, dan
yang semisal mereka, dengan
lafadz أَنْكَحْتُكَهَا.
Ibnu Tin rahimahullahu berkata:
“Ahlul hadits telah sepakat
bahwa yang benar dalam hal ini
adalah riwayat yang
menggunakan lafadz
زَوَّجْتُكَهَا. Adapun riwayat
yang menggunakan lafadz
مَلكْتُكَهَا adalah meragukan
atau bimbang (وَهْمٌ).
Faedah dari Hadits
Di antara faedah lain yang dapat
diambil dari hadits di atas:
 Bolehnya seorang wanita
menawarkan diri kepada seorang
laki-laki yang shalih agar ia (laki-
laki itu) menikahinya.
 Disunnahkan bagi seorang
wanita yang meminta dari
seorang laki-laki (untuk
menikahinya) namun tidak
memungkinkan bagi laki-laki
tersebut untuk memenuhinya,
hendaknya seorang wanita dapat
menahan diri (diam) dengan
diam yang dapat dipahami oleh
seorang yang dimintai hajat.
Janganlah membuat laki-laki
tersebut malu dari menolak.
Tidak sepantasnya dalam
meminta disertai dengan terus-
menerus mendesak. Termasuk
dalam hal ini yaitu meminta
dalam urusan dunia dan agama
dari seorang ahli ilmu. (Seperti
seseorang bertanya kepada
ulama setelah selesai
menuturkan soal kemudian
ulama tersebut diam, maka tidak
sepantasnya untuk meminta
dengan terus mendesak agar
diberikan jawaban, -pen)
 Tidak ada batasan dalam
mahar tentang sedikit atau
banyaknya.
 Bolehnya menjadikan hafalan
Al-Qur`an sebagai mahar
dengan cara mengajarkan
kepada istrinya.
 Sekufu dalam pernikahan
adalah dalam hal status diri
apakah ia budak atau merdeka,
dalam agama, nasab, dan bukan
dalam hal harta. Karena dalam
hadits di atas, laki-laki tadi tidak
memiliki harta yang ia jadikan
sebagai mahar kecuali hafalan
Al-Qur`an yang ada padanya.
(lihat Fathul Bari 8/250-262, Al-
Minhaj, 9/215-217)
 Sebaik-baik mahar dalam
pernikahan ialah yang sedikit
bebannya kepada suami
berdasarkan hadits ‘Uqbah bin
‘Amir radhiyallahu ‘anhu:
خَيْرُ النِّكَاحِ أَيْسَرُهُ
“Sebaik-baik nikah ialah yang
paling mudah
(maharnya).” (Shahih Abu
Dawud, no. 2117, Taudhihul
Ahkam, 5/311)
Wallahu a‘lam.
1 Dalam riwayat Malik:
“Sesungguhnya saya
menghibahkan diri saya
untukmu.” Namun di sini
menggunakan kata ganti orang
ketiga “dia”. Ini disebut dengan
uslub iltifat. (lihat Al-Fath, 9/206)
-ed
(Sumber: Majalah Asy Syariah,
Vol. IV/No. 39/1429H/2008,
kategori: Hadits, hal. 35-40.
Dicopy dari http://
www.asysyariah.com/print.php?
id_online=642)

www.akhwat.web.id/muslimah-salafiyah/munakahat-keluarga/hafalan-al-quran-menjadi-mahar-dalam-pernikahan/
Read more..

Rabu, 20 Oktober 2010

Hukum-Hukum Merayakan Iedul Adha

Departemen Agama Arab Saudi

Akhi Muslim…….
Puji dan syukur kita panjatkan
kepada Allah yang telah
mempertemukan kita kepada
hari yang agung ini dan
memanjangkan umur kita
sehingga dapat menyaksikan hari
dan bulan berlalu dan
mempersembahkan kepada kita
perbuatan dan ucapan yang
dapat mendekatkan kita kepada
Allah.
Hari Raya qurban, termasuk
kekhususan umat ini dan
termasuk tanda-tanda agama
yang tampak, juga termasuk
syi’ar-syi’ar Islam, maka
hendaknya kita menjaganya dan
menghormatinya.
Demikianlah (perintah Allah),
dan barangsiapa mengagungkan
syi’ar-syi’ar Allah, maka
sesungguhnya itu timbul dari
ketakwaan hati (Al Hajj 32).
Berikut ini akan dijelaskan secara
ringkas adab-adab dan hukum-
hukum tentang hari raya:

1. Takbir
Disyari’atkan bertakbir sejak
terbit fajar pada hari Arafah
hingga waktu Ashar hari tasyrik
terakhir, yaitu pada tanggal
tinggal belas Dzul Hijjah . Allah
ta’ala berfirman: Dan berzikirlah
(dengan menyebut) dalam
beberapa hari yang terbilang (Al
Baqarah 203)
Caranya dengan membaca:
Allahu Akbar Allahu Akbar Laa
Ilahaillallahu Allahu Akbar
Allahu Akbar wa lillahilhamd
"Allah Maha Besar, Allah Maha
Besar. Tiada Tuhan selain Allah,
Allah Maha Besar. Allah Maha
Besar dan bagi-Nya segala
pujian"
Disunnahkan mengeraskan
suaranya bagi orang laki di
masjid-masjid, pasar-pasar dan
rumah-rumah setelah
melaksanakan shalat, sebagai
pernyataan atas pengagungan
kepada Allah, beribadah
kepada-Nya dan mensyukuri-
Nya.

2. Menyembelih binatang
korban.

Hal tersebut dilakukan setelah
selesai shalat Id, berdasarkan
sabda Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wassalam (yang artinya):
Siapa yang menyembelih
sebelum shalat maka hendaklah
dia menggantinya dengan hewan
kurban yang lain, dan siapa yang
belum menyembelih, maka
hendaklah dia menyembelih
(Riwayat Bukhori dan Muslim)
Waktu menyembelih kurban
adalah empat hari, hari raya dan
tiga hari tasyrik, sebagaimana
terdapat dalam hadits shahih
dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wassalam beliau bersabda (yang
artinya): Semua hari tasyrik
adalah (waktu) menyembelih
(Lihat Silsilah Shahihah no. 2476)

3. Mandi dan mengenakan
wewangian

Hal ini bagi orang laki dan
memakai pakaian yang paling
bagus tanpa berlebih-lebihan,
tanpa isbal (menjulurkan
pakaiannya hingga melebihi mata
kaki), tidak mencukur janggut
karena hal tersebut haram
hukumnya. Sedang-kan wanita
disyari’atkan baginya keluar
menuju tempat shalat Id tanpa
tabarruj, tanpa memakai
wewangian dan hendak-lah
seorang muslimah berhati-hati
berang-kat dalam rangka ta’at
kepada Allah dan shalat sedang
dia melakukan maksiat kepada-
Nya dengan tabarruj, membuka
aurat dan memakai wewangian
di hadapan orang laki.

4. Makan daging korban
RasulullahShalallahu ‘alaihi
wassalam tidak makan daging
korban sebelum pulang dari
shalat Id, setelah itu baru dia
memakannya.

5. Pergi ke tempat shalat Id
Berjalan kaki jika memungkin-
kan dan disunnahkan shalat Id di
lapangan terbuka, kecuali jika
terdapat uzur seperti hujan
misalnya, maka pada saat itu
sebaiknya shalat di masjid
berdasarkan perbuatan
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wassalam.

6. Shalat bersama kaum
muslimin dan mendengarkan
khutbah.

Adapun yang dikuatkan oleh
para ulama seperti Syekh Islam
Ibnu Taimiyah bahwa shalat Id
hukumnya wajib berdasarkan
firman Allah ta’ala (yang artinya):
Maka dirikanlah sholat karena
Tuhanmu dan berqurbanlah (Al
Kautsar:2)
perbuatan tersebut tidak gugur
kecuali dengan uzur syar’i.
Adapun wanita tetap
diperintahkan menghadiri shalat
Id bersama kaum muslimin,
bahkan sekalipun yang haid dan
para budak dan bagi mereka
yang haidh di jauhkan dari
tempat shalat.

7. Menempuh jalan yang
berbeda

Disunnahkan untuk berangkat
ke tempat shalat Id lewat satu
jalan dan pulang lewat jalan
yang lain berdasarkan perbuatan
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wassalam.

8. Ucapan selamat
Tidak mengapa saling
mengucapkan selamat seperti :
Taqobalallahu Minna wa
Minkum
"Semoga Allah menerima (amal)
kita dan anda sekalian".
Akhi muslim…..
Ada beberapa hal yang patut
kita hindari saat hari raya :
  1. Takbir secara berbarengan :
    Dengan satu suara atau
    mengikuti bersama-sama
    dibelakang seseorang yang
    bertakbir.
  2. Lalai pada hari Id. Yaitu dengan
    melakukan hal-hal yang
    diharamkan seperti
    mendengarkan lagu-lagu,
    menonton film, ikhtilath antar
    laki dan wanita yang bukan
    muhrim dan kemungkaran-
    kemungkaran lainnya.
  3. Mencabut rambut atau
    memotong kuku sebelum
    melaksanakan penyembelihan
    korban, karena ada larangan
    Nabi dalam masalah ini.
  4. Berlebih-lebihan atas sesuatu
    yang tidak perlu dan berfaedah
    berdasar-kan firman Allah ta’ala:
    Dan janganlah berlebih-lebihan.
    Sesungguhnya Allah tidak
    menyukai orang yang berlebih-
    lebihan (Al A’raf: 31)
Akhirulkalam …
Janganlah anda lupa wahai akhi
muslim untuk selalu berupaya
mendapatkan kebaikan seperti
bersilatur-rahim, berkunjung
kepada sanak saudara,
meninggalkan permusuhan,
kedengkian serta mensucikan
hati dan penuh kasih kepada
fakir miskin serta anak yatim
serta membantu mereka dan
mendatangkan kegembiraan
kepada mereka.
Kita mohon kepada Allah agar
memberi kita taufiq-Nya atas apa
yang Dia cintai dan ridhoi.
Wa Sholallahu ‘Alaihi Wa Sallam
‘Ala Nabiyyina Muhammad Wa
‘Ala Alihi Wa Shohbihi Wa Sallam

Dinukil dari Buku Edisi Indonesia
"Keutamaan sepuluh hari
(pertama) Dzulhijjah
dan Hukum berkurban dan
‘Iedhul Adha yang berbarakah"
Seksi Terjemah Kantor Sosial,
Dakwah & Penyuluhan Bagi
Pendatang
Pemerintah Arab Saudi
Sumber: www.salafy.or.id

www.ghuroba.blogsome.com/2007/12/18/hukum-hukum-merayakan-idul-adha/#more-220

Read more..

Tuntunan Dalam Ibadah Qurban

Al Ustadz Azhari bin Muhammad
Asri

Iedul Qurban adalah salah satu
hari raya di antara dua hari raya
kaum muslimin, dan merupakan
rahmat Allah Subhanahu wa
taala bagi ummat Muhammad
shallallahu alaihi wa sallam.
Hal ini diterangkan dalam hadits
Anas radiyallahu anhu, beliau
berkata: Nabi shallallhu alaihi wa
sallam datang, sedangkan
penduduk Madinah di masa
jahiliyyah memiliki dua hari raya
yang mereka bersuka ria
padanya (tahun baru dan hari
pemuda (aunul mabud), maka
(beliau) bersabda: "Aku datang
kepada kalian, sedangkan kalian
memiliki dua hari raya yang
kalian bersuka ria padanya di
masa jahiliyyah, kemudian Allah
menggantikan untuk kalian dua
hari raya yang lebih baik dari
keduanya; hari Iedul Qurban
dan hari Iedul Fitri." (HR.
Ahmad, Abu Daud, An-Nasai
dan Al-Baghawi, shahih, lihat
Ahkamul Iedain hal. 8 ).
Selain itu, pada Hari Raya
Qurban terdapat ibadah yang
besar pahalanya di sisi Allah,
yaitu shalat Ied dan
menyembelih hewan kurban.
Insyallah pada kesempatan kali
ini kami akan menjelaskan
beberapa hukum-hukum yang
berkaitan dengan Iedul Qurban,
agar kita bisa melaksanakan
ibadah besar ini dengan disertai
ilmu.

1. HUKUM MENYEMBELIH
QURBAN

Para Ulama berselisih pendapat
tentang hukumnya. Sedangkan
menurut pendapat yang kuat
hukumnya adalah wajib bagi
yang memiliki kemampuan
( Ahkamul Iedain hal. 26). Di
antara hadits yang dijadikan dalil
bagi ulama yang mewajibkan
adalah: "Dari Abi Hurairah
radliyallahu anhu, ia berkata:
Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam bersabda: Barang siapa
memiliki kelapangan
(kemampuan) kemudian tidak
berqurban, maka janganlah dia
mendekati tempat shalat Ied
kami." (HR. Ahmad, Ibnu
Majah,Ad-Daruqutni, Al-Hakim,
sanadnya hasan, lihat Ahkamul
Iedain hal. 26).
Dari hadits di atas diterangkan
bahwa Rasulullah shallallahu
`alaihi wa sallam melarang
untuk mendekati tempat shalat
Ied bagi orang yang memiliki
kemampuan akan tetapi tidak
berqurban. Hal itu menunjukkan
bahwasanya dia telah
meninggalkan suatu kewajiban
yang seakan-akan tidak ada
manfaatnya, bertaqarrub kepada
Allah dengan dia meninggalkan
kewajiban itu ( Subulus Salam
4/169).

2. WAKTU MENYEMBELIH

Hewan kurban disembelih
setelah selesai shalat Ied.
Dalilnya: Dari Barra bin Azib
radiallahuanhu, ia berkata:
Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam bersabda (yang artinya):
"Sesungguhnya perkara yang
pertama kita mulai pada hari ini
adalah kita shalat kemudian
menyembelih. Maka barang
siapa yang melakukan hal itu, dia
telah mendapatkan sunnah
kami. Dan barang siapa yang
telah menyembelih (sebelum
shalat pent), maka sesungguhnya
sembelihan itu adalah daging
yang diperuntukkan bagi
keluarganya, bukan termasuk
hewan kurban sedikitpun." (HR.
Muslim no. 1961).
Diperbolehkan untuk
mengakhirkan penyembelihan,
yaitu menyembelih pada hari
kedua dan ketiga setelah hari
Ied. Sebagaimana diterangkan
dalam hadits (yang artinya):
"Dari Nabi shallallahu alai wa
sallam bahwasanya beliau
bersabda: setiap hari tasyriq ada
sembelihan." (HR. Ahmad 4/8
dari Jubair bin Muthim radiallahu
anhu, dan dihasankan oleh
Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid
dalam Ahkamul iedain ).
Berkata Ibnul Qayyim:
"(Kebolehan menyembelih di
hari-hari tasyriq) adalah
pendapat: Imam Ahmad, Malik,
Abu Hanifah rahimahumullah ."
Imam Ahmad berkata: "Ini
adalah pendapat lebih dari satu
shahabat Muhammad shallallahu
alai wa sallam, dan Al-Atsram
menyebutkan diantaranya: Ibnu
Umar, Ibnu Abas radiallahu
anhum." (Zadul Maad 2/319).

3. TEMPAT MENYEMBELIH

Dalam rangka menampakkan
syiar Islam dan kaum
muslimin,disunnahkan
menyembelih di lapangan
tempat shalat Ied. Dalilnya: "Dari
Ibnu Umar radliyallahu anhu
dari Nabi shallallahu `alaihi wa
sallam : bahwasanya beliau
menyembelih (kibas dan unta)
dilapangan Ied." (HR. Bukhari
no. 5552 dengan Fathul Bari).

4. LARANGAN MEMOTONG
RAMBUT DAN KUKU

Barang siapa hendak berqurban,
tidak diperbolehkan bagi dia
memotong rambut dan kukunya
sedikitpun, setelah masuk
tanggal 1 Dzulhijjah hingga
shalat Ied. Dalilnya: "Dari Ummu
Salamah, bahwasanya Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam
bersabda: "Apabila kalian
melihat hilal bulan Dzulhijjah
dan salah seorang di antara
kalian hendak menyembelih,
maka hendaknya dia menahan
(yakni tidak memotong, pent)
rambut dan kukunya." (HR.
Muslim No. 1977).
Imam Nawawi berkata: "Maksud
larangan tersebut adalah
dilarang memotong kuku
dengan gunting dan
semacamnya, memotong
rambut; baik gundul,
memendekkan rambut,
mencabutnya, membakarnya
atau selain itu. Dan termasuk
dalam hal ini, memotong bulu
ketiak, kumis, kemaluan dan
bulu lainnya yang ada di badan
(Syarah Muslim 13/138)."
Berkata Ibnu Qudamah: "Siapa
yang melanggar larangan
tersebut hendaknya minta
ampun kepada Allah dan tidak
ada fidyah (tebusan) baginya,
baik dilakukan sengaja atau lupa
(Al-Mughni11/96)."
Dari keterangan di atas maka
larangan tersebut menunjukkan
haram. Demikian pendapat Said
bin Musayyib, Rabiah, Ahmad,
Ishaq, Daud dan sebagian
Madzhab Syafiiyah. Dan hal itu
dikuatkan oleh Imam Asy-
Syaukani dalam Nailul Authar juz
5 hal. 112 dan Syaikh Ali hasan
dalam Ahkamul iedain hal. 74).

5. JENIS SEMBELIHAN

"Dari Jabir, berkata: Rasulullah
shallallahu `alaihi wa
sallambersabda: Janganlah kalian
menyembelih kecuali musinnah,
akan tetapi jika kalian merasa
berat hendaklah menyembelih
Al-Jazaah"(HR. Muslim 6/72 dan
Abu Daud 2797).
Syaikh Al-Albani menerangkan:
Musinnah yaitu jenis unta, sapi
dan kambing atau kibas. Umur
kambing adalah ketika masuk
tahun ketiga, sedangkan unta,
masuk tahun keenam.
Al-jazaah yaitu kambing atau
kibas yang berumur setahun pas
menurut pendapat jumhur
ulama (Silsilah Ad-Dlaifah 1/160).
Dan yang terbaik dari jenis
sembelihan tadi adalah kibas
jantan bertanduk bagus, warna
putih bercampur hitam di sekitar
mata dan kakinya. Yang
demikian karena termasuk sifat-
sifat yang disunnahkan
Rasulullah sallallahu alaihi wa
sallam dan beliau menyembelih
hewan yang memiliki sifat
tersebut.
"Dari Aisyah bahwasanya
Rasulullah sallalahu alaihi wa
sallam memerintahkan
menyembelih kibas yang
bertanduk baik, dan sekitar kaki,
perut dan matanya berwarna
hitam. Kemudian didatangkan
kepada beliau, lalu
disembelih." (HR. Abu Daud,
dishahihkan Syaikh al-Albani
dalam Shahih Abu Daud no.
2423).

6. HEWAN QURBAN TIDAK
CACAT

Termasuk tuntunan Nabi
shallalahu alaihi wa sallam yaitu
memilih hewan yang selamat dari
cacat dan memilih yang terbaik.
Beliau melarang menyembelih
hewan yang terputus telinganya,
terpecah tanduknya, matanya
pece, terputus bagian depan
atau belakang telinganya,
terbelah atau terkoyak
telinganya. Adapun kibas yang
dikebiri boleh untuk disembelih.
( Ahkamul Iedain hal. 75)

7. BOLEH BERSERIKAT

Satu ekor hewan kurban boleh
diniatkan pahalanya untuk
dirinya dan keluarganya
meskipun dalam jumlah yang
banyak. Dalilnya:
"Berkata Atha bin Yasar: Aku
bertanya kepada Abu Ayyub Al-
Anshari, bagaimana sifat
sembelihan di masa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
beliau menjawab: jika seseorang
berkurban seekor kambing,
maka untuk dia dan
keluarganya. Kemudian mereka
makan dan memberi makan dari
kurban tersebut." (HR. Tirmidzi,
Ibnu Majah, Malik, Al-Baihaqi
dan sanadnya hasan, lihat
Ahkamul Iedain hal. 76).
"Dari Ibnu Abbas, dia berkata:
Kami bersama Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam
dalam sebuah perjalanan
kemudian tiba hari Ied. Maka
kami berserikat tujuh orang pada
seekor sapi dan sepuluh orang
pada seekor unta." (HR. At-
Tirmidzi dan dishahihkan oleh
Syaikh Al-Albani dalam Shahih
Sunan At-Tirmidzi no. 1213).

9. CARA MENYEMBELIH

Menyembelih dengan pisau yang
tajam, mengucapkan bismillah
wallahu akbar, membaringkan
sembelihan pada sisi kirinya
karena yang demikian mudah
bagi si penyembelih memegang
pisau dengan tangan kanannya,
dan menahan lehernya dengan
tangan kiri. Dalilnya:
"Dari Anas bin Malik, dia
berkata: Bahwasanya Nabi
shallallahu `alaihi wa sallam
menyembelih dua ekor kibasnya
yang bagus dan bertanduk.
Beliau mengucapkan basmallah
dan takbir dan meletakkan
kakinya di samping
lehernya."(HR. Bukhari, Muslim
dan lainnya).
Dan disunnahkan bagi yang
berkorban, memotong sendiri
sembelihannya atau mewakilkan
kepada orang lain ( Ahkamul
Iedain hal. 77).

10. MEMBAGIKAN DAGING
QURBAN

Bagi yang menyembelih
disunnahkan makan daging
qurbannya, menghadiahkan
karib kerabatnya, bershadaqah
pada fakir miskin, dan
menyimpannya untuk
perbekalan lebih dari 3 hari.
Nabi shallallahu `alaihi wa
sallam bersabda (yang artinya):
"Makanlah, simpanlah untuk
perbekalan dan
bershadaqahlah." (HR.Bukhari
Muslim).
Daging sembelihan, kulitnya,
rambutnya dan yang
bermanfaat dari kurban
tersebut tidak boleh
diperjualbelikan menurut
pendapat jumhur ulama, dan
seorang tukang sembelih tidak
mendapatkan daging kurban.
Tetapi yang dia dapatkan
hanyalah upah dari yang
berkurban.
Dalilnya: "Dari Ali
bin Abi Thalib radliyallahu
anhuma, dia berkata: Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam
memerintahkan aku untuk
menyembelih hewan kurbannya
dan membagi-bagi dagingnya,
kulitnya, dan alat-alat untuk
melindungi tubuhnya, dan tidak
memberi tukang potong
sedikitpun dari kurban
tersebut." (HR. Bukhari Muslim).

11. BAGI YANG TIDAK
BERQURBAN

Kaum muslimin yang tidak
mampu untuk berkorban,
mereka akan mendapatkan
pahala seperti halnya orang yang
berkorban dari umat
Muhammad shallallahu `alaihi
wa sallam. Hal ini diterangkan
dalam sebuah riwayat bahwa
Rasulullah shallallahu `alaihi wa
sallam bersabda (yang artinya):
"Bismillah Wallahu Akbar, ini
(kurban) dariku dan dari umatku
yang tidak menyembelih." (HR.
Abu Dawud dan dishahihkan
Syaikh Al-Albani dalam Shahih
Abu Daud no. 2436). Wallahu
Ta’ala a’lam.

Judul Asli: Tuntunan dalam Iedul
Qurban
Sumber: www.salafy.or.id

www.ghuroba.blogsome.com/2007/12/18/tuntunan-dalam-idul-qurban/#more-219

Read more..

Qurban Untuk Orang Yang Sudah Meninggal Dunia

Syaikh Muhammad bin Shalih Al
Utsaimin

Berqurban disyariatkan untuk
yang hidup sebab tidak terdapat
dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, tidak pula dari para
sahabat yang aku ketahui,
mereka berqurban untuk orang-
orang yang sudah meninggal
secara khusus / tersendiri.
Putra-putri Rasulullah shallallahu
‘ alaihi wa sallam telah meninggal
saat beliau masih hidup,
demikian pula telah meninggal
istri-istri dan kerabat-kerabatnya,
Rasulullah tidak berkurban
untuk satu orangpun dari
mereka. Beliau tidak berqurban
untuk pamannya (Hamzah),
tidak juga untuk istrinya
(Khodijah dan Zainab binti
Khuzaimah), tidak pula untuk
ketiga putrinya, dan seluruh
anak-anaknya.

Seandainya ini
termasuk perkara yang
disyariatkan, niscaya Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam akan
menerangkannya dalam
sunnahnya baik itu ucapan
maupun perbuatan, akan tetapi
hendaknya seseorang berqurban
untuk dirinya dan keluarganya.
Dan adapun mengikutsertakan
mayit / orang yang sudah
meninggal, maka telah dijadikan
dalil untuknya bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam
berqurban untuknya dan untuk
keluarganya, sedangkan
keluarganya mencakup istri-
istrinya yang telah meninggal
dan istri-istrinya yang masih
hidup, dan juga beliau
berqurban untuk umatnya yang
di antara mereka ada yang
sudah meninggal dan juga yang
belum ada. Akan tetapi
berqurban untuk mereka
(orang-orang yang sudah
meninggal) secara khusus /
tersendiri, aku tidak mengetahui
ada asalnya dalam sunnah.

Dinukil dari Syarhul Mumti’
7/455, Ibnu Utsaimin
Judul Asli: Berqurban Untuk
Mayit
Sumber: Buletin Al Wala’ Wal
Bara’ Bandung
Edisi ke-9 Tahun ke-1 / 14
Februari 2003 M / 12 Dzul Hijjah
1423 H

www.ghuroba.blogsome.com/2007/12/15/qurban-untuk-orang-yang-sudah-meninggal-dunia/#more-217

Read more..

Keutamaan Puasa Sepuluh Hari di Bulan Dzulhijjah

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah
bin Baz

Pertanyaan:
Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin
Abdullah bin Baz Rahimahullah
ditanya, "Apa pendapat anda
tentang pandangan orang yang
mengatakan berpuasa di sepuluh
hari pertama bulan Dzulhijjah
bid’ah?"

Jawaban:
Beliau menjawab, "Orang ini
jahil, patut diajari. Karena
Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi
Wasallam telah memotivasi
untuk beramal shalih padanya,
dan puasa termasuk amal shalih.
Berdasarkan hadits sabda
Nabi,"Tidak ada hari-hari dimana
amal shalih padanya lebih
dicintai oleh Allah daripada hari-
hari sepuluh ini". Para shahabat
bertanya, "Wahai Rasulullah
tidak pula Jihad Fi Sabilillah?"
Beliau menjawab, "Tidak pula
jihad fi sabilillah, kecuali
seseorang berjihad dengan
jiwanya dan hartanya dan tidak
kembali membawa apa-apa
lagi".Hadits riwayat Al Bukhari
dalam shahihnya.

Walaupun Nabi tidak pernah
berpuasa pada hari-hari ini, telah
diriwayatkan dari beliau bahwa
beliau berpuasa padanya, dan
diriwayatkan pula dari beliau
bahwa beliau tidak berpuasa
padanya. Akan tetapi yang jadi
pegangan adalah ucapan karena
ucapan lebih kuat daripada
perbuatan. Dan apabila
terkumpul ucapan dan
perbuatan maka ini lebi kuat
untuk dikatakan sunnah. Maka
ucapan adalah dalil tersendiri
sebagaimana perbuatan dan
taqrir (persetujuan) demikian.
Apabila Nabi mengatakan suatu
ucapan atau melakukan suatu
perbuatan atau
mempersetujuinya maka
seluruhnya adalah sunnah. Akan
tetapi ucapan lebih kuat
kemudian perbuatan dan
setelahnya persetujuan. Dan
dalam hal ini Nabi Sholallahu
‘Alaihi Wasallam berkata, "Tidak
ada hari-hari dimana amal shalih
padanya lebih dicintai oleh Allah
daripada hari-hari ini". Yakni
sepuluh hari (pertama),
maka
apabila seseorang ingin berpuasa
padanya atau bersedekah berarti
ia di atas kebaikan yang besar.

Demikian pula disyariatkan pada
hari-hari tersebut bertakbir
(membaca Allahu Akbar),
bertahmid (membaca
Alhamdulillah), dan bertahlil
(membaca Laa ilaha ilallah)
berdasarkan sabda Nabi, "Tidak
ada hari-hari yang lebih mulia di
sisi Allah dan dicintai oleh-Nya
untuk beramal shalih padanya
daripada hari-hari yang sepuluh
ini, maka perbanyaklah oleh
kalian padanya tahlil, takbir, dan
tahmid". Semoga Allah
menganugrahkan taufiq-Nya
kepada kita semua."


Diterjemahkan oleh Al Ustadz
Abdul Barr dari:
Majmu Fatawa Asy Syaikh Abdul
Aziz bin Abdillah bin Baz
Sumber: Majalah As Salaam No
IV/Th II 2006M/1426H

www.ghuroba.blogsome.com/2007/12/14/keutamaan-puasa-sepuluh-hari-pertama-di-bulan-dzulhijjah/#more-216
Read more..

Sabtu, 16 Oktober 2010

Tafsir Ibnu Katsir:Salah Satu Kitab Tafsir Al Quran Terbaik

Al Ustadz Ahmad Hamdani Ibnu
Muslim

Sesungguhnya memahami
Kalamullah adalah cita-cita yang
paling mulia dan taqarrub
(pendekatan diri kepada Allah)
yang paling agung. Amalan ini
telah dilakukan shahabat, tabi’in
dan murid-murid mereka yang
menerima dan mendengar
langsung dari guru-guru mereka.
Kemudian dilanjutkan oleh
generasi berikutnya yang
mengikuti jejak mereka hingga
hari kiamat.

Tidak diragukan, orang pertama
yang menerangkan,
mengajarkan, dan menafsirkan
Al Qur’an adalah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam. Para
shahabat telah menerima Al
Qur’an dari Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam
secara bacaan dan pemahaman.
Mereka mengetahui makna-
makna, maksud-maksud dan
rahasia-rahasianya karena
kedekatan mereka dengan
Rasulullah, khususnya Al-
Khulafa’ Ar-Rasyidin, Abdullah
bin Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubai
bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu
Musa Al-Asy’ari dan Abdullah
bin Az-Zubair radhiallahu
‘anhum.

Mereka adalah para shahabat
yang terkenal alim di antara
shahabat lainnya. Para shababat
adalah guru-guru bagi tabi’in
yang di kemudian hari
melahirkan ahli tafsir dari
generasi ini di Makkah, Madinah
dan Irak. Dari shahabat dan
tabi’in, dilahirkan ahli tafsir yang
mengetahui sejarah tafsir -di
madrasah tafsir dengan atsar
(jejak/petunjuk) Nabi dan
Shahabat- yaitu imam besar
dalam ushul tafsir: Muhammad
bin Jarir Ath-Thabari (wafat 310
H).
Ciri khas dari madrasah tafsir
dengan atsar adalah
menafsirkan ayat Al Qur’an
dengan satu atau lebih ayat Al
Qur’an lainnya. Bila tidak
memungkinkan maka
ditafsirkan dengan hadits
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam yang shahih. Jika
tidak ditemukan hadits yang
menjelaskannya maka
ditafsirkan dengan ucapan
shahabat terutama shahabat
yang telah disebutkan di atas.
Jika ucapan shahabat tidak
ditemukan maka dengan
ucapan tabi’in seperti Mujahid,
Ikrimah, Sa’id bin Al-Musayyib,
Sa’id bin Jubair, ‘Atha bin Abi
Rabbah dan Al-Hasan Al-Basri.
Namun jika semuanya ada,
maka biasanya disebut semua.

Adapun menafsirkan Al
Qur’an dengan akal semata,
haram menurut kesepakatan
ulama Ahlus Sunnah, apalagi
tafsir yang dilandasi ilmu
filsafat -walaupun terkadang
benar- termasuk dalam sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam (artinya):
“Barangsiapa berkata tentang
Al Qur’an dengan akalnya
atau tanpa ilmu maka
siapkanlah tempat duduknya
dengan api neraka.” (HR. At-
Tirmidzi, hadits hasan)

Di abad ke-8 Hijriyah lahir
seorang ulama ahli tafsir yang
merupakan alumnus akhir
madrasah tafsir dengan atsar.
Dialah Isma’il bin ‘Umar bin
Katsir rahimahullah, salah
seorang murid Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah rahimahullah
(wafat tahun 774 H). Tafsirnya
dijadikan rujukan oleh para
ulama dan penuntut ilmu
semenjak jaman beliau hingga
sekarang.

Al-Imam Asy-Syaukani
rahimahullah -beliau juga
menulis tafsir- mengatakan
bahwa Tafsir Ibnu Katsir adalah
salah satu kitab tafsir terbaik, jika
tidak bisa dikatakan sebagai tafsir
terbaik, dari kitab-kitab tafsir
yang ada. Al-Imam As-Suyuthi
rahimahullah menilai tafsirnya
menakjubkan, belum ada ulama
yang menandinginya. Asy-Syaikh
Muhammad bin Shalih
Al-‘Utsaimin rahimahullah dalam
bukunya Al-‘Ilmu menganjurkan
penuntut ilmu membaca Tafsir Al
Qur ’anil ‘Azhim atau yang lebih
dikenal dengan Tafsir Ibnu
Katsir.
Wallahu a’lam.


Sumber:www.asysyariah.com
www.ghuroba.blogsome.com/2008/05/02/tafsir-ibnu-katsir-salah-satu-kitab-tafsir-al-quran-terbaik/
Read more..

Jumat, 15 Oktober 2010

Hati yang Sakit

Hampir setiap malam dia
mendatangi rumah-rumah yang
ada di negeri itu untuk
melakukan aksinya, yaitu
mencuri. Hingga suatu malam
ketika dia kembali melaksanakan
aksinya itu, diapun singgah di
sebuah rumah milik seorang ahli
ibadah. Pada saat yang
bersamaan ketika dia telah
berada di rumah itu, tiba-tiba dia
mendengar suara lantunan Al
Qur’an sedang dibacakan.
Rupanya suara itu berasal dari
sang pemilik rumah yang sedang
berdiri bermunajat kepada
Robb-nya. Sang pencuri pun
hanyut dengan lantunan ayat-
ayat Allah yang sedang
dilantunkan, hingga ketika
sampai pada ayat:
“Belum tibakah waktunya bagi
orang-orang yang beriman,
untuk tunduk hati mereka
mengingat allah dan kepada
kebenaran yang telah turun
(kepada mereka),dan janganlah
mereka seperi orang-orang yang
sebelumnya telah diturunkan al-
kitab kepadanya, kemudian
berlalulah masa yang panjang
atas mereka lalu hati mereka
menjadi keras. dan kebanyakan
diantara mereka adalah orang-
orang yang fasik.” (QS. Al-
Hadid: 16)

Tak terasa air matanya berlinang,
hingga akhirnya dia pun
tersungkur jatuh. Seketika
badannya yang selama ini kokoh,
menjadi rapuh karena
mendengar ayat tadi. Setelah
kejadian itu, dia pun melalui
hari-harinya dengan ketaatan
kepada Allah. Maha suci Allah
yang telah membolak-balikkan
hati, dan menganugerahkan
kepada hambanya hati yang
lembut. Itulah kisah sorang
ulama’ dan hamba yang sholeh,
Al-Imam Al-Fudhoil bin Iyadh
sebagaimana yang disebutkan
oleh Al-Hafizh Adz-Dzahabiy
dalam kitabnya Siyar A’lam An-
Nubala’ (8/423)

Pembaca yang budiman,
pernahkah hati kita bergetar
ketika mendengar ayat-ayat
Allah dilantunkan? Pernahkah
kedua pipi kita ini basah oleh
tetesan air mata, walaupun
setitik saja ketika mendengar
ayat-ayat Allah dibacakan? atau
jangan-jangan tidak pernah!!
Cobalah kita menengok jauh ke
dalam lubuk hati kita! Periksalah
apakah disana masih ada kata
iman? atau sudah tertutupi oleh
noda-noda hitam kemaksiatan.
Bila di dalam hati kita masih ada
keimanan, lalu mengapa ia tidak
bergetar ketika mendengar ayat-
ayat Allah dibacakan? ataukah
hati kita lebih keras daripada
gunung? Padahal Allah -Ta’ala-
telah mengabarkan bahwa jika
seandainya Al-Qur’an ini
diturunkan pada gunung-
gunung yang kokoh, niscaya dia
akan menjadi hancur lebur,
karena takut kepada Allah
sebagaimana yang difirmankan
Allah -Azza wa Jalla-,
“Kalau sekiranya kami
menurunkan Al-Qur’an kepada
sebuah gunung, pasti kamu akan
melihatnya tunduk terpecah
belah disebabkan takut kepada
Allah. Dan perumpamaan-
perumpamaan itu kami buat
untuk manusia supaya mereka
berrfikir .” (QS. Al-Hasyr: 21).

Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah-
rahimahullah- berkata,”Kapan
saja mata kering dari tangisan
(yang timbul) karena takut
kepada Allah -Ta’ala-, maka
ketahuilah bahwa keringnya
mata dari tangisan, karena
kerasnya hati. Hati yang paling
jauh dari Allah adalah hati yang
keras”.[Lihat Bada'i'ul Fawa'id
(3/743)]
Setiap orang diantara kita
memiliki kondisi hati yang
berbeda-beda; sesuai dengan
ada-tidaknya penyakit syahwat
dan syubhat yang ada di dalam
hati. Oleh karena itu, setiap
orang harus mempelajari hati,
dan penyakitnya agar kelak ia
bisa mengobati sebelum hati
akut, dan binasa.
Ibnu Qayyim
Al-Jauziyyah -rahimahullah- telah
membagi hati menjadi tiga jenis:

Qolbun Mayyit (Hati yang
Mati)
Hati yang mati adalah hati yang
kosong dari semua jenis
kebaikan. Setan sudah leluasa
untuk melemparkan rasa was-
was di dalam dadanya. Karena
setan telah mengambil hatinya
sebagai tempat tinggalnya, yang
dia telah berkuasa penuh
didalamnya, dan setan bebas
berbuat apa saja di dalamnya. Ini
adalah hatinya orang-orang yang
kafir kepada Allah, yang tidak
memiliki keimanan dan kebaikan
sedikitpun disebabkan karena
kekafiran dan kesyirikan mereka.
Yang kami maksud dengan
keimanan di sini adalah
keimanan terhadap uluhiyyah
(penyembahan hanya kepada
Allah semata), bukan keimanan
pada rububiyyah Allah saja
(meyakini bahwa hanya Allah
Pencipta, Pemberi rizki, Pengatur,
dan lain-lain). Sebab, kalau
hanya mengakui bahwa tidak
ada pencipta, pemberi rizki,
pengatur selain Allah, maka ini
tidaklah cukup. Karena orang-
orang musyrikin di zaman
jahiliyyah pun menetapkan hal
tersebut. Banyak ayat-ayat di
dalam Al-Qur’an yang
menerangkan hal itu. Allah -
Ta’ala- berfirman,
"Dan sesungguhnya jika kamu
tanyakan kepada mereka,
"Siapakah yang menciptakan
langit dan bumi?" Tentu mereka
akan menjawab, "Allah".
Katakanlah, "Segala puji bagi
Allah"; tetapi kebanyakan
mereka tidak mengetahui". (QS.
Luqman: 25)
Jadi, orang-orang yang musyrik,
hatinya kosong dari iman dan
kosong dari segala kebaikan,
walaupun ia melakukan amalan
yang sangat banyak. Para ulama
telah bersepakat bahwa tidak
satu pun amalan orang kafir
yang diterima, berdasarkan
firman Allah,
”Tidak boleh bagi orang-orang
musyrik untuk memakmurkan
masjid-masjid Allah tatkala
mereka mempersaksikan
kekafirannya. mereka itulah
orang-orang yang terhapus
amalannya dan mereka kekal di
neraka.". (QS.At-Taubah:17).
Konon kabarnya, Ibnu Abbas
pernah ditanya, “Sesungguhnya
orang-orang yahudi bahwa
mereka tidak pernah diganggu
setan dalam shalatnya". Ibnu
Abbas -radhiyallahu ‘anhu-
berkata, “apa yang dapat
diperbuat oleh setan pada hati
yang hancur (mati)". [Lihat
Shohih Al-Wabil Ash-Shoyyib
(hal.52), cet. Dar Ibn Al-Jauziy]
Qolbun Maridh (Hati yang
Sakit)

Qolbun maridh adalah hati yang
telah disinari dengan cahaya
keimanan, telah beriman kepada
Allah -Ta’ala- dan menyembah
hanya kepada-Nya. Dia telah
menyalakan pelita-pelita
keimanan di dalam hatinya. Tapi
cahaya pelitanya kurang terang
sehingga masih ada sisi hatinya
yang masih gelap, dipenuhi oleh
kegelapan syahwat dan badai-
badai hawa nafsu. Maka setan
mempunyai tempat keluar-
masuk pada hati tersebut,
sehingga berlangsunglah
peperangan (kadang ia menang
dan kadang ia kalah). Di antara
mereka ada orang yang sering
menang atas musuhnya dan
terkadang sebaliknya. Inilah hati
yang berpenyakit; dia masih
mempunyai keimanan, kenal
dengan tauhid, tapi ia
melakukan maksiat dan dosa-
dosa besar. Padahal maksiat
itulah yang mendatangkan
kegelapan pada hatinya. Kadar
kegelapan itu tergantung kepada
kadar maksiat yang dikerjakan.
Semakin besar maksiat tersebut,
maka akan semakin besar pula
kegelapan yang akan
meredupkan cahaya
keimanannya. Hati yang seperti
ini masih bisa terobati dengan
resep-resep yang bisa
menyehatkan hatinya. Tapi juga
terkadang tidak bisa lagi
mengambil manfaat dari terapi
dan obat yang diberikan
kepadanya, kecuali sedikit saja.
Bahkan terkadang penyakitnya
semakin bertambah parah
sehingga hati yang sakit
terkadang menjadi mati. Na’udzu
billahi min dzalik.
Allah -Ta’ala- berfirman,
"Dalam hati mereka ada
penyakit, lalu ditambah Allah
penyakitnya; dan bagi mereka
siksa yang pedih, disebabkan
mereka berdusta". (QS. Al-
Baqoroh: 10).

Qolbun Salim (Hati yang Sehat)
Qolbun Salim adalah hati yang
dipenuhi oleh keimanan, hatinya
telah bersinar dengan cahaya
keimanan, telah hilang darinya
badai-badai syahwat, telah
dilepaskan darinya kegelapan-
kegelapan maksiat. Cahaya itu
sangat terang di dalam hatinya.
Seandainya bisikan dan godaan
mendekat kepadanya, maka
godaan tersebut akan terbakar.
Oleh karena itu, hati seperti ini
diperumpamakan seperti langit
yang dijaga oleh bintang-bintang.
Seandainya ada setan mendekat
ke langit untuk mencuri berita,
maka akan dilemparkan bintang-
bintang itu kepadanya, dan setan
akan terbakar. Tidaklah
kehormatan langit itu, lebih
besar daripada kehormatan hati
seorang mukmin. Penjagaan
Allah terhadap hati yang seperti
ini adalah penjagaan yang lebih
sempurna daripada penjagaan
kepada langit, sebab langit
adalah tempat beribadahnya
para malaikat, tempat tinggalnya
wahyu, dan di dalamnya ada
cahaya-cahaya ketaatan dari
para malaikat. Tetapi hatinya
seorang mukmin adalah tempat
tinggalnya tauhid, cinta kepada
Allah -Ta’ala- , pengenalan
kepada Allah, penghambaan
kepada-Nya; semuanya itu
memiliki cahaya-cahaya. Maka
tentunya penjagaan dari makar-
makar musuh (setan) terhadap
hati seorang mukmin lebih
pantas lagi. [Lihat Shohih Al-
Wabil (hal. 51)]

Setelah kita mengetahui jenis-
jenis hati ini, maka kita akan tahu
kondisi hati kita masing-masing.
Apabila hati anda sakit, maka
jangan engkau biarkan dia
semakin parah sakitnya. Namun,
obatilah dia dengan taubat dan
menjaga diri dari dosa, jangan
sampai karena lamanya dia sakit
yang menyebabkan hati mati.
Lantaran itu, ia mendapatkan
azab yang pedih.
Ibnul Qayyim-rahimahullah-
berkata, “Tidak ada azab yang
dikenakan kepada seorang
hamba yang lebih besar
daripada hati yang keras dan
jauh dari Allah -Azza wa Jalla-".
[Lihat Al Fawa'id (hal. 97), cet.
Darul Kutub]
Oleh karena itu, lunaknya hati
dan cucuran air mata disaat
mendengar dan membaca Al-
Qur’an adalah ciri-ciri kaum salaf
-radhiyallahu ‘anhum-(Rasulullah
-Shollallahu ‘alaihi
wasallam- ,dan para
sahabatnya). Allah -Azza wa
Jalla- berfirman,
"Katakanlah: "Berimanlah kamu
kepadanya atau tidak usah
beriman (sama saja bagi Allah).
Sesungguhnya orang-orang yang
diberi pengetahuan sebelumnya
apabila Al Quran dibacakan
kepada mereka, mereka
menyungkur atas muka mereka
sambil bersujud. Dan mereka
berkata, "Maha Suci Tuhan kami,
Sesungguhnya janji Tuhan kami
pasti dipenuhi". (QS. Al-Israa’:
107-109).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah-
rahimahullah- berkata,
"Sesungguhnya sesuatu yang
terjadi berupa terenyuhnya hati,
air mata menetes dan tubuh
yang merinding di saat
mendengar ayat-ayat Allah atau
dzikir-dzikir yang disyari’atkan,
maka ini adalah seutama-utama
keadaan yang telah disebutkan
dalam Al-Kitab dan As-Sunnah”.
[Lihat Majmu' Al-Fatawa
(22/522)]
Allah –Subhaana wa Ta’ala-
berfirman,
"Allah telah menurunkan
perkataan yang paling baik
(yaitu) Al Quran yang serupa
(mutu ayat-ayatnya) lagi
berulang-ulang, gemetar
karenanya kulit orang-orang
yang takut kepada Tuhannya.
Kemudian menjadi tenang kulit
dan hati mereka di waktu
mengingat Allah. Itulah petunjuk
Allah. Dengan Kitab itu Dia
menunjuki siapa yang
dikehendaki-Nya. Dan
barangsiapa yang disesatkan
oleh Allah, niscaya tak ada
baginya seorang pemimpin pun".
(QS.Az-Zumar: 23)
Allah – Subhaana wa Ta’ala –
berfirman,
"Apabila dibacakan ayat-ayat
Allah yang Maha Pemurah
kepada mereka, Maka mereka
menyungkur dengan bersujud
dan menangis". (QS. Maryam:
58)
Ahli Tafsir Negeri Andalusia,
Al-Imam Al-Qurthubi-
radhiyallahu ‘anhu- berkata, ”Di
dalam ayat ini terdapat bukti
bahwa ayat-ayat Allah punya
pengaruh terhadap hati”. [Lihat
Al-Jami' li Ahkam Al-Qur'an
(11/111)]
Saudaraku, ikutilah jejak-jejak
orang-orang shalih dan orang-
orang terbaik dari kalangan
umat ini. Bila salah seorang dari
mereka melewati ayat-ayat yang
menyebutkan tentang neraka,
terasa akan copot hatinya,
karena takut kepada neraka dan
ngeri tentang siksanya. Bila
mereka melewati ayat-ayat yang
menyebutkan tentang surga dan
kenikmatannya, terasa
persendian mereka gemetar,
karena khawatir akan
diharamkan untuk merasakan
kenikmatan yang kekal itu. Dua
keadaan inilah yang memberikan
pengaruh hingga meneteslah air
matanya dan khusyu hatinya.
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa
sallam- sendiri telah
menganjurkan umatnya untuk
khusyu’, menghinakan diri dan
menangis saat membaca Al
Qur’an, karena takut kepada
Allah -Ta’ala-.
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa
sallam- bersabda,

عَيْنَانِ لاَ تَمَسُّهُمَا
النَّارُ: عَيْنٌ بَكَتْ مِنْ
خَشْيَةِ اللهِ وَعَيْنٌ
بَاتَتْ تَحْرِسُ فِيْ
سَبِيْلِ اللهِ

“Dua mata yang tidak akan
disentuh oleh api neraka:
(pertama) mata yang menangis
karena takut kepada Allah,
(kedua) mata yang bermalam
dalam keadaan berjaga di jalan
Allah”. [HR. At-Tirmidziy dalam
Sunan-nya (1639). Hadits ini di-
shahih-kan oleh Syaikh Al-
Albany dalam Takhrij Al-Miskah
(3829)]


Sumber : Buletin Jum’at Al-
Atsariyyah edisi 83 Tahun II.
Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas.
Alamat : Pesantren Tanwirus
Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58,
Kel. Borong Loe, Kec. Bonto
Marannu, Gowa-Sulsel. HP :
08124173512 (a/n Ust. Abu
Fa’izah).
www.almakassari.com/artikel-islam/akhlak/sakit-hati.html#more-333
(Judul asli: Sakit Hati)
Read more..

Kamis, 14 Oktober 2010

Orang Yang Tidak Boleh di Ambil Ilmunya

Abdurrahman bin Mahdi
rahimahullahu berkata:

“Ada tiga (golongan) yang tidak
boleh diambil ilmunya, (yakni):


(1) Seseorang yang tertuduh
dengan kedustaan,
(2) Ahlul
bid’ah yang mengajak (manusia)
kepada kebid’ahannya, dan
(3)
seseorang yang dirinya
didominasi oleh keraguan serta
kesalahan-kesalahan.”

Al-Imam Malik rahimahullahu
berkata:
“Tidak boleh seseorang
mengambil ilmu dari empat (jenis
manusia) dan boleh
mengambilnya dari selain
mereka (yaitu):

(1) Ilmu tidak
diambil dari orang-orang bodoh,

(2) Tidak diambil dari pengekor
hawa nafsu yang menyeru
manusia kepada hawa nafsunya,

(3) Tidak pula dari seorang
pendusta yang biasa berdusta
dalam pembicaraan-
pembicaraan manusia meskipun
tidak tertuduh berdusta pada
hadits-hadits Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam,
(4)
Tidak pula dari seorang syaikh
yang memiliki keutamaan,
keshalihan serta ahli ibadah
tetapi dia tidak lagi mengetahui
apa yang tengah
dibicarakannya.”


Sumber:(An-Nubadz fi ‘Adab Thalabil
‘Ilmi, hal. 22-23)

www.majalahsyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=697
Read more..

Sabtu, 09 Oktober 2010

Antara Tradisi dan Akhlaq Islami

Ustadz Abu Muhammad Abdul
Mu’thi, Lc

Seiring dengan jauhnya umat
dari ajaran yang benar,
membuat syariat Islam acap
terkacaukan dengan tradisi yang
berkembang di masyarakat,
lebih-lebih ritual yang
menggunakan simbol-simbol
Islam.
Manusia secara umum sekalipun
orang yang bersih fitrahnya,
sangat membutuhkan penjelasan
tentang akhlak dan adab yang
sesuai syariat melalui dalil-dalil
dari Al-Qur`an dan As-Sunnah.
Sehingga pernyataan sebagian
orang bahwa permasalahan
adab tidak perlu menengok
kepada dalil syar’i sangat keliru
dengan dua alasan:

Pertama: Banyak akhlak yang
tidak diketahui hukumnya oleh
manusia, sehingga sesuatu yang
tidak baik terkadang dianggap
baik dan yang bukan jelek
dianggap jelek. Sungguh
seseorang seberapapun ia
mendapat derajat keilmuan,
keshalihan dan adab, tentu ada
akhlak yang tidak diketahuinya.
Terlebih di saat adat kebiasaan
manusia berbeda-beda satu
dengan yang lainnya, karena
biasanya orang
mencampuradukkan antara adat
dan adab. Sebagai misal yaitu
tatkala sahabat Mu’adz bin Jabal
radhiyallahu ‘anhu datang dari
Syam kemudian menghadap
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, ia sujud di hadapan
beliau. Lalu Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam menegurnya:
“Apa ini wahai Mu’adz?” Mu’adz
radhiyallahu ‘anhu mengatakan
bahwa tatkala datang ke Syam,
ia mendapatkan manusia sujud
kepada para uskup dan pendeta
mereka, maka Mu’adz
Shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin
melakukan hal itu terhadap Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Maka Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam mengatakan
(yang artinya):
“Jangan kamu lakukan, karena
seandainya aku memerintahkan
seseorang untuk sujud kepada
selain Allah niscaya aku akan
memerintahkan wanita untuk
sujud kepada suaminya. Demi
yang jiwaku ada di tangan-Nya
(demi Allah) seorang wanita
belum (dikatakan) menunaikan
hak Rabbnya sampai ia
menunaikan hak
suaminya….” (lihat Shahih Sunan
Ibnu Majah no. 1515)

Perhatikanlah! Kalau sebagian
permasalahan adab ada yang
luput dari pengetahuan sahabat,
generasi terbaik umat ini,
sehingga Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam memberikan
penjelasannya, tentunya yang
bukan mereka lebih sangat
membutuhkan bimbingan.

Kedua: Telah diselewengkannya
syariat Allah Subhanahu wa
Ta’ala pada benak sebagian
orang, setelah jauhnya mereka
dari masa kenabian dan kakunya
hati, serta terjadinya perbauran
dengan umat selain muslimin.
Seperti yang terlihat nyata pada
kehidupan masyarakat yang
menjadikan hawa nafsu sebagai
pijakan untuk menghalalkan dan
mengharamkan. Mereka
membuat-buat aturan tentang
adab dengan penuh percaya diri
akan kebenarannya, padahal
kenyataannya tidak sedikit yang
bertentangan dengan syariat.
Berikut contoh-contohnya:

1. Masyarakat ‘modern’ hari ini
dan di masa lampau hampir
sama keyakinannya bahwa
membuat monumen pahlawan
dan orang-orang besar serta
menampakkan kekhusyukan di
sisinya sebagai bentuk ungkapan
terima kasih atas jasa-jasa
mereka. Bahkan terkadang
ditambah dengan menyengaja
mendatangi kuburan mereka
untuk berdoa di sisinya atau
meminta pertolongan kepada
penghuninya. Mereka
memandang bahwa jika tidak
dilakukan seperti itu, berarti
tidak memerhatikan peninggalan
sejarah dan ini merupakan cacat
dalam peradaban. Padahal yang
demikian menurut syariat ini
sangat jauh dari akhlak mulia,
bahkan itu akhlak yang jelek.
Bukan berarti kami mengajak
untuk tidak menghormati
mereka, tetapi menghormati jasa
mereka bukan demikian caranya.
Karena meskipun hal tersebut
mengandung penghormatan
kepada para pahlawan, namun
juga mengandung perampasan
terhadap hak Allah Subhanahu
wa Ta’ala yaitu tulusnya
peribadatan kepada-Nya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
juga melarang membuat gambar
orang-orang yang shalih dan
membuat patung-patung
mereka. Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda (yang
artinya):
“Orang-orang itu apabila mati
seorang yang shalih dari mereka,
mereka membangun di atas
kuburannya sebuah masjid
(tempat ibadah) lalu mereka
menggambar padanya gambar
tersebut. Mereka adalah sejelek-
jelek makhluk di sisi Allah.” (HR.
Al-Bukhari dan Muslim)

2. Membatasi kelahiran di zaman
sekarang dianggap sebagai
kesadaran dalam menata
perekonomian dan peradaban
yang maju. Sampai-sampai ada di
antara mereka (rumah tangga)
yang lebih suka memelihara
anjing dan tidak mau mengasuh
anak. Padahal banyaknya
keturunan dalam syariat ini
merupakan wasiat Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
kepada umatnya. Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:

تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ
فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ
الْأُمَمَ

“Nikahilah oleh kalian (wanita)
yang penyayang dan banyak
anak, karena aku akan
berbangga dengan banyaknya
kalian di hadapan umat-
umat.” (HR. Abu Dawud dan
dishahihkan oleh Al-Albani
rahimahullahu dalam Al-Irwa`
no. 1784)

3. Perbauran laki-laki dengan
perempuan yang bukan mahram
(ikhtilath) dianggap sebagai
keterbukaan sikap. Bahkan
terkadang dijadikan sebagai
sarana terbaik bagi para lelaki
dan perempuan untuk terlepas
dari sikap minder. Lebih parah
lagi, ada yang mengatakan
bahwa itu adalah cara untuk
menyetabilkan birahi. Menurut
mereka pula bahwa pelecehan
seksual bisa diminimalisir dengan
semakin dekatnya hubungan di
antara dua jenis manusia.
Falsafah mereka terilhami dari
ucapan sebagian orang bahwa
“banyak gesekan akan
menghilangkan perasaan.”
Sungguh realita mereka telah
mendustakan falsafah ini.
Bahkan orang yang melihat pada
angka kriminalitas berkaitan
dengan kesusilaan akan bisa
memberi kesimpulan bahwa
negeri Barat yang telah
mempraktikkan ikhtilath secara
total adalah murni bagaikan
hutan rimba yang penuh dengan
hewan. Rasul kita Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
orang yang paling tahu tentang
kejiwaan manusia, telah
mengatakan dalam haditsnya:

مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً
أَضَرَّ عَلىَ الرِّجَالِ مِنَ
النِّسَاءِ

“Tidaklah aku tinggalkan
sepeninggalku suatu fitnah
(ujian) yang lebih berbahaya atas
laki-laki daripada
wanita.” (Muttafaqun 'alaih)
Dan supaya terhindar dari fitnah
yang berbahaya ini, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersungguh-sungguh untuk tidak
terjadi percampuran antara laki-
laki dan perempuan, meskipun
di tempat yang paling suci yaitu
masjid. (Diambil secara ringkas
dari kitab Raf'u Adz-Dzul wa
Ash-Shaghar 'anil Maftunin bi
Khuluqil Kuffar hal. 53-60)
Namun hal ini bukan berarti
melarang adat kebiasaan yang
tidak menyelisihi syariat. Karena
yang dilarang adalah membuat
suatu peraturan tentang adab
yang bertentangan dengan
syariat Islam.
Wallahu a’lam bish-shawab.


www.majalahsyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=721
Read more..

Jumat, 08 Oktober 2010

Siapakah Ahlu Syura?

Dalam demokrasi, orang
mengenal istilah one man one
vote. Dengan satu orang satu
suara, maka tak ada lagi istilah
muslim atau kafir, ulama atau
juhala, ahli maksiat atau orang
shalih, dan seterusnya. Semua
suara bernilai sama di hadapan
‘hukum’. Walhasil, keputusan
yang terbaik adalah keputusan
yang diperoleh dengan suara
mayoritas. Lalu bagaimana
dengan sistem Islam? Siapakah
yang patut didengar suaranya?
Dalam ketatanegaraan Islam,
dikenal istilah 'ahli syura'.
Posisinya yang sangat penting
membuat keberadaannya tidak
mungkin dipisahkan dengan
struktur ketatanegaraan. Karena
bagaimanapun bagusnya
seorang pemimpin, ia tetap tidak
akan pernah lepas dari
kelemahan, kelalaian, atau
ketidaktahuan dalam beberapa
hal. Sampai-sampai Nabi
Muhammad shallallahu 'alaihi
wasallam pun diperintahkan
untuk melakukan syura. Apalagi
selain beliau tentunya. Asy-
Syaikh Abdurrahman As-Sa'di
rahimahullah mengatakan: "Jika
Allah mengatakan kepada Rasul-
Nya -padahal beliau adalah
orang yang paling sempurna
akalnya, paling banyak ilmunya,
dan paling bagus idenya- 'Maka
bermusyawarahlah dengan
mereka dalam urusan itu', maka
bagaimana dengan yang selain
beliau?" (Taisir Al-
Karimirrahman, hal. 154)
Kata asy-syura (الشُوْرَى)
adalah ungkapan lain dari kata
musyawarah (مُشَاوَرَةٌ) atau
masyurah (مَشُوْرَةٌ) yang
dalam bahasa kita juga dikenal
dengan musyawarah, sehingga
ahli syura adalah orang-orang
yang dipercaya untuk diajak
bermusyawarah.
Disyariatkannya Syura
Allah ta'ala berfirman:

وَشَاوِرْهُمْ فِي اْلأَمْرِ

"Maka bermusyawarahlah
dengan mereka dalam urusan
itu." (Ali Imran: 159)
Juga Allah memuji kaum
mukminin dengan firman-Nya:

وَأَمْرُهُمْ شُوْرَى بَيْنَهُمْ
وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ
يُنْفِقُوْنَ

"Dan urusan mereka
(diputuskan) dengan
musyawarah dan mereka
menafkahkan sebagian yang
kami rizkikan kepada
mereka." (Asy-Syura: 38)
Kedua ayat yang mulia itu
menunjukkan tentang
disyariatkannya bermusyawarah.
Ditambah lagi dengan praktek
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
yang sering melakukannya
dengan para shahabatnya seperti
dalam masalah tawanan perang
Badr, kepergian menuju Uhud
untuk menghadapi kaum
musyrikin, menanggapi tuduhan
orang-orang munafiq yang
menuduh 'Aisyah berzina, dan
lain-lain. Demikian pula para
shahabat beliau berjalan di atas
jalan ini. (lihat Shahih Al-Bukhari,
13/339 dengan Fathul Bari)
Ibnu Hajar berkata: "Para ulama
berselisih dalam hukum
wajibnya." (Fathul Bari, 13/341)
Pentingnya Syura
Syura teramat penting
keberadaannya sehingga para
ulama, di antaranya Al-Qurthubi,
mengatakan: "Syura adalah
keberkahan." (Tafsir Al-
Qurthubi, 4/251)
Al-Hasan Al-Bashri mengatakan:
"Tidaklah sebuah kaum
bermusyawarah di antara
mereka kecuali Allah akan
tunjuki mereka kepada yang
paling utama dari yang mereka
ketahui saat itu." (Ibnu Hajar
mengatakan: "Diriwayatkan oleh
Al-Bukhari dalam Al-Adabul
Mufrad dan Ibnu Abi Hatim
dengan sanad yang kuat." Lihat
Fathul Bari, 13/340)
Asy-Syaikh Abdurrahman As-
Sa'di dalam Tafsir-nya
menyebutkan faidah-faidah
musyawarah di antaranya:

1. Musyawarah termasuk ibadah
yang mendekatkan kepada
Allah.

2. Dengan musyawarah akan
melegakan mereka (yang diajak
bermusyawarah) dan
menghilangkan ganjalan hati
yang muncul karena sebuah
peristiwa. Berbeda halnya
dengan yang tidak melakukan
musyawarah. Sehingga
dikhawatirkan orang tidak akan
sungguh-sungguh mencintai dan
tidak menaatinya. Seandainya
menaati pun, tidak dengan
penuh ketaatan.

3. Dengan bermusyawarah, akan
menyinari pemikiran karena
menggunakan pada tempatnya.

4. Musyawarah akan
menghasilkan pendapat yang
benar, karena hampir-hampir
seorang yang bermusyawarah
tidak akan salah dalam
perbuatannya. Kalaupun salah
atau belum sempurna sesuatu
yang ia cari, maka ia tidak
tercela. (Taisir Al-Karimirrahman,
hal. 154)
Apa yang Perlu
Dimusyawarahkan?
Para ulama berbeda pendapat
dalam mempermasalahkan hal-
hal yang sesungguhnya Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam
diperintahkan Allah untuk
bermusyawarah dengan para
shahabatnya sebagaimana
tersebut dalam surat Ali Imran:
159. Dalam hal ini, Ibnu Jarir
menyebutkan beberapa
pendapat:
1. Pada masalah strategi
peperangan, menghadapi musuh
untuk melegakan para
shahabatnya, dan untuk
mengikat hati mereka kepada
agama ini. Serta agar mereka
melihat bahwa Nabi juga
mendengar ucapan mereka.
2. Justru Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam diperintahkan untuk
bermusyawarah dalam perkara
itu meskipun beliau mempunyai
pendapat yang paling benar
karena adanya keutamaan/
fadhilah dalam musyawarah.
3. Allah perintahkan beliau
untuk bermusyawarah padahal
beliau sesungguhnya sudah
cukup dengan bimbingan dari
Allah. Hal ini dalam rangka
memberi contoh kepada
umatnya sehingga mereka
mengikuti beliau ketika dilanda
suatu masalah, dan ketika
mereka bersepakat dalam
sebuah perkara, maka Allah
akan memberikan taufiq-Nya
kepada mereka kepada yang
paling benar. (Tafsir Ath-Thabari,
4/152-153 dengan diringkas)

4. Sebagian ulama berpendapat
bahwa maksudnya adalah
musyawarah pada hal-hal yang
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
belum diberi ketentuannya
tentang perkara tersebut secara
khusus.

5. Maksudnya yaitu pada urusan
keduniaan secara khusus.

6. Pada perkara agama dan
kejadian-kejadian yang belum
ada ketentuannya dari Allah
yang harus diikuti. Juga pada
urusan keduniaan yang dapat
dicapai melalui ide dan perkiraan
yang kuat. (Ahkamul Qur'an
karya Al-Jashshash, 2/40-42)
Pendapat terakhir inilah yang
dianggap paling kuat oleh Al-
Jashshash dengan alasan-alasan
yang disebut dalam buku beliau.
Lalu beliau juga berkata: "Dan
pasti musyawarah Nabi pada hal-
hal yang belum ada nash atau
ketentuannya dari Allah. Di
mana tidak boleh bagi beliau
melakukan musyawarah pada
hal-hal yang telah ada
ketentuannya dari Allah. Dan
ketika Allah tidak
mengkhususkan urusan agama
dari urusan dunia ketika
memerintahkan Nabi-Nya untuk
musyawarah, maka pastilah
perintah untuk musyawarah itu
pada semua urusan. Dan
nampaknya pendapat ini pula
yang dikuatkan oleh Ibnu Hajar
dalam kitabnya Fathul Bari
(13/340) setelah menyebutkan
pendapat-pendapat di atas. Juga
oleh Asy-Syaikh Abdurrahman
As-Sa'di dalam Tafsir-nya (hal.
154) seperti yang terpahami dari
ucapan beliau. Jadi tidak semua
perkara dimusyawarahkan
sampai-sampai sesuatu yang
telah ditentukan syariat pun
dimusyawarahkan, tapi bagian
tertentu saja seperti yang
dijelaskan di atas.
Yang mendukung hal ini adalah
bacaannya Abdullah bin 'Abbas:

وَشَاوِرْهُمْ فِيْ بَعْضِ
اْلأَمْرِ

"Maka bermusyawarahlah
dengan mereka dalam sebagian
urusan itu." (Tafsir Al-Qurthubi,
4/250)
Semua hal di atas kaitannya
dengan musyawarah yang
dilakukan oleh Nabi. Maka yang
boleh dimusyawarahkan oleh
umatnya perkaranya semakin
jelas, yaitu pada hal-hal yang
belum ada nash atau
ketentuannya baik dari Allah
atau Rasul-Nya. Artinya, jika
telah ada ketentuannya dari
syariat, maka tidak boleh
melampauinya. Dan mereka
harus mengikuti ketentuan
syariat tersebut. Allah ta'ala
berfirman:

ياَ َأيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَ
تُقَدِّمُوْا بَيْنَ يَدَيِ
اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَاتَّقُو
اللهَ إِنَّ اللهَ سَمِيْعٌ
عَلِيْمٌ

"Wahai orang-orang yang
beriman, janganlah kalian
mendahului Allah dan Rasul-Nya
dan bertakwalah kalian kepada
Allah, sesungguhnya Allah Maha
Mendengar dan Maha
Mengetahui." (Al-Hujurat: 1)
Al-Imam Al-Bukhari mengatakan:
"Maka Abu Bakar tidak memilih
musyawarah jika beliau memiliki
hukum dari Rasulullah…" [Shahih
Al-Bukhari, 13/339-340 dengan
Fathul Bari]
Dan sebaliknya. Jika sudah ada
ketentuannya dalam syariat
namun mereka tidak
mengetahuinya, atau lupa, atau
lalai, maka boleh
bermusyawarah untuk
mengetahui ketentuan syariat
dalam perkara tersebut, bukan
untuk menentukan sesuatu yang
berbeda dengan ketentuan
syariat. Al-Imam Asy-syafi'i
mengatakan: "Seorang hakim/
pemimpin diperintahkan untuk
bermusyawarah karena seorang
penasehat akan mengingatkan
dalil-dalil yang dia lalaikan dan
menunjuki dalil-dalil yang tidak
dia ingat, bukan untuk bertaqlid
kepada penasehat tersebut pada
apa yang dia katakan. Karena
sesungguhnya Allah tidak
menjadikan kedudukan yang
demikian (diikuti dalam segala
hal) itu bagi siapapun setelah
Nabi (Fathul Bari, 13/342). Al-
Bukhari mengatakan: "Dan para
imam setelah wafatnya Nabi,
bermusyawarah pada hal-hal
yang mubah dengan para ulama
yang amanah untuk mengambil
yang paling mudah. Dan jika
jelas bagi mereka Al Qur'an
maupun As Sunnah, maka
mereka tidak melampauinya
untuk (kemudian) mengambil
selainnya. Hal itu dalam rangka
meneladani Nabi…" (Shahih Al-
Bukhari, 13/339-340 dengan
Fathul Bari. Lihat pula hal. 342
baris 18)
Ibnu Taimiyyah mengatakan:
"Dan jika seorang (pemimpin)
bermusyawarah dengan mereka
(ahli syura) kemudian sebagian
mereka menjelaskan kepadanya
sesuatu yang wajib dia ikuti baik
dari Kitabullah atau Sunnah
Rasul-Nya atau ijma' kaum
muslimin, maka dia wajib
mengikutinya dan tiada ketaatan
kepada siapapun pada hal-hal
yang menyelisihinya. Adapun jika
pada hal-hal yang dipersilisihkan
kaum muslimin, maka mestinya
dia meminta pendapat dari
masing-masing mereka beserta
alasannya, lalu pendapat yang
paling mirip dengan Kitabullah
dan Sunnah Rasul-Nya itulah
yang ia amalkan." (Siyasah
Syar'iyyah karya Ibnu Taimiyyah,
hal. 133-134 dinukil dari Fiqh
Siyasah Syar'iyyah, hal. 58)
Al-Qurthubi mengatakan: "Syura
terjadi karena perbedaan
pendapat. Maka seseorang yang
bermusyawarah hendaknya
melihat perbedaan tersebut
kemudian melihat kepada
pendapat yang paling dekat
kepada Al Qur'an dan As
sunnah jika ia mampu. Lalu jika
Allah membimbingnya kepada
yang Allah kehendaki, maka
hendaknya ia ber-'azam/
bertekad untuk kemudian
melakukannya dengan
bertawakkal kepada Allah. Di
mana inilah ujung dari ijtihad
yang diminta dan dengan inilah
Allah perintahkan Nabi-Nya
dalam ayat ini (Ali 'Imran:
159)." (Tafsir Al-Qurthubi, 4/252)
Siapakah Ahli Syura?
Ini merupakan pembahasan yang
sangat penting mengingat ahli
syura sangat besar andilnya
dalam menentukan sebuah
keputusan, baik ataupun buruk.
Sehingga jika tidak dipahami
secara benar, akan berakibat
sangat fatal. Ketika seseorang
salah dalam menentukan ahli
syura yaitu dengan memilih
orang yang tidak memiliki kriteria
yang ditentukan syariat, maka ini
menjadi alamat kehancuran.
Saking pentingnya hal ini, Al-
Imam Al-Bukhari bahkan menulis
bab khusus dalam kitab Shahih-
nya yang berjudul: Orang
Kepercayaan Pemimpin dan Ahli
Syuranya.
Lalu beliau menyebutkan sebuah
hadits dari Abu Sa'id Al-Khudri
bahwa Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda:

مَا بَعَثَ اللهُ مِنْ نَبِيٍّ
وَلاَ اسْتَخْلَفَ مِنْ
خَلِيْفَةٍ إِلاَّ كَانَتْ لَهُ
بِطاَنَتَانِ: بِطَانَةٌ
تَأْمُرُهُ بِالْمَعْرُوْفِ
وَتَحُضُّهُ عَلَيْهِ
وَبِطاَنَةٌ تَأْمُرُهُ بِالشَّرِّ
وَتَحُضُّهُ عَلَيْهِ
فَالْمَعْصُوْمُ مَنْ عَصَمَ
اللهُ تَعَالىَ

"Tidaklah Allah mengutus
seorang nabi dan tidaklah
menjadikan seorang khalifah
kecuali ia akan punya dua orang
kepercayaan. Salah satunya
memerintahkannya kepada yang
baik dan menganjurkannya, dan
yang lain memerintahkan kepada
yang jelek dan dan
menganjurkan kepadanya. Maka
orang yang terlindungi adalah
yang dilindungi oleh
Allah." (Shahih, HR. Al-Bukhari,
kitab Al-Ahkam Bab Bithanatul
Imam, no: 7198)
Dari hadits ini dipahami, ada tiga
macam pemimpin: ada yang
cenderung kepada yang baik,
ada yang cenderung kepada
yang buruk, dan ada yang
terkadang cenderung kepada
yang baik dan terkadang kepada
yang buruk. (Fathul Bari,
13/390-391)
Atas dasar ini, akan dinukilkan
keterangan para ulama yang
menjelaskan siapa sebenarnya
yang berhak untuk duduk di
majelis permusyawaratan. Dalam
hal ini Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda:

الْمُسْتَشَارُ مُؤْتَمَنٌ

"Seorang yang diminta
musyawarahnya adalah orang
yang dipercaya." (HR. Abu
Dawud dan Ibnu Majah,
dishahihkan oleh Al-Albani
dalam Ash-Shahihul Jami' no.
6700. Lihat pula Ash-Shahihah
no. 1641)
Hadits ini mengisyaratkan bahwa
ahli syura haruslah orang yang
amanah karena tidak mungkin
seseorang yang tidak amanah
akan dipercaya. Dalam firman
Allah:

وَشَاوِرْهُمْ فِي اْلأَمْرِ

"Maka bermusyawarahlah
dengan mereka dalam urusan
itu."
Ibnu 'Abbas mengatakan:
"Maksudnya Abu Bakr dan
'Umar." (Sanadnya shahih
diriwayatkan oleh An-Nahhas
dalam An-Nasikh wal Mansukh,
dan Al-Hakim dan dishahihkan
oleh beliau dan oleh Adz-
Dzahabi. Lihat Madarikun
Nazhar, hal. 289)
Demikianlah beliau shallallahu
'alaihi wasallam bermusyawarah
dengan Abu Bakr dan 'Umar
dalam masalah tawanan perang
Badr dan dalam masalah lainnya.
Juga dengan 'Ali bin Abu Thalib
dalam masalah kejadian Ifk –
yaitu tuduhan zina kepada
'Aisyah- (Shahih Al-Bukhari no.
7369) dan juga shahabat yang
lain. Yang jelas, Nabi tidak
mengajak musyawarah kepada
seluruh para shahabatnya dalam
setiap hal. Akan tetapi memilih
mereka yang pantas dalam
perkara tersebut.
Ahli syura Abu Bakr, Maimun bin
Mihran mengatakan: "Bahwa
Abu Bakr jika mendapati sebuah
masalah maka beliau melihat
kepada Kitabullah. Jika beliau
mendapatkan sesuatu yang
memutuskan perkara itu, maka
beliau putuskan dengannya. Dan
jika beliau mengetahuinya dari
Sunnah Nabi, maka beliaupun
memutuskan dengannya. Bila
tidak beliau ketahui, beliau
keluar kepada kaum muslimin
dan bertanya kepada mereka
tentang Sunnah Nabi (pada
perkara tersebut). Dan bila hal
itu tidak mampu
(menyelesaikan), maka beliau
panggil tokoh-tokoh kaum
muslimin dan para ulama
mereka lalu beliau
bermusyawarah dengan
mereka." (Ibnu Hajar
mengatakan: "Diriwayatkan oleh
Al-Baihaqi dengan sanad yang
shahih.” Lihat Fathul Bari,
13/342)
Ahli syura 'Umar bin Al-
Khaththab, Ibnu 'Abbas
mengatakan: "Para qurra adalah
orang-orang majelisnya 'Umar
dan ahli syuranya, baik yang tua
atau yang muda." (Shahih, HR.
Al-Bukhari no. 7286, lihat Fathul
Bari, 13/250). Ibnu Hajar
mengatakan: "Al-Qurra
maksudnya para ulama yang ahli
ibadah." (Fathul Bari, 13/258)
Di antara mereka adalah
Abdullah bin 'Abbas sendiri,
sebagaimana beliau kisahkan:
"Umar memasukkan aku
bersama orang-orang tua yang
pernah ikut perang Badr, maka
seolah-olah sebagian mereka
marah dan mengatakan:
'Mengapa 'Umar memasukkan
pemuda ini bersama kita padahal
kita pun punya anak-anak
semacam dia'. Maka 'Umar
mengatakan: 'Hal itu
berdasarkan apa yang kalian
ketahui (yakni bahwa dia dari
keluarga Nabi dan dari sumber
ilmu)'." (HR. Al-Bukhari, 6/28,
lihat Bahjatun Nazhirin, 1/195)
Riwayat ini menunjukkan bahwa
majlis syuranya 'Umar adalah
para shahabat ahli Badr karena
mereka lebih utama daripada
yang lain. Kemudian 'Umar
mengikutkan Ibnu 'Abbas
bersama mereka karena ilmu
yang dimilikinya, di mana ilmu
beliau bahkan melebihi sebagian
shahabat ahli Badr karena beliau
didoakan oleh Nabi: "Ya Allah,
pahamkan dia tentang agama
dan ajari dia takwil." (Madarikun
Nazhar, hal. 162)
Dalam kejadian yang lain, Ibnu
'Abbas mengatakan: "Ketika itu,
saya berada di tempat
singgahnya Abdurrahman bin
'Auf di Mina dan beliau di sisi
'Umar, dalam sebuah haji yang
itu merupakan akhir hajinya.
Abdurrahman mengarahkan
pertanyaan kepada saya: '(Apa
pendapatmu) jika kamu melihat
seseorang datang kepada amirul
mukminin ('Umar bin Al-
Khaththab) hari ini lalu ia
mengatakan: 'Wahai amirul
mukminin, apakah anda dapat
melakukan sesuatu pada fulan
yang mengatakan: Seandainya
'Umar telah meninggal maka aku
telah membai'at fulan. Demi
Allah, tidaklah bai'atnya Abu
Bakr dahulu kecuali hanya sesaat
lalu langsung sempurna.' Maka
(mendengar laporan itu) 'Umar
marah lalu mengatakan:
'Sungguh saya insya Allah akan
berdiri sore ini di hadapan
manusia dan akan
memperingatkan mereka dari
orang-orang itu yang ingin
merampas urusan mereka.'
Maka Abdurrahman
mengatakan: 'Wahai amirul
mukminin, jangan kau lakukan!
Karena musim haji ini
menampung orang-orang hina
(juga), sesungguhnya merekalah
yang akan lebih banyak dekat
denganmu di saat kamu berdiri
di hadapan mereka. Dan saya
khawatir jika engkau bangkit dan
mengucapkan sebuah ucapan
lalu dibawa terbang oleh setiap
yang terbang, mereka tidak
memahaminya dan tidak
mendudukkan pada tempatnya.
Maka tundalah hingga engkau
pulang ke Madinah karena
Madinah adalah rumah hijrah
dan (rumah) As Sunnah sehingga
engkau dapat mengkhususkan
ahli fiqih dan tokoh-tokoh
masyarakat, lalu kamu katakan
apa yang mungkin kamu katakan
sehingga ahlul ilmi akan
memahami ucapanmu dan
menempatkannya pada
tempatnya'." (Riwayat Al-
Bukhari. Lihat Madarikun
Nazhar, hal. 163)
Setelah terjadinya usaha
pembunuhan terhadap 'Umar
dan 'Umar pun sudah merasa
dekat ajalnya, dia menyerahkan
urusan kepemimpinan ini kepada
enam orang shahabat. Dan
dikatakan kepada beliau:
"Berwasiatlah wahai amirul
mukminin, berwasiatlah!
Tunjuklah khalifah." Jawabnya:
"Saya tidak mendapati orang
yang yang lebih berhak terhadap
perkara ini (kekhilafahan) lebih
dari orang-orang itu, yang
Rasulullah meninggal dalam
keadaan ridha terhadap
mereka." Lalu beliau menyebut
'Ali, 'Utsman, Az-Zubair,
Thalhah, Sa'ad dan
Abdurrahman (Shahih, riwayat
Al-Bukhari no. 3700, dengan
Fathul Bari, 7/59). 'Umar
menyerahkan urusan ini hanya
kepada 6 orang shahabat yang
memiliki sifat tersebut, padahal
saat itu para shahabat berjumlah
lebih dari 10 ribu orang.
(Madarikun Nazhar, hal. 165)
Al-Imam Al-Bukhari mengatakan:
Dan para imam setelah wafatnya
Nabi bermusywarah dengan para
ulama yang amanah pada
perkara yang mubah untuk
mengambil yang paling mudah
dan jika jelas bagi mereka al
Qur'an maupun sunnah maka
mereka tidak melampauinya
untuk mengambil selainnya, hal
itu dalam rangka meneladani
Nabi [shahih bukhari: 13/339-340
dengan fathul bari, lihat pula
hal: 342 baris: 18] ( TEKS INI
TERULANG)
Al-Imam Asy-Syafi'i mengatakan:
"Janganlah dia bermusyawarah
jika terjadi suatu masalah kecuali
dengan seorang yang amanah,
berilmu dengan Al Qur'an dan
As Sunnah dan riwayat-riwayat
dari shahabat dan setelahnya,
serta berilmu tentang pendapat-
pendapat para ulama, qiyas, dan
bahasa Arab." (Mukhtashar Al-
Muzani, dari Madarikun Nazhar,
hal. 176)
Ibnu At-Tin menukilkan dari
Asyhab, seorang murid Al-Imam
Malik, bahwa Al-Imam Malik
mengatakan: "Semestinya
seorang pemimpin menjadikan
seseorang yang menerangkan
kepadanya tentang keadaan
masyarakatnya di saat dia
sendirian. Dan hendaknya orang
tersebut orang yang bisa
dipercaya, amanah, cerdas dan
bijaksana." (Fathul Bari, 13/190)
Sufyan Ats-Tsauri mengatakan:
"Hendaknya ahli syuramu adalah
orang-orang yang bertakwa dan
amanah serta orang yang takut
kepada Allah." (Tafsir Al-
Qurthubi, 4/250-251)
Asy-Syihristani mengatakan: "…
Akan tetapi wajib bersama
penguasa itu (ada) seorang yang
pantas berijtihad sehingga dia
(penguasa itu, red) dapat
bertanya kepadanya dalam
permasalahan hukum." (Al-Milal,
1/160, lihat Madarikun Nazhar,
hal. 177)
Ibnu Khuwairiz mandad(?)
mengatakan: "Wajib bagi para
pemimpin untuk bermusyawarah
dengan para ulama dalam hal-
hal yang tidak mereka ketahui
dan pada perkara agama yang
membuat mereka bingung. Juga
bermusyawarah dengan para
pemimpin perang pada urusan
peperangan, dengan tokoh
masyarakat pada urusan yang
berkaitan dengan maslahat
masyarakat, dan dengan para
menteri dan wakil-wakilnya pada
perkara kemaslahatan negeri
dan kemakmurannya." (Tafsir Al-
Qurthubi, 4/250)
Al-Qurthubi mengatakan: "Para
ulama berkata: 'Kriteria orang
yang diajak musyawarah jika
dalam perkara hukum
hendaknya seorang ulama dan
agamis. Dan jarang yang seperti
itu kecuali orang yang berakal.
Oleh karenanya Al-Hasan
mengatakan: 'Tidaklah akan
sempurna agama seseorang
kecuali setelah sempurna
akalnya'. Dan sifat orang yang
diajak musyawarah dalam hal
urusan dunia hendaknya orang
yang bijak, berpengalaman dan
suka terhadap orang yang
mengajaknya
musyawarah." (Tafsir Al-
Qurthubi, 4/250-251)
Al-Mawardi mengatakan ketika
menjelaskan orang-orang yang
berhak bermusyawarah untuk
memilih imam/ pemimpin: "…
Syarat-syarat yang harus ada
pada mereka ada tiga: pertama,
keadilan (yakni keshalihan
agamanya) dengan berbagai
syaratnya. Kedua, ilmu yang
dengannya dia dapat
mengetahui siapa yang berhak
menjadi pemimpin dengan
syarat-syarat kepemimpinan.
Ketiga, ide yang bagus dan bijak
yang dengan itu dia bisa memilih
yang paling pantas untuk
menjadi pemimpin." (Al-
Ahkamus Sulthaniyyah, hal. 4)
Dari penjelasan para ulama di
atas, dipahami dengan jelas
bahwa ahli syura adalah para
ulama yang benar-benar berilmu
tentang Al Qur'an dan Sunnah
Nabi serta pendapat-pendapat
para ulama sebelumnya dalam
berbagai masalah, bertakwa dan
takut kepada Allah, juga memiliki
sifat amanah, lagi bijaksana
dalam memutuskan suatu
urusan. Demikian pula memiliki
keinginan baik untuk umat
secara menyeluruh.
Jika dibutuhkan bermusyawarah
pada urusan-urusan duniawi
maka juga bisa melibatkan para
ahli yang berpengalaman dalam
bidang-bidang tertentu namun
tentunya dengan tidak
melepaskan dari sifat-sifat dasar
di atas. Demikian pula tidak bisa
dilepaskan dari para ulama
karena merekalah yang dapat
mempertimbangkan sisi maslahat
dan mafsadah yang hakiki dan
secara syar'i, serta sisi halal dan
haramnya. Wallahu a'lam.
Antara Syura dan Demokrasi
Sebagian orang menganggap
bahwa demokrasi adalah wujud
praktek sistem syura dalam
Islam. Ini adalah anggapan yang
salah, dan jauhnya perbedaan
antara keduanya bagaikan timur
dan barat. Di antara
perbedaannya adalah:
1. Aturan syura berasal dari
Allah dan selalu berlandaskan di
atas syariat-Nya. Sementara
demokrasi sumbernya adalah
suara mayoritas walaupun itu
suaranya orang-orang fasiq
bahkan kafir.
2. Bahwa syura dilakukan pada
perkara yang belum jelas
ketentuannya dalam syariat, dan
jika ada ketentuan syariat maka
itulah yang ditetapkan. Adapun
dalam demokrasi, perkara yang
sudah jelas dalam syariat pun
dapat diubah jika suara
mayoritas menghendakinya,
sehingga dapat menghalalkan
yang haram dan sebaliknya.
3. Anggota majelis syura adalah
para ulama dan yang memiliki
sifat-sifat seperti telah dijelaskan.
Sedang dewan perwakilan rakyat
atau majelis permusyawaratan
dalam sistem demokrasi
anggotanya sangat heterogen.
Ada yang berilmu agama, ada
yang bodoh, ada yang bijak ada
yang tidak, ada yang
menginginkan kebaikan rakyat,
dan ada yang mementingkan diri
sendiri, mereka semualah yang
menentukan hukum dengan
keadaan seperti itu.
4. Dalam sistem syura,
kebenaran tidak diketahui
dengan mayoritas tapi dengan
kesesuaian terhadap sumber
hukum syariat. Sedangkan dalam
sistem demokrasi, kebenaran
adalah suara mayoritas
walaupun menentang syariat
Allah yang jelas.
5. Syura adalah salah satu wujud
keimanan, karena dengan syura
kita mengamalkan ajaran Islam.
Sedangkan demokrasi adalah
wujud kekufuran kepada Allah,
karena jika mayoritas
memutuskan perkara kekafiran
maka itulah keputusan yang
harus diikuti menurut mereka.
6. Syura menghargai para ulama,
sedangkan demokrasi
menghargai orang-orang kafir.
7. Syura membedakan antara
orang yang shalih dan yang
jahat, sedangkan demokrasi
menyamakan antara keduanya.
8. Syura bukan merupakan
kewajiban di setiap saat, bahkan
hukumnya berbeda sesuai
dengan perbedaan keadaan.
Sedangkan demokrasi
merupakan sesuatu yang
diwajibkan oleh Barat kepada
para penganutnya dengan
kewajiban yang melebihi
wajibnya shalat lima waktu dan
tidak mungkin keluar darinya.
9. Sistem demokrasi jelas
menolak Islam dan menuduh
bahwa Islam lemah serta tidak
mempunyai maslahat, sedangkan
keadaan syura tidak demikian.
(Lihat kitab Tanwiruzh Zhulumat,
hal. 21-36 dan Fiqih As-Siyasah
Asy-Syar'iyyah hal. 61)
Wallahu a'lam.


www.majalahsyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=765
Read more..