Banner 468 X 60

Selasa, 31 Agustus 2010

Menyambut Kemenangan Di Bulan Ramadhan

Penulis: Redaksi assalafy.org

Menyambut Kemenangan di
Bulan Ramadhan
Tiba saatnya kaum muslimim
menyambut tamu agung bulan
Ramadhan, tamu yang dinanti-
nanti dan dirindukan
kedatangannya. Sebentar lagi
tamu itu akan bertemu dengan
kita. Tamu yang membawa
berkah yang berlimpah ruah.
Tamu bulan Ramadhan adalah
tamu agung, yang semestinya
kita bergembira dengan
kedatangannya dan
merpersiapkan untuk
menyambutnya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:

قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ
وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ
فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا
يَجْمَعُونَ )58( ]يونس/58 ]

“Sampaikanlah (wahai Nabi
Muhammad), dengan karunia
Allah dan rahmat-Nya,
hendaknya dengan itu mereka
bergembira. Karunia Allah dan
rahmat-Nya itu adalah lebih baik
dari apa mereka yang
kumpulkan (dari harta benda).
(Yunus: 58)
Yang dimaksud dengan “karunia
Allah” pada ayat di atas adalah
Al-Qur’anul Karim (Lihat Tafsir
As Sa’di).
Bulan Ramadhan dinamakan
juga dengan Syahrul Qur ’an
(Bulan Al Qur’an). Karena Al-
Qur’an diturunkan pada bulan
tersebut dan pada setiap
malamnya Malaikat Jibril datang
kepada Rasulullah Shallallahu
‘ alahi wa Sallam untuk mengajari
Al-Qur’an kepada beliau. Bulan
Ramadhan dengan segala
keberkahannya merupakan
rahmat dari Allah. Karunia Allah
dan rahmat-Nya itu lebih baik
dan lebih berharga dari segala
perhiasan dunia.
‘Ulama Ahli Tafsir terkemuka Al-
Imam As-Sa’di rahimahullah
berkata dalam tafsirnya:
“ Bahwasannya Allah
memerintahkan untuk
bergembira atas karunia Allah
dan rahmat-Nya karena itu akan
melapangkan jiwa,
menumbuhkan semangat,
mewujudkan rasa syukur kepada
Allah, dan akan mengokohkan
jiwa, serta menguatkan keinginan
dalam berilmu dan beriman,
yang mendorang semakin
bertambahnya karunia dan
rahmat (dari Allah). Ini adalah
kegembiraan yang terpuji.
Berbeda halnya dengan gembira
karena syahwat duniawi dan
kelezatannya atau gembira diatas
kebatilan, maka itu adalah
kegembiraan yang tercela.
Sebagaimana Allah berfirman
tentang Qarun,
“Janganlah kamu terlalu bangga,
karena Allah tidak menyukai
orang-orang yang
membanggakan diri. ” (Al
Qashash: 76)
Karunia dan rahmat Allah
berupa bulan Ramadhan juga
patut untuk kita sampaikan dan
kita sebarkan kepada saudara-
saudara kita kaum muslimin.
Agar mereka menyadarinya dan
turut bergembira atas limpahan
karunia dan rahmat dari Allah.
Allah berfirman :

وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ
فَحَدِّثْ )11 )

“Dan terhadap nikmat dari
Rabb-Mu hendaklah kamu
menyebut-nyebutnya. ” Adh-
Dhuha: 11)
Dengan menyebut-nyebut
nikmat Allah akan mendorong
untuk mensyukurinya dan
menumbuhkan kecintaan
kepada Dzat yang melimpahkan
nikmat atasnya. Karena hati itu
selalu condong untuk mencintai
siapa yang telah berbuat baik
kepadanya.
Para pembaca yang mulia, ….
Maka sudah sepantasnya
seorang muslim benar-benar
menyiapkan diri untuk
menyambut bulan yang penuh
barakah itu, yaitu menyiapkan
iman, niat ikhlash, dan hati yang
bersih, di samping persiapan fisik.
Ramadhan adalan bulan suci
yang penuh rahmat dan
barakah. Allah Subhanahu wa
Ta ’ala membuka pintu-pintu Al-
Jannah (surga), menutup pintu-
pintu neraka, dan membelenggu
syaithan. Allah ‘Azza wa Jalla
melipat gandakan amalan shalih
yang tidak diketahui kecuali oleh
Dia sendiri. Barangsiapa yang
menyambutnya dengan
sungguh-sungguh, bershaum
degan penuh keimanan dan
memperbanyak amalan shalih,
serta menjaga diri dari
perbuatan-perbuatan yang bisa
merusak ibadah shaumnya,
niscaya Allah ‘Azza wa Jalla akan
mengampuni dosa-dosanya dan
akan melipatkan gandakan
pahalanya. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam
berabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا
وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا
تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبٍ

“Barang siapa yang bershaum
dengan penuh keimanan dan
harapan (pahala dari Allah),
niscaya Allah mengampuni dosa-
dosa yang telah
lampau. ” (Muttafaqun ‘alahi)
Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa
Sallam juga bersabda :

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ
يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ
أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعمِائَة
ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ
وَجَلَّ إِلَّا الصَّوْمَ فَإِنَّهُ
لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ

“Setiap amalan bani Adam akan
dilipat gandakan sepuluh kali
lipat sampai tujuh ratus kali lipat,
Allah I berfirman: “kecuali
ibadah shaum, shaum itu ibadah
untuk-Ku dan Aku sendiri yang
membalasnya. ” (HR. Muslim)
Masih banyak lagi keutamaan
dan keberkahan bulan
Ramadhan yang belum
disebutkan dan tidak cukup
untuk disebutkan di sini.
Namun yang terpenting bagi
saudara-saudaraku seiman,
adalah mensyukuri atas
limpahan karunia Allah dan
rahmat-Nya. Janganlah nikmat
yang besar ini kita nodai dan kita
kotori dengan berbagai
penyimpangan dan kemaksiatan.
Nikmat itu akan semakin
bertambah bila kita pandai
mensyukurinya dan nikmat itu
akan semakin berkurang bahkan
bisa sirna bila kita
mengkufurinya.
Termasuk sebagai bentuk rasa
syukur kita kepada Allah, pada
bulan yang penuh barakah ini
kita ciptakan suasa yang penuh
kondusif. Jangan kita nodai
dengan perpecahan. Kewajiban
kita seorang muslim
mengembalikan segala urusan
kepada Allah dan Rasul-Nya,
serta kepada para ulama bukan
berdasarkan pendapat pribadi
atau golongan.
Permasalah yang sering terjadi
adalah perbedaan dalam
menentukan awal masuknya
bulan Ramadhan. Wahai
saudara-saudaraku, ingatlah
sikap seorang muslim adalah
mengembalikan kepada
Kitabullah (Al-Qur ’an) dan As
Sunnah dengan bimbingan para
ulama yang terpercaya.
Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa
Sallam telah menetukan
pelaksanaan shaum Ramadhan
berdasarkan ru`yatul hilal.
Beliau bersabda :

( صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ
وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ
غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا
عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ )

“Bershaumlah kalian
berdasarkan ru`yatul hilal dan
ber ’idul fithrilah kalian
berdasarkan ru`yatul hilal.
Apabila (hilal) terhalangi atas
kalian, maka sempurnakanlah
bilangan bulan Sya ’ban menjadi
30 hari.” HR. Al-Bukhari dan
Muslim
Nabi Shallallahu ‘alahi wa Sallam
juga menentukan pelaksanaan
shaum Ramadhan secara
kebersamaan. Rasulullah
Shallallahu ‘alahi wa Sallam
bersabda:

اَلصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ،
وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ،
وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ

“Shaum itu di hari kalian (umat
Islam) bershaum, (waktu)
berbuka/beriedul Fitri adalah
pada saat kalian berbuka/
beriedul Fitri, dan (waktu)
berkurban/Iedul Adha di hari
kalian berkurban. ” (HR. At
Tirmidzi dari shahabat Abu
Hurairah)
Al-Imam At-Tirmidzi berkata:
“ Sebagian ahlul ilmi menafsirkan
hadits Abu Hurairah di atas
dengan perkataan (mereka),
‘ sesungguhnya shaum dan
ber’Idul Fitri itu (dilaksanakan)
bersama Al-Jama’ah (Pemerintah
Muslimin) dan mayoritas umat
Islam ’.” (Tuhfatul Ahwadzi 2/37)
Al-Imam Ahmad bin Hanbal
rahimahullah berkata:
“ Seseorang (hendaknya)
bershaum bersama pemerintah
dan jama ’ah (mayoritas) umat
Islam, baik ketika cuaca cerah
ataupun mendung. ” Beliau juga
berkata: “Tangan Allah bersama
Al-Jama’ah.” (Majmu’ Fatawa
25/117)
Al-Imam Abul Hasan As-Sindi
berkata: “Yang jelas, makna
hadits ini adalah bahwasanya
perkara-perkara semacam ini
(menentukan pelaksanaan
shaum Ramadhan, Iedul Fithri
dan Iedul Adha -pen)
keputusannya bukanlah di
tangan individu, dan tidak ada
hak bagi mereka untuk
melakukannya sendiri-sendiri.
Bahkan permasalahan semacam
ini dikembalikan kepada
pemerintah dan mayoritas umat
Islam, dan dalam hal ini setiap
individu pun wajib untuk
mengikuti pemerintah dan
mayoritas umat Islam. Maka dari
itu, jika ada seseorang yang
melihat hilal (bulan sabit) namun
pemerintah menolak
persaksiannya, sudah sepatutnya
untuk tidak dianggap persaksian
tersebut dan wajib baginya untuk
mengikuti mayoritas umat Islam
dalam permasalahan itu. ” (Ash-
Shahihah 2/443)
Menaati pemerintah merupakan
prinsip yang harus dijaga oleh
umat Islam. Terlebih pemerintah
kita telah berupaya
menempatkan utusan-utusan
pada pos-pos ru ’yatul hilal di d
berbagai daerah di segenap
nusantara ini. Rasulullah e
bersabda :

مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ
اللهَ، وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ
عَصَى اللهَ، وَمَنْ أَطَاعَ
أَمِيْرِي فَقَدْ أَطَاعَنِي،
وَمَنْ عَصَى أَمِيْرِي فَقَدْ
عَصَانِي

“Barangsiapa menaatiku berarti
telah menaati Allah, barangsiapa
menentangku berarti telah
menentang Allah, barangsiapa
menaati pemimpin (umat)ku
berarti telah menaatiku, dan
barang siapa menentang
pemimpin (umat)ku berarti telah
menentangku. ” (HR. Al-Bukhari
dan Muslim, dari shahabat Abu
Hurairah)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani
berkata: “Di dalam hadits ini
terdapat keterangan tentang
kewajiban menaati para
pemerintah dalam perkara-
perkara yang bukan
kemaksiatan. Adapun hikmahnya
adalah untuk menjaga persatuan
dan kebersamaan (umat Islam),
karena di dalam perpecahan
terdapat kerusakan. ” (Fathul
Bari, 13/120).
Sebagai rasa syukur kita kepada
Allah Subhanahu wa Ta ’ala pula
hendaklah kita hidupkan bulan
yang penuh barakah itu dengan
amalan-amalan shalih, amalan-
amalan yang ikhlash dan
mencocoki sunnah Rasulullah.
Kita menjauhkan dari amalan-
amalan yang tidak ada contoh
dari Rasulullah. Karena
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
Sallam telah berwasiat :

من أحدث في أمرنا هذا ما ليس
منه فهو رد

“Barangsiapa yang membuat-
buat amalan baru dalam agama
kami yang bukan bagian darinya,
maka perbuatannya tersebut
tertolak. ” (HR. Al-Bukhari dan
Muslim)
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
Sallam juga bersabda :

من عمل عملا ليس عليه أمرنا
فهو رد

“Barangsiapa yang mengamalkan
suatu amalan yang tidak ada
contoh dari kami, maka
amalannya tersebut
tertolak. ” (HR. Muslim)
Para ‘ulama berkata : “Bahwa
hadits merupakan kaidah agung
di antara kaidah-kaidah Islam. Ini
merupakan salah satu bentuk
jawami ’ kalim (kalimat singkat
namun bermakna luas) yang
dimikili oleh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.
Hadits ini sangat jelas dalam
membatalkan semua bentuk
bid ’ah dan hal-hal baru yang
dibuat dalam agama. Lafazh
kedua lebih bersifat umum,
karena mencakup semua orang
yang mengamalkan bid ’ah,
walaupun pembuatnya orang
lain. ”
Termasuk perbuatan yang tidak
pernah dicontohkan oleh Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam
adalah perbuatan yang banyak
dilakukan oleh kaum muslimin
dalam menyambut bulan
Ramadhan dengan amalan atau
ritual tertentu, di antaranya :

1. Apa yang dikenal dengan
acara Padusan. Yaitu mandi
bersama-sama dengan masih
mengenakan busana, terkadang
ada yang memimpin di suatu
sungai, atau sumber air, atau
telaga. Dengan niat mandi besar,
dalam rangka membersihkan
jiwa dan raga sebelum memasuki
bulan suci Ramadhan. Sampai-
sampai ada di antara muslimin
yang berkeyakinan Kalau sekali
saja terlewat dari ritual ini,
rasanya ada yang kurang meski
sudah menjalankan puasa. Jelas
perbuatan ini tidak pernah
diajarkan dan tidak pernah
diterapkan oleh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.
Demikian juga para shahabat,
para salafus shalih, dan para
‘ ulama yang mulia tidak ada
yang mengamalkan atau
menganjurkan amaliah tersebut.
Sehingga kaum muslimin tidak
boleh melakukan ritual ini.
Belum lagi, dalam ritual Padusan
ini, banyak terjadi kemungkaran.
Ya, jelas-jelas mandi bersama
antara laki-laki dan perempuan.
Jelas ini merupakan
kemungkaran yang sama sekali
bukan bagian dari ajaran Islam.

2. Nyekar di kuburan leluhur.
Tak jarang dari kaum muslimin,
menjelang Ramadhan tiba
datang ke pemakaman. Dalam
Islam ada tuntunan ziarah
kubur, yang disyari ’atkan agar
kaum muslimin ingat bahwa
dirinya juga akan mati menyusul
saudara-saudaranya yang telah
meninggal dunia lebih dahulu,
sehingga dia pun harus
mempersiapkan dirinya dengan
iman dan amal shalih. Namun
ziarah kubur, yang diistilahkan
oleh orang jawa dengan nyekar,
yang dikhususkan untuk
menyambut Ramadhan tidak ada
tuntunannya dalam syari ’at
Islam. Apalagi mengkhusukan
nyekar di kuburan leluhur. Ini
adalah perkara baru dalam
agama. Tak jarang dalam ziarah
kubur tercampur dengan
kemungkaran. Yaitu sang
peziarah malah berdoa kepada
penghuni kubur, meminta-minta
pada orang yang sudah mati,
atau ngalap berkah dari tanah
kuburan! Ini merupakan
perbuatan syirik!

3. Minta ma’af kepada sesama
menjelang datangnya Ramadhan.
Dengan alasan agar menghadapi
bulan Ramadhan dengan hati
yang bersih, sudah terhapus
beban dosa terhadap sesama.
Bahkan di sebagian kalangan
diyakini sebagai syarat agar
puasanya sempurna.
Tidak diragukan, bahwa meminta
ma ’af kepada sesama adalah
sesuatu yang dituntunkan dalam
agama, meningat manusia
adalah tempat salah dan lupa.
Meminta ma ’af di sini umum
sifatnya, bahkan setiap saat
harus kita lakukan jika kita
berbuat salah kepada sesama,
tidak terkait dengan waktu atau
acara tertentu. Mengkaitkan
permintaan ma ’af dengan
Ramadhan, atau dijadikan
termasuk cara untuk menyambut
Ramadhan, maka jelas ini
membuat hal baru dalam
agama. Amaliah ini bukan bagian
dari tuntunan syari ’at Islam.
Itulah beberapa contoh amalan
yang tidak ada tuntunan dalam
syari ’at yang dijadikan acara
dalam menyambut bulan
Ramadhan. Sayangnya, amaliah
tersebut banyak tersebar di
kalangan kaum muslimin.
Semestinya dalam menyambut
Ramadhan Mubarak ini kita
mempersiapkan iman dan niat
ikhlash kita. Hendaknya kita
berniat untuk benar-benar
mengisi Ramadhan ini dengan
meningkatkan ibadah dan amal
shalih. Baik puasa itu sendiri,
memperbaiki kualitas ibadah
shalat kita, berjama ’ah di masjid,
qiyamul lail (shalat tarawih),
tilawatul qur ’an, memperbanyak
dzikir, shadaqah, dan berbagai
amal shalih lainnya.
Tentunya itu semua butuh iman
dan niat yang ikhlash, disamping
butuh ilmu tentang bagaimana
tuntunan Nabi kita Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam
dalam melaksanakan berbagai
amal shalih tersebut. agar amal
kita menjadi amal yang diterima
oleh Allah Subhanahu wa Ta ’ala.
Juga perlu adanya kesiapan fisik,
agar tubuh kita benar-benar
sehat sehingga bisa menjalankan
berbagai ibadah dan amal shalih
pada bulan Ramadhan dengan
lancar.
Puncak dari itu semua adalah
semoga puasa dan semua amal
ibadah kita pada bulan
Ramadhan ini benar-benar bisa
mengantarkan kita pada derajat
taqwa di sisi Allah ‘Azza wa Jalla.
Jangan sampai kita termasuk
orang-orang yang gagal dalam
Ramadhan ini. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam
bersabda :

رب صائم ليس له من صيامه
إلا الجوع، ورب قائم ليس له من
قيامه إلا السهر

“Berapa banyak orang yang
berpuasa, namun tidak ada yang
ia dapatkan dari puasanya
kecuali rasa lapar saja. Dan
berapa banyak orang
menegakkan ibadah malam hari,
namun tidak ada yang ia
dapatkan kecuali hanya
begadang saja. ” (HR. Ibu Majah)
Juga beliau Shallallahu ‘alaihi wa
Sallam bersabda :

إن جبريل عليه السلام أتاني
فقال من أدرك شهر رمضان فلم
يغفر له فدخل النار فأبعده
الله قل آمين فقلت آمين
“Sesungguhnya Jibril ‘alaihis
salam mendatangiku, dia
berkata : ‘Barangsiap yang
mendapati bulan Ramadhan
namun tidak menyebakan
dosanya diampuni dia akan
masuk neraka dan Allah jauhkan
dia. Katakan amin (wahai
Muhammad). Maka aku pun
berkata : Amin.” (HR. Ibnu
Khuzaimah dan Ahmad)
Semoga kita termasuk orang
yang mendapat keutamaan dan
fadhilah dalam bulan Ramadhan
ini. Semoga Allah menyatukan
hati-hati kita di atas Islam dan
Iman. Dan semoga Allah
menjadikan bulan Ramadhan ini
sebagai jembatan menuju
keridhaan Allah ‘Azza wa Jallah
dan meraih ketaqwaan kepada-
Nya.
Wallähu a’lam..
(Sumber http://
www.assalafy.org/mahad/?
p=340&print=1)
Cet
www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=1510
Read more..

Siapa Bilang Rokok Haram?

Penulis: Redaksi Buletin Jum’at
At-Tauhid edisi 110 Tahun II

Rokok adalah barang sial yang
banyak menjangkiti kebanyakan
kaum muslimin, apalagi orang-
orang kafir. Barang ini betul-
betul mencekoki otak para
pecandunya. Ketika dinasihati
bahwa rokok itu haram! Mereka
akan menyatakan, "Siapa bilang
rokok haram!!"

Menjawab pernyataan ini, kami
tegaskan bahwa rokok telah
diharamkan oleh para ulama
besar kita berdasarkan Al-
Qur ’an dan Sunnah.Keharaman
ini umum mencakup laki-laki,
maupun wanita, orang besar
atau anak kecil!!! Haramnya
rokok telah diketahui secara
aksiomatik oleh semua orang
sampai semua dokter,
perusahaan rokok, pemerintah,
bahkan semua orang yang
berakal sehat ikut
mengharamkannya. Adapun
para pecandu rokok yang
ditunggangi dan dibutakan oleh
hawa nafsunya, maka mereka ini
tak perlu ditoleh ucapannya
dalam menghalalkan rokok. Tapi
tolehlah fatwa-fatwa dan
pernyataan ulama dan orang-
orang yang berakal sehat.
Buletin Mungil At-Tauhid kali ini
akan menyodorkan beberapa
fatwa ilmiah kepada pembaca
budiman agar menjadi ibroh
(pelajaran); fatwa ini berisi
pernyataan haramnya rokok.
Para ulama yang kami akan
nukilkan fatwanya adalah para
ulama terpercaya, tidak terseret
hawa nafsu, dan tidak segan
menyatakan kebenaran,
walaupun banyak yang
tersinggung.
Pembaca yang budiman, para
ulama kita di Timur Tengah telah
lama menyatakan haramnya
rokok, jauh sebelum para dokter
"mengharamkannya".
Sebagian penanya pernah
melayangkan pertanyaan kepada
ulama besar kita di Timur
Tengah yang tergabung dalam
"Al-Lajnah Ad-
Da ’imah" (Lembaga Fatwa).
* Soal Pertama: Hukum Sholat
di Belakang Perokok
Suatu fenomena yang sering kita
jumpai di lapangan, adanya
sebagian imam yang biasa
memimpin kaum muslimin dalam
mendirikan sholat. Padahal ia
adalah seorang yang tercandu
rokok. Hal ini pernah ditanyakan
oleh sebagian kaum muslimin
kepada para ulama tentang
sikap kita.
Seorang penanya berkata,
"Bolehkah sholat di belakang
seorang imam yang suka
merokok. Perlu diketahui bahwa
imam ini bukan imam tetap,
bahkan ia hanya memimpin
sholat jama’ah, karena Cuma ia
yang pintar membaca Al-Qur’an
di antara jama’ah yang ada di
sekitar masjid?"
Para ulama tersebut menjawab,
"Merokok adalah haram, karena
telah terbukti bahwa
membahayakan kesehatan, dan
termasuk sesuatu yang khobits
(buruk lagi menjijikkan), serta
bentuk pemborosan. Allah
sungguh telah menyifati Nabi-
Nya –Shollallahu alaihi wa
sallam-,
"…dan menghalalkan bagi
mereka segala yang baik dan
mengharamkan bagi mereka
segala yang buruk …". (QS. Al-
A’raaf: 157)

Adapun hukum sholat di
belakang; jika karena seorang
tidak sholat di belakangnya lalu
menimbulkan luputnya sholat
jumat atau sholat jama ’ah atau
muncul masalah (antara
jama ’ah), maka wajib sholat di
belakangnya, demi
mendahulukan mudhorot yang
lebih ringan atas mudhorot yang
lebih besar. Jika ada sebagian
orang yang tidak sholat di
belakangnya , sedang ia tidak
khawatir luputnya sholat jumat
atau jama ’ah atau tidak muncul
mudhorot (masalah dan
perseteruan), tapi
mengakibatkan tercegah dan
berhentinya ia merokok, maka
wajib untuk tidak sholat di
belakangnya sebagai kecaman
baginya dan dorongan baginya
dalam meninggalkan sesuatu
yang diharamkan baginya (yakni,
merokok). Demikian itu termasuk
bagi mengingkari kemungkaran.
Jika kita meninggalkan sholat di
belakang, tidak menimbulkan
mudhorot, tidak luput dari
sholat jumat dan jama ’ah, serta
tidak bergeming dengan hal itu,
maka sikap paling utama,
memilih sholat di belakang orang
yang tidak serupa dengannya
dalam hal kefasikan dan maksiat.
Demikian itu lebih sempurna
bagi sholatnya, dan lebih
menjaga agamanya. Wabillahit
taufiq, wa shollallahu ala
Nabiyyina wa alihi wa shohbihi
wa sallam". [Lihat Fatawa Al-
Lajnah Ad-Da'imah lil Buhuts Al-
Ilmiyyah wa Al-Ifta' (9/408-409)]

* Soal Kedua: Hukum Penjual
Rokok
Sebagian kaum muslimin yang
memiliki profesi dagang, biasa
menjual rokok, karena
banyaknya keuntungan yang bisa
diraup dari hasil penjualan,
apalagi jika ada diskon dari
perusahaan rokok.
Sekarang ada baiknya kita
mendengarkan seorang penanya
berkata, "Apa hukum Islam
tentang orang menjual rokok
yang dijual karena adanya
keringanan (diskon) dari arah
perusahaan rokok?"
Para ulama’ Al-Lajnah Ad-
Da’imah menjawab, "Merokok
adalah haram; menanam
tembakau adalah haram;
berdagang rokok adalah haram,
karena pada rokok terdapat
bahaya besar. Sungguh telah
diriwayatkan dalam sebuah
hadits,

لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ

"Tidak boleh membahayakan diri
sendiri dan orang lain". [HR.
Ibnu Majah (2341)]
Rokok juga termasuk khoba’its
(sesuatu yang busuk, jelek lagi
menjijikkan). Sunnguh Allah -
Ta ’ala- telah berfirman tentang
sifat Nabi –Shollallahu alaihi wa
sallam-,
"…dan menghalalkan bagi
mereka segala yang baik dan
mengharamkan bagi mereka
segala yang buruk …". (QS. Al-
A’raaf: 157)
Allah –Subhanahu- berfirman,
"Mereka menanyakan
kepadamu: "Apakah yang
dihalalkan bagi mereka?".
Katakanlah: "Dihalalkan bagimu
yang baik-baik". Al-Ayat (QS. Al-
Maa ’idah: 4) [Lihat Fatawa Al-
Lajnah Ad-Da'imah lil Buhuts Al-
Ilmiyyah wa Al-Ifta' (15/85-86)]

* Soal Ketiga: Hukum Menjual
Rokok karena Perintah Orang
Tua
Terkadang ada sebagian orang
telah mengenal haramnya
merokok dan menjual rokok.
Namun ia bingung ketika ia
diperintahkan oleh orang tuanya
untuk menjual barang haram itu.
Dia bingung, apakah ia mentaati
Allah dan Rasulullah -Shallallahu
alaihi wa sallam- ataukah ia
mentaati orang tuanya?!
Seorang penanya pernah
bertanya tentang menjual rokok
karena adanya perintah dari
orang tua. Apakah hal itu adalah
udzur baginya?
Para ulama dalam Al-Lajnah Ad-
Da ’imah menjawab, "Merokok
adalah haram, jual-beli rokok
adalah haram, walaupun hal itu
terjadi atas perintah dari orang
tua atau selainnya, karena
adanya hadits dari Nabi -
Shallallahu alaihi wa sallam-
bahwa beliau bersabda,

لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي
مَعْصِيَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ

"Sama sekali tak ada ketaatan
kepada seorang makhluk dalam
bermaksiat kepada Yang Maha
Pencipta -Azza wa Jalla-". [HR.
Ahmad dalam Al-Musnad (1041)]
Beliau juga bersabda,

إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي
الْمَعْرُوفِ

"Ketaatan itu hanyalah dalam
perkara yang ma ’ruf". (HR. Al-
Bukhoriy & Muslim) [Lihat
Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah lil
Buhuts Al-Ilmiyyah wa Al-
Ifta' (15/113)]

* Soal Keempat: Hukum
Menanam Tembakau
Diantara sebab utama
banyaknya produksi, karena
adanya ta ’awun (kerja sama)
antara pedagang dengan petani
tembakau. Para petani itu
terkadang merasa bahwa ia tidak
terkena dosa jika ia menanam
tembakau. Sebab ia beralasan
bahwa bukan mereka yang
membuat rokok, tapi para
pemilik perusahaan rokok.
Benarkah para petani tidak
terkena dosa; dalam artian
bahwa pekerjaannya tidak
haram??! Kini ada baiknya kita
simak seorang penanya pernah
berkata, "Bagaimana hukum
Islam tentang tentang menanam
tembakau dan harta yang
dikumpulkan oleh para petani
tembakau dari hasil penjualan
tembakau tersebut?"
Para ulama dalam Al-Lajnah Ad-
Da ’imah menjawab, "Tidak boleh
menanam tembakau, menjual,
dan menggunakannya, karena
rokok haram dari beberapa sisi;
karena beberapa madhorot
(bahaya)nya yang besar dari sisi
kesehatan, karena
keburukannya, tidak ada
faedahnya. Wajib bagi seorang
muslim untuk meninggalkannya,
menjauhinya, tidak menanamnya
dan tidak pula
memperdagangkannya, karena
jika Allah mengharamkan
sesuatu, maka Dia
mengharamkan harganya,
Wallahu A ’lam". [Lihat Fatawa
Al-Lajnah Ad-Da'imah lil Buhuts
Al-Ilmiyyah wa Al-Ifta' (15/120)]

* Soal Kelima: Wajib Bertaubat
dari Rokok
Ada diantara kita yang
menyangka bahwa merokok
bukan dosa sehingga ia
menyangka bahwa dirinya tak
perlu bertaubat dari
perbuatannya tersebut. Tapi
demikiankah halnya. Biar anda
tahu tingkat kekeliruan sangkaan
batil itu, dengar Seorang
penanya berkata, "Bagaimana
hukum syari ’at tentang penjual
rokok dengan berbagai macam
jenisnya? Saya adalah seorang
perokok; saat aku
mendengarkan tukang adzan,
maka aku masuk masjid. Apakah
wajib bagiku mengulangi wudhu ’
ataukah berkumur-kumur cukup
bagiku? Aku sebenarnya tahu
bahwa rokok menyebabkan
berbagai macam penyakit".
Para ulama besar dalam Al-
Lajnah Ad-Da ’imah yang diketuai
oleh Syaikh Abdul bin Baaz
memberikan jawaban, "Haram
menjual rokok, karena
keburukannya, dan bahayanya
yang banyak. Sedang si perokok
dianggap fasiq. Tidak wajib
mengulangi wudhu’ karena
merokok. Tapi disyari’atkan
baginya menghilangkan bau
yang tak sedap dari mulutnya
dengan sesuatu yang bisa
menghilangkannya; di samping ia
wajib segera bertaubat kepada
Allah dari rokok. Wabillahit
taufiq wa shollallahu ala
Nabiyyina wa alihi wa shohbihi
wa sallam". [Lihat Fatawa Al-
Lajnah Ad-Da'imah lil Buhuts Al-
Ilmiyyah wa Al-Ifta' (15/114)]

Inilah beberapa buah petikan
fatwa ilmiah dari para ulama
besar kita di zaman ini. Mereka
menjelaskan haramnya merokok,
menjual rokok, menanam
tembakau, dan segala hal yang
mendukung perbuatan maksiat
ini, yakni merokok. Sedang Allah
-Ta ’ala- melarang kita
bekerjasama dan tolong-
menolong dalam dosa dan
permusuhan dalam firman-Nya,
"Dan jangan tolong-menolong
dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. dan bertakwalah
kamu kepada Allah". (QS. Al-
Maa ’idah: 2)
Faedah : Sebagian orang
terkadang berceloteh bahwa
rokok tidak haram sebab tidak
ada kata "rokok" dan
larangannya dalam Al-Qur ’an
sehingga mereka menyangka
bahwa merokok tidak
diharamkan. Padahal sebenarnya
banyak dalil-dalil dalam
Al- ’Qur’an yang mengandung
kaedah-kaedah yang
memastikan haramnya rokok.
Tapi kedangkalan ilmu orang-
orang yang berusaha
menghalalkan rokok,
menyebabkan mereka tidak
dapat menemukan dalil-dalil
tersebut. Hal ini mengingatkan
kami dengan sebuah kisah dari
Masruq bin Al-Ajda ’ saat ia
berkata, " Ada seorang wanita
yang pernah datang kepada
Ibnu Mas ’ud seraya berkata,
"Aku telah dikabari bahwa Anda
melarang wanita dari
menyambung rambut (memakai
rambut palsu)? Ibnu Mas ’ud
menjawab, "Benar". Wanita itu
bertanya, "Apakah hal itu Anda
dapatkan dalam Kitabullah
ataukah Anda pernah
mendengarnya dari Rasulullah -
Shallallahu alaihi wa sallam-.
Ibnu Mas’ud berkata, "Aku telah
mendapatkannya dalam
Kitabullah dan dari Rasulullah -
Shallallahu alaihi wa sallam-.
Wanita itu berkata, "Demi Allah,
sungguh aku telah membolak-
balik diantara dua lembar
(cover) mushaf, tapi aku tak
menemukan di dalamnya
sesuatu yang anda nyatakan".
Ibnu Mas ’ud berkata, "Apakah
engkau menemukan (s ebuah
ayat) di dalam mushaf (yang
berbunyi):
"Apa saja yang didatangkan oleh
Rasul kepadamu, maka
terimalah,. dan apa saja yang
dilarangnya bagimu, maka
tinggalkanlah". (QS. Al-Hasyr: 7)
Wanita itu menjawab, "Ya". [HR.
Ahmad (3749). Di-shohih-kan
oleh Al-Albaniy dalam Ghoyah
Al-Marom (93)]

Memakai rambut palsu tak ada
dalil yang mengandung lafazh
larangannya dalam Kitabullah,
tapi dalil-dalil yang melarang hal
tersebut secara tersirat terdapat
dalam Kitabullah, sebab
menyambung rambut alias
menggunakan rambut palsu
termasuk bentuk penipuan dan
kedustaan. Sedang larangan
berdusta dan menipu banyak di
dalam Al-Qur ’an. Demikian pula
rokok, memang tak ada kata
dan lafazh "rokok" dalam Al-
Qur ’an. Tapi larangan tersebut
sebenarnya ada secara tersirat,
sebab rokok termasuk
perbuatan tabdzir (menghambur
harta), membahayakan diri,
mengganggu orang lain,
menzholimi diri dan orang lain,
suatu sebab besar orang
mengidap penyakit, bahkan
penyebab kematian!! Bukankah
di dalam Al-Qur ’an terdapat
larangan tabdzir,
membahayakan diri,
mengganggu orang lain,
menzholimi diri dan orang lain,
membunuh diri sendiri?!
Jawabnya, "Jelas ada!!". Jadi,
nyatalah keharaman rokok
berdasarkan Al-Qur ’an dan As-
Sunnah.


Sumber : Buletin Jum’at At-
Tauhid edisi 110 Tahun II.
Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas.
Alamat : Pesantren Tanwirus
Sunnah, Jl. Bonto Te ’ne No. 58,
Kel. Borong Loe, Kec. Bonto
Marannu, Gowa-Sulsel. HP :
08124173512 (a/n Ust. Abu
Fa ’izah). Pimpinan Redaksi/
Penanggung Jawab : Ust. Abu
Fa ’izah Abdul Qadir Al Atsary,
Lc. Dewan Redaksi : Santri
Ma ’had Tanwirus Sunnah –
Gowa. Editor/Pengasuh : Ust.
Abu Fa ’izah Abdul Qadir Al
Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro.
Untuk berlangganan/pemesanan
hubungi : Ilham Al-Atsary
(085255974201). (infaq Rp. 200,-/
exp)
(Sumber http://almakassari.com/
artikel-islam/fiqh/siapa-bilang-
rokok-haram.html)
www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=1567
Read more..

Senin, 30 Agustus 2010

Anugrah Yang Terdzolimi

Agama Islam yang dibawa oleh
Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa
sallam- telah disempurnakan
oleh Allah -Subhanahu wa
Ta’ala- sebagai rahmat bagi
seluruh hamba-Nya, sehingga
agama ini tidak butuh tambahan,
pengurangan dan otak-atik.

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ
دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ
عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي
وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ
دِينًا

“Pada hari ini telah
Kusempurnakan untuk kamu
agamamu, dan telah Ku-
cukupkan kepadamu ni`mat-Ku,
dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi
agama bagimu”. (QS. Al-
Ma`idah: 3)
Di antara rahmat Allah -Ta’ala-
kepada hamba hamba-Nya,
disyari’atkannya “poligami”
(seorang laki laki memiliki lebih
dari satu istri) berdasarkan dalil-
dalil yang akan datang.
Namun berbicara masalah
poligami akan mengundang
berbagai tanggapan. Ada yang
menanggapinya secara posotif
dan ini datangnya dari ulama’
dan kaum beriman. Tetapi, ada
pula yang menanggapinya secara
negatif, bahkan menentangnya
dengan keras di antara segelintir
orang dari kalangan orang-
orang munafiq, dan orang-orang
yang jahil dari kaum wanita dan
laki-laki. Berbagai alasan
dilontarkan intuk menolak
poligami, entah dengan alasan
kecemburuan, emosi, atau tidak
siap dimadu, bahkan dengan
alasan ketidakadilan.
Mungkin dengan dasar inilah,
ada seorang penulis wanita (kami
tidak sebutkan namanya)
berusaha menentang, dan
menzholimi “anugerah
poligami” ini untuk membela
kaum wanita -menurut
sangkaannya-, padahal
sebenarnya ia menzholimi kaum
wanita. Maka dia pun
menuangkan
“ pembelaannya” (baca:
penzholimannya) tersebut dalam
bentuk tulisan yang dimuat oleh
koran “Kompas”, edisi 11
Desember 2006, dengan judul,
“Wabah itu Bernama
Poligami”. Sebuah judul yang
memukau bagi orang-orang jahil,
terlebih lagi orang-orang
munafiq. Namun hal itu sangat
berbahaya bagi keimanannya,
dan mengerikan bagi kaum
beriman. Betapa tidak, dia telah
berani menyebut poligami
sebagai “wabah”, dan telah
lancang berani menyebut syari’at
yang Allah -Ta’ala- sendiri yang
menurunkan-Nya sebagai
“wabah”. Dia telah menghina,
menentang dan mengingkari
anugerah yang Allah berikan
kepada hamba-Nya. Kalau
wanita ini menganggap
poligami adalah wabah,
berarti dia telah menganggap
bahwa Allah -Ta’ala- telah
menurunkan wabah kepada
para hamba-Nya,“Subhanallah
wa -Ta’ala- ‘an qaulihim
uluwwan kabiran !!!” Maha Suci,
dan Maha Tinggi Allah atas apa
yang mereka ucapkan.

Wanita untuk memuntahkan
kebenciannya, dan
penolakannya kepada syari’at
poligami, maka ia pun tidak
tanggung-tanggung
membawakan hadits untuk
menguatkan pendapatnya.
Padahal hadits itu tidaklah
menguatkan dirinya sedikitpun,
bahkan menolak dengan
kejahilannya: Wanita itu
membawakan hadits, bahwa
dilaporkan Nabi -Shollallahu
‘alaihi wasallam- marah ketika
beliau mendengar putrinya
Fatimah akan di poligami
suaminya, Ali bin Abi Thalib.
Beliau bergegas menuju mesjid,
naik mimbar dan menyampaikan
pidato, “Keluarga Bani Hasim bin
Al-Mughiroh telah meminta
izinku untuk menikahkan putri
mereka dengan Ali Bin Abi Thalib
saya tidak mengizinkan sama
sekali kecuali Ali menceraikan
putri Saya terlebih dahulu”.
Kemudian Nabi -Shollallahu
‘alaihi wasallam- melanjutkan,
“Fatimah adalah bagian dari-ku.
Apa yang mengganggu dia
adalah menggangguku dan apa
yang menyakiti dia adalah
menyakitiku juga”. Akhirnya, Ali
bin Abi Thalib tetap monogami
hingga Fatimah wafat.
Setelah membaca hadits diatas,
mungkin kita akan
menganggukkan kepala dan
membenarkan wanita tersebut.
Namun Saking “pandainya”
wanita ini, ia lupa riwayat lain
dalam Shohih Muslim (2449),
“Sesungguhnya aku tidak
mengharamkan yang halal
dan tidak menghalalkan yang
haram. Tapi, demi Allah, tidak
akan berkumpul putri
Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi
wa sallam- dengan putri
musuh Allah selamanya”.
Artinya, Nabi -Shollallahu ‘alaihi
wasallam- tidak mengharamkan
atas umatnya sesuatu yang halal,
yaitu poligami. Selain itu, Syaikh
Al-Adawiy dalam Fiqh Ta’addud
Az-Zaujat (126) berkata, “Di
antara kekhususan Nabi -
Shallallahu ‘alaihi wa sallam-,
putrinya tidak boleh dimadu. Ini
yang dikuatkan oleh Al-Hafizh
Ibnu Hajar dalam Fath Al-Bari
(9/329)”.
Perlu diketahui bahwa para
sahabat sepeninggal Nabi -
Shallallahu ‘alaihi wa sallam-,
bahkan Ali sendiri berpoligami
setelah Fathimah wafat. Ali bin
Rabi’ah berkata, “Dulu Ali
memiliki dua istri”. [HR. Ahmad
dalam Fadho’il Ash-Shohabah
(no.889)]. Ini menunjukkan
bahwa poligami tetap diamalkan
oleh para sahabat sepeninggal
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa
sallam-, bukan bersifat
kondisional !!
Lebih jauh lagi, Wanita itu
mengomentari ayat berikut,

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا
تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى
فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ
مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى
وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ
خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا
فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا
تَعُولُوا

“Dan jika kamu takut tidak akan
dapat berlaku adil terhadap
(hak-hak) perempuan yatim
(bilamana kamu mengawininya),
maka kawinilah wanita-wanita
(lain) yang kamu senangi: dua,
tiga atau empat. Kemudian jika
kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil, maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak
yang kamu miliki. Yang demikian
itu adalah lebih dekat kepada
tidak berbuat aniaya”. (QS. An-
Nisa`: 3)
Wanita ini berkata, “Ayat
tersebut turun setelah perang
Uhud, dimana banyak sahabat
wafat di medan perang. Ayat ini
memungkinkan lelaki muslim
mengawini janda, atau anak
yatim, jika dia yakin inilah cara
melindungi kepentingan mereka,
dan hartanya dengan penuh
keadilan. Jadi, ayat ini bersifat
kondisional”.
Yang menjadi pembahasan kita
dalam perkataannya adalah
bahwa ayat ini bersifat
kondisional, padahal seandainya
ayat ini bersifat kondisional,
justru ayat ini sangat
memungkinkan untuk diamalkan
pada zaman sekarang, karena
melihat perbandingan jumlah
wanita jauh lebih banyak
dibandingkan jumlah laki-laki.
Oleh karena itu, poligami di saat
sekarang ini mestinya lebih
disemarakkan! Selain itu, para
ulama membuat kaedah,
“Barometer dalam
menafsirkan ayat dilihat pada
keumuman lafazhnya, bukan
pada kekhususan sebab
turunnya ayat tertentu”. Jadi,
dilihat cakupan dan keumuman
ayat di atas dan lainnya, maka
mencakup semua lelaki yang
memiliki kemampuan lahiriah.
Kemudian, dia pun
mengomentari firman Allah
berikut -layaknya sebagai ahli
tafsir, padahal ia bukan
termasuk darinya-,

وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ
تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ
وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا
تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ
فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ
وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا
فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا
رَحِيمًا

“Dan kamu sekali-kali tidak akan
dapat berlaku adil di antara
isteri- isteri (mu), walaupun
kamu sangat ingin berbuat
demikian, karena itu janganlah
kamu terlalu cenderung
(kepada yang kamu cintai),
sehingga kamu biarkan yang lain
terkatung-katung. Dan jika kamu
mengadakan perbaikan dan
memelihara diri (dari
kecurangan), maka
sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha
Penyayang”. (QS. An-Nisa`:
129)
Wanita ini berkata dengan
congkak, “Ayat ini dapat
disimpulkan, Islam pada
dasarnya agama monogami”.
Pembaca -semoga dirahmati
Allah- beginilah apabila
menafsirkan ayat dengan
penafsiran sendiri, tanpa mau
melihat bagaimana para ulama
tafsir ketika menafsirkan ayat-
ayat Allah. Ayat ini justru
menunjukan disyari’atkannya
poligami. Dengarkan para ahli
tafsir ketika mereka menafsirkan
ayat di atas (QS. An-Nisa`: 129)
Ath-Thabariy -rahimahullah-
berkata, “Kalian, wahai kaum
lelaki, tak akan mampu
menyamakan istri-istrimu dalam
hal cinta di dalam hatimu sampai
kalian berbuat adil di antara
mereka dalam hal itu. Maka
tidak di hati kalian rasa cinta
kepada sebagiannya, kecuali ada
sesuatu yang sama dengan
madunya, karena hal itu kalian
tidak mampu melakukannya,
dan urusannya bukan kepada
kalian”. [Lihat Jami’ Al-Bayan
(9/284)]

Syaikh Muhammad bin Nashir
As-Sa’diy-rahimahullah- dalam
menafsirkan ayat di atas (QS.
An-Nisa`: 129), “Allah -Ta’ala-
mengabarkan bahwa suami tidak
akan mampu. Bukanlah
kesanggupan mereka berbuat
adil secara sempurna di antara
para istri, sebab keadilan
mengharuskan adanya
kecintaan, motivasi, dan
kecenderungan yang sama
dalam hati kepada para istri,
kemudian demikian pula
melakukan konsekuensi hal
tersebut. Ini adalah perkara yang
susah dan tidak mungkin. Oleh
karena itu, Allah -Ta’ala-
memaafkan perkara yang tidak
sangup untuk dilakukan.
Kemudian, Allah -Ta’ala-
melarang sesuatu yang mungkin
terjadi (yaitu, terlalu condong
kepada istri yang lain, tanpa
menunaikan hak-hak mereka
yang wajib-pent),

فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ
فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ

“Karena itu janganlah kamu
terlalu cenderung (kepada
yang kamu cintai), sehingga
kamu biarkan yang lain
terkatung-katung”. (QS. An-
Nisa`: 129)
Maksudnya, janganlah engkau
terlalu condong (kepada istri
yang lain) sehingga engkau tidak
menunaikan hak-haknya yang
wajib, bahkan kerjakanlah
sesuatu yang berada pada batas
kemampauan kalian berupa
keadilan. Maka memberi
nafkah, pakaian, pembagian
dan semisalnya, wajib bagi
kalian untuk berbuat adil di
antara istri-istri dalam hal
tersebut, lain halnya dengan
masalah kecintaan, jimak
(bersetubuh), dan semisalnya,
karena seorang istri, apabila
suaminya meninggalkan sesuatu
yang wajib (diberikan) kepada
sang istri, maka jadilah sang istri
dalam kondisi terkatung-katung
bagaikan wanita yang tidak
memiliki suami, lantaran itu sang
istri bisa luwes dan bersiap untuk
menikah lagi serta tidak lagi
memiliki suami yang menunaikan
hak-haknya”. [Lihat Taisir Al-
Karim Ar-Rahman (hal. 207)]
Lebih gamblang, seorang
mufassir ulung, Syaikh Asy-
Syinqithiy -rahimahullah- berkata
dalam Adhwa’ Al-Bayan (1/375)
ketika menafsirkan ayat di atas,
“Keadilan ini yang disebutkan
oleh Allah disini bahwa ia tak
mampu dilakukan adalah
keadilan dalan cinta, dan
kecenderungan secara tabi’at,
karena hal itu bukan di bawah
kemampaun manusia. Lain
halnya dengan keadilan dalam
hak-hak yang syar’iy, maka
sesuangguhnya itu mampu
dilakukan”.
Jadi, dari komentar para ahli
tafsir tadi, tidak ada di antara
mereka yang berdalil dengan
ayat itu untuk menolak poligami.
Lantas kenapa wanita ini tak mau
menoleh ucapan para ulama’
tafsir? Jawabnya, karena tafsiran
mereka tidak tunduk kepada
hawa nafsu wanita ini.
Adapun dalil dalil yang
menunjukan disyariatkannya
poligami antara lain, maka telah
berlalu dalam (QS. An-Nisa`:
3).

Di antara dalil poligami, Seorang
tabi’in, Sa’id bin Jubair, “Ibnu
Abbbas berkata kepadaku:
“Apakah engkau telah
menikah ?” Aku menjawab “
Belum”. Ibnu Abbas berkata,
“Maka menikahlah, karena
sebaik baik manusia pada umat
ini adalah orang yang paling
banyak istrinya”. [HR. Al-
Bukhariydalam Shohih-nya).
Satu lagi dalil poligami -namun
sebenarnya masih banyak-, Anas
bin Malik -radhiyallahu ‘anhu-
berkata, “Termasuk sunnah jika
seorang laki laki menikahi
perawan setellah istri
sebelumnya janda maka sang
suami pun tinggal di rumah istri
yang perawan ini selama tujuh
hari maka sang suami tinggal
dirumah istri yang janda selama
tiga hari kemudian dia bagi”. [HR
Bukhariy dalam Ash-Shohih]
Seorang ulama’ Syafi’iyyah, Al-
Hafizh Ibnu Hajar -rahimahullah-
dalam Fatul Bari (9/10) berkata,
“Dalam hadits ini, ada anjuran
untuk menikah dan
meninggalkan hidup
membujang”.
Setelah kita mengetahui dalil-
dalil yang menunjukan
disyari’atkannya seorang muslim,
laki-laki maupun wanita
melakukan poligami. Jadi, kami
nasihatkan kepada diri kami dan
para suami dan calon suami
untuk menikah hingga empat
orang istri, jika dia sanggup
untuk berbuat adil dalam
perkara lahirah, seperti,
pembagian malam, dan nafkah.
Adapun adil dalam perkara batin
(seperti, cinta, kesenangan jimak,
perasaan bahagia bersama
dengan salah satu diantara
mereka), maka ini bukan
merupakan syarat berdasarkan
hadits-hadits dari Nabi -
Shallallahu ‘alaihi wa sallam-
sebagaimana yang diterangkan
oleh para ulama.
Terakhir, Kami nasihatkan
kepada para wanita agar bersiap
untuk dimadu dan berlapang
dada untuk menerima anugerah
poligami ini, serta tidak
menentang syari’at poligami,
karena ini adalah kekufuran.
Samahatusy Syaikh Abdul Azizi
bin Baz-rahimahullah- berkata,
“Barangsiapa yang membenci
sedikitpun dari sesuatu yang
dibawa Rasulullah -Shollallahu
‘alaihi wasallam-, meskipun dia
mengamalkannya, maka
sungguh dia telah kafir. Allah -
Ta’ala- berfirman,

ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَرِهُوا مَا
أَنْزَلَ اللَّهُ فَأَحْبَطَ
أَعْمَالَهُمْ

“Yang demikian itu adalah
karena sesungguhnya mereka
benci kepada apa yang
diturunkan Allah (Al Qur’an) lalu
Allah menghapuskan (pahala-
pahala) amal-amal mereka”.
(QS. Muhammad: 9)[Lihat
Nawaqid Al-Islam]


Sumber : Buletin Jum’at Al-
Atsariyyah edisi 07 Tahun I.
Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas.
Alamat : Pesantren Tanwirus
Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58,
Kel. Borong Loe, Kec. Bonto
Marannu, Gowa-Sulsel. HP :
08124173512 (a/n Ust. Abu
Fa’izah).
www.almakassari.com/artikel-islam/fiqh/anugerah-yang-terzholimi.html#more-44
Read more..

Konsepsi Jihad Syar'i Dalam Islam

Pertanyaan : Sebagaimana yang
telah kita ketahui bersama
bahwa di negeri kita (Indonesia)
sejak beberapa tahun terakhir
sedang marak-maraknya teror
dalam bentuk peledakan dan
sebagainya yang kemudian sang
pelaku menamakan tindakan-
tindakan tersebut sebagai jihad
di jalan Allah, ada yang pro dan
ada pula yang kontra. Oleh
karena itu tolong dijelaskan
konsepsi jihad yang syar’iy di
dalam agama kita.

Jawab :
Masalah ini sebenarnya adalah
masalah yang cukup berat dan
termasuk perkara kontemporer
yang tidak ada yang boleh
berbicara di dalamnya kecuali
para ulama ahli ijtihad. Dan
alhamdulillah para ulama besar
di zaman ini telah berbicara sejak
awal mula terjadinya fitnah teror
dan peledakan ini yang
sebagiannya telah termuat dalam
Risalah Ilmiah An-Nashihah Vol.
3 tahun 2001 dan Vol. 4 tahun
2002 silam. Maka di sini –dengan
memohon pertolongan hanya
kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala- kami akan menjelaskan
secara ringkas tentang konsepsi
jihad yang syar’iy dalam Islam
serta menukil kembali
sebahagian dari fatwa-fatwa
mereka dengan beberapa
perbaikan, semoga Allah
Subhanahu wa Ta’ala
memberikan berkah dengannya
kepada kita bersama.

Berikut
uraiannya :
Jihad di dalam Islam –khususnya
melawan orang-orang kafir- ada
dua bentuk :
Jihad mudafa’ah (Jihad membela
atau melindungi diri dari
serangan musuh), yaitu apabila
kaum kuffar (orang-orang kafir)
menyerang dan atau mengepung
negeri kaum muslimin. Maka
dalam keadaan seperti ini fardhu
‘ain bagi setiap orang yang
berada di negeri tersebut untuk
membela dirinya serta wajib juga
atas kaum muslimin di seluruh
penjuru dunia untuk menolong
saudara-saudara mereka di
negeri tersebut.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
berkata : “Apabila musuh
hendak menyerang kaum
muslimin, maka wajib atas orang-
orang yang diserang secara
langsung untuk menghadang
mereka dan juga wajib atas
orang yang belum diserang
untuk membantu saudara
mereka sebagaimana firman
Allah Ta’ala :

وَإِنِ اسْتَنْصَرُوكُمْ فِي
الدِّينِ فَعَلَيْكُمُ
النَّصْرُ إِلَّا عَلَى قَوْمٍ
بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ
مِيثَاقٌ

“(Akan tetapi) jika mereka
meminta pertolongan kepadamu
dalam (urusan pembelaan)
agama, maka kamu wajib
memberikan pertolongan kecuali
terhadap kaum yang telah ada
perjanjian antara kamu dengan
mereka”. (QS. Al-Anf al : 72)
Di tempat yang lain beliau
rahimahullah menegaskan
bahwa jihad bentuk ini tidak
memiliki syarat-syarat yang harus
dipenuhi sebelum
pelaksanaannya.
Jihad hujum atau jihad tholab
(jihad menyerang), yaitu kaum
muslimin yang mulai menyerang
kaum kuffar dengan
memberikan kepada mereka tiga
pilihan ; masuk Islam atau
membayar jizyah (upeti) dengan
penuh kehinaan atau diperangi
sebagaimana yang disebutkan
urutannya dalam hadits Buraidah
riwayat Muslim no. 1731. Dan
dilihat secara zhohirnya,
peledakan serta bom bunuh diri
yang sedang marak di negeri
kaum muslimin –termasuk
Indonesia- atau yang terjadi di
negeri-negeri kafir oleh sebagian
kaum muslimin adalah termasuk
jihad hujum karena mereka yang
memulai penyerangan dengan
mendatangi negeri-negeri kafir
atau tempat-tempat mereka di
negeri kaum muslimin dan
mengadakan penyerangan dan
peledakan di sana. Akan tetapi
hakikatnya perbuatan seperti ini
adalah perbuatan yang
melanggar syari’at Islam yang
suci ini dan menunjukkan
jauhnya para pelaku ataupun
orang-orang yang mengajari
mereka dari ilmu agama yang
benar. Berikut penjelasannya :
Penting untuk diketahui oleh
setiap muslim bahwa jihad
menyerang ini tidak boleh
dilaksanakan secara mutlak,
dalam artian boleh dilakukan
kapan saja, dimana saja dan oleh
siapa saja. Akan tetapi jihad yang
mulia ini memiliki syarat-syarat
yang kapan seluruh syarat ini
terpenuhi barulah ketika itu
boleh bahkan wajib menegakkan
jihad menyerang ini, syarat-syarat
tersebut adalah sebagai berikut :

Di bawah kepemimpinan seorang
imam/kepala Negara yang
disepakati oleh kaum muslimin di
negeri itu bahwa dia adalah
pemimpin atau orang yang
ditunjuk oleh imam kaum
muslimin sebagai pimpinan
perang, jadi bukan “imam-
imaman” yang diangkat sendiri
oleh sebagian jama’ah atau
golongan atau aliran dan
seterusnya yang tidak di atas
kesepakatan kaum muslimin
kemudian menegakkan jihad
menyerang sendiri tanpa
persetujuan dari kepala Negara
dan yang lebih aneh kadang
jihad versi mereka diarahkan
untuk menyerang sesama kaum
muslimin, na’udzu billahi min
dzalik.

Memiliki daerah dan wilayah
kekuasaan atau dengan kata lain
negara.
Memiliki kekuatan yang cukup
untuk berperang, baik dari sisi
personil, perbekalan maupun
persenjataan.
Kapan salah satu atau bahkan
seluruh syarat di atas tidak
terpenuhi, maka tidak boleh
melaksanakan jihad menyerang
seperti ini, kalaupun dipaksakan
maka tidaklah dianggap jihad
yang syar’iy dan dikhawatirkan
korban yang jatuh didalamnya
tidak digolongkan syahid tapi
bunuh diri, nas`alullahas
salamata wal ‘afiyah.
Oleh karena itulah syari’at jihad
menyerang tidak turun di
Mekkah karena belum
terpenuhinya syarat-syarat
tersebut. Kaum muslimin belum
memiliki pemimpin yang syah,
belum punya Negara dan masih
lemah, sebagaimana firman Allah
Ta ’ala :

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ قِيلَ
لَهُمْ كُفُّوا أَيْدِيَكُمْ
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَءَاتُوا
الزَّكَاةَ

“Tidakkah kamu perhatikan
orang-orang yang dikatakan
kepada mereka: "Tahanlah
tanganmu (dari berperang),
dirikanlah shalat dan tunaikanlah
zakat !”. (QS. An-Nisa` : 77)
Akan tetapi setelah hijrah ke
Medinah, maka kaum muslimin
sudah memiliki Negara sendiri
dengan pimpinan Nabi
Shollallahu ‘alaih wa ‘ala alihi
wasallam dan telah memiliki
kekuatan yang sangat besar
dengan banyaknya manusia yang
masuk Islam, barulah Allah
Ta’ala menurunkan perintah
untuk menyerang kaum kuffar di
luar kota Medinah.
Setelah mengetahui hal ini, maka
sekarang kita tanyakan kepada
orang-orang yang katanya
berjihad melawan orang kafir –
tapi tidak jarang ada juga kaum
muslimin yang jadi korban,
sengaja atau tidak- : Siapa
pemimpin kalian yang diakui
oleh seluruh kaum muslimin?!,
mana Negara kalian?! dan
mana kekuatan kalian?!,
bukankah perbuatan bom
bunuh diri atau dengan
memasang peledak di tempat-
tempat kaum kuffar
menunjukkan kalian belum
punya cukup kekuatan,
bukankah hal itu adalah
perbuatan pengecut dan
khianat kepada mereka yang
telah dijamin keamanannya
oleh Negara?!.

Pembagian Orang Kafir dalam
Islam
Setelah terpenuhinya ketiga
syarat di atas, langkah
selanjutnya adalah dengan
melihat keadaan orang kafir
yang akan diserang dan
diperangi tersebut apakah dia
termasuk orang kafir yang
boleh/halal untuk dibunuh
ataukah tidak, karena orang
kafir dalam syari’at Islam yang
mulia ini ada empat macam :

Pertama : Kafir Dzimmy, yaitu
orang kafir yang membayar
jizyah (upeti) yang dipungut tiap
tahun sebagai imbalan bolehnya
mereka tinggal di negeri kaum
muslimin. Kafir seperti ini tidak
boleh dibunuh selama ia masih
menaati peraturan-peraturan
yang dikenakan kepada mereka.
Banyak dalil yang menunjukkan
hal tersebut di antaranya firman
Allah Al-‘Aziz Al-Hakim :

قَاتِلُوا الَّذِينَ لاَ
يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلاَ
بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلاَ
يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ
وَرَسُولُهُ وَلاَ يَدِينُونَ
دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ
أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى
يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ
وَهُمْ صَاغِرُونَ

“Perangilah orang-orang yang
tidak beriman kepada Allah dan
tidak (pula) kepada hari
kemudian dan mereka tidak
mengharamkan apa yang telah
diharamkan oleh Allah dan
Rasul-Nya dan tidak beragama
dengan agama yang benar
(agama Allah), (yaitu orang-
orang) yang diberikan Al-Kitab
kepada mereka, sampai mereka
membayar jizyah dengan patuh
sedang mereka dalam keadaan
shogirun (hina, rendah, patuh)”.
(QS. At-Taubah : 29).

Kedua : Kafir Mu’ahad, yaitu
orang-orang kafir yang telah
terjadi kesepakatan antara
mereka dan kaum muslimin
untuk tidak berperang dalam
kurun waktu yang telah
disepakati. Dan kafir seperti ini
juga tidak boleh dibunuh
sepanjang mereka menjalankan
kesepakatan yang telah dibuat.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman :

إِلاَّ الَّذِينَ عَاهَدْتُمْ مِنَ
الْمُشْرِكِينَ ثُمَّ لَمْ
يَنْقُصُوكُمْ شَيْئًا وَلَمْ
يُظَاهِرُوا عَلَيْكُمْ أَحَدًا
فَأَتِمُّوا إِلَيْهِمْ عَهْدَهُمْ
إِلَى مُدَّتِهِمْ إِنَّ اللَّهَ
يُحِبُّ الْمُتَّقِينَ

“Kecuali orang-orang musyrikin
yang kalian telah mengadakan
perjanjian (dengan mereka) dan
mereka tidak mengurangi dari
kalian sesuatu pun (dari isi
perjanjian) dan tidak (pula)
mereka membantu seseorang
yang memusuhi kalian, maka
terhadap mereka itu penuhilah
janjinya sampai batas waktunya.
Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertakwa”.
(QS. At-Taubah : 4).
Dan Rasulullah shollallahu ‘alaihi
waalihi wa sallam bersabda
dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Amr
riwayat Bukhary :

مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرِحْ
رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ
رِيْحَهَا تُوْجَدُ مِنْ
مَسِيْرَةِ أَرْبَعِيْنَ عَامًا

“Siapa yang membunuh kafir
Mu’ahad ia tidak akan mencium
bau surga dan sesungguhnya
bau surga itu tercium dari
perjalanan empat puluh tahun”.

Ketiga : Kafir Musta’man, yaitu
orang kafir yang mendapat
jaminan keamanan dari kaum
muslimin atau sebagian kaum
muslimin. Kafir jenis ini juga tidak
boleh dibunuh sepanjang masih
berada dalam jaminan
keamanan. Allah Subhanahu Wa
Ta’ala berfirman :

وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى
يَسْمَعَ كَلاَمَ اللَّهِ ثُمَّ
أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ ذَلِكَ
بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لاَ يَعْلَمُونَ

“Dan jika seorang di antara
kaum musyrikin meminta
perlindungan kepadamu, maka
lindungilah ia agar ia sempat
mendengar firman Allah,
kemudian antarkanlah ia ke
tempat yang aman baginya.
Demikian itu disebabkan mereka
kaum yang tidak mengetahui”.
(QS. At-Taubah : 6).

Keempat : Kafir Harby, yaitu
kafir selain tiga di atas. Kafir jenis
inilah yang disyari’atkan untuk
diperangi dengan ketentuan
yang telah kita jelaskan di atas.
Demikianlah pembagian orang
kafir oleh para ulama seperti
syeikh Muqbil bin H adi Al-
Wadi’iy, syeikh Ibnu ‘Utsaimin,
‘Abdullah Al-Bassam dan lain-
lainnya. Dan bagi yang menelaah
buku-buku fiqih dari berbagai
madzhab akan menemukan
benarnya pembagian ini.
Wallahul Musta’ an.


Sumber : Jurnal Al-Atsariyyah
Vol. 01/Th01/2006
www.almakassari.com/artikel-islam/aqidah/konsepsi-jihad-syari-dalam-islam.html
Read more..

Jumat, 27 Agustus 2010

Blogger Buzz: Improvements to Realtime Search

Read more..

Kamis, 26 Agustus 2010

Bolehkah Pekerja Muslim Membangun Tempat Ibadah Orang-Orang Kafir

Berpartisipasi dalam
pembangunan gedung ibadah
selain ummat Islam adalah
haram. Karena hal tersebut
termasuk perbuatan tolong-
menolong dalam kebatilan
terbesar, yaitu kesyirikan dan
kekafiran kepada Allah Ta’ala.
Berikut fatwa ulama tentang
masalah ini:

س: المسلم الذي وظيفته
بناء، هل يجوز له أن يبني
كنيسة للكفار؟
ج: لا يحل لمسلم يؤمن بالله
واليوم الآخر أن يبني كنيسة
أو محلا للعبادة ليس مؤسسا
على الإسلام الذي بعث الله
به محمدا؛ لأن ذلك من أعظم
الإعانة على الكفر، وإظهار
شعائره، والله عز وجل يقول:
} وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ
وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا
عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ
شَدِيدُ الْعِقَابِ { سورة
المائدة الآية 2

Pertanyaan: Seorang muslim
yang profesinya sebagai tukang
bangunan, apakah boleh dia
membangun gereja untuk
(tempat ibadah) orang-orang
kafir?

Jawab: Tidak halal bagi seorang
muslim yang beriman kepada
Allah dan hari akhir untuk
membangun gereja atau tempat
ibadah yang tidak berlandaskan
Islam, agama yang dengannya
Allah Ta’ala mengutus
Muhammad shallallahu’alaihi wa
sallam. Karena hal tersebut
termasuk sebesar-besarnya
bentuk pertolongan kepada
orang-orang kafir dan
menampakkan syiar-syiar
mereka. Sedang Allah Ta’ala
berfirman:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ
وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا
عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ
شَدِيدُ الْعِقَابِ

“Dan tolong-menolonglah kamu
dalam (mengerjakan) kebaikan
dan takwa, dan jangan tolong-
menolong dalam berbuat dosa
dan pelanggaran. Dan
bertakwalah kamu kepada Allah,
sesungguhnya Allah amat berat
siksa-Nya.” (Al-Maidah: 2)
(Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-
Daimah, 14/482, no. 19893)
Sebelumnya, Al-Imam Asy-
Syafi’i rahimahullah juga telah
berbicara tentang masalah
tolong-menolong dalam
membangun atau
memakmurkan gereja, beliau
berkata:

وَلَوْ أَوْصَى بِثُلُثِ مَالِهِ
أو بِشَيْءٍ منه يَبْنِي بِهِ
كَنِيسَةً لِصَلَاةِ النصراني
) ) ) النصارى ( ( ( أو
يَسْتَأْجِرُ بِهِ خَدَمًا
لِلْكَنِيسَةِ أو يَعْمُرُ بِهِ
الْكَنِيسَةَ أو
يَسْتَصْبِحُ بِهِ فيها أو
يَشْتَرِي بِهِ أَرْضًا
فَتَكُونُ صَدَقَةً على
الْكَنِيسَةِ وَتَعْمُرُ بها أو
ما في هذا الْمَعْنَى كانت
الْوَصِيَّةُ بَاطِلَةً

“Andaikan seorang mewasiatkan
sepertiga hartanya atau sedikit
dari hartanya untuk digunakan
membangun gereja sebagai
tempat ibadah orang-orang
nasrani, atau hartanya itu
digunakan untuk menyewa
pelayan gereja, atau
memakmurkannya, atau
digunakan untuk penerangan
ruangannya, atau untuk
dibelikan tanah sebagai wakaf
bagi gereja dan
mengembangkannya, atau yang
semakna dengan ini semua,
maka wasiat tersebut batil.”
Beliau rahimahullah juga
berkata:

وَأَكْرَهُ لِلْمُسْلِمِ أَنْ
يَعْمَلَ بِنَاءً أو نِجَارَةً أو
غَيْرَهُ في كَنَائِسِهِمْ
التي لِصَلَوَاتِهِمْ

“Dan aku benci apabila seorang
muslim bekerja sebagai
pembangun gereja, atau tukang
kayunya, atau pekerjaan selain
itu di gereja-gereja tempat
ibadah mereka (orang-orang
kafir).” (Lihat Al-Umm, 4/213)
.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah berkata:

وأما مذهب أحمد في الإجارة لعمل
ناووس ونحوه فقال الآمدي لا
يجوز

“Adapun madzhab Al-Imam
Ahmad dalam masalah ijarah
(sewa jasa) untuk bekerja
(membangun) nawus (tempat
ibadah majusi) dan sejenisnya,
maka berkata Al-Amidi,
“Pekerjaan itu tidak
boleh”.” (Lihat Iqtidho’ Shirotil
Mustaqim, 1/244)
Wallahu A’lam.


Sumber:www.nasihatonline.wordpress.com/2010/07/14/bolehkah-pekerja-muslim-membangun-tempat-ibadah-orang-orang-kafir/
Read more..

Nasihat Ulama Untuk Seorang Mualaf

Oleh:Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi'i

Soal : Jika Allah memberikan
hidayah kepada seseorang untuk
masuk Islam, maka apa yang
hendaknya dia ucapkan, dan
nasehat apa yang kiranya kita
sampaikan kepadanya?

Jawab:
Dia harus mengucapkan lafazh
syahadat:
“ Aku bersaksi bahwa tiada
Tuhan yang berhak disembah
melainkan Allah, dan
Muhammad adalah hamba dan
Rasul-Nya”
Kemudian hendaknya dia
dinasehati untuk berteman
dengan orang-orang yang
shaleh. Sesungguhnya Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam telah
bersabda:
“Perumpamaan teman yang baik
dengan teman yang buruk
adalah seperti penjual minyak
wangi dan seorang pandai besi.
Seorang penjual minyak wangi
tidak akan merugikanmu baik
kamu membeli minyak wangi
tersebut atau tidak, engkau pasti
akan mencium darinya aroma
yang semerbak. Sementara dekat
dengan pandai besi hanya akan
membuat bajumu gosong atau
paling tidak kau akan menghirup
bau yang tidak sedap
darinya.”(HR.Al-Bukhari dan
Muslim)

Ketika saya kuliah di Universitas
Islam Madinah, saya pernah
mendapatkan cerita bahwa
seseorang masuk Islam, lalu dia
pindah dari rumahnya yang kafir
untuk hidup bersama kaum
muslimin.
Akan tetapi, muslim yang
rumahnya dia tempati tersebut
tidaklah melaksanakan shalat,
jadi keislamannya hanya berupa
pindah dari satu rumah ke
rumah yang lain.
Jadi begitu pentingnya dia
berusaha keras untuk berteman
dengan orang-orang shaleh,
sebagaimana dia berjuang keras
untuk tidak mengimani
peribadahan Messiah.

Kami nasehatkan juga kepada
dia untuk mempelajari buku-
buku yang bermanfaat seperti
Riyadus Shalihin, Fathul Majid –
penjelasan Kitab Tauhid-,
Bulugul Maram, dan Tafsir Ibnu
Katsir.
Dan juga kami nasehatkan
kepadanya untuk belajar Islam
dari Kitab sucinya orang Islam,
bukan dari kelakuan orang-
orang Islam, karena kelakuan
mereka terkadang tidaklah baik.
Engkau bisa dapati orang Islam
yang berbohong, berzina, minum
alkohol, dalam keadaan mereka
tahu ini semua haram. Dan
orang-orang kafir menjadikan ini
sebagai dalil untuk mencela
orang-orang Islam.
Oleh karena itu kita katakan
kepada orang-orang kafir
tersebut:
Kami tidak mengajakmu kepada
perbuatan jelek ini, kami
mengajakmu untuk berpegang
teguh kepada agama yang
benar:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ
بِالْعَدْلِ وَالإحْسَانِ
وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى
وَيَنْهَى عَنِ
الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ
وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ
لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
)٩٠ )

“Sesungguhnya Allah menyuruh
(kamu) berlaku adil dan berbuat
kebajikan, memberi kepada
kaum kerabat, dan Allah
melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan.
Dia memberi pengajaran
kepadamu agar kamu dapat
mengambil pelajaran.” (An-Nahl:
90)
Dan begitu juga dengan
penunaian amanah, serta
permasalahan lain di mana kaum
muslim terjatuh dalam
penyimpangan terhadap syariat
Islam (dalam perkara tersebut).
Orang-orang muslim yang
menyimpang ini tidak bisa
dijadikan acuan Islam, bahkan
Islam sendiri menghujat mereka.
Jadi perlu dijelaskan kepada
orang-orang non muslim untuk
tidak menjustifikasi Islam karena
perbuatan dosa sebagian
muslim. Kita katakan kepada
mereka, “Kami tidaklah
mengajak kalian untuk menjadi
seperti orang-orang tersebut.
Kami tidaklah mengajak kalian
menjadi para koruptor, kami
tidak mengajak kalian menjadi
pencuri, penjual minuman keras,
bahkan kami pun tidak mengajak
kalian menjadi seorang sufi. ”

Salah seorang saudara kita
muslim yang belajar di Inggris
atau Jerman pernah
mengunjungi kami dan bercerita
tentang wanita yang diberi
hidayah oleh Allah subhanahu
wa ta’ala untuk masuk Islam.
Wanita tersebut kemudian
melihat orang-orang Sufi
menari-nari di Masjid.
Wanita ini pun kemudian
memanggil saudara kita tadi dan
mengatakan, “Saya tadi melihat
begini dan begitu (melihat
orang-orang sufi beribadah
dengan menari-nari). Kalau ini
Islam, maka tidak ada bedanya
antara Islam dan agama yang
aku tinggalkan”
Jadi tidaklah kita mengajak
engkau menjadi seorang syiah,
menjadi seorang sufi, atau
menjadi seorang ilmaani. Kami
mengajak engkau berislam di
atas kitabullah (Al-Quran) dan
sunnah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam, meskipun
banyak orang yang
menentangmu.
[Tuhfatul Mujib ala as’ilatitl Hadir
wa gharib.]


Sumber :
http://
hanifatunnisaa.wordpress.com/2010/02/18/
nasihat-ulama-untuk-seorang-
muallaf/
http://
ulamasunnah.wordpress.com
www.abuayaz.co.cc/2010/08/nasehat-ulama-untuk-seorang-muallaf.html
Read more..

Rabu, 25 Agustus 2010

Mitos Tanah Karbala

Tidak ada satu pun hadits
shahih yang menjelaskan
tentang kesucian tanah
Karbala’ di Irak . Lebih-lebih
hadits yang menjelaskan
keutamaan sujud di atas
tanahnya, atau kesunnahan
mengambil lempengan tanah
untuk digunakan alas sujud
sebagaimana yang dikerjakan
oleh orang-orang syi’ah
dewasa ini. Seandainya memang
itu benar-benar ibadah sunnah,
pasti masih akan lebih
diutamakan tanah dua masjid
suci yang berada di Makkah
(Masjid Al-Haram) dan di
Madinah (Masjid Nabawi).
Makkah dan Madinah walaupun
ia tanah suci, namun seorang tak
dianjurkan untuk menjadikan
tanahnya sebagai sarana dalam
mendapatkan berkah, atau
dijadikan jimat. Ini tak boleh,
karena termasuk ajaran baru
yang berusaha disusupkan oleh
para ahli bid’ah –utamanya
kelompok sesat Syi’ah- ke dalam
ajaran Islam yang murni.
Barangsiapa yang menyusupkan
ajaran baru alias mengada-ada
ajaran tanpa ada dasarnya
dalam Al-Kitab dan Sunnah,
maka itu adalah amalan yang
tertolak. Rasulullah -Shallallahu
‘alaihi wa sallam- bersabda,

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا
مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
)رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَ
مُسْلِمٌ)

"Barang siapa yang mengada-
ada dalam urusan (agama) kami
ini sesuatu yang bukan termasuk
darinya, maka ia (perkara) itu
tertolak". [HR. Al-Bukhoriy
(2697), dan Muslim (1718)]

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ
عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

"Barangsiapa yang mengerjakan
suatu amalan yang tak ada
padanya urusan (agama) kami,
maka ia (amalan) itu tertolak".
[HR. Muslim (1718)]
Perbuatan ini sebenarnya hanya
bid’ah yang diciptakan orang-
orang Syi’ah akibat kecintaan
mereka yang ekstrim kepada
ahlul bait (keturunan Nabi -
Shallallahu ‘alaihi wa sallam-),
dan bekas-bekas peninggalan
mareka. Anehnya, mereka
menganggap rasio sebagai
sumber syariat bagi mereka.
Karenanya, mereka bisa bebas
menganggap sesuatu itu baik
atau buruk menurut ukuran
akal. Walaupun demikian,
mereka tetap meriwayatkan
hadits tentang keutamaan sujud
di atas tanah Karbala’. Sedang
hadits-hadits itu –menurut rasio-
dikuatkan oleh akal yang sehat
tentang kebatilannya
Al-Allamah Al-Albaniy berkata,
"Sungguh aku pernah
menemukan salah satu risalah
yang mereka miliki, yakni
karangan As-Sayyid Abdur
Ridho Al-Mar’asyi Asy-
Syahrastani yang berjudul As-
Sujud ‘ala At-Turbah Al-
Husainiyah (sujud di atas Pusara
Husain). Di antara perkara yang
tertera di dalamnya, "Telah
datang sebuah riwayat bahwa
sujud di atas tanah Karbala’
adalah paling utama. Hal ini
disebabkan kemuliaannya dan
kesuciannya, sekaligus juga
kesucian seorang syahid yang
dimakamkan di sana (yakni, Al-
Husain, cucu Nabi -Shollallahu
‘alaihi wasallam-). Telah
disebutkan juga hadits yang
bersumber dari para imam
keturunan Nabi yang suci -alaihis
salam- bahwa sujud di atas
tanah Karbala’ bisa menerangi
bumi sampai lapis tujuh dengan
cahaya. Disebutkan pula dalam
riwayat lain bahwa sujud di sana
bisa membakar hijab
(penghalang) yang berjumlah
tujuh. Di dalam riwayat lain
disebutkan pula bahwa Allah
akan menerima shalat orang
yang sujud di atas tanah Karbala’
ketika di tempat lain tidak akan
diterima. Riwayat lain
menyebutkan bahwa
sesungguhnya sujud di atas
tanah makam Al-Husain dapat
menerangi beberapa lapis
bumi." [Lihat As-Sujud 'ala At-
Turbah Al-Husainiyah (hal.15)]

Syaikh Al-Albaniy -rahimahullah-
berkata, "Hadits-hadits seperti
disebutkan di atas adalah tidak
benar menurut pandangan
kami. Para imam dari kalangan
ahlul bait -radhiyallahu ‘anhum-
sendiri, sama sekali cuci tangan
dari hal tersebut. Hadits-hadits
itu juga tidak memiliki sanad
(mata rantai perawi) yang
bersambung pada mereka
sehingga bisa dikritik sesuai
dengan disiplin ilmu hadits dan
ilmu ushulul hadits. Hadits-hadits
yang telah disebutkan itu hanya
hadits-hadits mursal (ada satu
perawi yang gugur dalam
rangkaian sanad) dan mu’dhal
(ada dua orang perawi dalam
rangkaian sanad).
Pengarang risalah tersebut tidak
sekedar membawakan nukilan-
nukilan palsu ini dari para imam
ahlul bait sehingga ia pun
memberikan gambaran kepada
para Pembaca bahwa nukilan-
nukilan riwayat itu juga
diriwayatkan dalam kitab-kitab
kita –Ahlus Sunnah-.
Namun sayangnya di dalam kitab
itu, si Penulis itu berkata,
"Hadits-hadits yang
menerangkan tentang
keutamaan tanah Al-Husainiyah
(Karbala’) dan kesuciannya tidak
terbatas pada hadits-hadits para
imam ahlul bait. Sebab hadits-
hadits semisal ini sebenarnya
sudah sangat terkenal di dalam
kitab-kitab induk di seluruh sekte
keagamaan dalam Islam dari
jalur para ulama dan para
perawi hadits di kalangan
mereka. Di antaranya, hadits
yang diriwayatkan oleh As-
Suyuthiy di dalam kitabnya Al-
Khosho’is Al-Kubra di dalam
bab: Ikhbar An-Nabi -Shollallahu
‘alaihi wasallam- bi Qatl Al-
Husain. Selain itu juga
diriwayatkan oleh sekitar dua
puluhan perawi senior seperti Al-
Hakim, Al-Baihaqiy, Abu Nu’aim,
Ath-Thabraniy (aslinya dalam
risalah itu tertulis: Ath-Thabariy),
Al-Haitsamiy di dalam Al-Majma’
dan para perawi terkenal
lainnya". [Lihat As-Sujud 'ala At-
Turbah Al-Husainiyyah
(hal.19)].
Ketahuilah wahai saudara
semuslim, sesungguhnya As-
Suyutiy dan Al-Haitsamiy tidak
meriwayatkan satu hadits pun
yang menerangkan masalah
keutamaan tanah pusara Husain
dan kesuciannya. Semua yang
disebutkan dalam masalah itu
hanya pemberitahuan Rasulullah
-Shollallahu ‘alaihi wasallam-
tentang terbunuhnya Al-Husain
di sana. Apakah kamu akan
menemukan pengakuan yang
diklaim oleh orang Syi’ah
tersebut di dalam risalah-nya
atas As-Suyutiy dan Al-Haisamiy?!
Sama sekali tidak!! Akan tetapi
orang-orang syi’ah dalam rangka
melegitimasi kesesatan dan
perbuatan bid’ah mereka, maka
mereka (orang-orang Syi’ah)
sebenarnya berpegang kepada
sesuatu yang lebih rapuh
dibandingkan sarang laba-laba.
Masalah manipulasi terhadap
para pembaca tidak berhenti
hanya sampai di sini, tapi yang
lebih berbahaya adalah
menimbulkan konsekuensi
kebohongan atas nama
Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi
wasallam- . Di dalam kitab
tersebut, orang Syi’ah itu
berkata, "Orang yang paling
pertama mengambil lempengan
tanah dari tanah Karbala’ untuk
digunakan alas sujud adalah
Nabi kita Muhammad -
Shollallahu ‘alaihi wasallam-
pada tahun ketiga hijriyah. Ketika
itu sedang terjadi perang yang
berkecamuk antara kaum
muslimin dan kafir Quraisy di
gunung Uhud. Pada peperangan
itulah banyak tokoh besar dalam
Islam yang syahid, di antaranya
adalah Hamzah bin Abdul
Muthalib, paman Rasulullah -
Shollallahu ‘alaihi wasallam- .
Pada waktu itu beliau telah
memerintahkan para wanita
untuk meratapi kematian
Hamzah di perkumpulan-
perkumpulan mereka. Perintah
itu berkembang agar mereka
memuliakan Hamzah, sampai
akhirnya diperintahkan
mengambil tanah dari tanah itu
dengan niat karena Allah -
Ta’ala- sambil membaca lafazh-
lafazh tasbih, sebagaimana yang
tercantum di dalam kitab Al-
Ardh wath Turbah Al-
Husainiyah…". [Lihat As-Sujud
'ala At-Turbah Al-Hasaniyah
(hal.13)].

Kitab yang disebutkan di atas
adalah kitab golongan Syi’ah.
Karenanya, para pembaca yang
budiman perlu untuk
mencermatinya. Bagaimana dia
begitu berani berbohong atas
Nabi -Shollallahu ‘alaihi
wasallam-, bahkan mengatakan
bahwa beliaulah orang yang
pertama kali mengambil
lempengan tanah untuk
digunakan alas sujud. Kemudian
Penulis itu tidak membawakan
dalil untuk menguatkan
dakwaannya, kecuali kedustaan-
kedustaan lainnya, yaitu perintah
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa
sallam- kepada para wanita
untuk meratapi kematian
Hamzah di setiap perkumpulan
mereka. Padahal ini sama sekali
tak ada hubungannya –
seandaianya memang benar-
dengan pengambilan lempengan
tanah di Karbala’ sebagaimana
yang nampak. Hal itu sama sekali
tidak benar berasal dari Nabi -
Shollallahu ‘alaihi wasallam-.
Bagaimana pendapat ini bisa
dibenarkan, sedangkan ada
riwayat shahih yang mengatakan
bahwa wanita telah berbaiat
kepada Nabi -Shallallahu ‘alaihi
wa sallam- untuk tidak
melakukan niyahah (meratapi
orang yang telah meninggal
dunia), sebagaimana yang telah
diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan
Muslim serta para perawi lain
dari Ummu ‘Athiyyah.
Jelaslah bagi kita bahwa
sesungguhnya orang Syi’ah tadi
telah membangun kebohongan
di atas kebohongan yang
lainnya, yakni perkataannya
mengenai para sahabat Nabi -
Shollallahu ‘alaihi wasallam-
sebagai berikut, "Perintah itu
malah menjadi berkembang
menjadi penghormatan kepada
Hamzah, sehingga mereka
mengambil tanah makamnya,
mencari berkah darinya dan
sujud di atasnya karena Allah -
Ta’ala-…"
Ini merupakan kedustaan atas
nama para sahabat -radhiyallahu
‘anhum- . Mustahil para sahabat
melakukan keberhalaan seperti
ini. Cukup bagi Pembaca sebagai
argumen bahwa Pengarang
Syi’ah itu memang telah
berbohong atas nama Nabi -
Shollallahu ‘alaihi wasallam- dan
sahabatnya; Pengarang Syi’ah itu
tidak bisa mencarikan referensi
bagi pendapatnya dari satu kitab
pun yang menjadi sumber
rujukan kaum muslimin. Paling-
paling dia akan merujuk pada
kitab Al-Ardh wat Turbah Al-
Husainiyah. Sedangkan kitab ini
sendiri adalah karangan ulama
Syi’ah generasi terakhir dan
ditulis oleh seorang Pengarang
yang tak dikenal. Karena suatu
hal, Penulis itu sendiri tidak
berani menyebutkan nama
Pengarangnya, dan tidak pula
mengungkap jati dirinya sehingga
tidak terbuka kedok
kebohongannya, akibat ia
menyebutkannya sebagai sumber
rujukan bagi kedustaan-
kedustaannya
Pengarang Syi’ah tadi tidak
merasa cukup dengan
kebohongan yang telah dia
rekayasa terhadap para generasi
pertama umat ini, akan tetapi
juga mengatasnamakan
kebohongan itu pada generasi-
generasi berikutnya. Untuk lebih
jelasnya, simaklah perkataannya
yang berikut, "Di antara para
ulama, yakni seorang ahli fiqhi
senior yang tidak diragukan lagi
kreidibilatasnya, Masruq bin Al-
Ajda’ (wafat 62 H) telah
menunjukkan sikap itu. Dia
adalah seorang tabi’in yang
besar dan termasuk guru
(perawi) para imam hadits yang
berjumlah enam (Al-Bukhari,
Muslim, Abu Dawud, An-Nasa’i,
At-Tirmidziy, dan Ibnu Majah).
Beliau telah mengambil
lempengan dari tanah Madinah
Al-Munawwarah untuk dijadikan
alas sujud ketika bepergian jauh.
Hal ini sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Syaikh Al-
Masyaikh Al-Hafidz Imam As-
Sunnah Abu Bakr bin Abi
Syaibah di dalam kitabnya Al-
Mushannaf (jilid dua, dalam
bab: Man Kana Yahmilu fis
Safinah Syai’an Yasjudu ‘alahi).
Beliau telah meriwayatkan
dengan dua sanad. Isinya adalah
jika Masruq bepergian, maka dia
akan membawa lempengan dari
tanah Madinah di dalam kapal
untuk digunakan alas
sujud." [Lihat As-Sujud alat
Turbah Al-Husainiyyah (hal.
13)]
Di dalam perkataan di atas
terdapat banyak sekali
kebohongan. Pertama, jika dia
menyebutkan bahwa Masruq
mengambil lempengan tanah
saat bepergian, maka yang
dimaksud bepergian di sini
adalah lewat jalur darat. Maka
riwayat itu bertentangan dengan
keterangan yang dia sebutkan
sendiri. Kedua, pernyataan dia
bahwa Masruq telah melakukan
hal tersebut, sehingga
memberikan opini bahwa
memang hal itu berasal dari
Masruq. Padahal yang benar,
tidak demikian. Bahkan hadits itu
tergolong dha’if (lemah) dan
terputus sanadnya, sebagaimana
akan dibahas secara rinci.
Ketiga, Ucapannya, "…dengan
dua sanad" merupakan
kedustaan. Padahal itu hanya
satu sanad bermuara pada
Muhammad bin Sirin. Dalam hal
itu, sanad ke Masruq adalah
dho’if (lemah), tak bisa dijadikan
hujjah, karena bermuara pada
seorang rawi yang tak
disebutkan lagi majhul (tak
dikenal). Keempat, pengarang
Syia’h ini telah menyusupkan
redaksi tambahan dalam hadits
tersebut. Redaksi susupan itu
sendiri tidak tercantum dalam
kitab Al-Mushannaf. Redaksi
tambahan yang dimaksud adalah
kalimat "Dari tanah Madinah Al-
Munawwarah". Frase ini tidak
terdapat di dalam dua riwayat
tersebut dari Penulis Syi’ah itu.
Tahukah Anda kenapa Penulis
Syi’ah itu menyusupkan redaksi
ini dalam atsar (hadits) itu?
Sekarang sudah jelas bahwa
mengambil lempengan tanah
yang dianggap memiliki berkah
(Madinah Al-Munawwarah)
untuk digunakan alas sujud tidak
memiliki dasar dalil. Tujuan dari
penyusunan redaksi tersebut
sebenarnya adalah untuk
memberikan kesan kepada
pembaca bahwa seakan-akan
Masruq -rahimahullah- telah
mengambil lempengan tanah
Madinah untuk dibuat alas sujud
dan digunakan untuk mencari
berkah. Jika para pembaca telah
membenarkan informasi ini,
maka secara otomatis orang
Syi’ah itu akan mengikutkan di
dalamnya pembolehan
mengambil lempengan tanah
Karbala’, karena status kedua
tanah tersebut dianggap memiliki
"kesamaan", yakni sama-sama
suci dan mulia. Ya, walaupun
tanah Karbala’ pada hakikatnya
tak suci.
Jika anda telah tahu bahwa yang
dijadikan sumber qias (tanah
Madinah) adalah keliru dan tidak
ada dasarnya, bahkan hanya
hasil rekayasa seorang Syi’ah.
Jadi, sudah barang tentu materi
yang diqiaskan (tanah Karbala’)
akan salah juga. Karena ada
pepatah yang mengatakan,
"Apakah bayangan akan tegak
lurus kalau tongkatnya sendiri
sudah bengkok?!"
Maka pikirkan kembali wahai
pembaca yang mulia, begitu
nekadnya orang-orang Syi’ah
untuk membuat kebohongan,
sekalipun atas nama Nabi-
Shollallahu ‘alaihi wasallam-
dalam rangka menguatkan
kesesatan mereka. Niscaya
jelaslah bagimu kebenaran orang
yang menyifati mereka dari
kalangan ulama’ dengan istilah,

أَكْذَبُ الطَّوَائِفِ
الرَّافِضَةُ

"Kelompok yang paling
pembohong adalah kelompok
Rafidhah (Syi’ah)". [Lihat Ash-
Shahihah (3/162-166)]
Syaikh Ali Al-Qari-
rahimahullah- berkata,
"Disunnahkan untuk tidak
menyamai kelompok Rafidhah
(Syi’ah) dalam perkara agama
yang mereka ada-adakan atau
perkara yang telah menjadi syi’ar
mereka -sebagaimana hal itu
telah ditetapkan dalam madzhab
kami-. Di antara bid’ah dan
syi’ar mereka adalah
meletakkan batu di atas
tempat sujud. Karena
sesungguhnya sujud langsung di
atas tanah adalah lebih afdhol
menurut kesepakatan para
ulama’. Disamping itu, memang
boleh sujud di atas hamparan,
loteng, dan sejenisnya menurut
Ahlus Sunnah. Akan tetapi
meletakkan batu di atas tempat
sujud merupakan perbuatan
bid’ah yang diada-adakan oleh
orang-orang Syi’ah. Hal ini telah
menjadi syi’ar mereka. Karena
itulah selayaknya perbuatan
semacam ini dijauhi dengan dua
alasan: pertama, karena akan
menyamai mereka dalam bid’ah.
Kedua, menghindarkan diri dari
tuduhan yang tidak-tidak." [Lihat
Tazyin Al-'Ibarah li Tahsinil
Isyarah (hal.12) dan As-Sailil
Jarrar (1/217)]


Sumber : Buletin Jum’at Al-
Atsariyyah edisi 80 Tahun II.
Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas.
Alamat : Pesantren Tanwirus
Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58,
Kel. Borong Loe, Kec. Bonto
Marannu, Gowa-Sulsel. HP :
08124173512 (a/n Ust. Abu
Fa’izah).

www.almakassari.com/artikel-islam/aqidah/mitos-tanah-karbala.html#more-328
Read more..

Batilnya Aqidah Reinkarnasi

Dekade terakhir ini banyak
bermunculan berita dan desas-
desus yang mengabarkan bahwa
ada sebagian orang yang bisa
bangkit dan kembali ke alam
dunia sebelum datangnya hari
kiamat; biasa diistilahkan dengan
"reinkarnasi" . Maka muncullah
gejala adanya ketakutan kepada
mayat, takut kepada pocong,
takut kepada vanpire atau
dracula. Padahal semua ini
adalah keyakinan batil yang
teradopsi dari keyakinan orang-
orang kafir. Keyakinan ini telah
dibatalkan oleh Allah -Azza wa
Jalla- di dalam Al-Qur’an !!
Reinkarnasi merupakan aqidah
yang diyakini oleh orang-orang
Yahudi. Mereka meyakini bahwa
ada sebagian orang bisa bangkit
dan kembali ke alam dunia ini
sebelum datangnya hari kiamat.
[Lihat Badzlul Majhud
(1/275-277), karya Syaikh
Abdullah Al-Jumailiy]

Aqidah reinkarnasi ini ternyata
juga diyakini dan disokong oleh
sekte sesat Syi’ah-Rofidhoh yang
kini bermarkas di Iran. Ini bisa
kita lihat dari referensi yang
ditulis oleh pemimpin-pemimpin
mereka yang menetapkan
aqidah ini. Sebagai contoh -
bukan pembatasan-,
Tokoh Syi’ah, Al-Hur Al-Amily
berkata ketika menukil dalil
tentang roj’ah (reinkarnasi),
"Dalil keempat: Kesepakatan
seluruh orang-orang Syi’ah
Imamiyyah, dan Itsna Asyariyyah
tentang meyakini kebenaran
roj’ah (reinkarnasi). Tak nampak
adanya orang yang menyelisihi
ini diantara mereka, yang bisa
diperhitungkan ucapannya dari
kalangan ulama (Rofidhoh,-pen),
dulu maupun belakangan".
[Lihat Al-Iqozh min Al-Haj'ah
(hal. 33-34) oleh Al-Amiliy]
Ucapan Al-Amiliy ini amat jelas
dalam menyokong pemikiran
dan aqidah reinkarnasi, bahkan
ia menukil adanya kesepakatan
di antara mereka tentang adanya
keyakinan reinkarnasi dalam
sekte mereka yang menyimpang,
yakni Syi’ah-Rofidhoh. Oleh
karenanya, seorang muslim
harus berhati-hati dan
mewaspadai mereka.
Pembaca yang budiman, ucapan
Al-Amiliy di atas sebagai bukti
konkrit bahwa orang-orang
Syi’ah-Rofidhoh meyakini aqidah
reinkarnasi, tanpa syak
sedikitpun. Tak heran jika
seorang ulama Ahlus Sunnah,
Syaikh Abdullah Al-Jumaily -
hafizhahullah- pernah berkata, "
Semua orang Rofidhoh
berpendapat adanya aqidah
roj’ah (reinkarnasi) ini. Sungguh
telah dinukil oleh lebih dari satu
orang ulama mereka yang
masyhur tentang kesepakatan
mereka dalam menyatakan
aqidah roj’ah ini".[Lihat Badzlul
Majhud (1/284)]
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-
Asqolany berkata saat
menjelaskan maksud dari kata
SYI’AH dan ROFIDHOH,
"Tasyayyu’ (jadi orang Syi’ah)
adalah mencintai (baca: ekstrim)
dan mendahulukan Ali daripada
sahabat (lain). Barangsiapa yang
mendahulukan Ali daripada Abu
Bakar dan Umar, maka ia telah
keterlaluan dalam tasyayyu’-nya
dan dinamai orang Rofidhoh.
Kalau tidak, maka dia orang
Syi’ah. Kalau ditambah lagi
dengan pencelaan (terhadap
sahabat), dan menegaskan
kebencian (kepada mereka),
maka dia itu ekstrim. Jika ia
meyakini reinkarnasi ke dunia,
maka ia lebih ekstrim lagi".
[Lihat Hadyus Sari (hal. 459)
karya Ibnu Hajar]

Sebab Kemunculan
Reinkarnasi dalam Tubuh
Syi’ah-Rofidhoh
Sebagian penulis memandang
bahwa aqidah ini menyelusup ke
dalam aqidah Syi’ah-Rofidhoh
karena adanya pengaruh dan
usaha yang dilancarkan oleh
orang-orang Yahudi dan Nasrani.
Sebagai bukti, Abdullah bin
Saba’, seorang Yahudi (perintis
pertama agama Syi’ah-Rofidhoh)
pura-pura masuk Islam. Aqidah
ini disusupkan untuk
melemahkan aqidah (keyakinan)
tentang hari akhir. Perlu
diketahui bahwa Abdullah bin
Saba’ ini pernah menyatakan
akan kembalinya Nabi r -setelah
beliau meninggal dunia- ke alam
dunia, demikian pula Ali. (Lihat:
Tarikh Ath-Thobary (4/340)
sebagaimana dalam Mas’alah
At-Taqrib baina Ahlis Sunnah
wa Asy-Syi’ah (1/342) karya
Dr.Nashir bin Abdullah Ali Al-
Qifary, cet.Dar Thoyyibah.)

Sisi Kebatilan Aqidah
Reinkarnasi

Aqidah reinkarnasi merupakan
aqidah batil yang menyelisihi Al-
Qur’an dan Sunnah, serta
ijma’ (kesepakatan) para salaf
(yaitu, Nabi -Shallallahu ‘alaihi
wa sallam-, para sahabat, dan
pengikutnya) sebagaimana yang
dijelaskan oleh para ulama kita.
Allah -Ta’ala- berfirman,
"Dia (orang kafir yang sekarat)
berkata," Ya Tuhanku,
kembalikanlah aku (ke dunia)
agar aku berbuat amal sholeh
terhadap yang telah aku
tinggalkan". Sekali-kali tidak !
Sesungguhnya itu adalah
perkara yang diucapkannya saja.
Dan di hadapan mereka ada
dinding sampai hari mereka
dibangkitkan". (QS. Al-
Mu’minun: 99-100).
Al-Hafizh Ibnu Katsir-
rahimahullah- saat menafsirkan
ayat-ayat di atas, beliau
membawakan beberapa ayat
tentang tidak bisanya seseorang
mengalami reinkarnasi (kembali)
ke dunia. Kemudian beliau
berkata, "Jadi, Allah -Ta’ala-
telah menyebutkan bahwa
mereka meminta kembali ke
dunia, maka mereka tak
dipenuhi keinginannya ketika
sekarat, pada hari kebangkitan,
hari mahsyar, ketika
dihadapkannya para makhluk
kepada Allah Al-Jabbar, dan
ketika mereka digiring ke neraka,
sedang mereka berada dalam
kepungan siksa neraka Jahim".
[Lihat Tafsir Ibnu Katsir (3/341)]

Pernyataan dan Pengingkaran
Ulama terhadap Aqidah Batil
ini
Ketika munculnya paham sesat
ini, maka para ulama Ahlus
Sunnah dari zaman ke zaman
memberikan pernyataan dan
pengingkaran terhadap aqidah
reinkarnasi ini.
Al-Imam Abul Hasan Al-
Barbahariy-rahimahullah-
berkata dalam menjelaskan
batilnya aqidah roj’ah
(reinkarnasi), "Suatu bid’ah yang
telah nampak merupakan
kekafiran. Barangsiapa yang
menyatakannya, maka ia kafir
kepada Allah, tanpa ada
keraguan. Barangsiapa yang
berkeyakinan reinkarnasi, dan
berkata, "Ali bin Abi Tholib
masih hidup, dan akan kembali
sebelum hari kiamat, dan juga
Muhammad bin Ali, Ja’far bin
Muhammad, dan Musa bin
Ja’far; mereka akan berbicara
tentang imamah
(kepemimpinan), dan bahwa
mereka mengetahui perkara
ghaib, maka waspadailah orang-
orang yang berkeyakinan seperti
ini, karena mereka adalah
orang-orang kafir kepada Allah
Yang Maha Agung". [Lihat
Syarhus Sunnah (hal. 57-58),
tahqiq Al-Qohthoniy]
Abul Hasan Muhammad bin
Ahmad Al-Malthiy Asy-Syafi’iy
-rahimahullah- berkata,
"Demikian pula tentang
keyakinan mereka dalam
masalah reinkarnasi telah
didustakan oleh firman Allah –
Tabaroka wa Ta’ala- ,
"Dan di hadapan mereka ada
dinding sampai hari mereka
dibangkitkan". (QS.Al-
Mu’minun : 99-100)
Allah mengabarkan bahwa para
penghuni kubur tak akan
dibangkitkan (dari kuburnya)
sampai hari kebangkitan. Jadi,
barangsiapa yang menyelisihi
hukum Al-Qur’an ini, maka ia
sungguh telah kafir". [Lihat At-
Tanbih wa Ar-Rodd (hal. 19),
karya Al-Malthiy]
Abdul Aziz bin Waliyullah Ad-
Dahlawy-rahimahullah- berkata
dalam mengingkari aqidah
reinkarnasi, " Aqidah ini
merupakan penyelisihan yang
amat gamblang terhadap Al-
Kitab, karena roj’ah (reinkarnasi)
sungguh telah dibatalkan dalam
banyak ayat, diantaranya firman-
Nya -Ta’ala-,
"Dia (orang kafir yang sekarat)
berkata, "Ya Tuhanku,
kembalikanlah aku (ke dunia)
agar aku berbuat amal sholeh
terhadap yang telah aku
tinggalkan". Sekali-kali tidak !
Sesungguhnya itu adalah
perkara yang diucapkannya saja.
Dan di hadapan mereka ada
dinding sampai hari mereka
dibangkitkan". (QS. Al-
Mu’minun: 99-100).
Jadi, firman-Nya, "Dan di
hadapan mereka ada dinding
sampai hari mereka
dibangkitkan", adalah gamblang
sekali dalam meniadakan aqidah
reinkarnasi secara mutlak" .[Lihat
Mukhtashor At-Tuhfah Al-Itsna
Al-Asyariyyah (hal.201) karya
Al-Alusy]
Syaikh Nashir bin Abdullah Al-
Qifary -hafizhahullah- berkata
dalam kitabnya "Mas’alah At-
Taqrib" (hal.115) " Diantara
aqidah Ahlis Sunnah bahwa tak
ada seorang mayatpun sebelum
hari kebangkitan dapat kembali
(ke dunia). Maka Muhammad r
tidak dapat kembali (ke dunia).
Demikian pula seorang dari para
sahabatnya, selain pada hari
kiamat ketika Allah
mengembalikan orang-orang
mukmin dan kafir untuk dihisab
dan diberi ganjaran. Ini
merupakan ijma’ (kesepakatan)
semua orang Islam sebelum
munculnya orang-orang
Rofidhoh".
Jadi, reinkarnasi merupakan
aqidah yang berbahaya bagi
iman seseorang, sebab ia
merupakan bentuk pendustaan
ayat-ayat Allah yang menjelaskan
tentang tidak bisanya seorang
kembali ke alam dunia sebelum
terjadinya hari kiamat.
Terakhir, kami nasihatkan
kepada seluruh kaum
muslimin agar berhati-hati dan
mewaspadai mereka , jangan
sampai tertipu dengan mereka
dan takjub kepada mereka
sehingga menjadikan mereka
sebagai teman atau guru. Hal ini
perlu kami ingatkan, sebab
banyak generasi muslim di hari-
hari ini yang terpengaruh
dengan SYI’AH-ROFIDHOH
sehingga rela bersafar menuntut
ilmu di negeri Iran, negeri
penyokong sekte Syi’ah-
Rofidhoh, karena sekedar
diiming-imingi gelar yang fana.
Akhirnya, saat di Iran, otaknya
dinodai dengan paham-paham
sesat, lalu pulang ke Indonesia
Raya mengadakan gerakan
perusakan aqidah. Sebagai bukti
perusakan aqidah mereka, anda
bisa lihat dalam Buletin Al-
Atsariyyah (edisi ke-94) dengan
judul "BAHAYA KEBEBASAN
BERPIKIR" saat kami
membantah seorang mahasiswa
Indonesia yang belajar di
Mostafa International University,
Republik Iran.
Seorang muslim harus pandai
memilih teman. Janganlah
memilih teman atau guru yang
memiliki aqidah yang rusak,
sebab ia akan menodai hatinya
dengan syubhat. Berapa banyak
orang yang binasa akibat teman
dan gurunya.
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa
sallam- bersabda mengingatkan
kita tentang bahaya memiliki
teman yang jelek,

مَثَلُ الْجَلِيْسِ الصَّالِحِ
وَالسُّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ
وَنَافِخِ الْكِيْرِ, فَحَامِلُ
الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ
وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ
وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيْحًا
طَيِّبَةً وَنَافِخُ الْكِيْرِ
إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ
وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيْحًا
خَبِيْثَةً

"Perumpaan teman duduk yang
baik, dan yang jelek, laksana
penjual parfum, dan pandai besi.
Maka penjual parfum, entah ia
memberimu (parfum), atau anda
membeli darinya atau anda
mendapatkan bau harumnya.
Sedang pandai besi, entah ia
akan membakar pakaianmu,
atau entah anda akan
mendapatkan bau busuk". [HR.
Al-Bukhoriy dalam Kitab Adz-
Dzaba'ih wa Ash-Shoid (5214),
dan Muslim dalam Kitab Al-Birr
wa Ash-Shilah (2628)]
Seorang yang memiliki teman
yang jelek agama dan aqidahnya,
maka lambat laun ia akan
berubah dan mengikuti agama
dan aqidah temannya.
Karenanya, kami amat khawatir
jika seorang berguru di Iran;
khawatir akan berganti agama
dan aqidah. Hendaknya seorang
memilih guru yang baik dari
kalangan Ahlus Sunnah, bukan
Syi’ah-Rofidhoh.
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa
sallam- bersabda,

الرَّجُلُ عَلَى دِيْنِ
خَلِيْلِهِ, فَلْيَنْظُرْ
أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلْ

"Seorang itu berada di atas jalan
hidup (kebiasaan) temannya.
Lantaran itu, hendaknya
seseorang diantara kalian
memeperhatikan orang yang ia
temani". [HR. Abu Dawud dalam
Sunan-nya (4833), dan At-
Tirmidziy dalam Sunan-nya
(2378). Hadits ini di-hasan-kan
oleh Syaikh Al-Albaniy -
rahimahullah- dalam Silsilah Al-
Ahadits Ash-Shohihah (927)]
Berangkat dari hadits-hadits ini,
para ulama’ kita melarang kita
duduk bersama ahli bid’ah -
seperti orang Syi’ah-Rofidhoh-,
atau belajar kepada mereka.
Al-Hasan Al-Bashriy dan
Muhammad bin Sirin -
rahimahumallah- berkata,

لاَ تُجَالِسُوْا أَهْلَ اْلأَهْوَاءِ
وَ لاَ تُجَادِلُوْهُمْ وَ لاَ
تَسْمَعُوْا مِنْهُمْ

"Janganlah kalian menemani
duduk para ahli bid’ah, jangan
didebat, dan jangan
mendengarkan sesuatu apapun
dari mereka". [Lihat Sunan Ad-
Darimiy (401), dan Syu'abul
Iman (no.9467)]
Inilah wasiat dari dua ulama
Ahlus Sunnah agar kita berhati-
hati dari berteman, apalagi
belajar kepada para ahli bid’ah
yang memiliki pemahaman yang
menyimpang dari ajaran Islam
yang murni, seperti ajaran Syi’ah-
Rofidhoh. Jika kita duduk
bersama mereka, atau belajar di
depan mereka, maka
dikhawatirkan hati kita akan
terkena syubhat mereka yang
berbisa sebagaimana yang
dialami oleh sebagian pemuda
kita yang belajar di Iran!!


Sumber : Buletin Jum’at At-
Tauhid edisi 99 Tahun II.
Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas.
Alamat : Pesantren Tanwirus
Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58,
Kel. Borong Loe, Kec. Bonto
Marannu, Gowa-Sulsel. HP :
08124173512 (a/n Ust. Abu
Fa’izah).

www.almakassari.com/artikel-islam/aqidah/batilnya-aqidah-reinkarnasi.html#more-449
Read more..