Banner 468 X 60

Senin, 12 Juli 2010

Tanya Jawab Seputar Haidh

Fadhilatusy Syaikh Ibnu Utsaimin
rahimahullahu menjawab
beberapa permasalahan seputar
haidh dalam Majmu’ Fatawa wa
Rasa’il beliau. Berikut ini kami
bawakan beberapa di antaranya.

Apa hukum cairan kuning yang
keluar dari kemaluan wanita dua
hari sebelum datang haidhnya?

Jawab:
Apabila cairan kuning itu keluar
sebelum datangnya haidh maka
sama sekali tidak dianggap,
berdasarkan ucapan Ummu
‘Athiyyah radhiyallahu ‘anha:

كُنَّا لاَ نَعُدُّ الصُّفْرَةَ
وَالْكُدْرَةَ شَيْئًا

Kami dulunya sama sekali tidak
memedulikan cairan kuning dan
keruh.” (HR. Al-Bukhari)
Dalam riwayat Abu Dawud:

كُنَّا لاَ نَعُدُّ الصُّفْرَةَ
وَالْكُدْرَةَ بَعْدَ الطُّهْرِ
شَيْئًا

Kami dulunya sama sekali tidak
memedulikan cairan kuning dan
keruh (yang keluar dari
kemaluan) setelah suci.”
Maka bila cairan kuning tersebut
keluarnya sebelum haidh dan
terpisah dari haidh, maka ia
bukanlah haidh. Adapun bila si
wanita tahu bahwa cairan kuning
tersebut merupakan
pendahuluan bagi haidhnya,
maka si wanita meninggalkan
shalat (yakni dihukumi haidh)
sampai ia suci. (Majmu’ Fatawa
wa Rasa’il, 11/280)

Apa hukum mencuci rambut
(keramas) bagi wanita haidh,
karena sebagian orang
mengatakan tidak boleh?

Jawab:
Tidak apa-apa wanita haidh
mencuci rambutnya. Tidak benar
ucapan orang yang
melarangnya, bahkan wanita
haidh boleh mencuci rambutnya
dan memandikan tubuhnya.
(Majmu’ Fatawa wa Rasa’il,
11/288)

Ada seorang wanita yang
kebiasaan haidhnya enam hari.
Namun kemudian hari-hari
haidhnya itu bertambah dari
kebiasaannya. Bagaimana
hukumnya?

Jawab:
Bila kebiasaan haidh si wanita
adalah enam hari, kemudian
suatu ketika bertambah/lebih
dari enam hari, menjadi sembilan
atau sepuluh hari atau sebelas
hari misalnya, maka ia tidak
boleh mengerjakan shalat
sampai ia suci dari darah
haidhnya. Karena dulunya Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak memberikan batasan
tertentu lamanya haidh yang
dialami wanita. Allah Subhanahu
wa Ta’ala telah berfirman:

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ
الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى

Mereka bertanya kepadamu
tentang haidh, maka katakanlah,
“Haidh itu adalah kotoran/
najis.” (Al-Baqarah: 222)
Dengan demikian, selama darah
haidh itu masih ada maka si
wanita tetap dihukumi haidh/
belum suci sampai ia benar-
benar suci, yang dengan itu ia
mandi dan boleh mengerjakan
shalat. Bila di bulan berikutnya
masa haidhnya kurang dari
bulan yang lalu maka ia mandi
apabila telah suci, walaupun
lama haidhnya tidak seperti
bulan sebelumnya.
Yang penting, bila darah haidh
keluar dari seorang wanita maka
ia tidak shalat, sama saja apakah
masanya sesuai dengan
kebiasaannya yang telah lalu,
bertambah ataupun berkurang.
Jika ia telah suci, tidak tampak
darah haidh bersamanya, maka
ia shalat (setelah mandi haidh).
(Majmu’ Fatawa wa Rasa’il,
11/277)

Ada seorang wanita yang datang
kebiasaan bulanannya. Beberapa
waktu kemudian ia suci dan
mandi. Setelah mengerjakan
shalat selama sembilan hari
(yakni sembilan hari kemudian),
keluar lagi darahnya sehingga ia
sampai meninggalkan shalat
selama tiga hari. Setelahnya ia
suci selama sebelas hari dan
mengerjakan shalat. Setelah itu
datang lagi kebiasaan
bulanannya pada hari-hari yang
memang biasa datang. Yang
menjadi pertanyaan, apakah ia
harus mengganti shalat yang ia
tinggalkan selama tiga hari
tersebut, ataukah ia
menganggap dirinya haidh di
waktu tersebut?

Jawab:
Yang namanya haidh, kapan ia
datang berarti haidh, baik lebih
lama waktunya dengan haidh
sebelumnya ataupun lebih
singkat. Bila ia haidh dan
kemudian suci, namun setelah
lima atau enam hari ataupun
sepuluh hari datang lagi
kebiasaan bulanannya untuk kali
yang kedua, maka si wanita
menahan dirinya tidak
mengerjakan shalat, karena
darah yang keluar tersebut
adalah darah haidh. Demikian
seterusnya. Setiap kali dia suci,
kemudian datang haidh maka ia
wajib menahan diri dari shalat.
Namun jika darah tersebut
keluar terus-menerus, tidak
berhenti, ataupun berhenti
namun cuma sebentar, berarti ia
mengalami istihadhah. Ketika ini,
ia tidak menahan diri dari shalat
kecuali di waktu kebiasaan
haidhnya saja. (Majmu’ Fatawa
wa Rasa’il, 11/278)

Seorang wanita pernah
menjalani operasi dan setelahnya
keluar darah berwarna hitam
dari kemaluannya yang bukan
darah kebiasaan bulanannya
karena keluarnya empat atau
lima hari sebelum kebiasaan
bulanannya. Setelah keluar
darah berwarna hitam tersebut,
secara langsung (beberapa hari
kemudian) datang kebiasaan
bulanannya selama tujuh hari.
Apakah hari-hari saat keluarnya
darah berwarna hitam tersebut
terhitung masa haidh?

Jawab:
Yang menjadi rujukan dalam hal
ini adalah para dokter. Karena
secara zhahir, darah yang keluar
dari si wanita adalah karena
operasi. Sementara darah yang
demikian tidaklah dihukumi
seperti hukum haidh,
berdasarkan sabda Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
kepada wanita shahabiyah yang
mengalami istihadhah:

إِنَّ ذَلِكِ دَمُ عِرْقٍ

Sungguh itu adalah darah dari
urat (bukan haidh).” (HR. Al-
Bukhari)
Dalam hal ini ada isyarat, bila
darah yang keluar itu darah dari
urat –termasuk di dalamnya
darah yang keluar karena
operasi– maka tidaklah
teranggap haidh, sehingga tidak
diharamkan bagi si wanita hal-
hal yang diharamkan karena
haidh. Dia tetap wajib shalat dan
puasa, bila hal itu dialami di
siang hari Ramadhan. (Majmu’
Fatawa wa Rasa’il, 11/277)
Wallahu a’lam bish-shawab.


www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=918

0 komentar:

Posting Komentar