Banner 468 X 60

Jumat, 23 Juli 2010

Kisah Nabi Yusup 'alaihissalam Dan Nabi Ya'kub 'alaihissalam

Penulis : Al-
Ustadz Abu Muhammad Harits
Abrar Thalib

Di antara nikmat Allah
Subhanahu wa Ta'ala yang
diberikan kepada Nabi Yusuf
‘alaihissalam adalah dua
keutamaan: Kebaikan yang
bersifat lahiriah dan batiniah.
Secara lahiriah, Nabi Yusuf
‘alaihissalam adalah seorang
pemuda yang sangat tampan,
dan secara batiniah beliau
memiliki akhlak yang sangat
mulia. Dengan dua hal ini, Nabi
Yusuf ‘alaihissalam senantiasa
bersabar ketika menjalani ujian-
ujian yang diberikan Allah
Subhanahu wa Ta'ala, termasuk
ketika digoda oleh wanita cantik
dari kalangan bangsawan.
Kisah ini adalah kisah paling
menakjubkan. Allah Subhanahu
wa Ta'ala menyebutkannya
secara lengkap dan
memaparkannya dalam satu
surat khusus secara terperinci
dan jelas. Membaca surat ini saja
sudah cukup sehingga tidak
butuh penafsiran. Dan dalam
surat ini (Surat Yusuf), Allah
Subhanahu wa Ta'ala
menguraikan keadaan Nabi
Yusuf ‘alaihissalam mulai dari
awal hingga akhir kisah. Lengkap
dengan peralihan tempat
kejadian, pergantian situasi dan
keadaan.
Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman:

لَقَدْ كَانَ فِي يُوْسُفَ
وَإِخْوَتِهِ آيَاتٌ
لِلسَّائِلِيْنَ

Sesungguhnya ada beberapa
tanda kekuasaan Allah pada
(kisah) Yusuf dan saudara-
saudaranya bagi orang-orang
yang bertanya.” (Yusuf: 7)
Akan kami sebutkan beberapa
faedah penting yang disimpulkan
dari sejarah besar ini. Dengan
memohon pertolongan kepada
Allah Subhanahu wa Ta'ala, kami
memulainya.
Beberapa Pelajaran Penting dari
Kisah Nabi Yusuf ‘alaihissalam
Kisah ini merupakan kisah yang
paling baik dan jelas. Di
dalamnya dipaparkan berbagai
peralihan dari suatu keadaan
kepada keadaan lainnya; dari
satu ujian ke ujian berikutnya,
dan dari sebuah ujian kepada
karunia yang besar, dari
kehinaan kepada derajat
kemuliaan, dari rasa aman
kepada rasa takut dan
sebaliknya, dan seterusnya.
Maha Suci Allah yang telah
menceritakan hal ini dan
menjadikannya sebagai pelajaran
berharga bagi mereka yang bisa
menggunakan akalnya. Di antara
pelajaran tersebut adalah:

1. Diterangkan dalam kisah ini
berbagai landasan pokok
tentang ta’bir atau tafsir mimpi.
Ilmu ta’bir mimpi ini adalah ilmu
yang cukup penting yang
diberikan Allah Subhanahu wa
Ta'ala kepada siapa yang
dikehendaki-Nya di antara
hamba-hamba-Nya. Dan
umumnya, hal-hal yang
berkaitan serta dijadikan
permisalan (tamtsil) dan
penyerupaan adalah tentang
sifat atau keadaan.
Dengan demikian, maka sisi
keterkaitan mimpi Nabi Yusuf
‘alaihissalam, di mana beliau
melihat matahari, bulan dan
sebelas bintang bersujud
kepadanya adalah sebagai
berikut: Semua ini adalah benda-
benda yang menghiasi langit,
yang mempunyai berbagai
manfaat. Begitu pula halnya para
nabi, ulama, orang-orang
pilihan, mereka adalah perhiasan
di muka bumi. Dengan
perantaraan mereka, seseorang
akan terbimbing dalam
kehidupannya di bumi
sebagaimana dia terbimbing pula
dengan cahaya dari langit
(angkasa raya).
Ayahnya (Nabi Ya’qub
‘alaihissalam) dan ibunya adalah
sumber (asal), sedangkan
saudara-saudaranya adalah
cabang (furu’). Maka sangat
sesuai jika bentuk dan cahaya
asal atau sumber lebih besar
daripada cabang. Dengan
demikian, dapat dikatakan
bahwa matahari atau bulan
adalah permisalan bagi ayah
atau ibunya. Bintang-bintang
menggambarkan saudara-
saudaranya. Dan menyangkut
hal ini, bahwa orang yang
bersujud menunjukkan
penghormatannya kepada yang
dia sujudi. Dan yang menerima
sujud ini, dia diagungkan lagi
dihormati. Hal ini menunjukkan
bahwa Nabi Yusuf ‘alaihissalam
menjadi seorang yang
diagungkan dan dihormati oleh
kedua ibu bapaknya serta
saudara-saudaranya.
Namun hal ini tidak akan
sempurna kecuali dengan
beberapa pendahuluan yang
menggiring kepada semua
perkara ini. Di antaranya adalah
ilmu dan amalan serta sebagai
pilihan Allah Subhanahu wa
Ta'ala. Sebab itulah Allah
Subhanahu wa Ta'ala
mengatakan:

وَكَذلِكَ يَجْتَبِيْكَ
رَبُّكَ

Dan demikianlah Rabbmu, telah
memilihmu. (Yusuf: 6)
Terkait dengan mimpi kedua
pemuda yang dipenjara bersama
Nabi Yusuf ‘alaihissalam, beliau
menta’birkan (menafsirkan)
mimpi seorang di antara mereka
yang memeras anggur. Dan ini
menunjukkan bahwa orang yang
melakukan pekerjaan ini
biasanya adalah pelayan bagi
orang lain. Juga kenyataan
bahwa perasan anggur itu untuk
orang lain, sedangkan pelayan
biasanya mengikuti yang dilayani.
Atau dapat pula ditakwilkan
memeras anggur di sini dengan
memberi minum, yang juga
menunjukkan pelakunya adalah
pelayan bagi orang lain. Oleh
sebab itulah beliau
menakwilkannya kepada hal
yang sesuai.
Adapun mimpi orang yang
melihat dirinya membawa roti di
atas kepalanya dan sebagiannya
dimakan oleh burung, beliau
menakwilkan bahwa dia akan
dibunuh dan disalib sehingga
burung memakan otaknya.
Lalu beliau menafsirkan mimpi
Raja Mesir yang melihat
beberapa ekor sapi dan butir-
butir gandum sebagai masa-
masa subur dan paceklik.
Hubungannya adalah bahwa
melalui raja itulah terikatnya
segala persoalan kemaslahatan
rakyat. Apabila rajanya baik
maka baik pula urusan rakyat,
dan apabila rajanya buruk
(akhlaknya) urusan rakyatnya
juga akan rusak. Inilah
hubungan ketika dia melihat
mimpi itu.
Apalagi tahun-tahun kesuburan
dan paceklik terkait dengan
keteraturan kehidupan atau
tidaknya. Sapi termasuk alat
untuk membajak tanah dan
mengolah pertanian. Di sini
terlihat adanya sebab dan akibat.
Dalam mimpi itu terlihat pula 7
ekor sapi gemuk dan 7 ekor sapi
kurus, 7 tangkai gandum yang
hijau dan 7 tangkai yang kering.
Maksudnya, tentu akan ada 7
tahun yang subur yang disusul 7
tahun kekeringan. Apa yang
didapatkan dari pertanian
diambil dan tidak disisakan
kecuali sedikit yang mereka
simpan.
Kalau dikatakan darimana
diambil pengertian ayat:

ثُمَّ يَأْتِي مِنْ بَعْدِ ذلِكَ
عَامٌ فِيْهِ يُغَاثُ النَّاسُ
وَفِيْهِ يَعْصِرُوْنَ

Kemudian setelah itu akan
datang tahun yang padanya
manusia diberi hujan dan di
masa itu mereka memeras
anggur.” (Yusuf: 49)
Karena beberapa ahli tafsir
mengatakan bahwa ini adalah
tambahan dari Nabi Yusuf
‘alaihissalam dalam
menerangkan takwil mimpi
menurut wahyu yang
diterimanya?
Jawabnya: Persoalannya tidaklah
demikian. Sesungguhnya
perkataan tersebut juga
diucapkan berdasarkan mimpi
raja itu. Karena masa-masa
kekeringan hanya 7 tahun. Ini
menunjukkan akan datang
sesudahnya tahun-tahun
kesuburan penuh keberkahan,
yang akan menghapus
kekeringan yang terjadi pada
masa paceklik yang tidak dapat
terhapus oleh masa-masa subur
yang biasa. Namun hanya akan
hilang dengan masa subur yang
luar biasa keadaannya. Ini sangat
jelas dan termasuk mafhum
al-’adad (dikaitkannya suatu
hukum dengan jumlah tertentu,
ed).

2. Di dalamnya terdapat dalil
atau bukti tentang kenabian
Muhammad Shallallahu 'alaihi
wa sallam. Yaitu dengan
diceritakannya sejarah ini secara
terperinci dan panjang lebar
kepada beliau sesuai kenyataan,
yang mempunyai maksud dan
tujuan yang jelas. Padahal beliau
tidak (bisa) membaca kitab
orang-orang terdahulu. Bahkan
Nabi Muhammad Shallallahu
'alaihi wa sallam tidak pernah
belajar kepada seorangpun,
sebagaimana yang jelas diketahui
oleh kaumnya. Beliau sendiri
adalah seorang ummi, tidak
pandai membaca dan menulis.
Sebab itulah Allah Subhanahu
wa Ta'ala berfirman:

ذلِكَ مِنْ أَنْبَاءِ الْغَيْبِ
نُوْحِيْهِ إِلَيْكَ وَمَا كُنْتَ
لَدَيْهِمْ إِذْ أَجْمَعُوا أَمْرَهُمْ
وَهُمْ يَمْكُرُوْنَ

Demikian itu di antara berita
ghaib yang Kami wahyukan
kepadamu (Muhammad),
padahal kamu tidak berada di
sisi mereka, ketika mereka
memutuskan rencananya dan
mengatur tipu daya. (Yusuf:
102)

3. Sepantasnya seorang manusia
menjauhi faktor-faktor atau jalan
yang mendorongnya kepada
kejahatan. Dan hendaknya dia
menyembunyikan hal-hal yang
dikhawatirkan menimbulkan
kemudaratan bagi dirinya.
Sebagaimana perkataan Nabi
Ya’qub kepada Yusuf dalam
kisah ini:

لاَ تَقْصُصْ رُؤْيَاكَ عَلَى
إِخْوَتِكَ فَيَكِيْدُوا لَكَ
كَيْدًا

Janganlah kamu ceritakan
mimpimu itu kepada saudara-
saudaramu, maka mereka akan
membuat makar
terhadapmu.” (Yusuf: 5)

4. Bolehnya menerangkan
sesuatu yang tidak
menyenangkan kepada
seseorang dengan jujur dan
sebagai nasehat bagi dirinya dan
orang lain yang terkait.
Sebagaimana firman Allah
Subhanahu wa Ta'ala tentang
ucapan Nabi Ya’qub:

فَيَكِيْدُوا لَكَ كَيْدًا

Maka mereka akan membuat
makar terhadapmu. (Yusuf: 5)

5. Bahwa kenikmatan yang
diberikan Allah Subhanahu wa
Ta'ala kepada seseorang adalah
nikmat pula bagi orang-orang
yang berkaitan atau
berhubungan dengannya, baik
keluarga, kerabat, ataupun
sahabat-sahabatnya. Tentunya
semua itu mencakup atau
meliputi mereka. Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَيُتِمُّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكَ
وَعَلَى آلِ يَعْقُوْبَ

Dan disempurnakan-Nya
nikmat-Nya kepadamu dan
kepada keluarga Ya’qub. (Yusuf:
6)
Yaitu dengan semua yang
engkau terima. Oleh karena itu,
ketika nikmat itu semakin
sempuna dirasakan oleh Nabi
Yusuf, keluarga Nabi Ya’qub juga
mendapatkan kemuliaan,
kekuasaan dan kegembiraan.
Hilanglah hal-hal yang tidak
menyenangkan yang selama ini
mereka rasakan dengan
munculnya hal-hal yang
menyenangkan sebagaimana
disebutkan oleh Allah
Subhanahu wa Ta'ala di akhir
kisah ini.

6. Nikmat paling besar yang
dianugerahkan Allah Subhanahu
wa Ta'ala kepada manusia
adalah nikmat diniyah (agama
Islam). Dan semua itu harus ada
sebab-sebab yang
mendahuluinya serta jalan-jalan
yang membawa kepada
kenikmatan ini. Karena
sesungguhnya Allah Subhanahu
wa Ta'ala –Yang Maha Memiliki
hikmah dan mempunyai sunnah
(aturan) yang tidak berubah–
telah menetapkan bahwa cita-
cita yang tinggi tidak mungkin
tercapai kecuali dengan sebab
yang bermanfaat. Khususnya
dalam hal ini adalah ilmu
bermanfaat berikut cabang-
cabangnya, seperti akhlak dan
perbuatan. Oleh karena itulah
Nabi Ya’qub mengetahui bahwa
Yusuf telah mencapai kedudukan
yang mulia ini, di mana ayah
ibunya serta saudara-saudaranya
tunduk hormat kepadanya.
Semua ini sudah tentu dengan
kemudahan yang Allah
Subhanahu wa Ta'ala berikan
kepada Nabi Yusuf untuk
menempuh sebab atau jalan
menuju derajat yang tinggi ini.
Firman Allah Subhanahu wa
Ta'ala:

وَكَذلِكَ يَجْتَبِيْكَ
رَبُّكَ وَيُعَلِّمُكَ مِنْ
تَأْوِيْلِ اْلأَحَادِيْثِ
وَيُتِمُّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكَ

Dan demikianlah Rabbmu, telah
memilih kamu dan mengajarkan
kepadamu sebagian takwil mimpi
dan menyempurnakan nikmat-
Nya kepadamu. (Yusuf: 6)

7. Sikap adil adalah perkara yang
sangat dituntut dalam setiap
permasalahan. Dalam masalah
hubungan penguasa dan
rakyatnya, kedua orang tua
dengan anak-anaknya, hak-hak
para isteri, dan lain-lain yang
juga berkaitan dengan hubungan
kasih sayang dan itsar
(mengutamakan orang lain).
Menegakkan keadilan dalam
setiap permasalahan ini akan
berbuah keserasian semua
persoalan besar dan kecil
sekaligus akan mendatangkan
segala sesuatu yang disenangi.
Sebaliknya, apabila keadilan itu
tidak ada, jelas akan
menyebabkan kerusakan dan
hal-hal yang tidak
menyenangkan tanpa terasa.
Karena itulah ketika Nabi Ya’qub
‘alaihissalam melebihkan rasa
kasih sayangnya terhadap Yusuf
menimbulkan ketidaksenangan
pada saudara-saudara Yusuf
terhadap ayah dan saudara
mereka ini.

8. Peringatan keras tentang
bahayanya dosa. Betapa banyak
dosa yang melahirkan dosa-dosa
berikutnya. Perhatikan kejahatan
yang dilakukan oleh saudara-
saudara Yusuf. Mereka ingin
memisahkan Yusuf dari ayahnya,
dan ini adalah suatu kejahatan.
Kemudian mereka melancarkan
berbagai muslihat. Mereka
berdusta hingga beberapa kali,
misalnya dengan menunjukkan
baju Nabi Yusuf yang berlumur
darah palsu kepada Ya’qub. Juga
ketika mereka pulang sore hari
sambil menangis. Jelas bahwa
ucapan-ucapan yang terdapat
dalam kasus ini berantai dan
berbelit-belit.
Bahkan tidak jarang hal ini
berlanjut ketika mereka
berkumpul dengan Yusuf dan
setiap kali membahas masalah
ini. Namun semuanya adalah
dusta dan palsu, dengan
musibah yang terus menimpa
Nabi Ya’qub serta Nabi Yusuf.
Maka hendaklah seorang
manusia berhati-hati dari
perbuatan dosa, terutama dosa
yang datang susul menyusul.
Lawan dari ini semua adalah
sebagian ketaatan, yang
merupakan satu ketaatan, akan
tetapi manfaatnya berkelanjutan.
Demikian pula berkahnya.
Bahkan semua ini dapat
dirasakan tidak hanya oleh
pelakunya, tapi juga oleh orang
lain. Semua ini merupakan
pengaruh paling besar dari
berkah yang Allah Subhanahu
wa Ta'ala berikan kepada
seseorang baik dalam ilmu dan
amalannya.

9. Pelajaran berharga bagi
seorang hamba bergantung
kepada kesempurnaan di akhir
perjalanan, bukan pada
kekurangan yang ada di
awalnya. Begitu pula halnya
anak-anak Nabi Ya’qub
‘alaihissalam. Terjadi berbagai
kekeliruan di awal kisah
kehidupan mereka. Kemudian
semua itu berujung pada taubat
nashuha (taubat yang benar),
pengakuan yang tulus, dan
pemaafan yang sempurna dari
Yusuf dan ayah mereka, serta
doa kebaikan dan ampunan
serta rahmat bagi mereka. Kalau
seorang manusia telah
memberikan keringanan atau
memaafkan seseorang berkaitan
dengan suatu hak tertentu,
maka Allah Subhanahu wa
Ta'ala lebih berhak berbuat
demikian. Dan Dia adalah
Sebaik-baik Yang Penyayang lagi
Maha Pengampun.
Oleh karena itulah yang paling
benar dari semua pendapat yang
ada bahwa sesungguhnya Allah
Subhanahu wa Ta'ala telah
menjadikan mereka sebagai nabi
dengan menghapus semua
kekeliruan yang telah mereka
lakukan. Seakan-akan
pernyataan ini berdasarkan
firman Allah Subhanahu wa
Ta'ala:

وَمَا أُنْزِلَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ
وَإِسْمَاعِيْلَ وَإِسْحَاقَ
وَيَعْقُوْبَ وَاْلأَسْبَاطِ

Dan (beriman) pula dengan apa
yang diturunkan kepada Ibrahim,
Isma’il, Ishaq, Ya’qub dan al-
asbath. (Ali ‘Imran: 84)
Al-Asbath adalah anak-anak
Ya’qub yang duabelas orang dan
anak cucu mereka. Pendapat ini
diperkuat dengan mimpi yang
dilihat Nabi Yusuf bahwa mereka
adalah bintang-bintang, yang
mempunyai cahaya dan
petunjuk. Semua ini adalah sifat-
sifat yang juga terdapat pada diri
para nabi. Seandainya mereka
bukan tergolong nabi, mereka
adalah para ulama di kalangan
hamba Allah Subhanahu wa
Ta'ala.

10. Dalam kisah ini diterangkan
betapa besar anugerah yang
Allah Subhanahu wa Ta'ala
berikan kepada Yusuf berupa
ilmu, hilm (kelemahlembutan/
tidak tergesa-gesa), akhlak yang
mulia, berdakwah kepada Allah
Subhanahu wa Ta'ala dan
kepada agama-Nya. Juga
pemberian maaf yang segera
dilakukannya terhadap saudara-
saudaranya yang bersalah. Hal
itu semakin lengkap ketika beliau
mengatakan bahwa tidak ada
cercaan atas mereka sesudah
pemaafan ini. Kemudian
kebajikannya yang besar kepada
kedua ibu bapaknya, limpahan
kebaikannya kepada saudara-
saudaranya serta makhluk Allah
Subhanahu wa Ta'ala pada
umumnya. Semua ini sangat jelas
tergambar dalam sejarah hidup
Nabi Yusuf ‘alaihissalam.
11. Sebagian kejahatan lebih
ringan dari yang lain. Menempuh
suatu kemudaratan yang lebih
ringan dari dua mudarat yang
ada jelas lebih utama. Maka
tatkala saudara-saudara Nabi
Yusuf mengatakan (dalam firman
Allah Subhanahu wa Ta'ala):
اقْتُلُوا يُوْسُفَ أَوِ
اطْرَحُوهُ أَرْضًا
“Bunuhlah Yusuf atau buanglah
dia ke suatu daerah.” (Yusuf: 9)
Lalu ada yang memberikan saran
(dalam firman Allah Subhanahu
wa Ta'ala):
لاَ تَقْتُلُوا يُوْسُفَ
وَأَلْقُوْهُ فِي غَيَابَةِ
الْجُبِّ يَلْتَقِطْهُ بَعْضُ
السَّيَّارَةِ إِنْ كُنْتُمْ
فَاعِلِيْنَ
“Janganlah kamu bunuh Yusuf,
tetapi lemparkanlah dia ke dasar
sumur supaya dipungut oleh
sebagian musafir, kalau kamu
hendak berbuat.” (Yusuf: 10)
Tentunya perkataan ini lebih baik
dari pendapat yang lain dan
lebih ringan. Sehingga
berdasarkan hal ini pula menjadi
ringan pula dosa mereka. Ini
merupakan sebagian dari sebab
atau jalan yang telah Allah
Subhanahu wa Ta'ala takdirkan
bagi Nabi Yusuf untuk mencapai
derajat yang diinginkan.
12. Segala sesuatu yang
diperoleh dari suatu usaha dan
menjadi bagian dari harta,
namun orang-orang yang
mengusahakannya tidak
mengetahui bahwa itu tidak
dilandasi syariat, maka tidak ada
dosa bagi yang langsung
memperjualbelikannya,
memanfaatkan, atau
menggunakan untuk suatu
kepentingan. Dalam kisah ini,
boleh dikatakan Nabi Yusuf
dijual oleh saudara-saudaranya
dengan cara yang
(sesungguhnya) diharamkan bagi
mereka. Kemudian beliau dibeli
oleh sebagian musafir
berdasarkan anggapan bahwa
beliau adalah budak saudara-
saudaranya. Setelah itu mereka
membawanya ke Mesir dan
menjualnya kembali.
Tinggallah beliau bersama
majikannya sebagai seoang
pelayan atau budak. Namun di
tengah-tengah mereka, Nabi
Yusuf adalah seorang pelayan
yang dihormati. Allah
Subhanahu wa Ta'ala
menamakan jual beli yang
dilakukan musafir itu muamalah,
dengan alasan yang telah kami
paparkan.
13. Dalam kisah ini disebutkan
bahaya berkhalwat (berduaan)
dengan wanita ajnabiyah (bukan
isteri atau budak dan bukan
mahram), khususnya wanita-
wanita yang dikhawatirkan akan
menjerumuskan kepada fitnah.
Juga anjuran agar menjauhi
perasaan cinta atau suka yang
dapat menimbulkan mudarat.
Dalam kisah ini, disebutkan
bagaimana isteri pembesar
tersebut mengalami hal ini
karena sendirian bersama Yusuf
ditambah lagi rasa cinta yang
demikian hebat sehingga
akhirnya dia menggoda Yusuf
dengan cara sedemikian rupa.
Akan tetapi kemudian dia justru
mengingkari bahwa dialah yang
merayu Nabi Yusuf sehingga
akhirnya Nabi Yusuf dipenjara
untuk waktu yang lama.
14. Keinginan yang ada dalam
diri Nabi Yusuf yang kemudian
beliau tinggalkan karena Allah
Subhanahu wa Ta'ala dan
karena bukti keimanan yang
Allah Subhanahu wa Ta'ala
letakkan dalam hatinya,
termasuk hal-hal yang
menaikkan derajat beliau
semakin dekat kepada Allah
Subhanahu wa Ta'ala. Karena
suatu keinginan adalah salah
satu faktor pendorong yang
timbul dari hawa nafsu yang
selalu menyuruh kepada
kejahatan. Ini adalah naluri atau
tabiat yang ada pada anak Adam
(manusia).
Maka apabila keinginan itu
terlaksana dengan kemaksiatan
dan tidak ada sesuatu, baik
keimanan ataupun rasa takut
kepada Allah Subhanahu wa
Ta'ala yang menghalanginya dari
kemaksiatan itu, maka dia telah
terjatuh kepada dosa. Dan jika
seseorang itu beriman sempurna,
maka keinginan naluriah ini
apabila dihadapi oleh iman yang
benar dan kuat, akan
mencegahnya dari pengaruh
yang ditimbulkan oleh keinginan
tersebut, meskipun dorongan itu
demikian hebat. Dan Nabi Yusuf
‘alaihissalam berada di atas
tingkatan ini. Allah Subhanahu
wa Ta'ala berfirman:
لَوْلاَ أَنْ رَأَى بُرْهَانَ
رَبِّهِ
“Andaikata dia tidak melihat
tanda dari Rabbnya.” (Yusuf: 24)
Hal ini ditunjukkan pula dalam
ayat:
كَذلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ
السُّوْءَ وَالْفَحْشَاءَ إِنَّهُ
مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِيْنَ
“Demikianlah agar Kami
memalingkan daripadanya
kemungkaran dan kekejian.
Sesungguhnya Yusuf termasuk
hamba-hamba Kami yang
terpilih.” (Yusuf: 24)
Karena Allah Subhanahu wa
Ta'ala mengistimewakannya, dan
kekuatan iman serta
keikhlasannya, Allah Subhanahu
wa Ta'ala melepaskan beliau
agar tidak terjerumus kepada
perbuatan dosa. Jelas dari kisah
ini bahwa Nabi Yusuf adalah
termasuk segelintir manusia yang
takut kepada kebesaran
Rabbnya dan menahan diri dari
keinginan hawa nafsunya. Beliau
termasuk yang paling tinggi
derajatnya di antara 7 golongan
dari orang-orang yang Allah
Subhanahu wa Ta'ala lindungi
dengan naungan-Nya pada hari
yang tidak ada lagi naungan
selain naungan Allah Subhanahu
wa Ta'ala.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam telah menyebutkan dalam
sabda beliau bahwa salah satu
dari tujuh golongan itu adalah
seorang laki-laki yang dirayu
oleh seorang wanita kaya dan
cantik jelita, namun laki-laki itu
berkata: “Sesungguhnya aku
takut kepada Allah.”1
Sementara keinginan wanita itu
yang tidak ada yang
menghalanginya, tetap
mendorongnya untuk merayu
Nabi Yusuf. Adapun keinginan
yang muncul pada Nabi Yusuf
kemudian lenyap dengan
seketika setelah melihat burhan
(tanda) dari Rabbnya.
15. Keimanan yang telah
tertanam dalam kalbu
seseorang, kemudian hati itu
diterangi cahaya ma’rifat
(pengenalan) dan iman kepada
Allah Subhanahu wa Ta'ala,
menunjukkan bahwa dia adalah
seorang yang ikhlas karena Allah
Subhanahu wa Ta'ala dalam
segenap keadaannya. Allah
Subhanahu wa Ta'alaakan
menjauhkannya dari setiap
kejahatan dan kekejian dengan
tanda keimanannya itu. Bahkan
juga menjauhkannya dari
berbagai jalan kemaksiatan
sebagai balasan keimanan dan
keikhlasannya. Karena Allah
Subhanahu wa Ta'ala telah
menyebutkan bahwa hal-hal
inilah yang menjadi alasan Dia
menjauhkan kejelekan dan
kekejian itu dari Nabi Yusuf.
Firman Allah Subhanahu wa
Ta'ala:
كَذلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ
السُّوْءَ وَالْفَحْشَاءَ إِنَّهُ
مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلِصِيْنَ
“Sesungguhnya Yusuf termasuk
hamba-hamba Kami yang
mukhlis (berbuat ikhlas).” (Yusuf:
24)
Arti seperti ini apabila
disandarkan kepada bacaan
yang melafadzkan bunyi lam
pada kata mukhlas dikasrah
(berbunyi i), sehingga dibaca
mukhlis yang artinya
sebagaimana yang tercantum.
Sedangkan menurut bacaan
yang melafalkan lam dengan
bunyi a tadi (mukhlash), artinya
ialah apabila seorang hamba
yang telah Allah Subhanahu wa
Ta'ala bersihkan dan Allah
Subhanahu wa Ta'ala pilih, maka
tentulah dia seorang yang
mukhlis, dengan demikian kedua
pengertian ini saling berkaitan.
16. Apabila seseorang diuji
dengan berada di tempat yang
mengandung fitnah dan jalan
yang membawa kepada
kemaksiatan, hendaknya dia
segera berupaya menghindar
dan meninggalkan tempat itu
semampunya agar selamat dari
kejahatan tersebut. Sebagaimana
telah dicontohkan oleh Nabi
Yusuf yang menyelamatkan
dirinya menuju pintu keluar
sementara wanita itu berusaha
menarik bajunya dari belakang.
17. Suatu qarinah (indikasi) atau
hal-hal yang mendukung dapat
digunakan ketika terjadinya
kesamaran dalam suatu
tuduhan. Artinya, perlunya saksi
dalam menentukan suatu
keputusan dari suatu kasus, di
mana dalam kasus Nabi Yusuf ini
ditetapkan dengan adanya
qarinah (tanda yang
mendukung). Firman Allah
Subhanahu wa Ta'ala:
إِنْ كَانَ قَمِيْصُهُ قُدَّ مِنْ
قُبُلٍ فَصَدَقَتْ وَهُوَ مِنَ
الْكَاذِبِيْنَ. وَإِنْ كَانَ
قَمِيْصُهُ قُدَّ مِنْ دُبُرٍ
فَكَذَبَتْ وَهُوَ مِنَ
الصَّادِقِيْنَ
“Jika bajunya koyak di muka,
maka wanita itu benar, dan
Yusuf termasuk orang-orang
yang dusta. Dan jika bajunya
koyak di belakang, maka wanita
itulah yang dusta dan Yusuf
termasuk orang-orang yang
benar.” (Yusuf: 26-27)
Akhirnya keputusannya sesuai
dengan fakta yang benar. Juga
qarinah terdapatnya piala raja di
dalam karung saudaranya, ketika
para penjaga itu menyebutkan
bahwa mereka kehilangan piala
raja.
17. Dalam kisah disebutkan
tentang ketampanan lahir batin
yang dimiliki Nabi Yusuf. Dari
ketampanan lahiriah yang
dimilikinya menyebabkan
tumbuhnya rasa cinta begitu
hebat dalam diri wanita
bangsawan itu. Dan ketika dia
mendengar para wanita di kota
itu mencelanya, dia mengundang
mereka. Allah Subhanahu wa
Ta'ala berfirman:
فَلَمَّا سَمِعَتْ بِمَكْرِهِنَّ
أَرْسَلَتْ إِلَيْهِنَّ
وَأَعْتَدَتْ لَهُنَّ مُتَّكَأً
وَآتَتْ كُلَّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ
سِكِّيْنًا وَقَالَتِ اخْرُجْ
عَلَيْهِنَّ فَلَمَّا رَأَيْنَهُ
أَكْبَرْنَهُ وَقَطَّعْنَ
أَيْدِيَهُنَّ وَقُلْنَ حَاشَ
لِلّهِ مَا هَذَا بَشَرًا إِنْ هَذَا
إِلاَّ مَلَكٌ كَرِيْمٌ
“Maka tatkala wanita itu
mendengar cercaan mereka,
diundangnyalah wanita-wanita
itu dan disediakannya bagi
mereka tempat duduk dan
diberikannya kepada masing-
masing mereka sebuah pisau,
lalu dia berkata (kepada Yusuf):
”Keluarlah kepada mereka!”
Tatkala para wanita itu
melihatnya, mereka kagum akan
(ketampanannya), dan mereka
mengiris jari mereka dan
berkata: “Maha Suci Allah. Ini
bukanlah manusia.
Sesungguhnya ini tidak lain
adalah malaikat yang
mulia.” (Yusuf: 31)
Sedangkan keindahan batin
beliau, terlihat dari sikap ‘iffah
(menjaga kehormatan) yang
besar pada diri beliau, seiring
dengan adanya dorongan yang
kuat untuk terjerumus kepada
kemaksiatan. Akan tetapi cahaya
keimanan dan kekuatan
keikhlasan yang tidak mungkin
seorang mulia menyimpang dari
keduanya, dan tidak mungkin
terkumpul pada orang yang hina
(telah menahan beliau dari
semua itu).
Bahkan telah dijelaskan pula
oleh isteri pembesar itu bahwa
dua karakter (kecantikan lahir
dan batin) ini ada pada diri Nabi
Yusuf. Yakni, ketika dia
memperlihatkan kepada para
wanita itu kecantikan lahiriah
yang diakui pula oleh mereka
bahwa kecantikan ini tidak
mungkin ada pada manusia,
isteri pembesar itu berkata,
sebagaimana yang Allah
Subhanahu wa Ta'ala sebutkan
dalam ayat:
وَلَقَدْ رَاوَدْتُهُ عَنْ
نَفْسِهِ فَاسْتَعْصَمَ
“Dan sesungguhnya aku telah
menggoda dia untuk
menundukkan dirinya kepadaku,
tapi dia menolak.” (Yusuf: 32)
Kemudian dia mengatakan pula
sesudah perkataan itu:
اْلآنَ حَصْحَصَ الْحَقُّ أَنَا
رَاوَدْتُهُ عَنْ نَفْسِهِ
وَإِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِيْنَ
“Sekarang jelaslah kebenaran
itu, akulah yang menggodanya
untuk menundukkan dirinya
kepadaku, dan sesungguhnya dia
termasuk orang-orang yang
benar.” (Yusuf: 51)
18. Nabi Yusuf ‘alaihissalam lebih
memilih dipenjara daripada
terjerumus kepada kemaksiatan.
Demikianlah seharusnya ketika
seseorang dihadapkan kepada
satu dari dua pilihan; jatuh
kepada kemaksiatan atau
menerima hukuman dunia.
Seharusnya dia memilih
hukuman duniawi yang justru di
balik itu terdapat pahala dari
beberapa sisi, pahala atas
pilihannya terhadap
keimanannya daripada
keselamatan dari hukuman
dunia, pahala dari segi bahwa
hal ini adalah bentuk penyucian
dan pemurnian seorang mukmin,
di mana hal ini termasuk dalam
kerangka jihad di jalan Allah
Subhanahu wa Ta'ala. Juga
pahala dari sisi musibah yang
diterimanya serta sakit yang
dirasakannya.
Maha Suci Allah yang
memberikan kenikmatan dan
menunjukkan kelembutan-Nya
kepada hamba-hamba pilihan-
Nya melalui cobaan atau ujian-
Nya. Hal ini juga merupakan
tanda-tanda keimanan dan
kebahagiaan.
(Bersambung, Insya Allah)
(Diambil dari kitab Taisir Al-Lathif
Al-Manan fi Khulashah Tafsiri Al-
Qur`an karya Asy-Syaikh
Abdurrahman bin Nashir As-
Sa’di rahimahullah)
1 HR. Al-Bukhari dari Abu
Hurairah dalam Shahih-nya, no.
620, 1334, 6308.
Ho

asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=399

3 komentar:

Sungai Awan mengatakan...

Marhaban ya ramadhan yang penuh berkah

Sungai Awan mengatakan...

Kita sambut ramadan dg sukacita

Sungai Awan mengatakan...

Semoga kita diberi kekuatan untuk menjalankan puasa

Posting Komentar