Banner 468 X 60

Senin, 26 Juli 2010

Hukum Berpuasa ketika Safar

Oleh: Al-Ustadz
Ruwaifi ’ bin Sulaimi.

Asy-Syaikh ‘Abdullah Alu Bassam
dalam kitabnya Taisirul ‘Allam
Syarh ‘Umdatil Ahkam
menyebutkan muqaddimah bab
ini, beliau mengatakan:
Syari’at ini datang dengan
hukum-hukum yang sangat
mudah dan ringan, sebagai
realisasi dari firman Allah
subhanahu wata ’ala:

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي
الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ .

Dan Dia sekali-kali tidak
menjadikan untuk kamu dalam
agama suatu kesempitan. ” (Al-
Hajj: 78).
Begitu pula Allah subhanahu
wata ’ala berfirman dalam ayat-
Nya yang lain:

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ
الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ
الْعُسْرَ

Allah menghendaki kemudahan
bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu. ” (Al-Baqarah:
185).
Karena bepergian (safar) itu
pada umumnya terdapat
padanya kesukaran (rasa berat)
dan kesulitan, serta merupakan
sebagian dari adzab, maka hal-
hal yang berkaitan dengannya
diringankan, di antaranya
dibolehkan berbuka di siang hari
(tidak berpuasa) pada bulan
Ramadhan, ini adalah rukhshah
(keringanan) yang disunnahkan,
berdasarkan sabda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam:

ليس من البر الصيام في
السفر

Puasa ketika bepergian itu tidak
termasuk kebaikan.”
Keringanan ini umum, mencakup
bepergian yang memayahkan
ataupun bepergian yang santai
(menyenangkan) karena hukum
ini berdasarkan keumumannya.
Dengan hukum yang lunak
seperti ini, kita mengetahui
betapa perhatiannya syari ’at
yang mulia ini dalam
memberikan keringanan, kasih
sayang, kesesuaian waktu dan
keadaan, serta menuntut
(membebani kewajiban) kepada
manusia sesuai dengan
kemampuan mereka.
Kami rela Allah sebagai Rabb
kami, Islam sebagai agama kami,
dan Muhammad sebagai Nabi
kami.
Hadits ke-181

عَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنها :
)) أَنَّ حَمْزَةَ بْنَ عَمْرٍو
الأَسْلَمِيَّ قَالَ لِلنَّبِيِّ
- صلى الله عليه وسلم - :
أَأَصُومُ فِي السَّفَرِ ؟ -
وَكَانَ كَثِيرَ الصِّيَامِ -
فَقَالَ : إنْ شِئْتَ فَصُمْ
وَإِنْ شِئْتَ فَأَفْطِرْ ))

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha -
istri Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam- bahwa Hamzah bin
‘ Amr Al-Aslami berkata kepada
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
‘Apakah saya boleh berpuasa
ketika bepergian (safar)?’ (Dan
dia adalah orang yang sering
puasa). Maka beliau shallallahu
‘ alaihi wasallam bersabda: ‘Kalau
engkau mau berpuasalah, dan
kalau engkau mau berbukalah
tidak berpuasa ’.”
Dalam riwayat ini diterangkan
bahwa shahabat Hamzah bin
‘ Amr Al-Aslami adalah orang
yang cinta kebaikan dan banyak
berpuasa, dan beliau adalah
orang yang mempunyai fisik
kuat, beliau bertanya kepada
Rasulullah apakah boleh
berpuasa dalam bepergian,
maka beliau shallallahu ‘alaihi
wasallam mempersilahkan untuk
memilih antara berpuasa dan
berbuka.
Pilihan untuk berpuasa atau
berbuka bagi yang memiliki
kekuatan melakukan puasa,
yang dimaksud dengan puasa di
sini adalah puasa Ramadhan. Hal
ini sebagaimana dijelaskan dalam
riwayat yang dikeluarkan oleh
Abu Dawud dan Al-Hakim
bahwa Hamzah bin ‘Amr Al-
Aslami berkata:

يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّى
صَاحِبُ ظَهْرٍ أُعَالِجُهُ
أُسَافِرُ عَلَيْهِ وَأَكْرِيهِ
وَإِنَّهُ رُبَّمَا صَادَفَنِى
هَذَا الشَّهْرُ - يَعْنِى
رَمَضَانَ - وَأَنَا أَجِدُ الْقُوَّةَ
وَأَنَا شَابٌّ وَأَجِدُ بِأَنْ
أَصُومَ يَا رَسُولَ اللَّهِ
أَهْوَنَ عَلَىَّ مِنْ أَنْ
أُؤَخِّرَهُ فَيَكُونَ دَيْنًا
أَفَأَصُومُ يَا رَسُولَ اللَّهِ
أَعْظَمُ لأَجْرِى أَوْ أُفْطِرُ
قَالَ » أَىُّ ذَلِكَ شِئْتَ يَا
حَمْزَةُ »

Wahai Rasulullah, saya sering
bepergian dengan jarak yang
panjang, terkadang sampai
bertepatan dengan bulan
Ramadhan, sedangkan saya
punya kekuatan untuk
mengerjakannya, dan saya
adalah seorang pemuda yang
saya merasa lebih ringan untuk
berpuasa saat itu daripada saya
tunda sebagai hutang. Apakah
kalau berpuasa wahai Rasulullah
itu lebih besar pahalanya bagiku
ataukah berbuka.” Maka Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Terserah mana yang
kau suka wahai Hamzah.”
Masih dalam pembahasan Bab
Puasa Ketika Safar dari Kitab
‘ Umdatul Ahkam, kali ini Al-
Ustadz Ruwaifi’ menjelasakan
rincian perbedaan pendapat
para ulama tentang hukum
berpuasa ketika safar. Hadits
yang ke-182, 183, dan 184 dari
kitab ini merupakan hadits-hadits
yang kandungan maknanya
secara zhahir saling
bertentangan, sehingga dari
sinilah para ulama -dengan
ijtihad mereka- berbeda
pendapat dalam beristinbath
(menyimpulkan hukum) dalam
permasalahan ini.
Hadits ke-182

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ - رضي
الله عنه - قَالَ : )) كُنَّا
نُسَافِرُ مَعَ النَّبِيِّ -
صلى الله عليه وسلم - فَلَمْ
يَعِبِ الصَّائِمُ عَلَى
الْمُفْطِرِ . وَلا الْمُفْطِرُ
عَلَى الصَّائِمِ )).

Dari Anas bin Malik
radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
‘Kami bepergian bersama Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam.
Maka orang yang berpuasa tidak
mencela orang yang tidak
berpuasa dan orang yang tidak
berpuasa tidak mencela orang
yang berpuasa. ”
Faidah dari hadits ini:

1. Diizinkan untuk tidak
berpuasa ketika bepergian.

2. Diamnya Nabi shallallahu
‘ alaihi wasallam kepada shahabat
yang tidak berpuasa atau yang
puasa ketika safar, menunjukkan
boleh memilih dari dua perkara
tersebut, yaitu puasa atau tidak
puasa, tetapi bagi yang tidak
berpuasa harus mengqadha ’nya
di hari yang lain
Hadits ke-183

عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ - رضي
الله عنه - قَالَ : )) خَرَجْنَا
مَعَ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله
عليه وسلم - فِي شَهْرِ
رَمَضَانَ . فِي حَرٍّ شَدِيدٍ ,
حَتَّى إنْ كَانَ أَحَدُنَا
لَيَضَعُ يَدَهُ عَلَى رَأْسِهِ
مِنْ شِدَّةِ الْحَرِّ . وَمَا
فِينَا صَائِمٌ إلاَّ رَسُولُ
اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم
- وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ
رَوَاحَةَ )).

Dari Abud Darda’ radhiyallahu
‘anhu, ia berkata: kami pernah
keluar bersama Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam pada
bulan Ramadhan yang udaranya
sangat panas, sehingga salah
satu dari kami meletakkan
tangannya di atas kepala untuk
melindungi dari terik matahari,
dan tidak ada di antara kami
yang berpuasa kecuali Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam dan
Abdullah bin Rawahah.”
Faidah dari hadits ini:
Bahwa dalam keadaan panas
pun ketika safar, tetap
diperbolehkan puasa asalkan
tidak memudharatkannya.
Hadits ke-184

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ
رضي الله عنهما قَالَ : )) كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله
عليه وسلم - فِي سَفَرٍ .
فَرَأَى زِحَاماً وَرَجُلاً قَدْ
ظُلِّلَ عَلَيْهِ , فَقَالَ : مَا
هَذَا ؟ قَالُوا : صَائِمٌ . قَالَ :
لَيْسَ مِنْ الْبِرِّ الصِّيَامُ
فِي السَّفَرِ )).

Dari Jabir bin ‘Abdillah
radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam dalam suatu perjalanan
pernah melihat sekumpulan
orang dan seorang di antaranya
dibawa ke tempat teduh, maka
beliau shallallahu ‘alaihi
wasallam berkata: Apa ini?
orang-orang mengatakan bahwa
dia sedang berpuasa, maka
beliau shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: “Bukan
suatu kebaikan jika berpuasa di
waktu bepergian. ”
Dalam hadits ini dijelaskan
bahwa berpuasa ketika safar
merupakan amalan yang tidak
baik, padahal dalam hadits yang
lain, diberikan pilihan, boleh
berpuasa dan boleh tidak.
Bahkan Rasulullah shallallahu
‘ alaihi wasallam sendiri pernah
berpuasa ketika safar,
bagaimana menyikapi hadits-
hadits tersebut?
Para ulama berbeda pendapat
dalam permasalahan ini

1. Pendapat pertama
menyatakan bahwa tidak sah
berpuasa dalam keadaan safar.

2. Pendapat kedua adalah
pendapat jumhur (mayoritas)
ulama, menyatakan bolehnya
memilih puasa atau berbuka bagi
orang yang safar.
Pendapat pertama berdalil
dengan:
1. Firman Allah subhanahu
wata ’ala:

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ
فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ
مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ
فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ .

Karena itu, barangsiapa di
antara kamu hadir (di negeri
tempat tinggalnya) di bulan itu,
maka hendaklah ia berpuasa
pada bulan itu, dan barangsiapa
sakit atau dalam perjalanan (lalu
ia berbuka), maka (wajiblah
baginya berpuasa), sebanyak hari
yang ditinggalkannya itu, pada
hari-hari yang lain. ” (Al-Baqarah:
185)
Makna ayat ini adalah bahwa
Allah ‘azza wajalla tidak
mewajibkan puasa kecuali
kepada orang-orang yang
berada di tempat tinggalnya
(tidak safar). Adapun bagi orang
yang sakit dan safar, Allah
subhanahu wata ’ala wajibkan
mereka untuk berpuasa di hari-
hari yang lain.
2. Hadits yang diriwayatkan oleh
Al-Imam Muslim rahimahullah,
dari Jabir bin ‘Abdillah
radhiyallahu ‘anhuma,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله
عليه وسلم- خَرَجَ عَامَ
الْفَتْحِ إِلَى مَكَّةَ فِى
رَمَضَانَ فَصَامَ حَتَّى
بَلَغَ كُرَاعَ الْغَمِيمِ
فَصَامَ النَّاسُ ثُمَّ دَعَا
بِقَدَحٍ مِنْ مَاءٍ فَرَفَعَهُ
حَتَّى نَظَرَ النَّاسُ إِلَيْهِ
ثُمَّ شَرِبَ فَقِيلَ لَهُ
بَعْدَ ذَلِكَ إِنَّ بَعْضَ
النَّاسِ قَدْ صَامَ فَقَالَ »
أُولَئِكَ الْعُصَاةُ أُولَئِكَ
الْعُصَاةُ ».

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
keluar pada waktu Fathu
Makkah di bulan Ramadhan.
Beliau berpuasa hingga tiba di
Kura ’ Al-Ghamim, maka orang-
orang pun ikut berpuasa.
Kemudian beliau shallallahu
‘ alaihi wasallam menyuruh
supaya diambilkan semangkuk
air minum, beliau shallallahu
‘ alaihi wasallam mengangkatnya
hingga terlihat oleh orang-orang
dan kemudian meminumnya.
Setelah itu disampaikan kepada
beliau shallallahu ‘alaihi
wasallam bahwa masih ada
sebagian orang yang berpuasa,
maka beliau pun bersabda:
“ Mereka orang-orang yang
membangkang, mereka orang-
orang yang membangkang.

3. Hadits yang diriwayatkan oleh
Al-Bukhari dari Jabir radhiyallahu
‘ anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda:

لَيْسَ مِنْ الْبِرِّ الصِّيَامُ
فِي السَّفَرِ .

“Bukanlah suatu kebaikan jika
berpuasa pada waktu safar.”
Adapun pendapat kedua
(pendapat jumhur ulama)
berdalil dengan:

1. Hadits dari shahabat Hamzah
bin ‘Amr Al-Aslami radhiyallahu
‘anhu, hadits yang sudah kita
bahas sebelum ini.

2. Hadits Anas bin Malik
radhiyallahu ‘anhu, juga sudah
disebutkan (hadits ke-182).

3. Hadits Abud Darda
radhiyallahu ‘anhu yang juga
sudah disebutkan di atas (hadits
ke-183).
Dalil yang digunakan oleh
pendapat pertama telah
dibantah oleh jumhur ulama
dengan bantahan sebgai berikut:

1. Ayat tersebut sudah turun,
tetapi Rasulullah shallallahu
‘ alaihi wasallam masih berpuasa
ketika safar dan beliau
shallallahu ‘alaihi wasallam
adalah orang yang paling
mengerti makna ayat tersebut,
sehingga pendalilan yang dipakai
oleh pendapat pertama
terhadap ayat ini adalah kurang
tepat. Juga maksud ayat tersebut
adalah orang yang dalam
perjalanan atau sakit dan
mereka berbuka, maka wajib
mengganti, adapun yang tetap
puasa maka tidak wajib
mengganti di hari yang lain.

2. Adapun sabda beliau
shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Mereka orang-orang yang
membangkang.” Ini berlaku
khusus bagi orang yang
sebenarnya berat baginya untuk
berpuasa namun dia masih tetap
berpuasa, mereka dikatakan
membangkang bukan karena
puasa yang mereka kerjakan,
akan tetapi karena tidak
mengikuti Rasulullah shallallahu
‘ alaihi wasallam dalam masalah
ini yakni berbuka, padahal
keadaan mereka sangat lemah,
sehingga Rasulullah shallallahu
‘ alaihi wasallam memberi contoh
kepada mereka untuk berbuka
karena dikhawatirkan mereka
akan mengira bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam selalu
berpuasa ketika safar.

3. Adapun hadits: “Bukanlah
suatu kebaikan jika berpuasa
pada waktu safar. ”, maksudnya
adalah bahwa berpuasa ketika
safar itu bukanlah termasuk
kebaikan yang dianjurkan untuk
saling berlomba-lomba
melakukannya. Bahkan,
terkadang berbuka itu lebih
utama daripada berpuasa
apabila puasanya itu akan
menyebabkan kesulitan (rasa
berat) atau bila berbuka itu bisa
membantu persiapan orang-
orang yang hendak berjihad.
Allah subhanahu wata’ala
senang jika ada seseorang yang
mengambil (melaksanakan)
rukhshah (keringanan)-Nya
sebagaimana Dia subhanahu
wata ’ala membenci orang yang
melakukan kemaksiatan kepada-
Nya.
Pendapat jumhur ulama adalah
pendapat yang lebih rajih (kuat),
wallahu a ’lam.


(Sumber http://
www.assalafy.org/mahad/?
p=432 & http://
www.assalafy.org/mahad/?
p=467 )
www.salafy.or.id/modules/artikel2/artikel.php?id=1661

0 komentar:

Posting Komentar