Banner 468 X 60

Kamis, 29 Juli 2010

Hukum Ringkas Puasa Ramadhan

Penulis : Al-
Ustadz Abu Abdirrahman Al-
Bugisi

Menyambut Ramadhan, banyak
acara digelar kaum muslimin. Di
antara acara tersebut ada yang
telah menjadi tradisi yang “wajib”
dilakukan meski syariat tidak
pernah memerintahkan untuk
membuat berbagai acara
tertentu menyambut datangnya
bulan mulia tersebut.
Puasa Ramadhan merupakan
salah satu dari kewajiban puasa
yang ditetapkan syariat yang
ditujukan dalam rangka taqarrub
(mendekatkan diri) kepada Allah
ta'ala. Hukum puasa sendiri terbagi
menjadi dua, yaitu puasa wajib
dan puasa sunnah. Adapun
puasa wajib terbagi menjadi 3:
puasa Ramadhan, puasa
kaffarah (puasa tebusan), dan
puasa nadzar.

Keutamaan Bulan Ramadhan

Bulan Ramadhan adalah bulan
diturunkannya Al Qur’an. Allah
berfirman:

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ
فِيْهِ الْقُرْآنُ هُدًى
لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ
الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ

“Bulan Ramadhan adalah bulan
yang di dalamnya diturunkan
(permulaan) Al Qur`an sebagai
petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai
petunjuk itu dan pembeda
(antara yang haq dan yang
batil).” (Al-Baqarah: 185)

Pada bulan ini para setan
dibelenggu, pintu neraka ditutup
dan pintu surga dibuka.
Rasulullah bersabda:

إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِحَتْ
أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِقَتْ
أَبْوَابُ النِّيْرَانِ
وَصُفِدَتِ الشَّيَاطِيْنُ

“Bila datang bulan Ramadhan
dibukalah pintu-pintu surga,
ditutuplah pintu-pintu neraka
dan dibelenggulah para
setan.” (HR. Al-Bukhari dan
Muslim)
Pada bulan Ramadhan pula
terdapat malam Lailatul Qadar.
Allah Ta'ala berfirman:

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ
الْقَدْرِ. وَمَا أَدْرَاكَ مَا
لَيْلَةُ الْقَدْرِ. لَيْلَةُ
الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ
شَهْرٍ. تَنَزَّلُ الْمَلاَئِكَةُ
وَالرُّوْحُ فِيْهَا بِإِذْنِ
رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ.
سَلاَمٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ
الْفَجْرِ

“Sesungguhnya Kami telah
menurunkan Al Qur’an pada
malam kemuliaan. Tahukah
kamu apakah malam kemuliaan
itu? Malam kemuliaan itu lebih
baik dari seribu bulan. Pada
malam itu turun malaikat-
malaikat dan malaikat Jibril
dengan izin Tuhannya untuk
mengatur segala urusan. Malam
itu penuh kesejahteraan hingga
terbit fajar.” (Al-Qadar: 1-5)

Penghapus Dosa

Ramadhan adalah bulan untuk
menghapus dosa. Hal ini
berdasar hadits Abu Hurairah
bahwa Rasulullah bersabda:

الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ
وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ
وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ
مُكَفِّرَاتٌ لَمَا بَيْنَهُنَّ
إِذَا اجْتُنِبَتِ الْكَبَائِرُ

“Shalat lima waktu, dari Jum’at
(yang satu) menuju Jum’at
berikutnya, (dari) Ramadhan
hingga Ramadhan (berikutnya)
adalah penghapus dosa di
antaranya, apabila ditinggalkan
dosa-dosa besar.” (HR. Muslim)

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا
وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا
تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa yang berpuasa
Ramadhan dengan keimanan
dan mengharap ridha Allah,
akan diampuni dosa-dosanya
yang terdahulu.” (HR. Al-Bukhari
dan Muslim dari Abu Hurairah z)

Rukun Berpuasa

a. Berniat sebelum munculnya
fajar shadiq. Hal ini berdasarkan
hadits Rasulullah n:

إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

“Sesungguhnya amalan itu
tergantung
niatnya.” (Muttafaqun ‘alaih dari
hadits ‘Umar bin Al-Khaththab z)
Juga hadits Hafshah , bersabda
Rasulullah :

مَنْ لَمْ يَجْمَعِ الصِّيَامَ
قَبْلَ الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ
لَهُ

“Barangsiapa yang tidak berniat
berpuasa sebelum fajar maka
tidak ada puasa baginya.” (HR.
Ahmad dan Ashabus Sunan)
Asy-Syaikh Muqbil t menyatakan
bahwa hadits ini mudhtharib
(goncang) walaupun sebagian
ulama menghasankannya.
Namun mereka mengatakan
bahwa ini adalah pendapat Ibnu
‘Umar, Hafshah, ‘Aisyah g, dan
tidak ada yang menyelisihinya
dari kalangan para shahabat.
Persyaratan berniat puasa
sebelum fajar dikhususkan pada
puasa yang hukumnya wajib,
karena Rasulullah n pernah
datang kepada ‘Aisyah pada
selain bulan Ramadhan lalu
bertanya:

“Apakah kalian
mempunyai makan siang? Jika
tidak maka saya berpuasa.” (HR.
Muslim)

Masalah ini dikuatkan pula
dengan perbuatan Abud-Darda,
Abu Thalhah, Abu Hurairah,
Ibnu ‘Abbas dan Hudzaifah ibnul
Yaman g. Ini adalah pendapat
jumhur.
Para ulama juga berpendapat
bahwa persyaratan niat tersebut
dilakukan pada setiap hari puasa
karena malam Ramadhan
memutuskan amalan puasa
sehingga untuk mengamalkan
kembali membutuhkan niat yang
baru. Wallahu a’lam.

Berniat ini boleh dilakukan
kapan saja baik di awal malam,
pertengahannya maupun akhir.
Ini pula yang dikuatkan oleh
jumhur ulama1.

b. Menahan diri dari setiap
perkara yang membatalkan
puasa dimulai dari terbit fajar
hingga terbenamnya matahari.
Telah diriwayatkan oleh Al-Imam
Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim
hadits dari ‘Umar bin Al-
Khaththab z bahwa Rasulullah n
bersabda:

إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ مِنْ
هَهُنَا وَأَدْرَكَ النَّهَارُ مِنْ
هَهُنَا وَغَرَبَتِ الشَّمْسُ
فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ

“Jika muncul malam dari arah
sini (barat) dan hilangnya siang
dari arah sini (timur) dan
matahari telah terbenam, maka
telah berbukalah orang yang
berpuasa.” (HR. Al-Bukhari dan
Muslim)
Puasa dimulai dengan
munculnya fajar. Namun kita
harus hati-hati karena terdapat
dua jenis fajar, yaitu fajar kadzib
dan fajar shadiq. Fajar kadzib
ditandai dengan cahaya putih
yang menjulang ke atas seperti
ekor serigala. Bila fajar ini
muncul masih diperbolehkan
makan dan minum namun
diharamkan shalat Shubuh
karena belum masuk waktu.
Fajar yang kedua adalah fajar
shadiq yang ditandai dengan
cahaya merah yang menyebar di
atas lembah dan bukit,
menyebar hingga ke lorong-
lorong rumah. Fajar inilah yang
menjadi tanda dimulainya
seseorang menahan makan,
minum dan yang semisalnya
serta diperbolehkan shalat
Shubuh.
Hal ini berdasarkan hadits Ibnu
‘Abbas c bahwa Rasulullah n
bersabda:

الْفَجْرُ فَجْرَانِ فَأَمَّا
اْلأَوَّلُ فَإِنَّهُ لاَ يُحْرِمُ
الطَّعَامَ وَلاَ يُحِلُّ
الصَّلاَةَ وَأَمَّا الثَّانِي
فَإِنَّهُ يُحْرِمُ الطَّعَامَ
وَيُحِلُّ الصَّلاَةَ

“Fajar itu ada dua, yang pertama
tidak diharamkan makan dan
tidak dihalalkan shalat (Shubuh).
Adapun yang kedua (fajar)
adalah yang diharamkan makan
(pada waktu tersebut) dan
dihalalkan shalat.” (HR. Ibnu
Khuzaimah, 1/304, Al-Hakim,
1/304, dan Al-Baihaqi, 1/377)

Namun para ulama menghukumi
riwayat ini mauquf (hanya
perkataan Ibnu ‘Abbas c dan
bukan sabda Nabi n). Di antara
mereka adalah Al-Baihaqi, Ad-
Daruquthni dalam Sunan-nya
(2/165), Abu Dawud dalam
Marasil-nya (1/123), dan Al-
Khathib Al-Baghdadi dalam
Tarikh-nya (3/58). Juga
diriwayatkan dari Tsauban
dengan sanad yang mursal.
Sementara diriwayatkan juga dari
hadits Jabir dengan sanad yang
lemah.
Wallahu a’lam.

1 Cukup dengan hati dan tidak
dilafadzkan dan makan sahurnya
seseorang sudah menunjukkan
dia punya niat berpuasa, red

Siapa yang Diwajibkan Berpuasa?

Orang yang wajib menjalankan
puasa Ramadhan memiliki
syarat-syarat tertentu. Telah
sepakat para ulama bahwa
puasa diwajibkan atas seorang
muslim yang berakal, baligh,
sehat, mukim, dan bila ia
seorang wanita maka harus
bersih dari haidh dan nifas.
Sementara itu tidak ada
kewajiban puasa terhadap orang
kafir, orang gila, anak kecil,
orang sakit, musafir, wanita
haidh dan nifas, orang tua yang
lemah serta wanita hamil dan
wanita menyusui.
Bila ada orang kafir yang
berpuasa, karena puasa adalah
ibadah di dalam Islam maka
tidak diterima amalan seseorang
kecuali bila dia menjadi seorang
muslim dan ini disepakati oleh
para ulama.
Adapun orang gila, ia tidak wajib
berpuasa karena tidak terkena
beban beramal. Hal ini
berdasarkan hadits ‘Ali bin Abi
Thalib z bahwa Rasulullah n
bersabda:

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ:
عَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى
يَفِيْقَ وَعَنِ النَّائِمِ
حَتَّى يَسْتَيْقَظَ وَعَنِ
الصَّبِي حَتَّى يَحْتَلِمَ

“Diangkat pena (tidak dicatat)
dari 3 golongan: orang gila
sampai dia sadarkan diri, orang
yang tidur hingga dia bangun
dan anak kecil hingga dia
baligh.” (HR. Ahmad, Abu
Dawud dan At-Tirmidzi)

Meski anak kecil tidak memiliki
kewajiban berpuasa sebagaimana
dijelaskan hadits di atas, namun
sepantasnya bagi orang tua atau
wali yang mengasuh seorang
anak agar menganjurkan puasa
kepadanya supaya terbiasa sejak
kecil sesuai kesanggupannya.
Sebuah hadits diriwayatkan Ar-
Rubayyi’ bintu Mu’awwidz x:
“Utusan Rasulullah n
mengumumkan di pagi hari
‘Asyura agar siapa di antara
kalian yang berpuasa maka
hendaklah dia
menyempurnakannya dan siapa
yang telah makan maka jangan
lagi dia makan pada sisa harinya.
Dan kami berpuasa setelah itu
dan kami mempuasakan kepada
anak-anak kecil kami. Dan kami
ke masjid lalu kami buatkan
mereka mainan dari wol, maka
jika salah seorang mereka
menangis karena (ingin) makan,
kamipun memberikan (mainan
tersebut) padanya hingga
mendekati buka puasa.” (HR. Al-
Bukhari dan Muslim)

Sementara itu, bagi orang-orang
lanjut usia yang sudah lemah
(jompo), orang sakit yang tidak
diharapkan sembuh, dan orang
yang memiliki pekerjaan berat
yang menyebabkan tidak mampu
berpuasa dan tidak
mendapatkan cara lain untuk
memperoleh rizki kecuali apa
yang dia lakukan dari amalan
tersebut, maka bagi mereka
diberi keringanan untuk tidak
berpuasa namun wajib
membayar fidyah yaitu memberi
makan setiap hari satu orang
miskin.
Berkata Ibnu Abbas c:
“Diberikan keringanan bagi
orang yang sudah tua untuk
tidak berpuasa dan memberi
makan setiap hari kepada
seorang miskin dan tidak ada
qadha atasnya.” (HR. Ad-
Daruquthni dan Al-Hakim dan
dishahihkan oleh keduanya)
Anas bin Malik z tatkala sudah
tidak sanggup berpuasa maka
beliau memanggil 30 orang
miskin lalu (memberikan pada
mereka makan) sampai mereka
kenyang. (HR. Ad-Daruquthni
2/207 dan Abu Ya’la dalam
Musnad-nya 7/204 dengan
sanad yang shahih. Lihat Shifat
Shaum An-Nabi, hal. 60)

Orang-orang yang diberi
keringanan untuk tidak berpuasa
namun wajib atas mereka
menggantinya di hari yang lain
adalah musafir, dan orang yang
sakit yang masih diharap
kesembuhannya yang apabila dia
berpuasa menyebabkan
kekhawatiran sakitnya
bertambah parah atau lama
sembuhnya.
Allah k berfirman:

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيْضًا
أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ
أَيَّامٍ أُخَرَ

“Maka barangsiapa di antara
kamu ada yang sakit atau dalam
perjalanan lalu ia berbuka, maka
wajib baginya berpuasa sebanyak
hari yang ditinggalkan pada hari-
hari yang lain.” (Al-Baqarah: 184)

Demikian pula bagi wanita hamil
dan menyusui yang khawatir
terhadap janinnya atau anaknya
bila dia berpuasa, wajib baginya
meng-qadha puasanya dan
bukan membayar fidyah
menurut pendapat yang paling
kuat dari pendapat para ulama.
Hal ini berdasar hadits Anas bin
Malik Al-Ka’bi z, bersabda
Rasulullah n:

إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ
عَنِ الْمُسَافِرِ نِصْفَ
الصَّلاَةِ وَالصَّوْمَ وَعَنِ
الْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ

“Sesungguhnya Allah telah
meletakkan setengah shalat dan
puasa bagi orang musafir dan
(demikian pula) bagi wanita
menyusui dan yang hamil.” (HR.
An-Nasai, 4/180-181, Ibnu
Khuzaimah, 3/268, Al-Baihaqi,
3/154, dan dishahihkan oleh Asy-
Syaikh Al-Albani t)

Yang tidak wajib berpuasa
namun wajib meng-qadha
(menggantinya) di hari lain
adalah wanita haidh dan nifas.
Telah terjadi kesepakatan di
antara fuqaha bahwa wajib atas
keduanya untuk berbuka dan
diharamkan berpuasa. Jika
mereka berpuasa, maka dia
telah melakukan amalan yang
bathil dan wajib meng-qadha.
Di antara dalil atas hal ini adalah
hadits Aisyah x:

كَانَ يُصِيْبُنَا ذَلِكَ
فَنُأْمَرُ بِقَضَاءِ الصِّيَامِ
وَلاَ نُأْمَرُ بِقَضَاءِ
الصَّلاَةِ

“Adalah kami mengalami haidh
lalu kamipun diperintahkan
untuk meng-qadha puasa dan
tidak diperintahkan meng-qadha
shalat.” (HR. Al-Bukhari dan
Muslim)
Wallohu a’lam


www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=295

2 komentar:

Anonim mengatakan...

ga' sabar menunggu bulan ramadhan & nice info mas

Sungai Awan mengatakan...

Puasa ramadhan hukumnya wajib bagi yang beriman (rukun iman).
Bagi yg tdk beriman tdk wajib tentunya gan

Posting Komentar