Banner 468 X 60

Jumat, 23 Juli 2010

Amal Termasuk Bagian Dari Iman

Penulis : Al-
Ustadz Abu Ubaidah Syafruddin

عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ الْحَكَمِ
السُّلَمِي قَالَ: .... وَكَانَتْ
لِي جَارِيَةٌ تَرْعَى غَنَمًا
ليِ قِبَلَ أُحُدٍ
وَالْجَوَّانِيَّةِ، فَاطَّلَعْتُ
ذَاتَ يَوْمٍ فَإِذَا الذِّيْبُ
قَدْ ذَهَبَ بِشَاةٍ مِنْ
غَنَمِهَا، وَأَنَا رَجُلٌ مِنْ
بَنِي آدَمَ آسَفُ كَمَا
يَأْسَفُوْنَ، لَكِنِّي
صَكَكْتُهَا صَكَّةً
فَأَتَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ
صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَعَظََّمَ ذَلِكَ عَلَيَّ،
قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ،
أَفَلاَ أَعْتِقُهَا؟ قَالَ:
ائْتِنِي بِهَا. فَأَتَيْتُهُ
بِهَا فَقَالَ لَهَا: أَيْنَ اللهُ؟
قَالَتْ: فِي السَّمَاءِ. قَالَ:
مَنْ أَناَ؟ قَالَتْ: أَنْتَ
رَسُوْلُ اللهِ. قَالَ :أَعْتِقْهَا
فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ

Dari Mu’awiyah bin Al-Hakam
As-Sulami radhiyallahu 'anhu dia
berkata: “… Aku memiliki
seorang budak perempuan yang
menggembalakan kambingku di
arah Uhud dan Al-Jawwaniyyah.
Pada suatu hari, aku dapati
seekor serigala telah membawa
lari salah satu dari kambing-
kambing yang digembalakannya.
Dan aku salah seorang dari Bani
Adam (manusia biasa), yang
dapat marah sebagaimana
mereka marah. Aku lantas
menamparnya, kemudian aku
menghadap Rasulullah, karena
perkara itu telah membebaniku.
Aku bertanya: “Ya Rasulullah,
tidakkah saya
membebaskannya?” Beliau
bersabda: “Bawa dia kepadaku.”
Akupun membawanya. Lalu
beliau bertanya kepadanya: “Di
manakah Allah?” Dia menjawab:
“Di atas langit.” Beliau bertanya:
“Siapakah aku?” dia menjawab:
“Engkau adalah Rasulullah.” Lalu
beliau bersabda: “Bebaskan dia,
karena sesungguhnya dia adalah
seorang wanita yang beriman.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-
Imam Muslim dalam Shahih-nya
(no. 537, Kitabul Masajid, Bab
Tahrimul Kalam fis Shalah wa
Naskhi ma kana min Ibahatin),
Al-Imam Abu Dawud (no. 930,
Kitabus Shalah, Bab Tasymiyatul
‘athis fis shalah), dan Al-Imam
An-Nasa`i (no. 1217, Kitab As-
Sahw Bab Al-Kalam fis shalah).

Hadits di atas merupakan
potongan dari sebuah hadits
yang panjang, dari Mu’awiyah
bin Al-Hakam As-Sulami
radhiyallahu 'anhu. Ia berkata:
“Tatkala aku sedang shalat
bersama Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam tiba-tiba ada
salah seorang yang bersin
(dalam keadaan shalat). Akupun
berkata: ‘Yarhamukallah!’
Orang-orang pun
memandangiku. Aku berkata:
‘Wa tsukla ummiyah!1’ Kenapa
kalian memandangiku (seperti
itu)?’
Kemudian mereka menepuk-
nepukkan kedua tangannya di
atas pahanya. Ketika aku melihat
bahwa mereka (berbuat
demikian) supaya aku diam,
maka akupun diam. Setelah
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam selesai dari menjalankan
shalat, aku berkata: ‘Bi abi huwa
wa ummi! Aku belum pernah
melihat sebelum dan sesudahnya
seorang pengajar yang terbaik
dalam memberikan pengajaran
daripada beliau. Demi Allah,
beliau tidak membentakku, tidak
memukul dan tidak pula
memaki. Beliau hanya berkata:
‘Sesungguhnya shalat ini tidak
boleh ada di dalamnya suatu
ucapan apapun dari ucapan
manusia. Yang diperbolehkan
hanyalah tasbih, takbir, dan
membaca Al-Qur`an.’ Atau
sebagaimana sabda Rasululllah
Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Kemudian aku berkata: ‘Ya
Rasulullah, sesungguhnya saya
baru saja meninggalkan masa
kejahiliahan dan Allah
menggantikannya dengan
mendatangkan agama Islam.
Sebagian kami (sebelum Islam
datang) mendatangi dukun!’
Beliau bersabda: ‘Janganlah
kalian mendatangi mereka.’
Aku kembali mengutarakan:
‘Sebagian kami ada yang ber-
tathayyur (meyakini kesialan
karena burung tertentu)!’
Beliau bersabda: ‘Itu adalah
perkara yang mereka dapati
dalam dada mereka, janganlah
perkara itu memalingkan kalian
(menghalangi kalian dari
beraktivitas).”
Mu’awiyah bin Al-Hakam As-
Sulami berkata: “Aku memiliki
seorang budak perempuan yang
menggembalakan kambing-
kambingku di arah Uhud dan Al-
Jawwaniyyah. Pada suatu hari
aku dapati seekor serigala telah
membawa lari salah satu dari
kambing-kambing yang
digembalakannya. Dan aku
seorang dari Bani Adam, yang
dapat marah sebagaimana
mereka marah. Aku lantas
menamparnya, kemudian aku
menghadap Rasulullah, karena
perkara itu telah membebaniku.
Aku bertanya: ‘Ya Rasulullah,
tidakkah saya
membebaskannya?’
Beliau bersabda: ‘Bawalah dia
kepadaku.’ Akupun
membawanya, lalu beliau
bertanya kepadanya: ‘Di
manakah Allah?’ Dia menjawab:
‘Di atas langit.’ Beliau bertanya:
‘Siapakah aku?’ Dia menjawab:
‘Engkau adalah Rasulullah.’ Lalu
beliau bersabda: ‘Bebaskan dia,
karena sesungguhnya dia adalah
seorang wanita yang
beriman’.” (lihat Al-Minhaj Syarh
Shahih Muslim ibn Al-Hajjaj,
5/23-27)

Hadits ini dipahami secara salah
oleh kaum Murji`ah untuk
membenarkan pemikiran mereka
dalam perkara iman. Menurut
mereka, iman adalah
pembenaran dengan hati dan
ucapan dengan lisan, tidak perlu
amalan. Sisi pendalilannya
adalah pernyataan Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam:
“Sesungguhnya dia adalah
seorang wanita yang beriman,”
yaitu sekedar ucapan tanpa
amalan sudah dinyatakan
sebagai seorang yang beriman.
Untuk menjawab perkara ini ada
beberapa jawaban:

Pertama: Al-Imam Ahmad, Al-
Khaththabi, dan Ibnu Taimiyyah
berkata: “Pengikraran jariyah
(budak) ini bahwa Allah
Subhanahu wa Ta’ala ada di
atas, Muhammad adalah
Rasulullah, merupakan jawaban
atas pertanyaan Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam,
yang mana pertanyaan beliau ini
berkaitan dengan tanda-tanda
keimanan dan alamat bagi
ahlinya. Dan bukan pertanyaan
tentang perkara prinsip
keimanan, sifat, dan hakikatnya.

Kedua: Terdapat pada sebagian
riwayat bahwa Nabi tidak
mencukupkan (meridhai) dari
jariyah ini hingga beliau
bertanya: “Apakah kamu
beriman dengan perkara yang
demikian dan demikian? Apakah
kamu bersaksi bahwa tidak ada
yang berhak diibadahi dengan
benar kecuali Allah?” Ia
menjawab: “Ya.”
“Apakah kamu bersaksi bahwa
aku adalah Rasulullah?” Ia
menjawab: “Ya.”
“Apakah kamu beriman dengan
hari kebangkitan?” Ia menjawab:
“Ya.”
Kemudian Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda:
“Bebaskan dia dari perbudakan.”

Ketiga: Kemungkinan kejadian ini
terjadi sebelum turunnya
perkara-perkara yang sifatnya
fardhu.
Telah menjadi kesepakatan
ulama Ahlus Sunnah dahulu
maupun sekarang bahwa iman
adalah ucapan dan perbuatan,
bertambah dan berkurang.
Maksud iman adalah ucapan
dan perbuatan, adalah bahwa
ucapan hati dan ucapan lisan,
perbuatan hati dan perbuatan
lisan akan bertambah dengan
menjalankan ketaatan dan akan
berkurang dengan melakukan
kemaksiatan. Berbeda dengan
kaum Murji`ah yang
menyatakan bahwa iman
hanyalah i’tiqad (keyakinan) dan
ucapan dengan lisan saja.
Ishaq bin Ibrahim bin Hani
berkata: “Aku mendengar Abu
Abdillah Ahmad bin Hanbal
berkata: ‘Iman adalah ucapan
dan perbuatan, bertambah dan
berkurang’.”
Pendapat Al-Imam Ahmad
rahimahullahu bahwa iman itu
bertambah dan berkurang
maknanya adalah seperti yang
ditanyakan oleh putra beliau
yaitu Shalih. Ia berkata: “Aku
bertanya kepada ayahku, apa itu
makna bertambah dan
berkurangnya iman?” Beliau
menjawab: “Bertambahnya iman
adalah dengan adanya amalan,
berkurangnya adalah dengan
meninggalkan amalan, seperti
meninggalkan shalat, zakat, dan
haji.”
Pendapat Al-Imam Ahmad
rahimahullahu dalam
mendefinisikan iman merupakan
pendapat keumuman atau
mayoritas ulama Salaf, bahwa
iman adalah keyakinan dengan
hati, ucapan dengan lisan, dan
perbuatan dengan anggota
badan. Para ulama Salaf
memandang bahwa iman adalah
ungkapan dari tiga perkara ini.
Mereka menganggap
pembenaran dengan hati dan
ucapan dengan lisan merupakan
pokok perkara iman, adapun
perbuatan merupakan cabang
dari iman.
Oleh karenanya, mereka tidak
mengkafirkan para pelaku dosa
besar dan tidak menghukumi
mereka sebagai penghuni neraka
selama-lamanya, sebagaimana
yang dilakukan oleh kaum
Khawarij dan Mu’tazilah. Dan
yang telah menukil kesepakatan
para ulama (ijma’) dalam
mendefinisikan iman (seperti
tersebut di atas) adalah Abu
‘Ubaid Al-Qasim ibnu Salam,
Asy-Syafi’i, Al-Bukhari, Al-
Lalika`i, dan Al-Baghawi, Ibnu
Abdil Barr dan selain mereka.
(lihat Al-Masa`il war Rasa`il Al-
Marwiyah ‘an Al-Imam Ahmad
bin Hanbal, 1/63-67)
Tatkala beliau menyatakan dalil
yang menunjukkan bahwa
amalan masuk dalam penamaan
iman, beliau berkata dengan
menyebutkan firman Allah
Subhanahu wa Ta'ala:

وَمَا كَانَ اللهُ لِيُضِيْعَ
إِيْمَانَكُمْ

Allah tidak akan menyia-
nyiakan iman kalian.” (Al-
Baqarah: 143)
Dalam ayat ini Allah Subhanahu
wa Ta'ala menjadikan shalat
mereka sebagai perkara iman,
maka shalat termasuk dari
perkara iman.”
Diriwayatkan dengan sanad yang
shahih dari Al-Imam Al-Bukhari
rahimahullahu, beliau berkata:
“Aku menjumpai lebih daripada
1.000 orang dari kalangan ulama
di berbagai daerah (negeri).
Tidaklah aku melihat seorang
pun yang berselisih bahwa iman
adalah ucapan dan perbuatan,
bertambah dan berkurang.”
Ar-Rabi’ berkata: Aku
mendengar Al-Imam Asy-Syafi’i
berkata: “Iman adalah ucapan
dan amalan, bertambah dan
berkurang.” Pada riwayat yang
lain terdapat tambahan:
“Bertambah dengan ketaatan
dan berkurang dengan
kemaksiatan.”
Kemudian beliau membaca ayat:

وَيَزْدَادَ الَّذِيْنَ آمَنُوا
إِيْمَانًا

Dan agar bertambah keimanan
orang-orang yang beriman.” (Al-
Muddatstsir: 31) [Lihat Fathul
Bari, 1/62-63]
Sebagian ahlul ilmi menyatakan,
manusia terbagi menjadi tiga
bagian:
Pertama: Sabiqun bil khairat,
yaitu orang yang mengerahkan
segenap kemam-puannya untuk
melaksanakan perintah Allah
Subhanahu wa Ta’ala baik yang
wajib maupun yang mustahab,
serta menjauhi larangan-Nya.
Kedua: Muqtashid, yaitu orang
yang hanya mengerjakan yang
wajib dan meninggalkan yang
haram saja.
Ketiga: Zhalim linafsih, yaitu
orang yang mencampurkan
amalan baik dengan amalan
buruk.
Kelompok yang pertama lebih
sempurna imannya ketimbang
yang kedua, dan yang kedua
lebih sempurna ketimbang yang
ketiga.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullahu berkata: “Dari
pembahasan ini terdapat
beberapa pendapat ulama Salaf
dan imam-imam As-Sunnah
dalam menafsirkan iman.
Kadang mereka berkata, ‘iman
adalah ucapan dan perbuatan’,
terkadang menyatakan, ‘iman
adalah ucapan perbuatan dan
niat’, terkadang menyatakan
‘iman adalah ucapan, perbuatan,
niat, dan ittiba’ (mengikuti) As-
Sunnah’, terkadang pula
mengucapkan, ‘iman adalah
ucapan dengan lisan, keyakinan
dengan hati, dan amalan dengan
anggota badan’. Semua
ungkapan itu benar adanya.
Adapun mereka yang
menyatakan iman itu adalah
ucapan dan amalan, maka
termasuk di dalamnya adalah
ucapan hati dan ucapan lisan.
Inilah yang dipahami dari makna
‘ucapan’, jika disebut secara
mutlak. Sehingga apabila ada
seorang ulama salaf yang
berkata iman adalah ucapan dan
perbuatan, maka maknanya
adalah ucapan dengan hati dan
lisan, serta amalan hati dan
anggota badan. Barangsiapa
yang menambah lafadz i‘tiqad
dalam mendefinisikan iman,
memandang bahwa lafadz
‘ucapan’ tidaklah dipahami
kecuali ucapan lahir saja. Atau ia
mengkhawatirkan tidak
dipahaminya adanya keyakinan
hati sehingga ditambahlah
dengan kata ‘keyakinan dalam
hati’.
Sedangkan pendapat yang
menyatakan iman adalah
ucapan, perbuatan dan niat,
maknanya adalah ucapan yang
mengandung i‘tiqad dan ucapan
lisan. Adapun lafadz ‘amal’ yang
tidak dipahami niat darinya,
ditambahlah dalam
mendefinisikan iman dengan
adanya niat. Bagi yang
menambah ittiba’ (mengikuti) As-
Sunnah, karena semua itu
tidaklah dicintai oleh Allah
Subhanahu wa Ta’ala kecuali
dengan mengikuti As-Sunnah.
Kemudian, mereka tidaklah
menghendaki makna ungkapan
‘iman berupa ucapan dan
perbuatan’, bahwa maksudnya
adalah seluruh ucapan dan
perbuatan. Akan tetapi sebagai
sanggahan terhadap kaum
Murji`ah yang menyatakan
bahwa iman itu ucapan semata.
Oleh karenanya mereka (para
ulama) berkata bahwa iman
adalah ucapan dan perbuatan.
Adapun yang menjadikan iman
itu empat macam, penafsirannya
adalah sebagaimana yang
ditanyakan kepada Sahl bin
Abdillah At-Tusturi, tentang
apakah iman itu. Beliau berkata:
‘Ucapan, perbuatan, niat dan As-
Sunnah.’ Karena iman tanpa
amal adalah kufur, iman berupa
ucapan dan amalan tanpa
adanya niat adalah nifaq
(kemunafikan), iman berupa
ucapan, amalan dan niat namun
tanpa As-Sunnah berarti
bid’ah.” (lihat Majmu’ Fatawa,
7/505-506)

Berikut fatwa Al-Lajnah Ad-
Da`imah lil Ifta` (Komite Tetap
Urusan Fatwa) no. 21436,
tanggal 8/4/1421 H:
Segala puji hanya milik Allah
Subhanahu wa Ta’ala saja,
shalawat dan salam semoga
selalu tercurah kepada Nabi
Muhammad Shallallahu 'alaihi
wa sallam yang tidak ada nabi
setelahnya. Komite Tetap Urusan
Pembahasan Ilmiah dan Fatwa
sungguh telah mempelajari apa
yang telah sampai kepada yang
mulia Al-Mufti ‘Aam (pemberi
fatwa umum) Hai`ah Kibarul
Ulama dari sejumlah peminta
fatwa terkait permintaan fatwa
mereka dengan amanah secara
umum dengan no. 5411 tgl.
7/11/1420 H, no. 1026 tgl.
17/2/1421 H, no. 1016
tgl.7/2/1421H, no. 1395 tgl
25/3/1431 H, No.1650 tgl.
17/3/1421 H, No. 1893 tgl.
25/3/1421 H, No. 2106 tgl.
7/4/1421 H.
Para peminta fatwa telah
menanyakan beberapa
pertanyaan yang isinya:
“Pada akhir-akhir ini muncul
pemikiran Murji`ah dalam
bentuk yang menakutkan dan
telah tersusun banyak kitab guna
menyebarluaskan pemikirannya.
Mereka bersandar kepada
penukilan-penukilan yang
sepenggal-sepenggal dari ucapan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullahu yang
menyebabkan banyak manusia
terperangkap ke dalam istilah
penamaan iman, di mana
mereka yang menyebarkan
pemikiran ini berusaha untuk
mengeluarkan amal dari
penamaan iman. Mereka
berpendapat seseorang akan
selamat meskipun ia
meninggalkan semua amalan.
Termasuk perihal yang
memudahkan manusia jatuh ke
dalam kemungkaran, perkara
kesyirikan, perkara-perkara yang
membuat seseorang menjadi
murtad, jika mereka mengetahui
bahwa iman mereka tetap benar
walaupun tidak menunaikan
kewajiban dan tidak menjauhi
keharaman, walaupun mereka
tidak mengerjakan syariat agama.
Berdasarkan madzhab ini,
tidaklah diragukan lagi bahwa
madzhab ini sangat berbahaya
bagi masyarakat Islam dan bagi
perkara-perkara aqidah serta
ibadah.
Kami berharap kepada yang
mulia untuk menjelaskan hakikat
madzhab ini, pengaruhnya yang
jelek, menjelaskan al-haq, yang
dibangun di atas Al-Kitab dan
As-Sunnah, serta meluruskan
penukilan dari Syaikhul Islam
sehingga seorang muslim berada
di atas hujjah yang nyata dari
agamanya. Semoga Allah
Subhanahu wa Ta’ala
memberikan taufiq serta
meluruskan langkah-langkah
anda. Wassalamu’alaikum
warahmatullahi wabarakatuh.”
Setelah mempelajari permintaan
fatwa tersebut, Al-Lajnah
memberikan jawaban sebagai
berikut:

“Ucapan yang disebutkan ini
adalah ucapan Murjiah, yaitu
orang-orang yang mengeluarkan
(tidak menganggap) amalan-
amalan dari definisi iman.
Mereka berkata: ‘Iman itu
pembenaran dengan hati atau
pembenaran dengan hati dan
pengucapan dengan lisan saja’.
Adapun amal menurut mereka
hanya sebagai syarat
kesempurnaan iman dan bukan
termasuk keimanan. Barangsiapa
telah membenarkan dengan hati
dan mengucapkan dengan
lisannya, maka dia seorang
mukmin yang sempurna imannya
menurut mereka, walaupun
berbuat sekehendaknya berupa
meninggalkan kewajiban dan
mengerjakan perkara yang
haram. Seseorang berhak masuk
ke dalam jannah (surga)
walaupun belum pernah berbuat
kebaikan sama sekali.
Kesesatan tersebut membawa
konsekuensi yang batil. Di
antaranya, membatasi kekufuran
hanya kepada kufur takdzib
(mendustakan agama) dan
istihlal qalbi (menghalalkan apa
yang diharamkan).
Tidak diragukan lagi bahwa ini
adalah ucapan yang batil dan
kesesatan yang nyata, menyelisihi
Al-Kitab dan As-Sunnah dan
prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah
dahulu maupun sekarang.
Perkara ini sesungguhnya akan
membuka peluang bagi pelaku
keburukan dan kejahatan untuk
melepaskan diri dari agama dan
tidak merasa terkait dengan
perintah, larangan, rasa takut
dan khasyah kepada Allah
Subhanahu wa Ta'ala. Ia akan
menolak jihad fi sabilillah, amar
ma’ruf nahi munkar. Dia akan
menyamakan antara orang yang
shalih dengan orang yang jahat,
yang taat dengan yang
bermaksiat, yang istiqamah di
atas agama Allah Subhanahu wa
Ta’ala dengan orang fasiq yang
lepas dari perintah dan larangan
agama. Hal ini bila amalan-
amalan dianggap tidak
mengurangi iman sebagaimana
yang mereka ucapkan
(Murji`ah).
Oleh sebab itu para imam Islam
dahulu dan sekarang telah
menjelaskan tentang kebatilan
madzhab ini dan memberikan
bantahan terhadap pengikutnya.
Bahkan mereka membahas
perkara ini secara khusus,
terutama dalam kitab-kitab
aqidah. Mereka juga telah
menulis beberapa karangan
tersendiri sebagaimana yang
dilakukan oleh Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah rahimahullahu
dan selain beliau.
Syaikhul Islam di dalam
Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah
berkata, di antara prinsip Ahlus
Sunnah wal Jamaah adalah
bahwa agama dan iman ini
adalah ucapan dan amalan,
ucapan hati dan lisan, serta
amalan hati dan lisan dan
anggota badan. Iman itu
bertambah dengan ketaatan dan
berkurang dengan sebab
kemaksiatan.
Di dalam Kitabul Iman, beliau
berkata: “Dari bab inilah
pendapat-pendapat ulama Salaf
dan imam-imam Sunnah
membahas tentang tafsir
(pengertian) iman. Terkadang
mereka berkata iman adalah
‘ucapan dan amalan’, terkadang
mereka berkata iman adalah
‘ucapan amalan dan niat’;
terkadang mereka berkata
‘ucapan, amalan, niat, dan
mengikuti As-Sunnah’; terkadang
mereka mengatakan ‘ucapan
dengan lisan, keyakinan dengan
hati, dan amalan dengan
anggota badan.’ Semua itu
benar adanya.”
Beliau rahimahullahu berkata:
“Kaum Salaf sangat keras dalam
mengingkari Murji`ah tatkala
mereka mengeluarkan amalan
dari iman. Tidak diragukan
bahwa ucapan mereka dalam
menyamakan iman manusia
termasuk kesalahan yang paling
keji. Bahkan manusia tidak akan
sama derajatnya dalam at-
tashdiq (pembenaran), tidak pula
dalam hal cinta, khasyah,
maupun ilmu. Bahkan yang ada
ialah terjadinya perbedaan
dalam keutamaan ditinjau dari
berbagai sisi.”
Beliau rahimahullahu berkata:
“Sungguh Murji`ah telah
menyimpang dalam prinsip ini
dari penjelasan Al-Kitab, As-
Sunnah, ucapan para sahabat
dan tabi’in yang mengikuti
mereka dengan baik. Mereka
hanya bersandar kepada ra`yu
(akal pemikiran) mereka dan
apa-apa yang mereka takwilkan
berdasarkan pemahaman apa
yang mereka tafsirkan dari sisi
bahasa. Ini merupakan jalan
ahlul bid’ah.” Selesai (ucapan
beliau).
Di antara dalil yang
menyebutkan bahwa amalan
termasuk hakikat iman, dan
bahwa iman itu bertambah dan
berkurang adalah firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala dalam
Surat Al-Anfal ayat 2-4:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ
إِذَا ذُكِرَ اللهُ وَجِلَتْ
قُلُوْبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ
عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ
إِيْمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ
يَتَوَكَّلُوْنَ. الَّذِيْنَ
يُقِيْمُوْنَ الصَّلاَةَ وَمِمَّا
رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُوْنَ.
أُولَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُوْنَ
حَقًّا
“Sesungguhnya orang-orang
mukmin itu adalah orang yang
apabila disebut nama Allah
gemetarlah hati mereka, dan
apabila dibacakan kepada
mereka ayat-ayat-Nya
bertambahlah iman mereka, dan
mereka hanya bertawakal
kepada Rabbnya. Mereka itulah
orang-orang yang mendirikan
shalat dan yang menafkahkan
sebagian dari rizki-rizki yang
Kami berikan. Itulah orang-
orang yang beriman dengan
sebenarnya.”
Dan firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala dalam Surat Al-Mukminun
ayat 1-9:
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُوْنَ.
الَّذِيْنَ هُمْ فِي صَلاَتِهِمْ
خَاشِعُوْنَ. وَالَّذِيْنَ هُمْ
عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُوْنَ.
وَالَّذِيْنَ هُمْ لِلزَّكَاةِ
فَاعِلُوْنَ. وَالَّذِيْنَ هُمْ
لِفُرُوْجِهِمْ حَافِظُوْنَ. إِلاَّ
عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا
مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ
فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُوْمِيْنَ.
فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ
فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُوْنَ.
وَالَّذِيْنَ هُمْ لأَمَانَاتِهِمْ
وَعَهْدِهِمْ رَاعُوْنَ. وَالَّذِيْنَ
هُمْ عَلَى صَلَوَاتِهِمْ
يُحَافِظُوْنَ
“Sungguh telah beruntung
orang-orang yang beriman. Yaitu
orang-orang yang khusyu’ dalam
shalatnya. Orang-orang yang
menjauhkan diri dari perkataan
dan perbuatan yang tidak
berguna. Orang-orang yang
menunaikan zakat. Orang-orang
yang menjaga kemaluannya
kecuali terhadap isteri-isteri
mereka atau budak yang mereka
miliki. Maka sesungguhnya
mereka dalam hal ini tidak
tercela. Barangsiapa mencari
yang selain itu maka mereka
itulah orang-orang yang
melampaui batas. Dan orang-
orang yang memelihara amanat
yang dipikulnya dan janjinya,
serta orang-orang yang
memelihara shalatnya.”
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda:
اْلإِيْمَانُ بِضْعٌ
وَسَبْعُوْنَ شُعْبَةً، أَعْلاَهَا
قَوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ اْلأَذَى عَنِ
الطَّرِيْقِ، وَالْحَيَاءُ
شُعْبَةٌ مِنَ اْلإِيْمَانِ
“Iman itu ada 70 lebih cabang,
yang paling tinggi adalah ucapan
La ilaha illallah, dan yang paling
rendah adalah menyingkirkan
gangguan dari jalan. Dan malu
merupakan salah satu cabang
iman.”
Syaikhul Islam rahimahullahu
juga berkata di dalam Kitabul
Iman: “Dasar keimanan itu ada
di dalam hati yaitu ucapan hati
dan amalannya, yaitu pernyataan
pembenaran, cinta, dan
ketundukan. Apa yang ada
dalam hati pasti akan nampak
konsekuensinya pada anggota
badan. Jika ia tidak
mengamalkan konsekuensinya
berarti menunjukkan tidak
adanya iman tersebut atau
kelemahannya. Oleh karena itu,
amalan-amalan lahiriah
merupakan konsekuensi
keimanan hati. Dia merupakan
pembenaran terhadap apa yang
ada dalam hati dan sebagai bukti
serta saksi atas keimanan
tersebut. Dia merupakan cabang
dan bagian dari keimanan yang
mutlak.”
Beliau juga berkata: “Bahkan
setiap orang yang memerhatikan
ucapan Khawarij dan Murji`ah
tentang makna iman, pasti ia
akan mengetahui bahwa ucapan
tersebut menyelisihi Rasul
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dia
juga akan mengetahui dengan
pasti pula bahwa menaati Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-
Nya merupakan kesempurnaan
iman, dan tidaklah setiap pelaku
dosa dihukumi kafir. Dia juga
akan tahu seandainya
ditaqdirkan ada suatu kaum
yang berkata kepada Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam:
“Kami beriman kepada semua
yang engkau bawa dengan hati
kami tanpa ada keraguan. Kami
mengikrarkan dua kalimat
syahadat dengan lisan kami.
Hanya saja kami tidak akan
menaatimu dalam perkara
apapun, baik yang engkau
perintahkan atau yang engkau
larang. Kami tidak akan shalat,
puasa, haji, berkata jujur,
menunaikan amanah, memenuhi
janji, menyambung tali
persaudaraan. Kami tidak akan
melakukan sesuatupun dari
kebaikan yang engkau
perintahkan. Kami akan minum
khamr, menikahi mahram-
mahram kami dengan zina yang
nyata, membunuh sahabat dan
umatmu semampu kami. Dan
kami akan merampas harta
mereka, bahkan kami juga akan
membunuh dan memerangimu
bersama musuh-musuhmu.”
Apakah akan terbayang oleh
seorang yang berakal bahwa
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
berkata kepada mereka: “Kalian
adalah orang-orang yang
beriman dengan keimanan
sempurna. Kalian berhak
mendapatkan syafaatku pada
hari kiamat dan diharapkan tidak
ada seorang pun dari kalian
yang masuk an-naar (neraka)”?!
Bahkan setiap muslim pasti akan
mengetahui bahwa beliau akan
berkata kepada mereka: “Kalian
adalah manusia yang paling
mengingkari ajaran yang aku
bawa.” Beliau akan memenggal
leher mereka (membunuh) jika
mereka tidak bertaubat dari hal
tersebut.” Selesai ucapan beliau.
Beliau rahimahullahu juga
berkata: “Lafadz iman jika
disebutkan secara mutlak di
dalam Al-Qur`an dan As-
Sunnah maksudnya adalah sama
dengan maksud lafadz al-bir, at-
taqwa, ad-dien sebagaimana
penjelasan yang telah lalu.
Karena Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam menjelaskan bahwa
iman itu ada 70 lebih cabang.
Yang paling utama adalah Laa
ilaha illallah dan yang paling
rendah adalah menyingkirkan
gangguan dari jalan. Maka setiap
perkara yang dicintai Allah
Subhanahu wa Ta’ala masuk di
dalam nama iman. Begitu pula
lafadz al-bir, masuk di dalamnya
semua perkara itu tadi, jika
disebutkan secara mutlak.
Demikian pula lafadz at-taqwa,
ad-dien, atau dienul Islam.
Demikian pula telah diriwayatkan
bahwa mereka (para sahabat)
bertanya tentang iman, maka
Allah Subhanahu wa Ta’ala
menurunkan ayat:
لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا
وُجُوْهَكُمْ
“Bukanlah menghadapkan wajah
kalian ke arah timur dan barat
itu suatu kebaikan….”
Hingga Syaikhul Islam
rahimahullahu berkata: “Yang
dimaksud di sini, pujian itu tidak
akan ditetapkan kecuali
terhadap iman yang disertai
amal, bukan iman yang terlepas
dari amal.”
Inilah ucapan Syaikhul Islam
tentang iman dan barangsiapa
yang menukil dari beliau selain
itu maka ia telah berdusta atas
namanya. Adapun yang terdapat
dalam sebuah hadits, bahwa
suatu kaum masuk ke dalam
Jannah padahal mereka belum
pernah melakukan kebaikan
sama sekali, hadits itu tidaklah
berlaku secara umum kepada
setiap orang yang meninggalkan
amalan, padahal ia mampu
mengerjakannya.
Hadits ini khusus bagi mereka
disebabkan adanya sebuah
udzur, yaitu terhalangnya
mereka dari beramal atau
makna-makna lain yang sesuai
dengan nash-nash yang
muhkamat (yang jelas
maksudnya) dan yang disepakati
oleh salafus shalih dalam
permasalahan ini. Inilah (jawaban
kami).
Bila masalah itu sudah sangat
jelas, maka Al-Lajnah Ad-
Da`imah melarang dan
memperingatkan dari
perdebatan dalam ushul aqidah.
Karena hal itu dapat
mengakibatkan bencana yang
besar. Al-Lajnah mewasiatkan
agar merujuk kepada kitab-kitab
salafus shalih dan para
pemimpin agama, yang mana
berlandaskan kepada Al-
Qur`an, As-Sunnah dan
ucapan-ucapan salaf.
Al-Lajnah juga memperingatkan
dari merujuk kepada kitab-kitab
yang menyelisihi hal di atas dan
kitab-kitab baru yang muncul
dari orang-orang muta’alimin
(mengaku sebagai ulama) yang
tidak mengambil ilmu dari
ahlinya dan sumber-sumber
ahlinya. Mereka telah berani
berbicara dalam hal prinsip yang
agung dari sekian prinsip-prinsip
aqidah ini. Mereka membangun
madzhab Murji`ah dan
menisbahkannya dengan
penisbahan yang penuh
kezaliman kepada Ahlus Sunnah
wal Jamaah dan mengkaburkan
perkara tersebut kepada
manusia. Mereka memperkuat
pendapatnya dengan menukil
ucapan Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah dan imam-imam Salaf
yang lain dengan nukilan yang
terputus (sepenggal-sepenggal)
dan dengan ucapan-ucapan
yang mutasyabih (yang tidak
jelas), tanpa mengembalikannya
kepada ucapan-ucapan mereka
yang muhkam (yang jelas).
Al-Lajnah menasihati mereka
untuk bertakwa kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala atas diri
mereka, sadar kembali dan tidak
mencabik-cabik persatuan
dengan menyebarkan madzhab
yang sesat ini. Juga
mengingatkan agar kaum
muslimin jangan sampai tertipu
dan terjerumus, dengan ikut
serta masuk ke dalam kelompok
yang menyelisihi pijakan jamaah
kaum muslimin Ahlus Sunnah wa
Jamaah. Semoga Allah k
memberi taufiq kepada
semuanya menuju ilmu yang
bermanfaat, amal shalih, dan
pemahaman di dalam agama.
Semoga Allah Subhanahu wa
Ta’ala mencurahkan shalawat
dan salam kepada Nabi kita
Muhammad Shallallahu 'alaihi
wa sallam, keluarga serta
sahabat beliau seluruhnya.
Al-Lajnah Ad-Da`imah lil
Buhutsil Ilmiah wal Ifta`.
Ketua: Abdul Aziz bin Abdullah
bin Muhammad Alu Syaikh.
Anggota: Abdullah bin
Abdurrahman Al-Ghudyan,
Shalih bin Fauzan Al-Fauzan,
Bakr bin Abdillah Abu Zaid. (lihat
Al-Qaulul Mufid fi Adillatit
Tauhid, hal. 64-68)
Wallahu a‘lam bish-shawab.
1 Sebuah kalimat yang
diucapkan oleh orang Arab
secara dzahir makna, namun
tidak dikehendaki terjadinya.
Kalimat ini merupakan bentuk
pengajaran dan pengingat dari
sebuah kelalaian dan
kekaguman, serta pengagungan
terhadap suatu perkara. (pent.)
Hom
www.asysyariah.com/print.php?id_online=465

0 komentar:

Posting Komentar