Banner 468 X 60

Selasa, 14 September 2010

Siapakah Al Jibt dan Thaghut ?

Ustadz Abu Ubaidah Syafruddin


أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ
أُوتُوا نَصِيبًا مِنَ
الْكِتَابِ يُؤْمِنُونَ
بِالْجِبْتِ وَالطَّاغُوتِ
وَيَقُولُونَ لِلَّذِينَ
كَفَرُوا هَؤُلَاءِ أَهْدَى مِنَ
الَّذِينَ ءَامَنُوا سَبِيلًا.
أُولَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ
اللهُ وَمَنْ يَلْعَنِ اللهُ
فَلَنْ تَجِدَ لَهُ نَصِيرًا

“Apakah kamu tidak
memerhatikan orang-orang yang
diberi bagian dari Al-Kitab?
Mereka percaya kepada Al-Jibt
dan thaghut, serta mengatakan
kepada orang-orang kafir
(musyrik Makkah) bahwa mereka
itu lebih benar jalannya dari
orang-orang yang beriman.
Mereka itulah orang yang
dikutuk Allah, niscaya kamu
sekali-kali tidak akan
memperoleh penolong
baginya.” (An-Nisa’: 51-52)
Sebab Turunnya Ayat
Ibnu Jarir rahimahullahu
meriwayatkan (5/133):
Muhammad bin Al-Mutsanna
telah menceritakan kepada kami,
ia berkata: Ibnu Abi ‘Adi telah
menceritakan kepada kami, dari
Dawud, dari Ikrimah, dari Ibnu
Abbas radhiyallahu ‘anhuma,
beliau berkata: Ketika Ka’b bin
Asyraf tiba di Makkah, orang-
orang Quraisy berkata
kepadanya: “Engkau adalah
orang yang paling baik dari
penduduk Madinah dan pemuka
mereka.” Ia menjawab: “Ya
(betul)!” Mereka berkata:
“Maukah kamu melihat kepada
seorang shanbur1 yang terputus
dari kaumnya? Ia mengaku
bahwa dirinya lebih baik dari
kami. Sementara kami yang lebih
memerhatikan orang-orang yang
menunaikan haji, pengabdi
Ka’bah, dan memberi minum
(bagi orang-orang yang
menunaikan ibadah haji) setiap
zaman (terlebih pada musim
dingin saat paceklik).” Ia berkata:
“Kalian lebih baik daripada dia.”
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma berkata: “Maka
turunlah ayat:

إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ

“Sesungguhnya orang-orang
yang membencimu dia yang
terputus.” (Al-Kautsar: 3)
Turun juga ayat:

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ
أُوتُوا نَصِيبًا مِنَ
الْكِتَابِ يُؤْمِنُونَ
بِالْجِبْتِ وَالطَّاغُوتِ
وَيَقُولُونَ لِلَّذِينَ
كَفَرُوا هَؤُلَاءِ أَهْدَى مِنَ
الَّذِينَ ءَامَنُوا سَبِيلًا.
أُولَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ
اللهُ وَمَنْ يَلْعَنِ اللهُ
فَلَنْ تَجِدَ لَهُ نَصِيرًا

“Apakah kamu tidak
memerhatikan orang-orang yang
diberi bagian dari Al-Kitab?
Mereka percaya kepada jibt dan
thaghut serta mengatakan
kepada orang-orang kafir
(musyrik Makkah) bahwa mereka
itu lebih benar jalannya dari
orang-orang yang beriman.
Mereka itulah orang yang
dikutuk Allah, niscaya kamu
sekali-kali tidak akan
memperoleh penolong
baginya.” (An-Nisa: 51)
Hadits ini juga disebutkan oleh
Al-Hafizh Ibnu Katsir
rahimahullahu dalam Tafsirnya
(1/513). Beliau berkata: Al-Imam
Ahmad rahimahullahu berkata:
Muhammad bin Abi ‘Adi
menceritakan kepadaku…,
dengan sanad seperti di atas.
Ibnu Hibban rahimahullahu juga
meriwayatkan dalam kitab
Shahihnya, sebagaimana
terdapat dalam kitab Mawarid
Azh-Zham’an (hal. 428). Asy-
Syaikh Abu Abdirrahman Muqbil
bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullahu
berkata: “Semua perawinya
adalah para perawi shahih.
Hanya saja yang rajih (kuat)
bahwa (hadits ini) mursal
(ucapan Ibnu Abbas radhiyallahu
‘anhuma, pen.), sebagaimana
yang disebutkan dalam Takhrij
Tafsir Ibnu Katsir2.” (Lihat Ash-
Shahih Al-Musnad min Asbabin
Nuzul, Asy-Syaikh Abu
Abdirrahman Muqbil bin Hadi
Al-Wadi’i rahimahullahu, hal. 77)
Penjelasan Mufradat Ayat
أَلَمْ تَرَ
“Apakah kamu tidak
memerhatikan...” Sebagian
ulama ada yang memakai
kalimat ini dengan makna أَلَمْ
تَرَ بِقَلْبِكَ yakni أَلَمْ
تَعْلَمْ. Artinya, apakah kamu
tidak melihat (dengan
penglihatan hati/ilmu) dengan
membawa kepada makna ru’yah
qalbiyah atau ilmiyah.
Ada pula yang memaknai
النَّظَرُ (melihat dengan
penglihatan mata) dengan
membawa kepada makna ru’yah
bashariyah, sehingga artinya
apakah kamu tidak
memerhatikan (melihat dengan
mata).
Banyak para ulama tafsir yang
menguatkan makna pertama,
ru’yah qalbiyah atau ‘ilmiyah.
Karena orang-orang Arab
menempatkan kata الْعِلْمُ
(pengetahuan) pada makna
الرُّؤْيَةُ (penglihatan). Yakni
kata ‘melihat’ dimaknakan
dengan ‘mengetahui’. Demikian
pula sebaliknya, mereka
menempatkan kata الرُّؤْيَةُ
(penglihatan) pada makna
الْعِلْمُ. Yakni kata
‘mengetahui’ dimaknakan
dengan ‘melihat’. Seperti dalam
firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala (sebagai misal penglihatan
bermakna pengetahuan).

أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ
رَبُّكَ بِأَصْحَابِ الْفِيلِ

“Apakah kamu tidak
memerhatikan (dengan hati/
ilmu) bagaimana Rabb-Mu telah
bertindak kepada tentara
gajah.” (Al-Fiil: 1)
Adapun firman Allah Subhanahu
wa Ta’ala (sebagai misal
pengetahuan bermakna
penglihatan):

وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ
الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا إِلَّا
لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ
الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ
عَلَى عَقِبَيْهِ

“Dan Kami tidak menetapkan
kiblat yang menjadi kiblatmu
(sekarang) melainkan agar Kami
mengetahui (supaya nyata
terlihat) siapa yang mengikuti
Rasul dan siapa yang
membelot.” (Al-Baqarah: 143)
Kalimat ﭽ ﭾ ﭿ ﮀ ﮁ bermakna
إِلَّا لِنَرَى مَنْ يَتَّبِعُ
الرَّسُولَ, artinya: “Melainkan
agar Kami bisa melihat dengan
nyata siapa yang mengikuti
Rasul….” (Lihat Tafsir Ath-
Thabari, Al-Alusi)
Ada pula yang memaknakan
الرُّؤْيَةُ dalam ayat ini adalah
ru’yah bashariyah bermakna
melihat, dengan dalil bahwa
kalimat رَأَ ى di sini muta’addi
dengan huruf إِلَى sehingga
maknanya menjadi النَّظَرُ
(melihat dengan mata). (Lihat Al-
Jadid fi Syarhi Kitabit Tauhid,
karya Asy-Syaikh Muhammad Al-
Qar’awi rahimahullahu hal. 143,
Al-Qaulul Mufid karya Asy-
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-
Utsaimin rahimahullahu, 1/468)
Huruf hamzah istifham
(pertanyaan) dalam kalimat ﮍ ﮎ
ketika masuk/bergandeng
bersama huruf nafi لَمْ,
mengubah kalimat pertanyaan
yang ada menjadi kalimat
penetapan. Atau diistilahkan
oleh para ulama dengan istifham
lit taqrir atau lil ijab.
Kalimat أَلَمْ تَرَ dalam
bahasa Arab digunakan untuk
menyebutkan suatu perkara
yang mengherankan
(mengagumkan). Seperti
kekaguman Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
terhadap seorang yang bernama
Mujazziz Al-Mudliji. Dalam
sebuah hadits3, ‘Aisyah
radhiyallahu ‘anha berkata:
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam masuk ke rumahku dalam
keadaan wajah beliau berseri-seri
sambil terheran-heran. Beliau
berkata:

أَلَمْ تَرَيْ أَنَّ مُجَزِّزًا
الْمُدْلِجِيَّ دَخَلَ عَلَيَّ
فَرَأَى أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ
وَزَيْدًا وَعَلَيْهِمَا
قَطِيفَةٌ قَدْ غَطَّيَا
رُءُوسَهُمَا وَبَدَتْ
أَقْدَامُهُمَا فَقَالَ: إِنَّ هَذِهِ
الْأَقْدَامَ بَعْضُهَا مِنْ
بَعْضٍ

“Apakah kamu tidak
memerhatikan (dengan
penglihatan hati/ilmu) Mujazziz
Al-Mudliji (sambil terheran-
heran)? Dia baru saja masuk
rumah kemudian melihat
(menyaksikan) Zaid bin Haritsah
dan putranya Usamah bin Zaid
sedang berbaring tidur. Kepala
keduanya tertutupi oleh qathifah
(kain beludru), tetapi kaki-
kakinya terlihat. (Mereka berdua
tidur dengan satu selimut,
sementara kaki-kakinya
tersingkap. Zaid berkulit putih,
sedangkan Usamah berkulit
hitam, pen.) Kemudian Mujazziz
berkata: ‘Sesungguhnya kaki-kaki
ini sebagiannya adalah dari
sebagian yang lain (yakni ada
hubungan kerabat’.”
إِلَى الَّذِينَ أُوتُوا
“Orang-orang yang
didatangkan…,” maknanya yaitu
orang-orang yang diberi dan
tidak diberi seluruh Al-Kitab
(sebagian saja). Mereka
diharamkan (terhalangi)
mendapatkan seluruh kitab
karena kemaksiatan yang
mereka lakukan. (Al-Qaulul
Mufid, 1/468)
Mayoritas ulama ahli tafsir
menyebutkan bahwa yang
dimaksud dalam ayat ini adalah
sekumpulan ahlul kitab dari
kalangan Yahudi.
Abu Ja’far Ath-Thabari
rahimahullahu berkata:
“Mungkin juga mereka yang
dimaksud dalam ayat ini adalah
orang-orang yang disebut oleh
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma, seperti Huyai bin
Akhthab dan Ka’b bin Al-
Asyraf.”
Ibnu Katsir rahimahullahu
menyebutkan riwayat Ibnu
‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma
dari jalan ‘Ikrimah atau Sa’id bin
Jubair, maknanya bahwa mereka
Huyai bin Akhthab, Salam bin
Abil Haqiq, Abu Rafi’, Ar-Rabi’
bin Abil Haqiq, Abu ‘Amir,
Wahwah bin ‘Amir, Burdah bin
Qais. Wahwah, Abu ‘Amir, dan
Burdah berasal dari Bani Wail,
sedangkan yang lain semuanya
dari Bani Nadhir. (Ibnu Katsir,
1/486)
نَصِيبًا
“Bagian.”
Banyak ahli tafsir memaknai kata
ﯺ dalam ayat ini dengan nasib
atau bagian, seperti Ath-Thabari,
Al-Qurthubi, dan yang lain.
Sebagian ada yang memaknai
dengan makna بَعْضًا
(sebagian dari), seperti Al-Alusi.
مِنَ الْكِتَابِ
“dari Al-Kitab,” yaitu Taurat. Asy-
Syaikh Ibnu Utsaimin berkata:
“Al-Kitab di sini mencakup
Taurat dan Injil. Kalimat ﯹ ﯺ ﯻ
ﯼ , Allah Subhanahu wa Ta’ala
tidak menurunkan dengan
kalimat أُوتُوا الْكِتَابِ .
Karena diberi sebagiannya saja,
mereka tidak memiliki ilmu yang
sempurna terhadap apa yang
ada dalam Al-Kitab. (Al-Qaulul
Mufid 1/469)
يُؤْمِنُونَ
“Mereka percaya,” yaitu percaya
(beriman) kepada al-jibt dan
thaghut, kufur kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala, dalam
keadaan mereka mengetahui
bahwa beriman kepada
keduanya adalah kufur, percaya
kepada keduanya adalah syirik.
(Tafsir Ath-Thabari)
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin
rahimahullahu menerangkan:
“Maknanya adalah
membenarkan, menetapkan, dan
tidak mengingkarinya.”
بِالْجِبْتِ وَالطَّاغُوتِ
“Kepada al-jibt dan thaghut.”
Ada beberapa pendapat ulama
dalam memaknai kata al-jibt. Di
antaranya:

1. Al-Jibt adalah sihir. Ini adalah
pendapat Umar bin Al-
Khaththab, Ibnu ‘Abbas, Abul
Aliyah, Mujahid, ‘Atha, ‘Ikrimah,
Sa’id bin Jubair, Asy-Sya’bi, Al-
Hasan, Adh-Dhahak, dan As-
Suddi.

2. Al-Jibt adalah setan. Pendapat
ini juga dikemukakan oleh Ibnu
‘Abbas, Abul Aliyah, Mujahid,
Atha’, ‘Ikrimah, Sa’id bin Jubair,
Asy-Sya’bi, Al-Hasan, ‘Athiyyah,
dan Qatadah.

3. Al-Jibt adalah syirik. Pendapat
ini dinyatakan oleh Ibnu ‘Abbas
radhiyallahu ‘anhuma, menurut
bahasa orang Habasyah.

4. Al-Jibt adalah al-ashnam
(patung-patung). Pendapat ini
dikemukakan oleh Ibnu ‘Abbas
radhiyallahu ‘anhuma.

5. Al-Jibt adalah al-kahin
(dukun). Ini adalah pendapat
Asy-Sya’bi, Abul Aliyah,
Muhammad bin Sirin, dan
Makhul.

6. Al-Jibt adalah Huyai bin
Akhthab. Pendapat ini
dinyatakan oleh Ibnu ‘Abbas
radhiyallahu ‘anhuma.

7. Al-Jibt adalah Ka’b bin Al-
Asyraf. Pendapat ini dikatakan
oleh Mujahid.

8. Al-Jibt adalah suara (bisikan)
setan. Pendapat ini dilontarkan
oleh Al-Hasan.

9. Abu Nashr bin Ismail bin
Hammad Al-Jauhari dalam
kitabnya Ash-Shihah,
menyebutkan bahwa Al-Jibt
adalah suatu kalimat yang
dipakai untuk memaknai patung,
dukun, tukang sihir, dan yang
lainnya.

10. Al-Jibt adalah tukang sihir
(menurut bahasa Habasyah).
Pendapat ini dinyatakan Ibnu
Zaid, Sa’id bin Jubair, Abul
Aliyah, Ibnu Sirin, dan Makhul.

11. Al-Jibt adalah segala sesuatu
yang disembah selain Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Pendapat
ini dinyatakan oleh Al-Imam
Malik bin Anas.

Tentang kata thaghut, juga ada
beberapa pendapat:

1. Setan. Ini pendapat Umar bin
Al-Khaththab, Ibnu ‘Abbas, Abul
Aliyah, Atha’, Sa’id bin Jubair,
Asy-Sya’bi, Al-Hasan, Adh-
Dhahhak, As-Suddi, dan
‘Ikrimah.

2. Tandingan-tandingan selain
Allah Subhanahu wa Ta’ala,
berhala-berhala dan semua yang
setan menyeru (mengajak)
kepadanya.

3. Al-Kahin (dukun). Pendapat ini
dikemukakan oleh Mujahid, Sa’id
bin Jubair, Abul Aliyah, dan
Qatadah.

4. Ibnul Qayyim berkata:
“Thaghut adalah segala sesuatu
yang dengannya seorang hamba
melampaui batas, baik berupa
yang diibadahi, yang diikuti, atau
yang ditaati.”
Ahlul ilmi mengatakan bahwa
makna atau tafsir inilah yang
paling menyeluruh, sedangkan
penafsiran yang lain merupakan
tafsir misal (bentuk konkret yang
ada).
Ibnu Katsir rahimahullahu
menjelaskan: “Pendapat yang
memaknakan kata thaghut
dengan setan adalah pendapat
yang kuat sekali, karena
mencakup seluruh kejelekan dan
keburukan yang dahulu
dilakukan orang-orang jahiliah.
Seperti menyembah berhala,
mengadukan perkara kepadanya
(sebagai pemutus dan pengatur),
dan meminta tolong
kepadanya.” (Tafsir Ibnu Katsir,
1/294)
Al-Imam Al-Qurthubi
rahimahullahu berkata: “Yang
benar dari pendapat para ulama
tentang makna kata al-jibt dan
thaghut adalah membenarkan
(memercayai) dua perkara yang
diibadahi selain Allah Subhanahu
wa Ta’ala, menyembah
(beribadah kepada)nya, dan
menjadikan keduanya
sesembahan selain Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Karena al-
jibt dan thaghut adalah dua
nama yang diperuntukkan bagi
segala sesuatu yang dimuliakan
(diagungkan) selain Allah
Subhanahu wa Ta’ala, dengan
melakukan peribadatan
(menyembah), menaati, dan
tunduk (merendahkan dan
menghinakan diri) kepadanya,
apapun bentuknya. Baik berupa
batu, manusia, maupun setan.
Jika segala sesuatu tadi (batu dan
yang selainnya) diperlakukan
sedemikian rupa (disembah,
ditaati, dan seterusnya) maka
berhala-berhala yang dahulu
disembah orang-orang jahiliah
telah menjadi sesuatu yang
dimuliakan (diagungkan) dengan
melakukan ibadah kepada selain
Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dengannya, berhala-berhala itu
telah menjadi al-jibt dan thaghut.
Demikian pula setan yang
dahulu ditaati orang-orang kafir
dalam bermaksiat kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
Termasuk pula tukang sihir dan
dukun, yang ucapan keduanya
diterima (dipercaya) oleh orang-
orang yang menyekutukan Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
Sedangkan Huyai bin Akhthab
dan Ka’b bin Asyraf, keduanya
adalah orang yang berilmu dari
kalangan orang-orang Yahudi,
tetapi keduanya bermaksiat
kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala, kufur kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-
Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam
sehingga keduanya termasuk al-
jibt dan thaghut.

وَيَقُولُونَ لِلَّذِينَ
كَفَرُوا هَؤُلَاءِ أَهْدَى مِنَ
الَّذِينَ ءَامَنُوا سَبِيلًا .

“Dan mengatakan kepada
orang-orang kafir (musyrik
Makkah) bahwa mereka itu lebih
benar jalannya dari orang-orang
yang beriman.”
Al-Hafizh Ibnu Katsir
rahimahullahu berkata: “Mereka
mengutamakan orang-orang
kafir daripada orang-orang
muslim disebabkan kejahilan,
sedikitnya pemahaman terhadap
agama mereka, dan ingkarnya
mereka terhadap Kitabullah
(Taurat) yang ada pada mereka.
Misalnya seperti yang tersebut
dalam asbabun nuzul di
atas.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/486)

أُولَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ
اللهُ وَمَنْ يَلْعَنِ اللهُ
فَلَنْ تَجِدَ لَهُ نَصِيرًا

“Mereka itulah orang yang
dikutuk Allah, niscaya kamu
sekali-kali tidak akan
memperoleh penolong baginya.”
Al-Hafizh Ibnu Katsir
rahimahullahu berkata: “Inilah
laknat dari Allah Subhanahu wa
Ta’ala atas mereka, sekaligus
berita bahwa tidak ada penolong
bagi mereka baik di dunia
maupun di akhirat. Karena
mereka datang kepada kaum
musyrikin hanya untuk meminta
pertolongan. Mereka
mengatakannya kepada kaum
musyrikin, agar kaum musyrikin
condong kepada mereka dan
kemudian mau menolong
mereka. Hal itu telah dikabulkan
dan dibuktikan dengan
datangnya mereka bersama-
sama pada Perang Ahzab, hingga
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan para sahabatnya membuat
parit di sekitar Madinah.
Cukuplah hanya Allah
Subhanahu wa Ta’ala yang
menolak kejahatan mereka,
sebagaimana firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala:

وَرَدَّ اللهُ الَّذِينَ كَفَرُوا
بِغَيْظِهِمْ لَمْ يَنَالُوا
خَيْرًا وَكَفَى اللهُ
الْمُؤْمِنِينَ الْقِتَالَ وَكَانَ
اللهُ قَوِيًّا عَزِيزًا

“Dan Allah menghalau orang-
orang yang kafir itu yang
keadaan mereka penuh
kejengkelan, (lagi) mereka tidak
memperoleh keuntungan
apapun. Dan Allah
menghindarkan orang-orang
mukmin dari peperangan. Dan
adalah Allah Maha Kuat lagi
Maha Perkasa.” (Al-Ahzab: 25)
Makna dan Faedah Ayat
Asy-Syaikh Sa’di rahimahullahu,
setelah menyebutkan ayat di
atas, mengatakan: “Ini termasuk
di antara keburukan, kejelekan,
dan kedengkian orang-orang
Yahudi terhadap Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
kaum mukminin. Akhlak mereka
yang rendah dan tabiat yang
buruk, telah membawa mereka
untuk tidak beriman kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Mereka menggantinya
dengan beriman kepada al-jibt
dan thaghut, yaitu beriman
kepada segala bentuk
peribadatan selain Allah
Subhanahu wa Ta’ala, atau
berhukum dengan selain syariat
Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Termasuk dalam hal ini adalah
sihir dan perdukunan, beribadah
kepada selain Allah Subhanahu
wa Ta’ala, menaati (mengikuti)
setan. Semua ini termasuk
bagian dari al-jibt dan thaghut.
Demikian pula perbuatan
mereka berupa kekufuran,
kedengkian dengan
mengutamakan jalan yang
ditempuh oleh orang-orang yang
kufur kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala –para penyembah
berhala– di atas jalan yang
ditempuh orang-orang beriman,
dengan: mengatakan kepada
orang-orang kafir (musyrik
Makkah) bahwa mereka itu lebih
benar jalannya dari orang-orang
yang beriman. (Tafsir As-Sa’di
hal. 182)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullahu mengatakan:
“Banyak orang yang mengaku
Islam, berpaling dari (ajarannya)
hingga membuang jauh-jauh Al-
Qur’an di belakang punggung
mereka serta rela mengikuti apa
yang dibisikkan oleh setan. Ia
tidak mengagungkan perintah
Al-Qur’an dan larangan-Nya,
tidak berloyalitas kepada orang
yang diperintahkan Al-Qur’an
untuk berloyal kepadanya, dan
tidak memusuhi orang yang
diperintahkan Al-Qur’an untuk
memusuhinya. Bahkan dia
mengagungkan orang yang
mampu melakukan beberapa
perkara yang luar biasa.
Sebagian mereka ada yang tahu
bahwa perkara luar biasa itu
datangnya dari setan, tetapi
tetap mengagungkannya karena
dorongan hawa nafsu, hingga
dia mengutamakannya di atas
jalan (petunjuk) Al-Qur’an,
sebagaimana orang-orang kafir
(Yahudi). Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman tentang
mereka:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ
أُوتُوا نَصِيبًا مِنَ
الْكِتَابِ يُؤْمِنُونَ
بِالْجِبْتِ وَالطَّاغُوتِ
“Apakah kamu tidak
memerhatikan orang-orang yang
diberi bagian dari Al-Kitab?
Mereka percaya kepada Al-Jibt
dan thaghut.” (An-Nisa’: 51)
(Majmu’ Fatawa, Tafsir Surat An-
Nisa’)
Ayat ini termasuk ayat yang
pertama dicantumkan oleh
Syaikul Islam Muhammad bin
Abdul Wahhab rahimahullahu
dalam Kitabut Tauhid, pada bab
Ma Ja’a anna Ba’dha Hadzihil
Ummati Ya’budu Al-Autsan
(Penjelasan adanya sebagian
umat ini yang menyembah
berhala).
Asy-Syaikh Muhammad Al-
Qar’awi rahimahullahu berkata
dalam kitabnya Al-Jadid (hal.
143): “Pada ayat ini, Allah
Subhanahu wa Ta’ala
mengarahkan pandangan Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi
wa sallam secara khusus dan
kaum muslimin secara umum,
pada beberapa perbuatan
orang-orang Yahudi yang
menyimpang lagi mungkar. Yaitu
mereka memercayai
penyembahan berhala serta
mengedepankan peribadatan
tersebut di atas peribadatan
orang-orang mukmin terhadap
Rabb mereka, karena Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
para sahabatnya berada
padanya. Walaupun mereka
(orang-orang Yahudi)
mengetahui bahwa kitab mereka
yang dahulu (Taurat) telah
menerangkan, agama Islam lebih
utama daripada peribadatan
kepada berhala, bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam benar adanya, serta apa
yang dibawa adalah perkara
yang haq; akan tetapi sifat
dengki dan dendam
membutakan mereka serta
menghalangi untuk
mengucapkan kebenaran.
Mereka kemudian membuat tipu
daya dengan bermuka manis di
hadapan orang kafir dan
perbuatan mereka (peribadatan
kepada berhala). Namun Allah
Subhanahu wa Ta’ala enggan
(dengan semua itu) kecuali
untuk menyempurnakan cahaya-
Nya meskipun orang-orang kafir
tidak menyukai.”
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin
rahimahullahu berkata: “Alasan
Asy-Syaikh Muhammad memberi
judul dalam bab ini adalah untuk
membantah orang yang
mengatakan bahwa kesyirikan
tidak mungkin terjadi (dilakukan)
pada umat ini. Mereka
mengingkari bahwa peribadatan
kepada kuburan dan para wali
termasuk bagian dari syirik,
karena umat ini telah terjaga dari
kesyirikan berdasarkan hadits
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dari Jabir radhiyallahu
‘anhu:
إِنَّ الشَّيْطَانَ قَدْ أَيِسَ
أَنْ يَعْبُدَهُ الْمُصَلُّونَ
فِي جَزِيرَةِ الْعَرَبِ
وَلَكِنْ فِي التَّحْرِيشِ
بَيْنَهُمْ
“Sesungguhnya setan telah putus
asa dari disembah oleh orang-
orang yang shalat di jazirah
Arab, akan tetapi dengan
mengadu domba mereka.” (HR.
Muslim)
Terhadap syubhat ini beliau
menjawab: “Keputusasaan setan
pada suatu perkara yang telah
dikabarkan oleh Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam disebabkan
setan telah menyaksikan Fathul
Makkah dan masuknya manusia
berbondong-bondong ke dalam
agama Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Akan tetapi kenyataan
yang akan terjadi tidak
mengharuskan keadaannya
sesuai dengan apa yang disangka
oleh setan. Bahkan yang terjadi
bisa berbeda.” (Al-Qaulul Mufid,
1/467)
Asy-Syaikh As-Sa’di
rahimahullahu, setelah
menyebutkan judul yang
disebutkan Asy-Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab
rahimahullahu di atas,
menerangkan: “Maksud dari
judul ini adalah mengingatkan
dari kesyirikan dan
menumbuhkan rasa khawatir
terhadapnya, bahwa syirik
merupakan perkara yang pasti
terjadi pada umat ini, serta
sebagai bantahan terhadap
orang yang berpendapat bahwa
seseorang yang telah
mengucapkan kalimat Laa ilaha
illallah dan disebut sebagai
orang Islam, akan tetap
senantiasa tetap berada di atas
keislamannya walaupun
melakukan perbuatan yang
membatalkan keislamannya,
seperti beristighatsah (meminta
perlindungan/ keselamatan)
kepada penghuni kubur, berdoa
kepada mereka, serta menyebut
perbuatan itu sebagai tawassul
dan bukan ibadah. Ini adalah
perkara yang batil. Karena al-
watsan (berhala) adalah nama
yang mencakup seluruh perkara
yang disembah selain Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Tidak ada
bedanya antara pohon, batu,
maupun bangunan (seperti
kuburan, prasasti, dll, pen.).
Tidak ada bedanya pula apakah
yang dikultuskan itu nabi, orang-
orang shalih, atau orang-orang
yang buruk (jahat). Hal itu
tetaplah merupakan ibadah,
sedangkan ibadah hanyalah hak
Allah Subhanahu wa Ta’ala
semata. Maka barangsiapa
berdoa atau beribadah kepada
selain Allah Subhanahu wa
Ta’ala berarti ia telah menjadikan
(sesuatu yang diibadahi itu)
sebagai berhala dan
mengeluarkan dirinya dari
agama Islam, sehingga tidaklah
bermanfaat pengakuan bahwa
dirinya adalah muslim. Betapa
banyak orang musyrik yang
mengaku dirinya beragama
Islam. Begitu juga orang-orang
mulhid (atheis), kafir, dan
munafik. Karena yang teranggap
pada diri seseorang adalah ruh
agama dan hakikatnya
(bertauhid yang benar dan
beramal shalih), bukan sekadar
nama dan julukan yang tidak
ada hakikatnya.” (Al-Qaulus
Sadid, hal. 102-103)
Ayat di atas juga menunjukkan
bahwasanya ilmu terkadang
tidak memberikan manfaat bagi
pemiliknya dan tidak menjaganya
dari kesesatan. Adalah hal yang
mengherankan jika Allah
Subhanahu wa Ta’ala telah
memberikan kepada sebagian
hamba-Nya ilmu, namun justru
tidak memberikan manfaat
baginya. Maka ilmu itu (akan)
menjadi sesuatu yang akan
menghujat dirinya.
Di antara faedah ayat ini juga
adalah wajibnya
memperingatkan dan
menjauhkan (umat) dari al-jibt
dan thaghut dengan segala
bentuknya.
Faedah yang lain, bahwa
sebagian umat ini ada yang
percaya kepada al-jibt dan
thaghut, sebagaimana
disebutkan oleh Asy-Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab
rahimahullahu dalam salah satu
bab dalam Kitabut Tauhid.
Wallahu a‘lam bish-shawab.
1 Shanbur adalah seorang laki-
laki yang sendirian, lemah,
rendah, tidak punya keluarga
(ayah, ibu, kerabat), tidak punya
keturunan (cucu), tidak punya
penolong, dan sangat hina. (Al-
Qamus 2/73)
2 Isyarat kepada Takhrij Tafsir
Ibnu Katsir yang ditulis oleh Asy-
Syaikh Muqbil rahimahullahu
dan sebagian murid beliau.
Adapun yang pernah kami
jumpai baru sampai surat Al-
An’am, dan sudah dicetak.
Wallahu a’lam bish-shawab.
3 HR. Al-Bukhari (no. 3731, 6770,
6771, dengan Al-Fath 12/66-68),
Muslim (no. 1459, dengan Syarh
Shahih Muslim, 10/282-284).


www.majalahsyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=833

0 komentar:

Posting Komentar