Banner 468 X 60

Sabtu, 04 September 2010

Sejarah Hidup Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah

Ustadz Abu Muhammad Harits

Ahli bid’ah dan ahlul batil
senantiasa memiliki kepentingan
dan ambisi di bawah payung
kebid’ahan mereka. Setiap kali
muncul ulama As-Sunnah yang
menghadang mereka maka
runtuhlah kepentingan dan
ambisi tersebut. Sehingga
merekapun berusaha
menjauhkan kaum muslimin dari
ulama Ahlus Sunnah wal
Jamaah.
Sunnatullah sendiri berlaku pada
setiap hamba-Nya, Dia
menggilirkan kemenangan itu
bagi siapa yang dikehendaki-Nya.
Kadang Ahlus Sunnah wal
Jamaah yang berkuasa, kadang
ahli bid’ah dan sesat yang
menjajah.
Salah satu tanda kekuasaan dan
taufik Allah Subhanahu wa
Ta’ala adalah memunculkan di
tiap seratus tahun, tokoh yang
mengembalikan kemurnian
ajaran Islam ini bagi para
pemeluknya. Sebagaimana
dinyatakan oleh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِنَّ اللهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ
الْأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ
مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ
لَهَا دِينَهَا

“Sesungguhnya Allah
membangkitkan bagi umat ini, di
tiap ujung seratus tahun, orang
yang mengembalikan kemurnian
ajaran Islam ini bagi
pemeluknya.” (HR. Abu Dawud
no. 3740)
Di antara para mujaddid
(pembaru) tersebut adalah
Syaikhul Islam Taqiyyuddin Abul
‘Abbas Ahmad bin ‘Abdul Halim
bin ‘Abdus Salam bin ‘Abdullah
bin Al-Khadhir bin Muhammad
bin Al-Khadhir bin ‘Ali bin
‘Abdullah bin Taimiyah Al-
Harrani Ad-Dimasyqi Al-Hanbali.
Semoga Allah Subhanahu wa
Ta’ala melimpahkan rahmat-Nya
yang luas dan menempatkan
beliau di dalam surga-Nya.
Nasab dan Kelahiran
Beliau adalah Syaikhul Islam
Taqiyyuddin Abul ‘Abbas Ahmad
bin ‘Abdul Halim bin ‘Abdus
Salam bin ‘Abdullah bin Al-
Khadhir bin Muhammad bin Al-
Khadhir bin ‘Ali bin ‘Abdullah
bin Taimiyah Al-Harrani. Nasab
beliau berujung pada kabilah
‘Arab Qaisiyah dari Bani Numair
bin ‘Amir bin Sha’sha’ah dari
Qais ‘Ailan bin Mudhar. Adapula
yang mengatakan dari Bani
Sulaim bin Manshur dari Qais
‘Ailan bin Mudhar.1
Ulama besar, penghancur bid’ah,
mujaddid dan mujahid yang
agung ini -semoga Allah
Subhanahu wa Ta’ala merahmati
beliau- dilahirkan pada hari
Senin, tanggal 10 Rabi’ul Awwal
tahun 661 H di desa Harran,
sebuah desa yang terletak di
antara Syam (mencakup
Palestina, Suriah, Jordania, dan
Lebanon) dan Irak, sebelah
tenggara Turki sekarang. Beliau
lahir di saat mulai meletusnya
gelombang ekspansi bangsa
Mongol (Tartar) ke beberapa
wilayah sekitarnya termasuk
Timur Tengah. Bangsa ini, yang
disatukan kembali oleh Jenghis
Khan tidak hanya menjarah
daratan Cina, tapi juga
menyerang Timur Tengah
bahkan sampai ke seberang
lautan (sampai ke Indonesia).
Allah Subhanahu wa Ta’ala
betul-betul menguji umat ini
dengan memunculkan bangsa
ini. Mereka adalah para
penyembah berhala. Ibnul Atsir
rahimahullahu mengatakan:
“Mereka sujud kepada matahari
ketika dia terbit, tidak
mengharamkan apapun. Mereka
melahap semua binatang
termasuk anjing dan babi serta
yang lainnya. Tidak mengenal
nikah... dan seterusnya.” Tetapi
belakangan, banyak dari mereka
yang masuk Islam.
Di masa itu juga, perang salib
masih berlangsung. Sehingga
berbagai kejadian ini
menimbulkan pengaruh dan
menumbuhkan kecemburuan
luar biasa pada diri beliau.
Betapa menyedihkan melihat
bekas-bekas kehancuran akibat
serangan Tartar.
Syaikhul Islam lahir dan
dibesarkan dalam sebuah
keluarga mulia yang diberkahi.
Keluarga yang sarat dengan ilmu
dan keutamaan. Kakek beliau
Abul Barakat Majduddin adalah
seorang tokoh terkemuka di
kalangan mazhab Hanbali.
Ayahandanya, Syihabuddin
‘Abdul Halim termasuk tokoh
ulama pembawa petunjuk.
Seolah-olah Allah Subhanahu
wa Ta’ala telah mempersiapkan
kemuliaan beliau di dunia dan
akhirat.
Pada usia enam tahun, di saat
agresi Bangsa Tartar mulai terasa
di wilayah Timur Tengah, bahkan
sudah mendekati wilayah
Harran, beliau dibawa oleh
keluarganya pindah ke wilayah
Syam bersama saudara-
saudaranya yang lain. Mereka
berangkat di malam hari sambil
membawa buku-buku yang
diletakkan di atas gerobak
karena tidak mempunyai
kendaraan lain.
Dalam kondisi demikian, mereka
hampir tersusul oleh musuh.
Gerobakpun berhenti. Mereka
ber-ibtihal (berdoa), meminta
pertolongan (istighatsah) kepada
Allah Yang Maha Perkasa hingga
merekapun selamat dan lolos
dari kejaran musuh. Pada
pertengahan tahun 667 H,
tibalah mereka di Damaskus.
Mengapa beliau dikenal dengan
Ibnu Taimiyah?
Suatu ketika, kakek beliau
berangkat menunaikan ibadah
haji dalam keadaan istrinya yang
ditinggal sedang mengandung.
Setibanya di Taima’, sang kakek
melihat seorang bocah
perempuan keluar dari sebuah
tenda. Begitu tiba di Harran,
sepulangnya dari ibadah haji,
beliau mendapati istrinya telah
melahirkan seorang anak
perempuan. Ketika melihat bayi
tersebut, beliau berkata: “Wahai
Taimiyah, wahai Taimiyah.”
Akhirnya keluarga ini dikenal
dengan nama tersebut.
Penulis lain mengatakan bahwa
kakek beliau Muhammad bin Al-
Khadhir, ibunya bernama
Taimiyah, seorang wanita yang
suka memberi nasihat, sehingga
mereka dinisbahkan kepadanya.
Akhlak dan Kepribadiannya
Syaikhul Islam Taqiyyuddin Ibnu
Taimiyah rahimahullahu, tumbuh
dalam pengawasan sempurna,
sikap ‘iffah (menjaga
kehormatan), ketergantungan
dan pengabdian kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
Sederhana dalam berpakaian
dan makanan.
Kulitnya putih, dengan rambut
dan janggut hitam serta sedikit
beruban. Rambut beliau sampai
menyentuh ujung telinga beliau.
Kedua matanya bersinar-sinar
seolah-olah dua buah lisan yang
sedang berbicara. Perawakannya
sedang, dadanya bidang.
Suaranya besar, fasih, sangat
cepat membaca dan tajam, tapi
beliau tekan dengan sifat santun
yang dimilikinya.
Keutamaannya sudah tampak
sejak kecilnya. Diceritakan oleh
Al-Bazzar dalam A’lamul
‘Aliyyah, setiap kali hendak
menuju tempat belajarnya, Ibnu
Taimiyah dihadang oleh seorang
Yahudi dengan sejumlah
pertanyaan karena melihat
kecerdasannya yang luar biasa.
Semua pertanyaan itu dijawab
dengan cepat oleh Ibnu
Taimiyah. Bahkan beliau
menjelaskan kepada Yahudi itu
kebatilan yang diyakininya
selama ini. Tidak lama setelah
mendengarkan keterangan dari
beliau setiap kali mereka
bertemu, Yahudi itupun masuk
Islam dan baik Islamnya.
Seiring dengan kemasyhuran
beliau dalam ilmu dan fiqih,
amar ma’ruf nahi munkar, Allah
Subhanahu wa Ta’ala
anugerahkan pula kepada beliau
berbagai perilaku yang terpuji,
hingga beliau dikenal bahkan
dipersaksikan oleh manusia
tentang keadaan ini.
Di rumah, beliau sangat santun.
Ash-Shafadi mengisahkan dalam
Al-Wafi bil Wafayat (2/375):
“Diceritakan kepadaku, bahwa
ibunda Syaikhul Islam pernah
memasak makanan sejenis labu
tetapi rasanya pahit. Mulanya
dicicipi oleh ibunda beliau. Ketika
merasakan pahitnya, dia
meninggalkan makanan itu
sebagaimana adanya. Suatu
ketika, Syaikhul Islam
menanyakan adakah sesuatu
yang dapat dimakan? Ibunya
menceritakan bahwa tadi dia
memasak makanan tetapi
rasanya pahit. Syaikhul Islam
menanyakan letak makanan itu.
Sang ibu menunjukkan
tempatnya dan beliaupun duduk
menyantap makanan itu sampai
kenyang, tanpa mencelanya
sedikitpun.”
Demikianlah tuntunan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
sebagaimana diriwayatkan oleh
Al-Bukhari dan Muslim dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia
berkata:

مَا عَابَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَعَامًا
قَطُّ، إِنِ اشْتَهَاهُ أَكَلَهُ
وَإِلاَّ تَرَكَهُ

“Tidaklah pernah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mencela satu makanan sama
sekali. Kalau beliau suka, beliau
menyantapnya dan bila tidak,
beliaupun meninggalkannya.”
Keadaan-keadaan di mana
Syaikhul Islam hidup di
dalamnya, membuktikan bahwa
beliau senantiasa dalam keadaan
berhias dengan keyakinan dan
musyahadah yang
menumbuhkan rasa sangat
butuh, terjepit, penghambaan,
dan inabah (senantiasa kembali).
Diceritakan oleh Ibnu ‘Abdil
Hadi, bahwasanya pernah Ibnu
Taimiyah mengalami kesulitan
dalam sebuah masalah, atau sulit
memahami satu ayat. Beliau lalu
datang ke sebuah tempat yang
sepi di masjid, lalu mencecahkan
keningnya di atas tanah (sujud)
seraya berdoa kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala berulang-
ulang: “Wahai (Allah) Yang
Mengajari Ibrahim, pahamkanlah
diriku.”
Syaikhul Islam juga pernah
menceritakan: “Sungguh, pernah
ada sebuah masalah atau
keadaan yang mengganggu
pikiran saya. Lalu saya istighfar
(memohon ampun) kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala lebih
kurang seribu kali, hingga dada
saya terasa lapang dan lenyaplah
problem yang saya hadapi.”
Hal ini beliau lakukan di pasar,
masjid, ataupun madrasah.
Beliau memiliki keistimewaan
sendiri dalam beribadah kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ketika malam sudah mulai larut,
beliau menyendiri, berduaan
dengan Rabbnya k dengan
penuh ketundukan. Tubuhnya
bergetar ke kiri dan ke kanan
jika mulai tenggelam dalam
shalatnya. Apabila selesai shalat
fajar, beliau duduk sampai
matahari naik tinggi, dan
mengatakan: “Inilah sarapan
pagiku. Kalau aku tidak
menyantapnya, hilanglah
kekuatanku.”
Kezuhudan dan kerendahan
hatinya luar biasa. Beliau selalu
mengulang-ulang ucapannya:
“Saya tidak punya apa-apa.
Tidak ada sesuatu yang berasal
dari saya. Dan tidak ada apa-apa
pada diri saya.”
Jika ada yang memuji beliau di
hadapannya, beliau hanya
mengatakan: “Demi Allah, saya
sampai saat ini masih terus
memperbarui keislaman saya,
setiap waktu. Dan saya merasa
belum pernah masuk Islam
sebelum ini dengan keislaman
yang baik.”
Beliau selalu mengatakan:
Aku hanyalah pengemis, putra
pengemis,
demikianlah ayah dan kakekku
Ibnul Qayyim rahimahullahu
menukil sebuah ucapan beliau
tentang ketakwaan: “Orang yang
arif (bijak), tidak akan
memandang dia punya hak yang
harus dipenuhi orang lain. Tidak
pula mempersaksikan
keutamaan dirinya atas orang
lain. Karena itulah dia tidak
pernah mencela, menuntut, dan
tidak pula memukul.”
Pernah suatu kali beliau diisukan
akan merebut kekuasaan Raja
Nashir. Ketika dipanggil di
hadapan orang banyak, beliau
ditanya oleh Raja Nashir: “Aku
dengar orang banyak
menaatimu, dan engkau sedang
memikirkan rencana untuk
menguasai kerajaan ini?”
Mendengar hal ini, dengan suara
lantang dan didengar seluruh
yang hadir ketika itu Syaikhul
Islam berkata: “Saya melakukan
hal itu? Demi Allah. Sungguh,
kerajaan anda dan kerajaan
Moghul (Tartar) tak ada nilainya
sepeserpun bagi saya.”2
Ibnu Katsir rahimahullahu, salah
seorang murid yang mencintai
beliau, menceritakan:
Baginda Sultan An-Nashir Al-
Qalawun (wafat 741 H), ketika
kembali ke kerajaannya untuk
kedua kalinya, keinginan kuatnya
yang pertama adalah bertemu
dan melihat Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullahu.
Setelah keduanya bertemu,
mereka berpelukan, kemudian
berbincang-bincang. Di antara
pembicaraan mereka, Sultan An-
Nashir meminta Syaikhul Islam
mengeluarkan fatwa agar dia
menangkap dan menghukum
mati beberapa orang qadhi
(hakim) yang pernah menjelek-
jelekkan Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah. Bahkan Sultan An-
Nashir mendesak beliau
mengeluarkan fatwa itu.
Hal itu karena Sultan sangat
marah kepada mereka yang
menggulingkannya serta
membai’at Al-Jasyinkir. Setelah
berhasil membunuh Al-Jasyinkir
dan menumpas beberapa tokoh
yang terlibat, termasuk Nashr Al-
Munbaji, Sultan bertekad
menangkap pula beberapa qadhi
dan ahli fiqih yang loyal kepada
Al-Jasyinkir, yang beberapa kali
mengeluarkan fatwa untuk
membunuh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah.
Bagi Sultan, ini merupakan
kesempatan melampiaskan
kejengkelannya kepada mereka.
Tetapi, Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah sangat tanggap. Beliau
justru memberikan
penghormatan besar kepada
para qadhi dan ulama tersebut.
Beliau jelaskan kepada sultan
tentang kedudukan dan
keutamaan mereka. Bahkan
beliau mengingkari munculnya
ucapan-ucapan buruk terhadap
mereka. Kata beliau kepada
Sultan: “Jika Baginda membunuh
mereka ini, niscaya Baginda tidak
akan menemukan lagi sesudah
mereka, tokoh-tokoh seperti
mereka. Adapun mereka yang
menyakiti saya, maka dia halal
(tidak saya tuntut apapun, ed.),
dan saya tidak akan berusaha
mencari pembelaan untuk diri
saya.”
Demikianlah sikap seorang
muwahhid, dalam prinsip al-
wala’ wal bara’ (cinta dan benci).
Semua sikap al-wala’ dan al-
bara’ ini hanya berhak ditujukan
kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Tidak
sepantasnya seseorang mengikat
prinsip ini untuk kepentingan
dirinya, tokoh atau kelompoknya
semata.
Diceritakan pula oleh Ibnu ‘Abdil
Hadi, ketika Syaikhul Islam di
Mesir dan disakiti oleh musuh-
musuhnya, datanglah sepasukan
orang-orang Al-Husainiyah.
Mereka meminta izin beliau
untuk menangkap dan
membunuh orang-orang yang
menyakiti beliau. Kalau perlu
dan diizinkan, mereka siap
meratakan negeri Mesir dengan
tanah.
Tapi Syaikhul Islam menjelaskan
bahwa hal itu tidak halal.
Mereka membantah: “Apakah
yang dilakukan mereka terhadap
engkau itu halal?”
Syaikhul Islam menegaskan
bahwa dia tidak akan berupaya
mencari pembelaan untuk
pribadinya.
Perhatikan pula perkataan Ibnu
Makhluf, seorang qadhi
Malikiyah, salah seorang seteru
beliau, yang pernah
memerintahkan agar Syaikhul
Islam dipenjara: “Semoga Allah
Subhanahu wa Ta’ala merahmati
Ibnu Taimiyah. Di saat dia
berkuasa terhadap kami, dia
justru melimpahkan kebaikan.
Sedangkan kami, ketika kami
berkuasa terhadapnya, kami
justru berbuat jelek serta
melakukan makar terhadapnya.”
Kehidupan Ilmiah
Hari-hari beliau sarat dengan
ilmu. Belajar dan mengajar dari
satu majelis ke majelis lainnya
sampai di dalam penjara. Fatwa-
fatwa dan risalah beliau selalu
diharapkan meskipun beliau
mendekam dalam penjara.
Sejak kecil sudah nampak
kesungguhannya dalam belajar.
Terlebih lagi Allah Subhanahu
wa Ta’ala menganugerahkan
kepadanya kekuatan hafalan
dan sifat sulit lupa. Sehingga apa
yang dibacanya sekali sudah
terpatri dalam ingatannya, baik
lafadz maupun maknanya.
Al-Imam Abu Thahir As-Sarmari
menyebutkan dalam majelis
ke-67 dari majelis imlaknya
tentang dzikir dan al-hifzh: “Di
antara keajaiban-keajaiban
kekuatan hafalan (hifzh) di
zaman kita ini adalah Syaikhul
Islam Abul ‘Abbas Ahmad bin
‘Abdul Halim Ibnu Taimiyah.
Karena beliau pernah melihat
sebuah kitab lalu membacanya
satu kali, saat itu juga isi kitab itu
telah tercetak di dalam
benaknya. Kemudian dia
mengulang-ulang dan
menukilnya dalam tulisan-
tulisannya secara tekstual atau
makna.
Bahkan lebih menakjubkan lagi
yang pernah saya dengar
tentang beliau adalah kisah yang
diceritakan sebagian sahabatnya
ketika beliau masih anak-anak.
Ayahnya ingin membawa anak-
anaknya rekreasi ke sebuah
taman, lalu beliaupun berkata
kepada Syaikhul Islam: ‘Hai
Ahmad, engkau berangkat
bersama saudara-saudaramu
untuk bersantai.’ Tapi Ibnu
Taimiyah memberi alasan kepada
ayahandanya, sedangkan ayah
beliau terus mendesak. Syaikhul
Islam tetap menolak: ‘Saya ingin
ayah memaafkan saya untuk
tidak keluar.’
Akhirnya sang ayah
meninggalkannya dan berangkat
bersama saudara-saudara beliau
yang lain. Mereka menghabiskan
hari itu di taman tersebut, dan
kembali menjelang sore.
Setelah tiba di rumah, sang ayah
berkata: ‘Hai Ahmad, engkau
telah membuat saudaramu
kesepian dan menodai
kegembiraan mereka dengan
ketidakhadiranmu bersama
mereka. Mengapa?’
Beliau menjawab: ‘Wahai
ayahanda, sesungguhnya hari ini
tadi, ananda sudah menghafal
kitab ini.’ Beliau menunjukkan
sebuah kitab di tangan beliau.
Sang ayah terkejut, kagum dan
tidak percaya: ‘Engkau sudah
menghafalnya?’ Lalu beliau
berkata kepada Syaikhul Islam:
‘Bacakan kitab itu kepadaku.’
Syaikhul Islam membacakannya,
dan ternyata beliau memang
telah menghafal isi kitab itu
seluruhnya. Sang ayah segera
mendekap dan mencium
keningnya seraya berkata:
‘Wahai anakku, jangan engkau
ceritakan kepada siapapun apa
yang telah kau lakukan.’
Demikian katanya karena
khawatir ‘ain (mata hasad)
menimpa putranya tersebut.”
Ibnu ‘Abdil Hadi menyebutkan
pula, ada seorang syaikh dari
Halab datang ke Damaskus dan
mendengar berita tentang
seorang anak yang sangat cepat
hafalannya bernama Ahmad bin
Taimiyah. Dia ingin melihat anak
tersebut. Setelah ditunjukkan
jalan yang biasa dilalui Ibnu
Taimiyah ke tempat belajarnya,
syaikh itupun duduk menanti.
Tak lama kemudian, datanglah
Ibnu Taimiyah membawa batu
tulis besar. Syaikh itu
memanggilnya dan melihat batu
tulis itu lalu meminta agar Ibnu
Taimiyah menghapus tulisan
yang ada kemudian menuliskan
apa yang didiktekannya.
Ada belasan hadits yang
didiktekan, kemudian syaikh itu
memerintahkan beliau
membacanya lalu menyetorkan
apa yang dibacanya tadi.
Syaikhul Islam segera
menyetorkannya kepada syaikh
itu apa yang dibacanya dari batu
tulis itu.
Kemudian syaikh itu
mendiktekan beberapa sanad
lalu memerintahkan beliau
membacanya. Setelah itu syaikh
itu memerintahkannya agar
menyetorkan apa yang
dibacanya di atas batu tulis itu.
Setelah itu, syaikh tadi bangkit
berdiri dan mengatakan bahwa
kalau anak ini panjang umur,
urusannya sangat besar di masa
mendatang. Karena belum
pernah ada yang seperti dia
kekuatan hafalannya.
Guru dan Murid Beliau
Dalam usia masih belia, beliau
sudah belajar dari beberapa
orang guru ternama. Di antara
mereka adalah ‘Abdud Da’im,
Al-Qasim Al-Irbili, Al-Muslim bin
‘Allan, Zainuddin Ibnul Munja,
Al-Majd Ibnu ‘Asakir, dan Ibnu
Abi ‘Umar serta para syaikh
lainnya yang hampir 200 orang
jumlahnya. Murid-murid
beliaupun bertebaran, bahkan
sebagian mereka telah sampai
pada tingkatan mujtahid.
Di antara murid beliau yang
paling terkenal dan paling
banyak mewarisi ilmu beliau
adalah Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
rahimahullahu.
Ibnu Hajar Al-‘Asqalani
rahimahullahu mengatakan:
“Seandainya Syaikh Taqiyuddin
tidak mempunyai keutamaan lain
selain hanya meluluskan seorang
murid yang terkenal seperti Asy-
Syaikh Syamsuddin Ibnu Qayyim
Al-Jauziyah –pengarang
beberapa karya besar yang
diambil manfaatnya oleh
pendukung dan musuh beliau–,
itu saja sudah cukup kuat
sebagai bukti nyata betapa
agung kedudukan beliau (Ibnu
Taimiyah).”
Murid beliau lainnya adalah Ibnu
Katsir rahimahullahu, penyusun
tafsir yang menjadi salah satu
rujukan kaum muslimin. Setelah
wafatnya, Ibnu Katsir
dimakamkan di samping kuburan
guru yang dicintainya, Ibnu
Taimiyah di pemakaman
Shufiyah.
Murid beliau yang juga terkenal
adalah Adz-Dzahabi, penyusun
Tarikh Islam, dan kitab-kitab rijal
di antaranya Siyar A’lamin
Nubala’, Mizanul I’tidal, dan lain-
lain. Ibnu Hajar Al-‘Asqalani
rahimahullahu penulis Fathul
Bari Syarh Shahih Al-Bukhari
pernah berdoa kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala sambil
minum zamzam di dekat
Baitullah (Ka’bah) agar diberi
anugerah kemampuan membaca
yang luas (istiqra’ tam) seperti
yang Allah Subhanahu wa Ta’ala
beri kepada Al-Imam Adz-
Dzahabi.
Ilmu itu seolah-olah menyatu
dengan darah dan daging beliau.
Al-Imam Al-Bazzar
rahimahullahu menceritakan dari
Asy-Syaikh Tajuddin Muhammad
yang dikenal dengan Ibnu Ad-
Dauri rahimahullahu, dia pernah
menghadiri majelis Ibnu Taimiyah
yang ketika itu ditanya oleh
seorang Yahudi tentang masalah
al-qadar (taqdir) dalam bentuk
beberapa bait syair.
Setelah mendengar syair-syair
itu, Syaikhul Islam berpikir
sejenak, lalu mulai menulis
jawabannya. Kami mengira
beliau menulis jawaban dalam
bentuk uraian biasa. Ternyata
jawaban beliau juga dalam
bentuk syair, lebih kurang 100
bait, yang seandainya disyarah
(ditafsirkan, diuraikan) tentu
akan menjadi dua jilid kitab yang
besar.
Majelis beliau termasuk majelis
yang diberkahi. Al-Bazzar
menyebutkan, setiap kali beliau
menyebut nama Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
beliau tidak lupa mengucapkan
shalawat dan salam untuk
beliau. Ibnu Taimiyah sangat
mengagungkan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hampir tidak ada yang lebih
mengagungkan dan lebih
semangat mengikuti Sunnah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam daripada Ibnu Taimiyah.
Selesai mengajar, beliau
membuka matanya dan
menghadapi hadirin dengan
wajah yang berseri-seri.
Senin, tanggal 2 Muharram
tahun 683 H, Asy-Syaikh Al-
Imam Al-‘Allamah Taqiyyuddin
Abul ‘Abbas Ahmad bin ‘Abdul
Halim bin ‘Abdus Salam Ibnu
Taimiyah Al-Harrani mulai
memberi pelajaran di Darul
Hadits As-Sukkariyah di
Qashsha’in. Majelis tersebut
dihadiri pula oleh Baha’uddin
Yusuf bin Az-Zaki Asy-Syafi’i,
Tajuddin Al-Fazari Syaikh Asy-
Syafi’iyah, Asy-Syaikh Zainuddin
bin Al-Marhal, dan Asy-Syaikh
Zainuddin Al-Munja Al-Hanbali.
Sedangkan materi yang dipelajari
adalah masalah yang cukup
ramai dibahas, yaitu tentang
basmalah.
Asy-Syaikh Taqiyyuddin Al-Fazari
menyebutkan uraian itu melalui
tulisannya karena faedahnya
yang begitu melimpah. Demikian
pula halnya dengan persoalan-
persoalan lain yang dianggap
baik oleh para peserta yang
hadir. Padahal, usia beliau ketika
itu baru 22 tahun.
Pada tahun 755 H, beliau
memberi pelajaran di madrasah
Al-Hanbaliyah, menggantikan
Asy-Syaikh Zainuddin Ibnul
Munja, salah seorang ulama
mazhab Hanbali yang telah
wafat.
Belajar dan mengajar ini tidak
pernah beliau hentikan
meskipun dalam penjara.
Pengarang Al-Kawakibud
Durriyah menceritakan, bahwa
ketika Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah ditangkap lalu
dipenjara, beliau menampakkan
kegembiraan dan memang itulah
yang dia nantikan.
Di dalam penjara, situasi penjara
berubah menjadi majelis ilmu,
ibadah dan berbagai kebaikan.
Hingga akhirnya, para
narapidana yang selesai
menjalani masa hukumannya
dan keluar, lebih memilih tinggal
bersama beliau untuk
mendapatkan faedah.
Wallahu ta’ala a’lam bish-
shawab.
1 Lihat Jamharah Ansabil ‘Arab
karya Ibnu Hazm rahimahullahu
hal 275. Lihat At-Tibyan Syarh
Badi’atil Bayan karya Ibnu Nashir
(Program Syamilah).


www.majalahsyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=741

0 komentar:

Posting Komentar