Banner 468 X 60

Sabtu, 04 September 2010

Hidup Bersama Pasangan Yang Tidak Shalat

Istri saya tidak menunaikan
shalat, puasa, dan kewajiban-
kewajiban agama yang lain,
demikian pula kewajibannya
sebagai istri. Namun saya terus-
menerus memberikan
pengajaran kepadanya, hanya
saja ia tetap tidak mengerjakan
shalat lima waktu seluruhnya,
bahkan sering meninggalkannya.
Ia mengolok-olok saya ketika
saya mengajarinya atau
menyuruhnya shalat. Lalu apa
hukumnya terus hidup
bersamanya, sementara sulit
untuk menikah dengan wanita
lainnya yang shalihah,
disebabkan mahar yang mahal
dan sungguh ini menjadi
penghalang besar dalam
pernikahan?

Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Shalih ibnu
Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah
menjawab, “Tidak boleh terus
hidup bersama dengan wanita
yang demikian sifatnya, ia
mengolok-olok shalat,
menertawakan orang yang
menyuruhnya shalat, dan ia
(sendiri) meninggalkan shalat.
Wanita seperti itu kafir yang
berarti tidak boleh hidup
bersamanya, berdasarkan firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَلَا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ
الْكَوَافِرِ

“Dan janganlah kalian tetap
berpegang pada tali
(perkawinan) dengan wanita-
wanita kafir.” (Al-Mumtahanah:
10)

وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ
حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ
مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ
وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ

“Dan janganlah kalian menikahi
wanita-wanita musyrik sampai
mereka mau beriman.
Sesungguhnya budak wanita
yang beriman lebih baik
daripada wanita musyrik
walaupun dia menarik
hatimu.” (Al-Baqarah: 221)
Wanita tersebut kafir selama ia
tidak mengerjakan shalat,
bahkan mengejek shalat berikut
orang yang menyuruhnya shalat.
Karenanya, tidak boleh engkau
hidup bersamanya.
Adapun ucapanmu, sulit untuk
menikah lagi, maka Allah
Subhanahu wa Ta’ala akan
memudahkan hal-hal yang baik.
Barangsiapa yang meninggalkan
sesuatu karena Allah, niscaya
Allah Subhanahu wa Ta’ala akan
menggantikan yang lebih baik
untuknya.
Kesimpulannya, tidak boleh
seorang suami terus hidup
bersama dengan istri yang
demikian keadaannya, selama ia
tidak mau bertaubat kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
menjaga shalat. Wanita seperti
itu tidak boleh menjadi istri
seorang muslim dan tidak boleh
seorang muslim terus
menahannya dalam ikatan
pernikahan.” (Majmu’ Fatawa
Fadhilatusy Syaikh Shalih Al
Fauzan, 1/337)


Seorang wanita muslimah
menikah dengan seorang lelaki
yang sebelumnya tidak
dikenalnya. Lelaki itu bekerja di
Jerman. Ia meminta kepada ayah
si wanita agar memperkenankan
dirinya menikahi si wanita. Si
wanita itu pun menyetujui
pinangan tersebut. Usai
pernikahan, si wanita ikut ke
Jerman bersama lelaki yang kini
telah menjadi suaminya. Setelah
hidup berdampingan dengan
suaminya, tersingkaplah bagi si
istri bahwa suaminya ini tidak
mengerjakan shalat dan tidak
puasa. Bahkan pernah suaminya
memaksanya agar memasakkan
makanan untuknya di siang hari
Ramadhan. Selain itu si suami
terbiasa mengerjakan perbuatan
mungkar lainnya. Si istri telah
berupaya untuk memperbaiki
keadaan suaminya akan tetapi
tidak ada pengaruhnya. Itu
semua mendorong si istri
menuntut cerai dari suaminya
dan pada akhirnya terjadilah
perceraian. Apakah si wanita itu
memang pantas menuntut cerai
dari suami yang berperilaku
demikian?
Kemudian, setelah perceraian si
wanita pergi ke Belgia bersama
beberapa tetangganya dahulu. Ia
bekerja di Belgia untuk
menghidupi dirinya dan ayahnya
yang fakir. Ia tinggal sendirian
bersama satu keluarga di sana.
Ia cuma tinggal serumah dengan
mereka. Adapun makan dan
tidurnya sendirian, tidak
bergabung dengan mereka.
Keluarga tersebut memberikan
kebebasan kepadanya untuk
mengamalkan perintah agama
berupa shalat, puasa, dan
selainnya. Apakah tinggalnya si
wanita seorang diri di negeri
asing bersama satu keluarga di
sana teranggap menyelisihi
agama?

Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Shalih ibnu
Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah
menjawab, “Pertama kali, kami
bersyukur wahai penanya,
dengan berpegangnya engkau
terhadap agama ini serta
semangatmu untuk
melaksanakan syiar-syiar agama
ini.
Adapun pertanyaanmu tentang
perceraianmu dengan suami
ketika engkau melihat ia tidak
berpegang dengan agama, ia
tidak mengerjakan shalat dan
tidak puasa, maka itu memanwg
wajib engkau lakukan. Engkau
tidak boleh terus hidup bersama
suami tersebut bila ia tetap
demikian keadaannya. Karena,
orang yang meninggalkan shalat
secara sengaja, ia kafir1, tidak
boleh seorang muslimah tetap
dalam ikatan pernikahan
dengannya. Engkau telah
berbuat kebaikan dengan
berpisah dari suami yang jelek
tersebut dan engkau
meninggalkannya karena ingin
menyelamatkan agamamu.
Pertanyaanmu tentang
kepergianmu ke Belgia seorang
diri dan tinggalmu di sana
bersama keluarga yang bukan
mahrammu, maka ini tidak
boleh.
Pertama: Safar seorang wanita
tanpa mahram adalah tidak
boleh.
Kedua: Si wanita tinggal bersama
keluarga yang bukan
mahramnya dan bersama orang-
orang yang bukan mahramnya,
ini haram bagi seorang
muslimah.
Yang aku nasihatkan kepadamu,
kembalilah ke negeri asalmu,
atau ayahmu pergi menyertaimu
bila memang engkau ingin safar
ke Belgia atau ke negeri lain.
Adapun bila engkau safar
sendirian, tinggal sendirian atau
bersama satu keluarga yang
bukan mahrammu, maka ini
perkara yang tidak diakui oleh
Islam. Allah Subhanahu wa
Ta’ala tidak ridha karena wanita
itu aurat, dan ia tidak boleh
safar tanpa mahram, atau tinggal
bersama satu keluarga yang di
situ ada laki-laki yang bukan
mahramnya, karena hal itu akan
menyeret dirinya kepada fitnah,
dan orang lain pun akan
terfitnah dengannya. Wallahu
a’lam. (Majmu’ Fatawa
Fadhilatusy Syaikh Shalih Al-
Fauzan, 1/337-338)
1 Ulama sepakat tentang
kafirnya orang yang menentang
kewajiban shalat. Namun, dalam
hal hukum orang yang
meninggalkan shalat dengan
sengaja, karena malas atau
menggampang-gampangkannya,
tanpa bermaksud menentang
kewajibannya, maka ada
perbedaan pendapat di kalangan
mereka antara yang mengafirkan
dan tidak mengafirkan.


www.majalahsyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=800

0 komentar:

Posting Komentar