Banner 468 X 60

Sabtu, 11 September 2010

Membentengi Rumah dari Setan bag 1

Ustadzah Ummu Ishaq Al-
Atsariyyah


Setiap keluarga muslim pasti
mendambakan ketenteraman
dan ketenangan dalam rumah
yang mereka huni, baik dia
seorang suami, seorang istri,
ataupun sebagai seorang anak.
Semua ingin rumah mereka
seperti kata orang: Baiti jannati,
rumahku adalah surgaku. Bukan
karena rumah itu mewah
dilengkapi perabotannya yang
wah, namun karena semua
merasa tentram ketika masuk
dan berada di dalamnya.
Seorang suami pulang ke rumah
usai aktivitasnya di luar rumah,
baik untuk mencari penghidupan
ataupun untuk berdakwah. Ia
masuk ke rumahnya, didapatinya
rahah (lapang). Lelah dan
kepenatannya serasa hilang saat
bertemu dengan istri dan anak-
anaknya. Ketenangan
menyelimutinya.
Seorang istri merasa betah
berdiam dalam rumahnya.
Karena memang seperti titah
Allah Subhanahu wa Ta’ala
kepada kaum hawa:

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ

“Tetaplah kalian tinggal di rumah
kalian.” (Al-Ahzab: 33)
Juga karena suasana dalam
rumah turut mendukung
timbulnya rasa betah tersebut.
Anak-anak pun merasa senang
dalam rumah mereka walaupun
rumahnya kecil dan sederhana.
Kerukunan dan kasih sayang
senantiasa terjalin di antara
anggotanya.
Gambaran seperti yang kita
ungkapkan tentunya menjadi
keinginan setiap insan. Lalu, apa
rahasianya untuk mewujudkan
baiti jannati tersebut? Di antara
faktor yang sangat penting
adalah menjauhkan rumah dari
para setan. Kenapa demikian?
Karena setan merupakan musuh
anak Adam, sebagaimana firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala:

إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ
فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا

“Sesungguhnya setan itu adalah
musuh bagi kalian maka
jadikanlah dia sebagai
musuh.” (Fathir: 6)
Yang namanya musuh tentu
selalu berupaya mencari celah
untuk mencelakakan orang yang
dimusuhinya. Yang disebut
musuh pasti ingin
menghancurkan orang yang
dimusuhinya. Salah satu target
utama setan adalah merusak
sebuah keluarga,
menghancurkan ikatan di antara
anggota-anggotanya.
Iblis, gembong para setan,
demikian bergembira bila anak
buahnya berhasil memisahkan
seorang istri dari suaminya.
Sebagaimana kabar dari
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam:

إِنَّ إِبلِيسَ يَضَعُ عَرْشَهُ
عَلَى الْماَءِ ثُمَّ يَبْعَثُ
سَرَايَاهُ فَأَدْنَاهُمْ مِنهُ
مَنْزِلَةً أَعْظَمُهُمْ فِتْنَةً،
يَجِيءُ أَحَدُهُم فَيَقُولُ:
فَعَلْتُ كَذَا وَكَذَا. قَالَ: مَا
صَنَعْتَ شَيْئًا. ثُمَّ
يَجِيْءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُولُ:
مَا تَرَكْتُهُ حَتَّى
فَرَّقْتُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ
امْرَأَتِهِ. قَالَ: فَيُدْنِيهِ
مِنْهُ وَيَقُولُ: نِعْمَ أَنْتَ

Sesungguhnya iblis meletakkan
singgasananya di atas air lantas
ia mengirim kan tentara-
tentaranya. Maka yang paling
dekat di antara mereka dengan
iblis adalah yang paling besar
fitnah yang ditimbulkannya.
Datang salah seorang dari anak
buah iblis menghadap iblis
seraya berkata, “Aku telah
melakukan ini dan itu.” Iblis
menjawab, “Engkau belum
melakukan apa-apa.” Lalu
datang setan yang lain
melaporkan, “Tidaklah aku
meninggalkan dia (anak Adam
yang diganggunya) hingga aku
berhasil memisahkan dia dengan
istrinya.” Maka iblis pun
mendekatkan anak buahnya
tersebut dengan dirinya dan
memujinya, “Engkaulah yang
terbaik.” (HR. Muslim no. 7037)
Al-Imam An-Nawawi
rahimahullahu menerangkan
bahwa iblis bermarkas di lautan,
dan dari situlah ia mengirim
tentara-tentaranya ke penjuru
bumi. Iblis memuji anak buahnya
yang berhasil memisahkan suami
dengan istrinya, karena kagum
dengan apa yang dilakukan si
anak buah dan ia dapat
mencapai puncak tujuan yang
dikehendaki iblis. Iblis pun
merangkulnya. (Al-Minhaj,
17/154-155)
Kata Al-Imam Al-Qadhi Iyadh
rahimahullahu, hadits ini
menunjukkan besarnya perkara
firaq (perpisahan suami dengan
istrinya) dan talak, serta
besarnya kemadharatan dan
fitnahnya. Selain itu juga
menunjukkan besarnya dosa
orang yang berupaya
memisahkan suami dari istrinya.
Karena dengan berbuat
demikian berarti memutuskan
hubungan yang Allah
Subhanahu wa Ta’ala
perintahkan untuk disambung,
menceraiberaikan rahmah dan
mawaddah yang Allah
Subhanahu wa Ta’ala jadikan di
dalamnya, serta merobohkan
rumah yang dibangun dalam
Islam. (Ikmalul Mu’lim bi Fawa’id
Muslim, 8/349)
Iblis berikut bala tentaranya ini
berambisi menghancurkan
hubungan suami dengan istrinya.
Sementara suami dan istri ini
tentunya bernaung dalam
sebuah rumah. Nah, tentunya
setan tidak akan tenang bila
tidak bisa masuk ke rumah
tersebut. Bila setan telah berhasil
mendiami sebuah rumah, niscaya
ia akan menebarkan kerusakan
di dalamnya, sehingga terjadilah
perselisihan di antara anak-anak
dan perpisahan antara suami
dengan istrinya. Berubahlah
mawaddah (kasih sayang)
menjadi ‘adawah (permusuhan),
rahmah menjadi azab.
Dengan penjelasan yang telah
lewat, pahamlah kita kenapa kita
harus membentengi rumah kita
dari setan yang terkutuk.

Di antara perkara yang bisa kita
lakukan untuk membentengi
rumah kita adalah:

1. Mengucapkan salam ketika
masuk rumah dan banyak
berzikir, baik di rumah ada
orang atau tidak.
Al-Imam An-Nawawi
rahimahullahu berkata,
“Disenangi seseorang
mengucapkan bismillah dan
banyak berzikir kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala serta
mengucapkan salam, sama saja
apakah dalam rumah itu ada
manusia atau tidak, berdasarkan
firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala:

فَإِذَا دَخَلْتُمْ بُيُوتًا
فَسَلِّمُوا عَلَى
أَنْفُسِكُمْ تَحِيَّةً مِنْ
عِنْدِ اللهِ مُبَارَكَةً
طَيِّبَةً كَذَلِكَ يُبَيِّنُ
اللهُ لَكُمُ الْآيَاتِ
لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

“Apabila kalian masuk ke
rumah-rumah maka ucapkanlah
salam (kepada penghuninya
yang berarti memberi salam)
kepada diri-diri kalian sendiri,
salam yang ditetapkan dari sisi
Allah, yang diberkahi lagi
baik.” (An-Nur: 61) [Al-Adzkar,
hal. 25]
Ahli tafsir berbeda pendapat
tentang rumah yang dimaukan
dalam ayat di atas. Ada yang
berpendapat masjid. Ada yang
berpendapat rumah yang dihuni.
Adapula yang berpendapat
rumah yang tidak ada seseorang
di dalamnya. Ada yang
mengatakan rumah orang lain,
dan ada pula yang berpendapat
rumah sendiri. (Al-Jami’ li
Ahkamil Qur’an, 12/209)
Ibnul ‘Arabi rahimahullahu
menetapkan bahwa pendapat
yang menyatakan rumah secara
umum merupakan pendapat
yang shahih, karena tidak ada
dalil yang menunjukkan
pengkhususan. Kalau rumah itu
adalah rumah orang lain, maka
ia ucapkan salam dan meminta
izin kepada tuan rumah sebelum
masuk ke dalamnya. Bila rumah
itu kosong ia ucapkan, “As-
salamu ‘alaina wa ‘ala
‘ibadillahish shalihin” (Semoga
keselamatan untuk kami dan
untuk para hamba Allah
Subhanahu wa Ta’ala yang
shalih). Demikian kata Ibnu
Umar radhiyallahu ‘anhuma.
Namun bila dalam rumah itu ada
keluarganya, anak-anaknya dan
pembantunya, ia ucapkan
“Assalamu ‘alaikum.”
Namun kata Ibnul Arabi
rahimahullahu, bila rumah itu
kosong maka tidak diharuskan
seseorang mengucapkan salam
ketika hendak masuk. Adapun
bila engkau masuk rumahmu
sendiri disenangi bagimu untuk
berzikir kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala dengan mengatakan:
“Masya Allah la quwwata illa
billah.” (Ahkamul Qur’an,
3/1408-1409)
Ketika memberikan penjelasan
terhadap surah Al-Kahfi ayat 39,
Ibnul Arabi rahimahullahu
menyatakan disenanginya
berzikir kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala bila salah seorang dari
kita masuk rumah atau masjid
dengan mengucapkan: “Masya
Allah la quwwata illa billah.”
Asyhab berkata, “Al-Imam Malik
rahimahullahu mengatakan,
‘Sepantasnya setiap orang yang
masuk ke rumahnya
mengucapkan zikir
ini’.” (Ahkamul Qur’an, 3/1240)
Abu Umamah Al-Bahili
radhiyallahu ‘anhu, seorang
sahabat Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam membawakan
hadits dari Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam:

ثَلاَثَةٌ كُلُّهُمْ ضَامِنٌ
عَلَى اللهِ: رَجُلٌ خَرَجَ
غَازِيًا فِي سَبِيْلِ اللهِ،
فَهُوَ ضَامِنٌ عَلَى اللهِ
حَتَّى يَتَوَّفَاهُ
فَيُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ، أَوْ
يَرُدَّهُ بِمَا نَالَ مِنْ أَجْرٍ
وَغَنِيْمَةٍ؛ وَرَجُلٌ رَاحَ إِلَى
الْمَسْجِدِ فَهُوَ ضَامِنٌ
عَلَى اللهِ حَتَّى
يَتَوَفَّاهُ فَيُدْخِلَهُ
الْجَنَّةَ، أَوْ يَرُدَّهُ بِمَا
نَالَ مِنْ أَجْرٍ وَغَنِيْمَةٍ،
وَرَجُلٌ دَخَلَ بَيْتَهُ
بِسَلاَمٍ فَهُوَ ضَامِنٌ عَلَى
اللهِ k

Ada tiga golongan yang mereka
seluruhnya berada dalam
jaminan Allah Subhanahu wa
Ta’ala: (Pertama) seseorang yang
keluar berperang di jalan Allah
Subhanahu wa Ta’ala maka ia
berada dalam jaminan Allah
Subhanahu wa Ta’ala hingga
Allah Subhanahu wa Ta’ala
mewafatkannya lalu
memasukkannya ke dalam surga,
atau mengembalikannya (ke
keluarganya) dengan pahala dan
ghanimah yang diperolehnya.
(Kedua) seseorang berangkat ke
masjid maka ia berada dalam
jaminan Allah Subhanahu wa
Ta’ala hingga Allah Subhanahu
wa Ta’ala mewafatkannya lalu
memasukkannya ke dalam surga,
atau mengembalikannya dengan
pahala dan ghanimah yang
diperolehnya. (Ketiga) seseorang
masuk ke rumahnya dengan
mengucapkan salam maka ia
berada dalam jaminan Allah
Subhanahu wa Ta’ala.” (HR. Abu
Dawud no. 2494)
Makna jaminan Allah Subhanahu
wa Ta’ala adalah berada dalam
penjagaan Allah Subhanahu wa
Ta’ala. (Al-Adzkar, hal. 26)

2. Berzikir kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala ketika
makan dan minum.
Jabir bin Abdillah radhiyallahu
‘anhuma berkata, “Aku pernah
mendengar Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:

إِذَا دَخَلَ الرَّجُلُ بَيْتَهُ
فَذَكَرَ اللهَ عِنْدَ دُخُوْلِهِ
وَعِنْدَ طَعَامِهِ قَالَ
الشَّيْطَانُ: لاَ مَبِيْتَ
لَكُمْ وَلاَ عَشَاءَ. وَإِذَا دَخَلَ
فَلَمْ يَذْكُرِ اللهَ عِنْدَ
دُخُوْلِهِ قَالَ الشَّيْطَانُ:
أَدْرَكْتُمُ الْمَبِيْتَ. وَإِذَا
لَمْ يَذْكُرِ اللهَ عِنْدَ
طَعَامِهِ قَالَ: أَدْرَكْتُمُ
الْمَبِيْتَ وَالْعَشَاءَُ

Apabila seseorang masuk ke
rumahnya lalu ia berzikir kepada
Allah saat masuknya dan ketika
hendak menyantap makanannya,
berkatalah setan, “Tidak ada
tempat bermalam bagi kalian
dan tidak ada makan malam.”
Bila ia masuk rumah dalam
keadaan tidak berzikir kepada
Allah ketika masuknya,
berkatalah setan, “Kalian
mendapatkan tempat
bermalam.” Bila ia tidak berzikir
kepada Allah ketika makannya,
berkatalah setan, “Kalian
mendapatkan tempat bermalam
sekaligus makan malam.” (HR.
Muslim no. 5230)
Berzikir kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala akan mengusir setan
dari rumah kita sehingga setan
tidak dapat menyertai kita saat
makan dan tidur. Sementara,
lalai dari zikrullah akan
memberikan kesempatan emas
bagi setan karena ia mendapati
tempat menginap plus makan
malamnya. Tentunya setan ini
tidak sendirian. Bersamanya ada
kawan-kawannya, gerombolan
setan, karena setan
mengucapkan ucapan demikian
kepada teman-teman,
pembantu-pembantu, dan
sahabatnya. (Al-Minhaj, 11/191)
Sehingga mereka menyesakkan
rumah dan bersenang-senang di
dalamnya, na’udzu billah. Maka
berhati-hatilah, jangan sampai
kita lalai dari berzikir karena zikir
merupakan hishnul muslim,
benteng bagi seorang muslim.

3. Banyak membaca Al-Qur’an
dalam rumah
Al-Qur’anul Karim akan
mengharumkan rumah seorang
muslim dan akan mengusir para
setan. Abu Musa Al-Asy’ari
radhiyallahu ‘anhu mengabarkan
dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam:

مَثَلُ الْمُؤْمِنِ الَّذِيْ
يَقْرَأُ الْقُرْآنَ مَثَلُ
الْأَتْرُجَّةِ، رِيْحُهَا طَيِّبٌ
وَطَعْمُهَا طَيِّبٌ. وَمَثَلُ
الْمُؤْمِنِ الَّذِي لاَ يَقْرَأُ
الْقُرْآنَ مَثَلُ التَّمْرَةِ، لاَ
رِيْحَ لَهَا وَطَعْمُهَا حُلْوٌ.
وَمَثَلُ الْمُنَافِقِ الَّذِيْ
يَقْرَأُ الْقُرْآنَ مَثَلُ
الرَّيْحَانَةِ، رِيْحُهَا طَيِّبٌ
وَطَعْمُهَا مُرٌّ. وَمَثَلُ
الْمُنَافِقِ الَّذِيْ لاَ يَقْرَأُ
الْقُرْآنَ كَمَثَلِ
الْحَنْظَلَةِ، لَيْسَ لَهَا
رِيْحٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ

“Permisalan seorang mukmin
yang membaca Al-Qur’an adalah
seperti buah atrujah, baunya
harum dan rasanya enak.
Permisalan seorang mukmin
yang tidak membaca Al-Qur’an
seperti buah kurma, tidak ada
baunya namun rasanya manis.
Adapun orang munafik yang
membaca Al-Qur’an
permisalannya seperti buah
raihanah, baunya wangi tapi
rasanya pahit. Sementara orang
munafik yang tidak membaca Al-
Qur’an seperti buah hanzhalah,
tidak ada baunya, rasanya pun
pahit.” (HR. Al-Bukhari no. 5020
dan Muslim no. 1857)
Apa persangkaan anda bila
seorang mukmin sering
menghiasi rumahnya dengan
membaca dan mentartilkan
kalamullah? Tidak lain tentunya
kebaikan.
Disamping itu, membaca Al-
Qur’an di rumah dengan penuh
kekhusyukan menjadikan para
malaikat akan mendekat. Seperti
kejadian yang pernah dialami
seorang sahabat Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
bernama Usaid ibnu Hudhair
radhiyallahu ‘anhu. Suatu malam
Usaid tengah membaca Al-
Qur’an di tempat pengeringan
kurma miliknya. Tiba-tiba
kudanya melompat. Ia membaca
lagi, kudanya melompat lagi. Ia
terus melanjutkan bacaannya
dan kudanya juga melompat.
Usaid berkata, “Aku pun
khawatir bila sampai kuda itu
menginjak Yahya (putra Usaid,
pen.), hingga aku bangkit
menuju kuda tersebut. Ternyata
aku dapati di atas kepalaku ada
semacam naungan. Di dalamnya
seperti lentera-lentera yang terus
naik ke udara sampai aku tidak
melihatnya lagi (hilang dari
pandanganku). Di pagi harinya
aku menemui Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Usaid kemudian menceritakan
apa yang dialaminya, setelahnya
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjelaskan:

تِلْكَ الْمَلاَئِكَةُ كَانَتْ
تَسْتَمِعُ لَكَ، وَلَوْ
قَرَأْتَ لَأَصْبَحَتْ يَرَاهَا
النَّاسُ، مَا تَسْتَتِرُ
مِنْهُمْ

“Itu adalah para malaikat yang
mendengarkan bacaanmu.
Seandainya engkau terus
membaca Al-Qur’an niscaya di
pagi harinya manusia akan dapat
melihat naungan tersebut, tidak
tertutup dari mereka. “ (HR.
Muslim no. 1856
Dalam riwayat Al-Bukhari (no.
5011) dari Al-Bara’ radhiyallahu
‘anhu, ia berkata, “Ada seorang
lelaki membaca surah Al-Kahfi
sementara di sisinya ada seekor
kuda yang diikat dengan dua tali.
Lalu orang tersebut diliputi oleh
awan yang mendekat dan
mendekat. Mulailah kudanya lari
karena terkejut. Ketika di pagi
harinya ia mendatangi Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu
diceritakannya kejadian yang
dialaminya maka Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:

تِلْكَ السَّكِيْنَةُ
تَنَزَّلَتْ بِالْقُرْآنِ

“Itu adalah as-sakinah yang
turun dengan Al-Qur’an.”
Diperbincangkan oleh para
ulama seperti apa as-sakinah
tersebut. Namun pendapat yang
terpilih, kata Al-Imam An-
Nawawi rahimahullahu, as-
sakinah adalah sesuatu dari
makhluk-makhluk yang di
dalamnya ada thuma’ninah
(ketenangan), rahmah (kasih
sayang), dan bersamanya ada
para malaikat. (Fathul Bari, 9/73)

4. Membaca surah Al-Baqarah
dalam rumah
Bila engkau merasa di rumahmu
demikian banyak masalah,
tampak banyak penyimpangan
dan anggota-anggotanya saling
berselisih, maka ketahuilah setan
hadir di rumahmu, maka
bersungguh-sungguhlah
mengusirnya. Bagaimanakah cara
mengusirnya? Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memberikan jawabannya dengan
sabda beliau:

إِنَّ لِكُلِّ شَيْءٍ سَنَامًا،
وَسَنَامُ الْقُرْآنِ سُوْرَةُ
الْبَقَرَةِ وَإِنَّ الشَّيْطَانَ
إِذَا سَمِعَ سُوْرَةَ الْبَقَرَةِ
تُقْرَأُ خَرَجَ مِنَ الْبَيْتِ
الَّذِي يُقْرُأُ فِيْهِ سُوْرَةُ
الْبَقَرَةِ

“Sesungguhnya segala sesuatu
ada puncaknya (punuknya) dan
puncak dari Al-Qur’an adalah
surah Al-Baqarah. Sungguh
setan bila mendengar
dibacakannya surah Al-Baqarah,
ia akan keluar dari rumah yang
di dalamnya dibacakan surat Al-
Baqarah tersebut.” (HR. Al-
Hakim, dihasankan Al-Albani
rahimahullahu dalam Ash-
Shahihah no. 588)
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu
mengabarkan dari Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
beliau bersabda:

لاَ تَجْعَلُوْا بُيُوْتَكُمْ
مَقَابِرَ، إِنَّ الشَّيْطَانَ
يَنْفِرُ مِنَ الْبَيْتِ
الَّذِي تُقْرَأُ فِيْهِ سُوْرَةُ
الْبَقَرَةِ
“Janganlah kalian menjadikan
rumah-rumah kalian sebagai
kuburan. Sesungguhnya setan
akan lari dari rumah yang di
dalamnya dibacakan surah Al-
Baqarah.” (HR. Muslim no. 1821)
5. Banyak melakukan shalat
nafilah/sunnah di rumah
Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma
menyampaikan bahwa Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
اجْعَلُوْا مِنْ صَلاَتِكُمْ
فِي بُيُوْتِكُمْ وَلاَ
تَتَّخِذُوْهَا قُبُوْرًا
“Jadikanlah bagian dari shalat
kalian di rumah-rumah kalian,
dan jangan kalian jadikan rumah
kalian seperti kuburan.” (HR. Al-
Bukhari no. 432 dan Muslim no.
1817)
Dalam syariat disebutkan
pelarangan shalat di kuburan.
Karenanya, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
melarang kita menjadikan rumah
kita seperti kuburan, dengan
tidak pernah dilakukan ibadah di
dalamnya. Beliau menghasung
kita agar memberi bagian shalat
sunnah untuk dikerjakan di
dalam rumah.
Al-Imam An-Nawawi
rahimahullahu berkata,
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam memberikan hasungan
untuk mengerjakan shalat
nafilah (sunnah) di rumah,
karena hal itu lebih ringan dan
lebih jauh dari riya, lebih
menjaga dari perkara yang dapat
membatalkannya. Juga dengan
mengerjakan shalat nafilah di
rumah akan memberi
keberkahan bagi rumah
tersebut. Akan turun rahmah di
dalamnya, demikian pula para
malaikat. Sementara setan akan
lari dari rumah tersebut.” (Al-
Minhaj, 6/309)
Dalam hadits yang lain
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam memerintahkan:
فَعَلَيْكُمْ بِالصَّلاَةِ
فِي بُيُوْتِكُمْ فَإِنَّ
خَيْرَ صَلاَةِ الْمَرْءِ فِي
بَيْتِهِ إِلاَّ الصَّلاَةَ
الْمَكْتُوْبَةَ
“Seharusnya bagi kalian untuk
mengerjakan shalat di rumah-
rumah kalian karena sebaik-baik
shalat seseorang adalah di
rumahnya terkecuali shalat
wajib.” (HR. Al-Bukhari no. 731
dan Muslim no. 1822 )
Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu
‘anhu menyampaikan sabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam:
مَثَلُ الْبَيْتِ الَّذِي
يُذْكَرُ اللهُ فِيْهِ
وَالْبَيْتِ الَّذِيْ لاَ
يُذْكَرُ اللهُ فِيْهِ مَثَلُ
الْحَيِّ وَالْمَيِّتِ
“Permisalan rumah yang disebut
nama Allah di dalamnya dan
rumah yang tidak disebut nama
Allah di dalamnya seperti
permisalan orang yang hidup
dan orang yang mati.” (HR.
Muslim no. 1820)
(insya Allah bersambung)


www.majalahsyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=915

0 komentar:

Posting Komentar