Banner 468 X 60

Minggu, 13 Juni 2010

Kisah Seguci Emas

Sebuah kisah yang terjadi di
masa lampau, sebelum Nabi kita
Muhammad Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dilahirkan. Kisah yang
menggambarkan kepada kita
pengertian amanah, kezuhudan,
dan kejujuran serta wara ’ yang
sudah sangat langka ditemukan
dalam kehidupan manusia di
abad ini.
Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim
meriwayatkan dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
اشْتَرَى رَجُلٌ مِنْ رَجُلٍ
عَقَارًا لَهُ فَوَجَدَ الرَّجُلُ
الَّذِي اشْتَرَى الْعَقَارَ فِي
عَقَارِهِ جَرَّةً فِيهَا ذَهَبٌ
فَقَالَ لَهُ الَّذِي اشْتَرَى
الْعَقَارَ: خُذْ ذَهَبَكَ مِنِّي
إِنَّمَا اشْتَرَيْتُ مِنْكَ
الْأَرْضَ وَلَمْ أَبْتَعْ مِنْكَ
الذَّهَبَ. وَقَالَ الَّذِي لَهُ
الْأَرْضُ: إِنَّمَا بِعْتُكَ
الْأَرْضَ وَمَا فِيهَا.
فَتَحَاكَمَا إِلَى رَجُلٍ
فَقَالَ الَّذِي تَحَاكَمَا
إِلَيْهِ: أَلَكُمَا وَلَدٌ؟ قَالَ
أَحَدُهُمَا: لِي غُلَامٌ. وَقَالَ
الآخَرُ: لِي جَارِيَةٌ. قَالَ:
أَنْكِحُوا الْغُلَامَ الْجَارِيَةَ
وَأَنْفِقُوا عَلَى أَنْفُسِهِمَا
مِنْهُ وَتَصَدَّقَا

Ada seorang laki-laki membeli
sebidang tanah dari seseorang.
Ternyata di dalam tanahnya itu
terdapat seguci emas. Lalu
berkatalah orang yang membeli
tanah itu kepadanya: “Ambillah
emasmu, sebetulnya aku hanya
membeli tanah darimu, bukan
membeli emas. ”
Si pemilik tanah berkata
kepadanya: “Bahwasanya saya
menjual tanah kepadamu berikut
isinya. ”
Akhirnya, keduanya menemui
seseorang untuk menjadi hakim.
Kemudian berkatalah orang
yang diangkat sebagai hakim itu:
“ Apakah kamu berdua
mempunyai anak?”
Salah satu dari mereka berkata:
“ Saya punya seorang anak laki-
laki.”
Yang lain berkata: “Saya punya
seorang anak perempuan.”
Kata sang hakim: “Nikahkanlah
mereka berdua dan berilah
mereka belanja dari harta ini
serta bersedekahlah kalian
berdua. ”
Sungguh, betapa indah apa yang
dikisahkan oleh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini.
Di zaman yang kehidupan serba
dinilai dengan materi dan
keduniaan. Bahkan hubungan
persaudaraan pun dibina di atas
kebendaan. Wallahul musta ’an.
Dalam hadits ini, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengisahkan, transaksi yang
mereka lakukan berkaitan
sebidang tanah. Si penjual
merasa yakin bahwa isi tanah itu
sudah termasuk dalam transaksi
mereka. Sementara si pembeli
berkeyakinan sebaliknya; isinya
tidak termasuk dalam akad jual
beli tersebut.
Kedua lelaki ini tetap bertahan,
lebih memilih sikap wara ’, tidak
mau mengambil dan
membelanjakan harta itu, karena
adanya kesamaran, apakah halal
baginya ataukah haram?
Mereka juga tidak saling
berlomba mendapatkan harta
itu, bahkan menghindarinya.
Simaklah apa yang dikatakan si
pembeli tanah: “Ambillah
emasmu, sebetulnya aku hanya
membeli tanah darimu, bukan
membeli emas. ”
Barangkali kalau kita yang
mengalami, masing-masing akan
berusaha cari pembenaran, bukti
untuk menunjukkan dirinya lebih
berhak terhadap emas tersebut.
Tetapi bukan itu yang ingin kita
sampaikan melalui kisah ini.
Hadits ini menerangkan
ketinggian sikap amanah mereka
dan tidak adanya keinginan
mereka mengaku-aku sesuatu
yang bukan haknya. Juga sikap
jujur serta wara’ mereka
terhadap dunia, tidak berambisi
untuk mengangkangi hak yang
belum jelas siapa pemiliknya.
Kemudian muamalah mereka
yang baik, bukan hanya akhirnya
menimbulkan kasih sayang
sesama mereka, tetapi
menumbuhkan ikatan baru
berupa perbesanan, dengan
disatukannya mereka melalui
perkawinan putra putri mereka.
Bahkan, harta tersebut tidak
pula keluar dari keluarga besar
mereka. Allahu Akbar.
Bandingkan dengan keadaan
sebagian kita di zaman ini,
sampai terucap dari mereka:
“ Mencari yang haram saja sulit,
apalagi yang halal?”
Subhanallah.
Kemudian, mari perhatikan
sabda Rasulullah Shallallahu
‘ alaihi wa sallam dalam hadits
An-Nu’man bin Basyir
radhiyallahu ‘anhuma:

وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ
وَقَعَ فِي الْحَرَامِ

Siapa yang terjatuh ke dalam
syubhat (perkara yang samar)
berarti dia jatuh ke dalam
perkara yang haram. ”
Sementara kebanyakan kita,
menganggap ringan perkara
syubhat ini. Padahal Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyatakan, bahwa siapa yang
jatuh ke dalam perkara yang
samar itu, bisa jadi dia jatuh ke
dalam perkara yang haram.
Orang yang jatuh dalam hal-hal
yang meragukan, berani dan
tidak memedulikannya, hampir-
hampir dia mendekati dan berani
pula terhadap perkara yang
diharamkan lalu jatuh ke
dalamnya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam sudah menjelaskan pula
dalam sabdanya yang lain:
دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَا لاَ
يَرِيْبُكَ
“ Tinggalkan apa yang
meragukanmu, kepada apa yang
tidak meragukanmu. ”
Yakni tinggalkanlah apa yang
engkau ragu tentangnya, kepada
sesuatu yang meyakinkanmu dan
kamu tahu bahwa itu tidak
mengandung kesamaran.
Sedangkan harta yang haram
hanya akan menghilangkan
berkah, mengundang
kemurkaan Allah Subhanahu wa
Ta ’ala, menghalangi terkabulnya
doa dan membawa seseorang
menuju neraka jahannam.
Tidak, ini bukan dongeng
pengantar tidur.
Inilah kisah nyata yang
diceritakan oleh Ash-Shadiqul
Mashduq (yang benar lagi
dibenarkan) Shallallahu ‘alaihi
wa sallam, yang Allah
Subhanahu wa Ta ’ala berfirman
tentang beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى. إِنْ
هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى
“ Dan tiadalah yang
diucapkannya itu (Al-Qur’an)
menurut kemauan hawa
nafsunya. Ucapannya itu tiada
lain hanyalah wahyu yang
diwahyukan (kepadanya). ” (An-
Najm: 3-4)
Kedua lelaki itu menjauh dari
harta tersebut sampai akhirnya
mereka datang kepada
seseorang untuk menjadi hakim
yang memutuskan perkara
mereka berdua. Menurut
sebagian ulama, zhahirnya lelaki
itu bukanlah hakim, tapi mereka
berdua memintanya
memutuskan persoalan di antara
mereka.
Dengan keshalihan kedua lelaki
tersebut, keduanya lalu pergi
menemui seorang yang berilmu
di antara ulama mereka agar
memutuskan perkara yang
sedang mereka hadapi. Adapun
argumentasi si penjual, bahwa
dia menjual tanah dan apa yang
ada di dalamnya, sehingga emas
itu bukan miliknya. Sementara si
pembeli beralasan, bahwa dia
hanya membeli tanah, bukan
emas.
Akan tetapi, rasa takut kepada
Allah Subhanahu wa Ta ’ala
membuat mereka berdua
merasa tidak butuh kepada
harta yang meragukan tersebut.
Kemudian, datanglah keputusan
yang membuat lega semua
pihak, yaitu pernikahan anak
laki-laki salah seorang dari
mereka dengan anak
perempuan pihak lainnya,
memberi belanja keluarga baru
itu dengan harta temuan
tersebut, sehingga menguatkan
persaudaraan imaniah di antara
dua keluarga yang shalih ini.
Perhatikan pula kejujuran dan
sikap wara ’ sang hakim. Dia
putuskan persoalan keduanya
tanpa merugikan pihak yang lain
dan tidak mengambil
keuntungan apapun. Seandainya
hakimnya tidak jujur atau tamak,
tentu akan mengupayakan
keputusan yang menyebabkan
harta itu lepas dari tangan
mereka dan jatuh ke tangannya.
Pelajaran yang kita ambil dari
kisah ini adalah sekelumit
tentang sikap amanah dan
kejujuran serta wara’ yang sudah
langka di zaman kita.
Asy-Syaikh Muhammad bin
Shalih Al- ‘Utsaimin dalam Syarah
Riyadhis Shalihin mengatakan:
Adapun hukum masalah ini,
maka para ulama berpendapat
apabila seseorang menjual
tanahnya kepada orang lain, lalu
si pembeli menemukan sesuatu
yang terpendam dalam tanah
tersebut, baik emas atau yang
lainnya, maka harta terpendam
itu tidak menjadi milik pembeli
dengan kepemilikannya terhadap
tanah yang dibelinya, tapi milik si
penjual. Kalau si penjual
membelinya dari yang lain pula,
maka harta itu milik orang
pertama. Karena harta yang
terpendam itu bukan bagian dari
tanah tersebut.
Berbeda dengan barang
tambang atau galian. Misalnya
dia membeli tanah, lalu di
dalamnya terdapat barang
tambang atau galian, seperti
emas, perak, atau besi (tembaga,
timah dan sebagainya). Maka
benda-benda ini, mengikuti
tanah tersebut.
Kisah lain, yang mirip dengan ini,
terjadi di umat ini. Kisah ini
sangat masyhur, wallahu a ’lam.
Beberapa abad lalu, di masa-
masa akhir tabi ’in. Di sebuah
jalan, di salah satu pinggiran
kota Kufah, berjalanlah seorang
pemuda. Tiba-tiba dia melihat
sebutir apel jatuh dari
tangkainya, keluar dari sebidang
kebun yang luas. Pemuda itu
pun menjulurkan tangannya
memungut apel yang nampak
segar itu. Dengan tenang, dia
memakannya.
Pemuda itu adalah Tsabit. Baru
separuh yang digigitnya,
kemudian ditelannya,
tersentaklah dia. Apel itu bukan
miliknya! Bagaimana mungkin dia
memakan sesuatu yang bukan
miliknya?
Akhirnya pemuda itu menahan
separuh sisa apel itu dan pergi
mencari penjaga kebun tersebut.
Setelah bertemu, dia berkata:
“ Wahai hamba Allah, saya sudah
menghabiskan separuh apel ini.
Apakah engkau mau memaafkan
saya ?”
Penjaga itu menjawab:
“ Bagaimana saya bisa
memaafkanmu, sementara saya
bukan pemiliknya. Yang berhak
memaafkanmu adalah pemilik
kebun apel ini. ”
“Di mana pemiliknya?” tanya
Tsabit.
“ Rumahnya jauh sekitar lima mil
dari sini,” kata si penjaga.
Maka berangkatlah pemuda itu
menemui pemilik kebun untuk
meminta kerelaannya karena dia
telah memakan apel milik tuan
kebun tersebut.
Akhirnya pemuda itu tiba di
depan pintu pemilik kebun.
Setelah mengucapkan salam dan
dijawab, Tsabit berkata dalam
keadaan gelisah dan ketakutan:
“ Wahai hamba Allah, tahukah
anda mengapa saya datang ke
sini ?”
“Tidak,” kata pemilik kebun.
“Saya datang untuk minta
kerelaan anda terhadap separuh
apel milik anda yang saya
temukan dan saya makan. Inilah
yang setengah lagi. ”
“Saya tidak akan memaafkanmu,
demi Allah. Kecuali kalau engkau
menerima syaratku, ” katanya.
Tsabit bertanya: “Apa syaratnya,
wahai hamba Allah?”
Kata pemilik kebun itu: “Kamu
harus menikahi putriku.”
Si pemuda tercengang seraya
berkata: “Apa betul ini termasuk
syarat? Anda memaafkan saya
dan saya menikahi putri anda?
Ini anugerah yang besar. ”
Pemilik kebun itu melanjutkan:
“ Kalau kau terima, maka kamu
saya maafkan.”
Akhirnya pemuda itu berkata:
“ Baiklah, saya terima.”
Si pemilik kebun berkata pula:
“ Supaya saya tidak dianggap
menipumu, saya katakan bahwa
putriku itu buta, tuli, bisu dan
lumpuh tidak mampu berdiri. ”
Pemuda itu sekali lagi
terperanjat. Namun, apa boleh
buat, separuh apel yang
ditelannya, kemana akan dia cari
gantinya kalau pemiliknya
meminta ganti rugi atau
menuntut di hadapan Hakim
Yang Maha Adil?
“ Kalau kau mau, datanglah
sesudah ‘Isya agar bisa kau temui
istrimu,” kata pemilik kebun
tersebut.
Pemuda itu seolah-olah
didorong ke tengah kancah
pertempuran yang sengit.
Dengan berat dia melangkah
memasuki kamar istrinya dan
memberi salam.
Sekali lagi pemuda itu kaget luar
biasa. Tiba-tiba dia mendengar
suara merdu yang menjawab
salamnya. Seorang wanita berdiri
menjabat tangannya. Pemuda itu
masih heran kebingungan, kata
mertuanya, putrinya adalah gadis
buta, tuli, bisu dan lumpuh.
Tetapi gadis ini? Siapa gerangan
dia?
Akhirnya dia bertanya siapa gadis
itu dan mengapa ayahnya
mengatakan begitu rupa tentang
putrinya.
Istrinya itu balik bertanya: “Apa
yang dikatakan ayahku?”
Kata pemuda itu: “Ayahmu
mengatakan kamu buta.”
“Demi Allah, dia tidak dusta.
Sungguh, saya tidak pernah
melihat kepada sesuatu yang
dimurkai Allah Subhanahu wa
Ta ’ala.”
“Ayahmu mengatakan kamu
bisu,” kata pemuda itu.
“Ayahku benar, demi Allah. Saya
tidak pernah mengucapkan satu
kalimat yang membuat Allah
Subhanahu wa Ta ’ala murka.”
“Dia katakan kamu tuli.”
“Ayah betul. Demi Allah, saya
tidak pernah mendengar kecuali
semua yang di dalamnya
terdapat ridha Allah Subhanahu
wa Ta ’ala.”
“Dia katakan kamu lumpuh.”
“Ya. Karena saya tidak pernah
melangkahkan kaki saya ini
kecuali ke tempat yang diridhai
Allah Subhanahu wa Ta ’ala.”
Pemuda itu memandangi wajah
istrinya, yang bagaikan purnama.
Tak lama dari pernikahan
tersebut, lahirlah seorang hamba
Allah Subhanahu wa Ta ’ala yang
shalih, yang memenuhi dunia
dengan ilmu dan ketakwaannya.
Bayi tersebut diberi nama
Nu ’man; Nu’man bin Tsabit Abu
Hanifah rahimahullahu.
Duhai, sekiranya pemuda
muslimin saat ini meniru pemuda
Tsabit, ayahanda Al-Imam Abu
Hanifah. Duhai, sekiranya para
pemudinya seperti sang ibu,
dalam ‘kebutaannya, kebisuan,
ketulian, dan kelumpuhannya’.
Demikianlah cara pandang
orang-orang shalih terhadap
dunia ini. Adakah yang
mengambil pelajaran?
Wallahul Muwaffiq.

asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=777

0 komentar:

Posting Komentar