Banner 468 X 60

Selasa, 29 Juni 2010

Fatwa Seputar Ramadhan Oleh Syaikh Utsaimin

1. Hukum Puasa Orang yang
Sembuh dari Sakitnya

Tanya : Apabila seorang sembuh
dari sakitnya yang mana dulu
dokter menyatakan bahwa dia
tidak mungkin bisa disembuhkan.
Dan kesembuhannya ialah
setelah berlalu beberapa hari
dari bulan Ramadhan
(maksudnya ketinggalan puasa
beberapa hari karena sakit-red).
Apakah ia diperintah (dituntut)
untuk mengganti puasa hari
yang lalu ketika dia sakit?

Jawab : Jika seseorang berbuka
di bulan Ramadhan atau
sebagian bulan Ramadhan
dikarenakan sakit yang tidak
diahrapkan lagi kesembuhannya,
mungkin karena kebiasaan atau
adanya pernyataan dari dokter
yang dipercaya, maka yang wajib
atasnya adalah memberi makan
setiap harinya satu orang miskin.
Jika ia sudah melakukan ini, lalu
Allah takdirkan setelah itu dia
sembuh dari sakitnya, maka tak
wajib baginya untuk berpuasa
karena telah memberi makan
orang miskin tersebut, yang
demikian itu karena tanggung
jawabnya sudah lepas dengan
dia memberi makan tersebut
sebagai ganti dari puasa.
Apabila tanggung jawabnya telah
lepas, maka tak ada kewajiban
setelah itu. Dan yang semisal
dengan ini apa yang disebutkan
oleh para ulama ahlul fiqh
tentang seorang yang tak
mampu untuk menunaikan
kewajiban haji yang mana
kelemahannya itu tidak bisa
diharapkan untuk hilang
(sembuh). Kemudian digantikan
oleh orang yang berhaji
untuknya lalu setelah itu dia
sembuh, maka tidak wajib
baginya untuk melakukan
kewajiban haji untuk kedua
kalinya.

2. Berlebih-lebihan dalam Makan
dan Tidur di Bulan Ramadhan

Tanya : Kebanyakan manusia di
bulan Ramadhan berlebih-
lebihan dalam makan dan tidur
sehingga mereka bermalas-
malasan dan lemas.
Sebagaimana mereka begadang
di malam hari dan tidur di siang
hari. Apa nasehat AsySyaikh
untuk mereka?

Jawab : Saya berpendapat bahwa
pada hakekatnya ini menyia-
nyiakan waktu dan harta. Jika
manusia tidak memiliki keinginan
kecuali memperbanyak jenis
makanan, berlebihan dalam
tidur siang hari dan waktu sahur
serta melakukan perkara-
perkara yang tidak bermanfaat
di malam hari maka tidak
diragukan lagi ini merupakan
penyia-nyiaan kesempatan yang
sangat berharga. Bisa jadi
kesempatan ini tidak akan
didapatkan lagi oleh mereka di
masa hidupnya.
Seorang yang cerdik (cerdas)
adalah orang yang menjalani
bulan Ramadhan untuk hal-hal
yang sepantasnya, yaitu dia tidur
di awal malam lalu menegakkan
shalat tarawih. Dan shalat
tarawih tidak memberatkan.
Demikian juga tidak berlebihan
dalam makan dan minum.
Selayaknya bagi orang yang
memiliki kemampuan untuk
bersemangat dalam memberikan
ifthar (buka) kepada orang yang
berpuasa, baik itu di masjid
ataupun di tempat lain. Sebab
orang yang memberikan buka
puasa kepada orang yang
berpuasa, baginya pahala seperti
orang yang berpuasa. Apalagi
jika kepada saudara-saudaranya
kaum muslimin yang berpuasa.
Maka sepantasnya bagi orang-
orang yang Allah berikan
kemudahan/kelebihan harta
untuk betul-betul menggunakan
kesempatan ini sehingga dia
mendapatkan pahala yang
sangat banyak.

3. Hukum Seseorang Masuk
Islam setelah Ramadhan Berlalu
Beberapa Hari

Tanya : Jika seseorang masuk
Islam setelah berlalu darinya
beberapa hari dari bulan
Ramadhan, apakah dia dituntut
untuk mengganti puasa di hari-
hari yang dia lewati sebelum
Islam. Artinya bulan Ramadhan
yang disitu dia masuk Islam?

Jawab : Orang ini tidak dituntut
untuk berpuasa di hari-hari yang
telah lalu di bulan Ramadhan
tersebut karena dahulu ia
seorang yagn kafir. Dan orang
kafir tidak diperintahkan atau
dituntut untuk mengganti apa-
apa yang luput darinya dari
amalan-amalan shalih. Berdasar
firman Allah Ta ’ala :
"Katakanlah kepada orang-
orang kafir, jika mereka berhenti
(dari kekafirannya), pasti Allah
akan mengampuni mereka atas
dosa-dosa mereka yang telah
lalu."
Dan juga dikarenakan dahulu
para shahabat yang masuk Islam
di zaman Nabi Shallallaahu
‘ alaihi wasallam dan beliau tidak
memerintahkan meraka untuk
mengganti apa yang luput dari
mereka. Seperti puasa, shalat,
dan zakat. Akan tetapi, di kala
masuk Islam di siang hari bulan
Ramadhan wajibkah baginya
untuk berpuasa selebih
waktunya (hingga terbenam
matahari), dan mengganti
puasanya tersebut? Atau dia
hanya berpuasa di waktu
selebihnya tanpa harus
menggantinya? Ataukah tidak
wajib baginya berpuasa di waktu
selebihnya dan mengganti
puasanya?
Dalam permasalahan ini ulama
berbeda pendapat. Adapun
pendapat yang paling kuat
adalah wajib baginya untuk
berpuasa selebih waktunya
hingga matahari terbenam tanpa
harus menggantinya. Diwajibkan
baginya puasa karena ia telah
menjadi orang yang diwajibkan
puasa dan tidak diwajibkan
untuk menggantinya karena
sebelum itu bukan termasuk
orang-orang yang diwajibkan
puasa (masih kafir-red). Sama
halnya seperti anak kecil, jika dia
telah baligh di siang hari maka
wajib baginya untuk terus
menahan (puasa) dan tak wajib
baginya untuk mengganti
menurut pendapat yang kuat
dalam masalah ini.

4. Hukum Donor Darah dalam
Bulan Ramadhan

Tanya : Apakah mengambil
sedikit darah (donor) dengan
tujuan sebagai penghalalan atau
bersedekah kepada seseorang di
siang hari bulan Ramadhan
dapat membatalkan puasa atau
tidak ?

Jawab : Jika seseorang
mengambil sedikit darahnya yang
tidak memberikan efek kepada
badannya seperti membuat dia
lemah, maka ini tidak
membatalkan puasanya baik
diambil sebagai penghalalan,
atau donor untuk seorang yang
sakit, atau bersedekah kepada
seseorang yang membutuhkan.
Adapun jika darahnya diambil
dengan jumlah yang banyak,
yang menjadikan badan lemas,
maka dia berbuka dengannya
(donor itu telah menjadi sebab
sehingga dia berbuka/tidak
berpuasa lagi-red). Dikiaskan
seperti berbekam yang telah
datang riwayatnya dari sunnah
bahwa berbekam adalah
termasuk salah satu dari
pembatal-pembatal puasa.
Dengan demikian, maka tidak
boleh bagi seseorang untuk
menyedekahkan darahnya yang
sagat banyak dalam keadaan dia
sedang berpuasa wajib, seperti
puasa pada bulan Ramadhan.
Kecuali jika di sana ada
keperluan yang darurat
(mendesak), maka dalam
keadaan seperti ini boleh
baginya untuk menyedekahkan
darahnya untuk menolak/
mencegah darurat tadi. Dengan
demikian dia berbuka dengan
makan dan minum. Lalu dia
harus mengganti puasanya yang
dia tinggalkan/berbuka.

5. Shalat Tarwih di Belakang
Imam yang Melebihi 11 Rakaat

Tanya : Jika ada seorang shalat
tarawih di belakang imam yang
melebihi 11 rakaat, haruskah ia
mengikuti shalatnya imam
ataukah ia berpaling dari imam
setelah ia menyempurnakan 11
rakaat di belakangnya ??

Jawab : Sunnahnya dia tetap
mengikuti imam walaupun lebih
dari 11 rakaat. Karena jika dia
berpaling sebelum selesainya
imam dari shalatnya, dia tak
mendapatkan pahala qiyamul
lailnya. Dan Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi wasallam
bersabda :

من قا م مع الإ مام حتى ينصرف
كتب له قيام ليلة

"Barangsiapa yang shalat
bersama imam sampai imam itu
selesai dari shalatnya maka
ditulis untuknya pahala shalat
lailnya" (HR. Abu Dawud No.
1375, Tirmidzi No. 706 dan
dishahihkan oleh AsySyaikh
Albani)
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi
wasallam menyatakan demikian
dalam rangka mendorong kita
untuk menjaga agar kita tetap
shalat dibelakangnya hingga
imam itu selesai. Dan juga para
shahabat, mereka mengikuti
imam. Mereka pada shalat yang
di situ imam menambah rakaat
dari yang disyariatkan,
sebagaimana yang terjadi bersama
Amirul Mukminin Ustsman bin
Affan, ketika beliau
menyempurnakan shalat empat
rakaat. Dimana pada waktu haji
bersama Nabi, kemudian Abu
Bakr, ‘Umar, dan Utsman bin
Affan pada awal
pemerintahannya sampai
bertahan delapan tahun, mereka
shalat dua rakaat. Kemudian
setelah itu mereka tetap
mengikuti beliau shalat
dibelakangnya shalat empat
rakaat. Jika demikian petunjuk
para shahabat, yang mana
mereka adalah orang-orang
yang paling bersemangat dalam
mengikuti imam, maka
bagaimana keadaan sebagian
manusia yang mana mereka
ketika melihat imam shalat
melebihi rakaat yang ditentukan
oleh Nabi Shallallaahu ‘alaihi
wasallam lalu mereka berpaling
di tengah-tengah shalat,
sebagaimana yang kita saksikan
di Masjidil Haram mereka pergi
meninggalkan imam dengan
alasan bahwa yang disyariatkan
adalah 11 rakaat.

6. Hukum Donor Darah dalam
Bulan Ramadhan

Tanya : Apakah mengambil
sedikit darah (donor) dengan
tujuan sebagai penghalalan atau
bersedekah kepada seseorang di
siang hari bulan Ramadhan
dapat membatalkan puasa atau
tidak ?

Jawab : Jika seseorang
mengambil sedikit darahnya yang
tidak memberikan efek kepada
badannya seperti membuat dia
lemah, maka ini tidak
membatalkan puasanya baik
diambil sebagai penghalalan,
atau donor untuk seorang yang
sakit, atau bersedekah kepada
seseorang yang membutuhkan.
Adapun jika darahnya diambil
dengan jumlah yang banyak,
yang menjadikan badan lemas,
maka dia berbuka dengannya
(donor itu telah menjadi sebab
sehingga dia berbuka/tidak
berpuasa lagi-red). Dikiaskan
seperti berbekam yang telah
datang riwayatnya dari sunnah
bahwa berbekam adalah
termasuk salah satu dari
pembatal-pembatal puasa.
Dengan demikian, maka tidak
boleh bagi seseorang untuk
menyedekahkan darahnya yang
sagat banyak dalam keadaan dia
sedang berpuasa wajib, seperti
puasa pada bulan Ramadhan.
Kecuali jika di sana ada
keperluan yang darurat
(mendesak), maka dalam
keadaan seperti ini boleh
baginya untuk menyedekahkan
darahnya untuk menolak/
mencegah darurat tadi. Dengan
demikian dia berbuka dengan
makan dan minum. Lalu dia
harus mengganti puasanya yang
dia tinggalkan/berbuka.

7. Hukum Seorang Pemuda yang
Melakukan Onani di Bulan
Ramadhan

Tanya : Apa hukum seorang
pemuda yang melakukan onani
di bulan Ramadhan dalam
keadaan dia tidak mengetahui
bahwa perbuatan ini merupakan
pembatal puasa dan ketika
syahwat bergejolak, sahkah
puasanya?

Jawab : Hukumnya ialah tidak
apa-apa baginya. Artinya
puasanya tetap sah. Karena
sebagaimana yang telah kita
ketahui sebelumnya bahwa
seseorang itu tidaklah batal
puasanya kecuali dari tiga
syarat :

a. Dia dalam keadaan tahu kalau
ini termasuk pembatal puasa

b. Dia ingat dan tidak dalam
keadaan lupa

c. Memiliki kemauan (bukan
dipaksa-red)

Akan tetapi saya katakan bahwa
wajib baginya bersabar untuk
tidak melakukan onani karena ia
adalah HARAM. Berdasarkan
firman Allah :
"Orang-orang yang beriman
ialah orang yang menjaga
kemaluannya. Kecuali terhadap
istri-istri mereka atau budak-
budak yang mereka miliki. Maka
sesungguhnya dalam hal ini tidak
tercela. Barangsiapa yang
mencari di balik itu maka mereka
itulah orang-orang yang
melampaui batas" (QS. Al-
Mukminun : 5-7)
Dan juga Nabi Shallallaahu
‘ alaihi wasallam bersabda :
"Wahai para pemuda,
barangsiapa diantara kalian yang
mampu untuk menikah maka
menikahlah, karena menikah itu
lebih menundukkan pandangan
dan lebih menjaga kemaluan.
Dan barangsiapa yang belum
mampu, maka hendaklah ia
berpuasa" (HR. Bukhari No.
1905, Muslim 3379)
Jika saja onani itu dibolehkan,
niscaya Rasulullah akan
membimbing kepada hal yang
demikian, karena hal ini sangat
mudah bagi para mukallaf dan
seorang itu mendapatkan
kesenangan. Berbeda dengan
berpuasa, padanya terdapat
kesusahan. Maka tatkala Nabi
Shallallaahu ‘alaihi wasallam
mengarahkan bagi orang yang
tidak mampu menikah, untuk
berpuasa.Ini menunjukkan
bahwa onani itu suatu yang tidak
boleh untuk dilakukan oleh
seseorang.

8. Hukum Memerintahkan Anak
Kecil yang belum Mencapai 15
Tahun/Baligh untuk Berpuasa.

Tanya : Apakah anak kecil yang
belum mencapai usia 15 tahun
diperintahkan untuk berpuasa
sebagaimana dalam shalat??

Jawab : Ya, anak-anak kecil yang
belum mencapai usia baligh
diperintahkan untuk berpuasa
jika mereka mampu.
Sebagaimana hal ini dilakukan
oleh para shahabat terhadap
anak-anak mereka.
Sungguh para ulama telah
mengatakan dengan tegas
bahwa seorang pemimpin itu
memerintahkan orang yang
dibawah kepemimpinannya dari
anak-anak kecil untuk berpuasa
agar mereka terlatih dan terbiasa
serta akan menjadi tabiat
(kebiasaan-red) untuk
melaksanakan prinsip (dasar)
dari agama Islam pada hati-hati
mereka.
Akan tetapi jika hal ini
memberatkan atau bermudharat
kepada mereka, tidak diharuskan
bagi mereka untuk
melaksanakannya. Dan saya
ingin memeberi peringatan
terhadap apa yang dilakukan
oleh para bapak dan ibu,
dimana mereka melarang anak-
anak mereka untuk berpuasa.
Mereka mengannggap bahwa
pelarangan terhadap anak-anak
mereka untuk berpuasa
merupakan kasih sayang buat
mereka dan merasa kasihan.
Padahal, hakikatnya mengasihi
para anak itu ialah dengan
memerintahkan mereka untuk
mengerjakan syariat-syariat Islam
dan membiasakannya. Karena ini
tidak diragukan lagi adalah
sebaik-baik mendidik mereka
dan sempurna dia dalam
mengatur orang yang di bawah
pimpinannya (tanggung
jawabnya). Telah bersabda Nabi
Shallallaahu ‘alaihi wasallam :
"Sesungguhnya seseorang itu
akan menjadi pemimpin
terhadap keluarganya dan akan
dimintai pertanggungjawaban
terhadap apa yang
dipimpinnya" (HR. Bukhari No.
2409, Muslim No. 1829)
Sepantasnya bagi para pemimpin
yaitu orang-orang yang Allah
jadikan di sebagai pemimpin
terhadap keluarganya dan anak-
anak kecil untuk bertakwa
(takut) kepada Allah dalam
urusan mereka dan hendaklah
para pemimpin itu
memerintahkan mereka dengan
syariat Islam.



(Sumber : 48 Soal Jawab tentang
Puasa bersama Syaikh Utsaimin-
rahimahullah, Penulis : Syaikh
Salim bin Muhammad Al-Juhani,
Penerbit : Maktabah Al-Ghuroba’
Solo. Url sumber
www.almakassari.com)

www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=1490

1 komentar:

Lily Kasim mengatakan...

wah..bentar lagi romadhon ya....

Posting Komentar