Banner 468 X 60

Minggu, 13 Juni 2010

Hukum Onani

Penulis : Al-
Ustadz Abu Abdillah As-Sarbini
Al-Makassari

Apa hukum onani/masturbasi
bagi pria dan wanita?

Dijawab oleh: Al-Ustadz Abu
Abdillah As Sarbini Al- Makassari
Permasalahan onani/masturbasi
(istimna ’) adalah permasalahan
yang telah dibahas oleh para
ulama. Onani adalah upaya
mengeluarkan mani dengan
menggunakan tangan atau yang
lainnya. Hukum permasalahan ini
ada rinciannya sebagai berikut:

  1. Onani yang dilakukan dengan
    bantuan tangan/anggota tubuh
    lainnya dari istri atau budak
    wanita yang dimiliki. Jenis ini
    hukumnya halal, karena
    termasuk dalam keumuman
    bersenang-senang dengan istri
    atau budak wanita yang
    dihalalkan oleh Allah Subhanahu
    wa Ta ’ala.1 Demikian pula
    hukumnya bagi wanita dengan
    tangan suami atau tuannya (jika
    ia berstatus sebagai budak, red.).
    Karena tidak ada perbedaan
    hukum antara laki-laki dan
    perempuan hingga tegak dalil
    yang membedakannya. Wallahu
    a’lam.

  2. Onani yang dilakukan dengan
    tangan sendiri atau semacamnya.
    Jenis ini hukumnya haram bagi
    pria maupun wanita, serta
    merupakan perbuatan hina yang
    bertentangan dengan kemuliaan
    dan keutamaan. Pendapat ini
    adalah madzhab jumhur
    (mayoritas ulama), Al-Imam Asy-
    Syafi ’i rahimahullahu, dan
    pendapat terkuat dalam
    madzhab Al-Imam Ahmad
    rahimahullahu. Pendapat ini
    yang difatwakan oleh Al-Lajnah
    Ad-Da ’imah (yang diketuai oleh
    Asy-Syaikh Ibnu Baz), Al-Albani,
    Al- ’Utsaimin, serta Muqbil Al-
    Wadi’i rahimahumullah.
Dalilnya
adalah keumuman firman Allah
Subhanahu wa Ta ’ala:

وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ
حَافِظُونَ. إِلَّا عَلَى
أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ
مَلُومِينَ. فَمَنِ ابْتَغَى
وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ
الْعَادُونَ
“Dan orang-orang yang menjaga
kemaluan-kemaluan mereka
(dari hal-hal yang haram),
kecuali terhadap istri-istri mereka
atau budak-budak wanita yang
mereka miliki, maka
sesungguhnya mereka tidak
tercela. Barangsiapa mencari
kenikmatan selain itu, maka
merekalah orang-orang yang
melampaui batas. ” (Al-
Mu’minun: 5-7, juga dalam surat
Al-Ma’arij: 29-31)
Perbuatan onani termasuk dalam
keumuman mencari kenikmatan
syahwat yang sifatnya melanggar
batasan syariat yang dihalalkan,
yaitu di luar kenikmatan suami-
istri atau tuan dan budak
wanitanya.
Sebagian ulama termasuk Asy-
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin
rahimahullahu berdalilkan
dengan hadits ‘Abdillah bin
Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ
اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اْلبَاءَةَ
فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ
أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ
لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ
يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ
بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ
وِجَاءٌ
“ Wahai sekalian pemuda,
barangsiapa di antara kalian
yang telah mampu menikah,
maka menikahlah, karena
pernikahan membuat
pandangan dan kemaluan lebih
terjaga. Barangsiapa belum
mampu menikah, hendaklah dia
berpuasa, karena sesungguhnya
puasa merupakan obat yang
akan meredakan
syahwatnya. ” (Muttafaq ‘alaih)
Al-’Utsaimin rahimahullahu
berkata: “Sisi pendalilan dari
hadits ini adalah perintah Rasul
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi
yang tidak mampu menikah
untuk berpuasa. Sebab,
seandainya onani merupakan
adat (perilaku) yang
diperbolehkan tentulah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam akan membimbing yang
tidak mampu menikah untuk
melakukan onani, karena onani
lebih ringan dan mudah untuk
dilakukan ketimbang puasa. ”
Apalagi onani sendiri akan
menimbulkan mudharat yang
merusak kesehatan pelakunya
serta melemahkan kemampuan
berhubungan suami-istri jika
sudah berkeluarga, wallahul
musta’an.2
Adapun hadits-hadits yang
diriwayatkan dalam hal ini
adalah hadits-hadits yang dha’if
(lemah). Kelemahan hadits-
hadits itu telah diterangkan oleh
Al-Hafizh Ibnu Hajar
rahimahullahu dalam At-Talkhish
Al-Habir (no. 1666) dan Al-
Albani dalam Irwa ’ Al-Ghalil (no.
2401) serta As-Silsilah Adh-
Dha ’ifah (no. 319). Di antaranya
hadits ‘Abdullah bin ‘Amr
radhiyallahu ‘anhuma:
سَبْعَةٌ لاَ يَنْظُرُ اللهُ
عَزَّ وَجَلَّ إِلَيْهِمْ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ وَلاَ يُزَكِّيْهِمْ
وَيَقُوْلُ: ادْخُلُوْا النَّارَ مَعَ
الدَّاخِلِيْنَ: ... وَالنَّاكِحُ
يَدَهُ .... الْحَدِيْثَ
“ Ada tujuh golongan yang Allah
tidak akan memandang kepada
mereka pada hari kiamat, tidak
akan membersihkan mereka
(dari dosa-dosa) dan berkata
kepada mereka: ‘Masuklah
kalian ke dalam neraka bersama
orang-orang yang masuk ke
dalamnya !’ (di antaranya): … dan
orang yang menikahi tangannya
(melakukan onani/masturbasi)
… .dst.” (HR. Ibnu Bisyran dalam
Al-Amali, dalam sanadnya ada
Abdullah bin Lahi ’ah dan
Abdurrahman bin Ziyad bin
An ’um Al-Ifriqi, keduanya dha’if
[lemah] hafalannya)
Namun apakah diperbolehkan
pada kondisi darurat, yaitu pada
suatu kondisi di mana ia khawatir
terhadap dirinya untuk
terjerumus dalam perzinaan atau
khawatir jatuh sakit jika air
maninya tidak dikeluarkan? Ada
khilaf pendapat dalam
memandang masalah ini.
Jumhur ulama mengharamkan
onani secara mutlak dan tidak
memberi toleransi untuk
melakukannya dengan alasan
apapun. Karena seseorang wajib
bersabar dari sesuatu yang
haram. Apalagi ada solusi yang
diajarkan oleh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
untuk meredakan/meredam
syahwat seseorang yang belum
mampu menikah, yaitu berpuasa
sebagaimana hadits Ibnu Mas ’ud
radhiyallahu ‘anhu di atas.
Sedangkan sekelompok sahabat,
tabi ’in, dan ulama termasuk Al-
Imam Ahmad rahimahullahu
memberi toleransi untuk
melakukannya pada kondisi
tersebut yang dianggap sebagai
kondisi darurat.3 Namun
nampaknya pendapat ini harus
diberi persyaratan seperti kata
Al-Albani rahimahullahu dalam
Tamamul Minnah (hal. 420-421):
“ Kami tidak mengatakan
bolehnya onani bagi orang yang
khawatir terjerumus dalam
perzinaan, kecuali jika dia telah
menempuh pengobatan Nabawi
(yang diperintahkan oleh Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam),
yaitu sabda Nabi Shallallahu
‘ alaihi wa sallam kepada kaum
pemuda dalam hadits yang
sudah dikenal yang
memerintahkan mereka untuk
menikah dan beliau bersabda:
فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ
فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ،
فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“ Maka barangsiapa belum
mampu menikah hendaklah dia
berpuasa, karena sesungguhnya
puasa merupakan obat yang
akan meredakan syahwatnya. ”
Oleh karena itu, kami
mengingkari dengan keras
orang-orang yang memfatwakan
kepada pemuda yang khawatir
terjerumus dalam perzinaan
untuk melakukan onani, tanpa
memerintahkan kepada mereka
untuk berpuasa. ”
Dengan demikian, jelaslah
kekeliruan pendapat Ibnu Hazm
rahimahullahu dalam Al-Muhalla
(no. 2303) dan sebagian fuqaha
Hanabilah yang sekadar
memakruhkan onani dengan
alasan tidak ada dalil yang
mengharamkannya, padahal
bertentangan dengan kemuliaan
akhlak dan keutamaan.
Yang lebih memprihatinkan
adalah yang sampai pada tahap
menekuninya sebagai adat/
kebiasaan, untuk bernikmat-
nikmat atau berfantasi/
mengkhayalkan nikmatnya
menggauli wanita. Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah rahimahullahu
berkata dalam Majmu’ Al-Fatawa
(10/574): “Adapun melakukan
onani untuk bernikmat-nikmat
dengannya, menekuninya
sebagai adat, atau untuk
mengingat-ngingat (nikmatnya
menggauli seorang wanita)
dengan cara mengkhayalkan
seorang wanita yang sedang
digaulinya saat melakukan onani,
maka yang seperti ini seluruhnya
haram. Al-Imam Ahmad
rahimahullahu
mengharamkannya, demikian
pula yang selain beliau.” Wallahu
a’lam.
Semoga Allah Subhanahu wa
Ta ’ala membimbing para
pemuda dan pemudi umat ini
untuk menjaga diri mereka dari
hal-hal yang haram dan hina
serta merusak akhlak dan
kemuliaan mereka. Amin.
Washallallahu ‘ala nabiyyina
Muhammad wa ‘ala alihi
washahbihi wasallam,
walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Apakah pelaku onani/masturbasi
mendapat dosa seperti orang
yang berzina?
Adi Wicaksono, lewat email
Penetapan kadar dan sifat dosa
yang didapatkan oleh seorang
pelaku maksiat, apakah sifatnya
dosa besar atau dosa kecil harus
berdasarkan dalil syar ’i.
Perbuatan zina merupakan dosa
besar yang pelakunya terkena
hukum hadd. Nash-nash tentang
hal itu sangat jelas dalam Al-
Qur ’an dan As-Sunnah.
Adapun masturbasi/onani
dengan tangan sendiri atau
semacamnya (bukan dengan
bantuan tangan/anggota tubuh
dari istri atau budak wanita yang
dimiliki), terdapat silang
pendapat di kalangan ulama.
Yang benar adalah pendapat
yang menyatakan haram. Hal ini
berdasarkan keumuman ayat 5-7
dari surat Al-Mu ’minun dan ayat
29-31 dari surat Al-Ma’arij.
Onani termasuk dalam
keumuman mencari kenikmatan
syahwat yang haram, karena
melampaui batas syariat yang
dihalalkan, yaitu kenikmatan
syahwat antara suami istri atau
tuan dengan budak wanitanya.
Adapun hadits-hadits yang
diriwayatkan dalam hal ini yang
menunjukkan bahwa onani
adalah dosa besar merupakan
hadits-hadits yang dha ’if (lemah)
dan tidak bisa dijadikan hujjah.
Di antaranya:
سَبْعَةٌ لاَ يَنْظُرُ اللهُ
عَزَّ وَجَلَّ إِلَيْهِمْ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ وَلاَ يُزَكِّيْهِمْ
وَيَقُوْلُ: ادْخُلُوْا النَّارَ مَعَ
الدَّاخِلِيْنَ: ... وَالنَّاكِحُ
يَدَهُ .... الْحَدِيْثَ
“ Ada tujuh golongan yang Allah
tidak akan memandang kepada
mereka pada hari kiamat, tidak
akan membersihkan mereka
(dari dosa-dosa) dan berkata
kepada mereka: ‘Masuklah
kalian ke dalam neraka bersama
orang-orang yang masuk ke
dalamnya !’: … dan orang yang
menikahi tangannya (melakukan
onani/masturbasi) ….dst.”4
Sifat onani yang paling parah
dan tidak ada seorang pun yang
menghalalkannya adalah seperti
kata Syaikhul Islam dalam
Majmu ’ Al-Fatawa (10/574):
“Adapun melakukan onani
untuk bernikmat-nikmat
dengannya, menekuninya
sebagai adat, atau untuk
mengingat-ngingat/
mengkhayalkan (nikmatnya
menggauli seorang wanita)
dengan cara mengkhayalkan
seorang wanita yang sedang
digaulinya saat melakukan onani,
maka yang seperti ini seluruhnya
haram. Al-Imam Ahmad
rahimahullahu
mengharamkannya, demikian
pula selain beliau. Bahkan
sebagian ulama mengharuskan
hukum hadd bagi pelakunya. ”
Penetapan hukum hadd dalam
hal ini semata-mata ijtihad
sebagian ulama
mengqiyaskannya dengan zina.
Namun tentu saja berbeda
antara onani dengan zina
sehingga tidak bisa disamakan.
Karena zina adalah memasukkan
kepala dzakar ke dalam farji
wanita yang tidak halal baginya
(selain istri dan budak wanita
yang dimiliki). Oleh karena itu,
yang benar dalam hal ini adalah
pelakunya hanya sebatas diberi
ta ’zir (hukuman) yang setimpal
sebagai pelajaran dan peringatan
baginya agar berhenti dari
perbuatan maksiat tersebut.
Pendapat ini adalah madzhab
Hanabilah, dibenarkan oleh Al-
Imam Ibnu ‘Utsaimin
rahimahullahu dalam Asy-
Syarhul Mumti ’ Kitab Al-Hudud
Bab At-Ta’zir dan difatwakan
oleh Al-Lajnah Ad-Da’imah yang
diketuai oleh Al-Imam Ibnu Baz
rahimahullahu dalam Fatawa Al-
Lajnah (10/259).
Adapun bentuk hukumannya
kembali kepada ijtihad hakim,
apakah dicambuk (tidak lebih
dari sepuluh kali), didenda,
dihajr (diboikot), didamprat
dengan celaan, atau lainnya,
yang dipandang oleh pihak
hakim dapat membuatnya jera
dari maksiat itu dan bertaubat.5
Wallahu a’lam.
Kesimpulannya, masturbasi tidak
bisa disetarakan dengan zina,
karena tidak ada dalil yang
menunjukkan hal itu. Namun
onani adalah maksiat yang wajib
untuk dijauhi. Barangsiapa telah
melakukannya hendaklah
menjaga aibnya sebagai rahasia
pribadinya dan hendaklah
bertaubat serta memohon
ampunan Allah Subhanahu wa
Ta ’ala. Apabila urusannya
terangkat ke mahkamah
pengadilan, maka pihak hakim
berwenang untuk memberi ta ’zir
(hukuman) yang setimpal,
sebagai pelajaran dan peringatan
baginya agar jera dari perbuatan
hina tersebut. Wallahu a ’lam.


1 Pertama kali kami mendengar
faedah ini dari guru besar kami,
Al-Walid Al-Imam Muqbil bin
Hadi Al-Wadi ’i rahimahullahu
dalam majelis beliau. Silakan
lihat pula Fatawa Al-Lajnah Ad-
Da ’imah (10/259), Al-Iqna’ pada
Kitab An-Nikah Bab ‘Isyratin
Nisa’. Hal ini merupakan
ijma’ (kesepakatan) ulama
sebagaimana dinukilkan oleh Al-
Imam Asy-Syaukani
rahimahullahu dalam kitabnya
yang berjudul Bulughul Muna fi
Hukmil Istimna ’, walhamdulillah
–pen.
2 Lihat tafsir surat Al-Mu’minun
dalam Tafsir Ath-Thabari, Tafsir
Ibnu Katsir, Tafsir Al-Baghawi,
Majmu ’ Al-Fatawa (10/574,
34/229), Fatawa Al-Lajnah
(10/259), Tamamul Minnah (hal.
420), Majmu ’ Ar-Rasa’il (19/234,
235-236), Asy-Syarhul Mumti’
Kitab Al-Hudud Bab At-Ta’zir –
pen.
3 Lihat Majmu’ Al-Fatawa
(10/574, 34/229-230) –pen.
4 Lihat penjelasan hadits ini
dalam Problema Anda: Hukum
Onani/Masturbasi.
5 Lihat Asy-Syarhul Mumti’ Kitab
Al-Hudud Bab At-Ta’zir .

asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=937

0 komentar:

Posting Komentar