Banner 468 X 60

Kamis, 17 Juni 2010

Hukum Nikah Dalam Keadaan Hamil

Perempuan yang dinikahi dalam
keadaan hamil ada dua macam:
Perempuan yang diceraikan oleh
suaminya dalam keadaan hamil.
Perempuan yang hamil karena
melakukan zina, sebagaimana
yang banyak terjadi di zaman ini
-wal ‘ iyadzu billah , mudah-
mudahan Allah menjaga kita dan
seluruh kaum muslimin dari dosa
terkutuk ini-.
Adapun perempuan hamil yang
diceraikan oleh suaminya, maka
tidak boleh dinikahi sampai lepas
‘ iddah[1] nya, dan ‘ iddahnya
ialah sampai ia melahirkan,
sebagaimana dalam firman Allah
Subhanahu Wa Ta ’ ala ,
“ Dan perempuan-perempuan
yang hamil, waktu ‘ iddah
mereka sampai mereka
melahirkan kandungannya.
” [ Ath-Thalaq: 4 ]

Hukum menikah dengan
perempuan hamil seperti ini
adalah haram, dan nikahnya
batil, tidak sah, sebagaimana
dalam firman Allah Ta ’ ala ,
“ Dan janganlah kalian ber- ‘
azam (bertetap hati) untuk
beraqad nikah sebelum habis ‘
iddahnya. ” [ Al-Baqarah: 235 ]
Berkata Ibnu Katsir, dalam
Tafsir -nya, tentang makna ayat
ini, “ Yaitu, jangan kalian
melakukan akad nikah sampai
lepas ‘ iddahnya. ” Kemudian
beliau berkata, “ Dan para
ulama telah bersepakat bahwa
akad tidaklah sah pada masa ‘
iddah. ”
Lihat Al-Mughny 11/227,
Takmilah Al-Majmu ’
17/347-348, Al-Muhalla 10/263,
dan Zadul Ma ‘ ad 5/156.

Adapun perempuan yang hamil
karena zina, kami perlu merinci
lebih meluas, karena pentingnya
perkara ini dan banyaknya kasus
yang terjadi di seputarnya. Maka,
dengan mengharap curahan
taufiq dan hidayah dari Allah Al-
‘ Alim Al-Khabir , masalah ini
kami uraikan sebagai berikut.
Tentang perempuan yang telah
berzina dan menyebabkan dia
hamil atau tidak, dalam hal
bolehnya melakukan pernikahan
dengannya, terdapat persilangan
pendapat di kalangan ulama.
Secara global, para ulama
berbeda pendapat dalam
pensyaratan dua perkara untuk
sahnya nikah dengan
perempuan yang berzina.
Syarat pertama , bertaubat dari
perbuatan zinanya yang nista.
Dalam pensyaratan taubat, ada
dua pendapat di kalangan
ulama:
Disyaratkan bertaubat. Ini
merupakan madzhab Imam
Ahmad dan pendapat Qatadah,
Ishaq, dan Abu ‘ Ubaid.
Tidak disyaratkan bertaubat. Ini
merupakan pendapat Imam
Malik, Syafi ’ iy, dan Abu
Hanifah.
Tarjih
Yang benar dalam masalah ini
adalah pendapat pertama yang
mengatakan disyaratkan untuk
bertaubat.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah dalam Al-Fatawa
32/109, “ Menikahi perempuan
pezina adalah haram sampai ia
bertaubat, apakah yang
menikahinya itu adalah yang
menzinahinya atau selainnya.
Inilah (pendapat) yang benar
tanpa keraguan. ”
Tarjih di atas berdasarkan firman
Allah ‘ Azza Wa Jalla ,
“ Laki-laki yang berzina tidak
menikahi melainkan perempuan
yang berzina atau perempuan
yang musyrik. Dan perempuan
yang berzina tidak dinikahi
melainkan oleh laki-laki yang
berzina atau laki-laki musyrik.
Dan telah diharamkan hal
tersebut atas kaum mukminin.
” [ An-Nur: 3 ]
Lalu, dalam hadits ‘Amr bin
Syu’aib dari ayahnya, dari
kakeknya, ‘Abdullah bin ‘Amr
bin ‘Âsh, beliau berkata,

أَنَّ مَرْثَدَ بْنَ أَبِيْ
مَرْثَدٍ الْغَنَوِيَّ رَضِيَ
اللهُ عَنْهُ كَانَ يَحْمِلُ
الْأَسَارَى بِمَكَّةَ وَكَانَ
بِمَكَّةَ امْرَأَةٌ بَغِيٌّ
يُقَالُ لَهَا عَنَاقٌ وَكَانَتْ
صَدِيْقَتَهُ. قَالَ :
فَجِئْتُ إِلىَ النَّبِيِّ
صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى
آلِهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ يَا
رَسُوْلَ اللهِ أَنْكِحُ عَنَاقًا ؟
قَالَ : فَسَكَتَ عَنِّيْ
فَنَزَلَتْ : ))وَالزَّانِيَةُ لَا
يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ
مُشْرِكٌ(( فَدَعَانِيْ
فَقَرَأَهَا عَلَيَّ. وَقَالَ : لاَ
تَنْكِحْهَا

“ Sesungguhnya Martsad bin Abi
Martsad Al-Ghanawy membawa
tawanan perang dari Makkah,
dan di Makkah ada seorang
perempuan pelacur disebut
dengan (nama) ‘Anaq dan ia
adalah teman (Martsad).
(Martsad) berkata, ‘ Maka saya
datang kepada Nabi shallallahu ‘
alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam lalu
saya berkata, ‘ Ya Rasulullah,
(apakah) saya (boleh) menikahi ‘
Anaq? ’.’ Martsad berkata, ‘
Maka beliau diam, lalu turunlah
(ayat), ‘ Dan perempuan yang
berzina tidak dinikahi melainkan
oleh laki-laki yang berzina atau
laki-laki musyrik .’ Kemudian
beliau memanggilku lalu
membacakannya padaku dan
beliau berkata, ‘ Jangan kamu
menikahi dia .’ . ” (Hadits hasan,
riwayat Abu Daud no. 2051, At-
Tirmidzy no. 3177, An-Nasa`i
6/66 dan dalam Al-Kubra 3/269,
Al-Hakim 2/180, Al-Baihaqy
7/153, Ibnul Jauzy dalam At-
Tahqiq no. 1745, dan disebutkan
oleh Syaikh Muqbil rahimahullah
dalam Ash-Shahih Al-Musnad
Min Asbabin Nuzul )
Ayat dan hadits ini tegas
menunjukkan haram menikah
dengan perempuan pezina.
Namun, hukum haram tersebut
berlaku bila ia belum bertaubat.
Adapun kalau ia telah bertaubat
maka terhapuslah hukum haram
menikah dengan perempuan
pezina tersebut, berdasarkan
sabda Rasulullah shallallahu ‘
alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam,

التَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ
كَمَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ

“ Orang yang bertaubat dari
dosa seperti orang yang tidak
ada dosa baginya. ” (Dihasankan
oleh Syaikh Al-Albany dalam
Adh-Dha’ifah 2/83 dari seluruh
jalan-jalannya)
Adapun para ulama yang
mengatakan bahwa kata nikah
dalam ayat 3 surah An-Nur ini
bermakna jima ’ , atau yang
mengatakan bahwa ayat ini
mansukh ‘ terhapus hukumnya ’,
adalah pendapat yang jauh dari
kebenaran, dan pendapat ini
(yaitu yang mengatakan
bermakna jima’ atau mansukh)
telah dibantah secara tuntas
oleh Ibnu Taimiyah dalam Al-
Fatawa 32/112-116. Pendapat
yang mengatakan haram
menikah dengan perempuan
pezina sebelum bertaubat juga
dikuatkan oleh Asy-Syinqithy
dalam Adhwa` Al-Bayan
6/71-84 dan lihat Zadul Ma’ad
5/114-115.
Lihat permasalahan di atas
dalam Al-Ifshah 8/81-84, Al-
Mughny 9/562-563 (cet. Dar
‘Âlamil Kutub), dan Al-Jami’ Lil
Ikhtiyarat Al-Fiqhiyah
2/582-585.

Catatan
Sebagian ulama berpendapat
bahwa perlu diketahui
kesungguhan taubat perempuan
yang berzina ini dengan cara
dirayu untuk berzina. Kalau ia
menolak, berarti taubatnya telah
baik. Pendapat ini disebutkan
oleh Al-Mardawy dalam Al-
Inshaf 8/133, diriwayatkan dari
‘Umar dan Ibnu ‘Abbas, dan
merupakan pendapat Imam
Ahmad. Ibnu Taimiyah, dalam
Al-Fatawa 32/125, kelihatan
condong ke pendapat ini.
Tetapi Ibnu Qudamah, dalam Al-
Mughny 9/564, berpendapat
lain. Beliau berkata, “ Tidak
pantas bagi seorang muslim
mengajak perempuan untuk
berzina dan memintanya. Karena
permintaannya ini (dilakukan)
pada saat ber-khalwat
‘berduaan’ padahal tidak halal
ber-khalwat dengan Ajnabiyah
‘perempuan bukan mahram’
walaupun untuk mengajarinya
(Ajnabiyah) Al-Qur`an, maka
bagaimana (bisa) hal tersebut
dihalalkan dalam merayunya
(Ajnabiyah) untuk berzina? ”
Maka yang benar adalah ia
bertaubat atas perbuatan
zinanya, sebagaimana ia
bertaubat kalau melakukan dosa
besar yang lainnya. Yaitu dengan
lima syarat:

  1. Ikhlas karena Allah.

  2. Menyesali perbuatannya.

  3. Meninggalkan dosa tersebut.

  4. Ber-‘azam dengan sungguh-
    sungguh tidak akan
    mengulanginya.

  5. Pada waktu yang masih bisa
    bertaubat seperti sebelum
    matahari terbit dari Barat dan
    sebelum ruh sampai ke
    tenggorokan.

Dan bukan di sini tempat
menguraikan dalil-dalil lima
syarat ini. Wallahu A’lam.

Syarat Kedua , telah lepas
‘iddah.
Para ulama berbeda pendapat
apakah lepas ‘iddah, apakah
merupakan syarat bolehnya
menikahi perempuan yang
berzina atau tidak, ada dua
pendapat:
Pertama , wajib ‘iddah. Ini
adalah pendapat Hasan Al-
Bashry, An-Nakha’iy, Rabi’ah bin
‘Abdurrahman, Imam Malik, Ats-
Tsaury, Imam Ahmad dan Ishaq
bin Rahawaih.
Kedua , tidak wajib ‘iddah. Ini
adalah pendapat Imam Syafi’iy
dan Abu Hanifah, tapi ada
perbedaan antara mereka
berdua pada satu hal, yaitu
menurut Imam Syafi’iy boleh
untuk melakukan akad nikah
dengan perempuan yang berzina
dan boleh ber-jima’ dengannya
setelah akad, apakah orang yang
menikahinya itu adalah orang
yang menzinahinya itu sendiri
atau selainnya. Sedangkan Abu
Hanifah berpendapat boleh
melakukan akad nikah
dengannya dan boleh ber-jima’
dengannya, apabila yang
menikahinya adalah orang yang
menzinahinya itu sendiri. Tapi
kalau yang menikahinya selain
orang yang menzinahinya maka
boleh melakukan akad nikah
tapi tidak boleh ber- jima’
sampai istibra` (telah nampak
kosongnya rahim dari janin)
dengan satu kali haid atau
sampai melahirkan kalau
perempuan tersebut dalam
keadaan hamil.
Tarjih
Yang benar dalam masalah ini
adalah pendapat pertama yang
wajib ‘iddah berdasarkan dalil-
dalil berikut ini.
Dalil pertama , hadits Abu Sa’id
Al-Khudry radhiyallahu ‘anhu,
sesungguhnya Nabi shallallahu ‘
alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam
bersabda tentang tawanan
perang Authas,

لاَ تُوْطَأُ حَامِلٌ حَتَّى
تَضَعُ وَلاَ غَيْرُ حَامِلٍ
حَتَّى تَحِيْضَ حَيْضَةً

“ Jangan dipergauli perempuan
hamil sampai ia melahirkan dan
jangan (pula) yang tidak hamil
sampai ia telah haid satu kali.
” (diriwayatkan olehAhmad
3/62,87, Abu Daud no. 2157, Ad-
Darimy 2/224, Al-Hakim 2/212,
Al-Baihaqy 5/329, 7/449, Ath-
Thabarany dalam Al-Ausath no.
1973,dan Ibnul Jauzy dalam At-
Tahqiq no. 307. Di dalam
sanadnya ada rawi yang
bernama Syarik bin ‘Abdullah
An-Nakha’iy dan ia lemah
karena hafalannya yang jelek,
tetapi hadits ini mempunyai
dukungan dari jalan yang lain
dari beberapa orang shahabat
sehingga dishahihkan dari
seluruh jalan-jalannya oleh
Syaikh Al-Albany dalam Al-
Irwa` no. 187)
Dalil kedua , hadits Ruwaifi’ bin
Tsabit radhiyallahu ‘anhu dari
Nabi shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala
alihi wa sallam , beliau bersabda,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلاَ يَسْقِ
مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ

“ Siapa yang beriman kepada
Allah dan hari akhirat, maka
jangan ia menyiramkan airnya ke
tanaman orang lain.
” (diriwayatkan olehAhmad
4/108,Abu Daud no. 2158,At-
Tirmidzy no. 1131, Al-Baihaqy
7/449, Ibnu Qani’ dalam Mu’jam
Ash-Shahabah 1/217, Ibnu Sa’ad
dalam Ath-Thabaqat 2/114-115,
dan Ath-Thabarany 5/no. 4482.
Dihasankan oleh Syaikh Al-
Albany dalam Al-Irwa` no.
2137)
Dalil ketiga , hadits Abu Ad-
Darda` riwayat Muslimdari Nabi
shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi
wa sallam ,

أَنَّهُ أَتَى بِامْرَأَةٍ مُجِحٍّ
عَلَى بَابِ فُسْطَاطٍ
فَقَالَ لَعَلَّهُ يُرِيْدُ أَنْ
يُلِمَّ بِهَا فَقَالُوْا نَعَمْ
فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ
اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ
وَسَلَّمَ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ
أَلْعَنَهُ لَعْنًا يَدْخُلُ مَعَهُ
قَبْرَهُ كَيْفَ يُوَرِّثُهُ
وَهُوَ لاَ يَحِلُّ لَهُ كَيْفَ
يَسْتَخْدِمُهُ وَهُوَ لاَ
يَحِلُّ لَهُ .

“ Beliau mendatangi seorang
perempuan yang hampir
melahirkan di pintu Pusthath.
Beliau bersabda, ‘ Barangkali
orang itu ingin menggaulinya?
’ ( Para sahabat) menjawab, ‘
Benar. ’ Maka Rasulullah
shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi
wa sallam bersabda, ‘ Sungguh
saya telah berkehendak untuk
melaknatnya dengan laknat yang
dibawa ke kuburnya. Bagaimana
ia mewarisinya sedangkan itu
tidak halal baginya dan
bagaimana ia
memperbudakkannya sedang ia
tidak halal baginya ’ . ”
Berkata Ibnul Qayyim
rahimahullah, “ Dalam (hadits)
ini ada dalil yang sangat jelas
akan haramnya menikahi
perempuan hamil, apakah
hamilnya itu karena suaminya,
tuannya (kalau ia seorang
budak-pent.), syubhat (yaitu
nikah dengan orang yang haram
ia nikahi karena tidak tahu atau
karena ada kesamar-samaran-
pent.) atau karena zina. ”
Nampaklah dari sini kuatnya
pendapat yang mengatakan
wajib ‘iddah dan pendapat ini
yang dikuatkan oleh Ibnu
Taimiyah, Ibnul Qayyim, Asy-
Syinqithy, Syaikh Ibnu Baz dan
Al-Lajnah Ad-Daimah (Lembaga
Fatwa Saudi Arabia). Wallahu
A’lam.

Catatan

Nampak dari dalil-dalil yang
disebutkan di atas bahwa
perempuan hamil karena zina
tidak boleh dinikahi sampai
melahirkan, maka ini ‘iddah bagi
perempuan yang hamil karena
zina dan ini juga ditunjukkan
oleh keumuman firman Allah ‘
Azza Wa Jalla,
“ Dan perempuan-perempuan
yang hamil waktu ‘iddah mereka
sampai mereka melahirkan
kandungannya. ” [ Ath-Thalaq:
4 ]
Adapun perempuan yang
berzina dan belum nampak
hamilnya, ‘iddahnya
diperselisihkan oleh para ulama
yang mewajibkan ‘iddah bagi
perempuan yang berzina.
Sebagian para ulama
mengatakan bahwa iddahnya
adalah istibra` dengan satu kali
haid, sedangkan ulama yang
lainnya berpendapat bahwa tiga
kali haid yaitu sama dengan
‘iddah perempuan yang ditalak.
Namun, yang dikuatkan oleh
Imam Malik dan Ahmad, dalam
satu riwayat, adalah cukup
dengan istibra` dengan satu kali
haid. Pendapat ini yang
dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah
berdasarkan hadits Abu Sa’id Al-
Khudry di atas. Adapun ‘iddah
dengan tiga kali haid hanya
disebutkan dalam Al-Qur`an
bagi perempuan yang ditalak
(diceraikan) oleh suaminya,
sebagaimana dalam firman Allah
Jalla Sya`nuhu,
“ Dan wanita-wanita yang ditalak
(hendaknya) mereka menahan
diri (menunggu) selama tiga kali
quru`(haid). ” [ Al-Baqarah:
228 ]
Kesimpulan

  1. Tidak boleh menikah dengan
    perempuan yang berzina kecuali
    dengan dua syarat, yaitu bila
    perempuan tersebut telah
    bertaubat dari perbuatan
    nistanya dan telah lepas
    ‘iddahnya.

  2. Ketentuan perempuan yang
    berzina dianggap lepas ‘iddah
    adalah sebagai berikut:
    Kalau ia hamil, ‘iddahnya adalah
    sampai melahirkan.
    Kalau ia belum hamil, ‘iddahnya
    adalah sampai ia telah haid satu
    kali semenjak melakukan
    perzinahan tersebut.
Wallahu
Ta’ala A’lam.

Lihat pembahasan di atas dalam
Al-Mughny 9/561-565,
11/196-197, Al-Ifshah 8/81-84,
Al-Inshaf 8/132-133, Takmilah
Al-Majmu’ 17/348-349,
Raudhah Ath-Thalibin 8/375,
Bidayatul Mujtahid 2/40, Al-
Fatawa 32/109-134, Zadul
Ma’ad 5/104-105, 154-155,
Adhwa` Al-Bayan 6/71-84, dan
Jami’ Lil Ikhtiyarat Al-Fiqhiyah
Li Syaikhil Islam Ibnu Taimiyah
2/582-585, 847-850.

Telah jelas, dari uraian di atas,
bahwa perempuan yang hamil,
baik hamil karena pernikahan
sah, syubhat maupun karena
zina, ‘iddahnya adalah sampai
melahirkan. Para ulama
bersepakat bahwa akad nikah
pada masa ‘iddah adalah akad
yang batil lagi tidak sah. Kalau
keduanya tetap melakukan akad
nikah dan melakukan hubungan
suami-istri setelah keduanya
mengetahui haramnya
melakukan akad pada masa
‘iddah, keduanya dianggap
pezina dan keduanya harus
diberi hadd ‘ hukuman ’ sebagai
pezina kalau negara mereka
menerapkan hukum Islam.
Demikian keterangan Imam Ibnu
Qudamah dalam Al-Mughny
11/242.


Di sadur sebagian dari http://an-nashihah.com/?p=93

1 komentar:

XD mengatakan...

artikel bagus bro

visit back yya

http://www.majalahbara-smaga.co.cc/

Posting Komentar