Penulis: Al-
Ustadz Abu Muhammad Harist
Sesungguhnya, wajib atas setiap
muslim mengimani segala yang
diberitakan di dalam Al-Qur’an.
Termasuk dalam hal ini, kisah
dua putra Adam Alaihissalam
yang dikisahkan oleh Allah
Subhanahu wa Ta’ala dalam Al-
Qur’anul Karim. Kisah ini
menjelaskan betapa buruknya
akibat kedengkian, kezaliman,
dan kejahatan serta permusuhan
dalam kisah dua putra Adam
tersebut, baik pemberian nama
mereka itu shahih atau tidak.1
Baik disebabkan perebutan calon
istri, sebagaimana dinukil
sebagian ulama, ataukah sebab
lainnya. Yang jelas, tujuannya
adalah kita memahami sebab
dan akibat yang sama berikut
hukum yang diberlakukan di
balik kisah tersebut.
Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ
ابْنَيْ ءَادَمَ بِالْحَقِّ إِذْ
قَرَّبَا قُرْبَانًا
فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا
وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الْآخَرِ
قَالَ لَأَقْتُلَنَّكَ قَالَ
إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللهُ مِنَ
الْمُتَّقِينَ. لَئِنْ
بَسَطْتَ إِلَيَّ يَدَكَ
لِتَقْتُلَنِي مَا أَنَا
بِبَاسِطٍ يَدِيَ إِلَيْكَ
لِأَقْتُلَكَ إِنِّي أَخَافُ اللهَ
رَبَّ الْعَالَمِينَ. إِنِّي
أُرِيدُ أَنْ تَبُوءَ بِإِثْمِي
وَإِثْمِكَ فَتَكُونَ مِنْ
أَصْحَابِ النَّارِ وَذَلِكَ
جَزَاءُ الظَّالِمِينَ.
فَطَوَّعَتْ لَهُ نَفْسُهُ
قَتْلَ أَخِيهِ فَقَتَلَهُ
فَأَصْبَحَ مِنَ الْخَاسِرِينَ.
فَبَعَثَ اللهُ غُرَابًا
يَبْحَثُ فِي الْأَرْضِ
لِيُرِيَهُ كَيْفَ يُوَارِي
سَوْأَةَ أَخِيهِ قَالَ
يَاوَيْلَتَا أَعَجَزْتُ أَنْ
أَكُونَ مِثْلَ هَذَا الْغُرَابِ
فَأُوَارِيَ سَوْأَةَ أَخِي
فَأَصْبَحَ مِنَ النَّادِمِينَ
Ceriterakanlah kepada mereka
kisah kedua putra Adam (Habil
dan Qabil) menurut yang
sebenarnya, ketika keduanya
mempersembahkan korban,
maka diterima dari salah seorang
dari mereka berdua (Habil) dan
tidak diterima dari yang lain
(Qabil). Ia berkata (Qabil): “Aku
pasti membunuhmu!” Berkata
Habil: “Sesungguhnya Allah
hanya menerima (korban) dari
orang-orang yang bertakwa.
Sungguh kalau kamu
menggerakkan tanganmu
kepadaku untuk membunuhku,
aku sekali-kali tidak akan
menggerakkan tanganku
kepadamu untuk membunuhmu.
Sesungguhnya aku takut kepada
Allah, Rabb semesta alam.
Sesungguhnya aku ingin agar
kamu kembali dengan
(membawa) dosa (membunuh)ku
dan dosamu sendiri, maka kamu
akan menjadi penghuni neraka,
dan yang demikian itulah
pembalasan bagi orang-orang
yang zalim.”
Maka hawa nafsu Qabil
menjadikannya menganggap
mudah membunuh saudaranya,
sebab itu dibunuhnyalah (Habil).
Maka jadilah ia seorang di antara
orang-orang yang merugi.
Kemudian Allah menyuruh
seekor burung gagak menggali-
gali di bumi untuk
memperlihatkan kepadanya
(Qabil) bagaimana dia
seharusnya menguburkan mayat
saudaranya. Berkata Qabil:
“Aduhai celaka aku, mengapa
aku tidak mampu berbuat
seperti burung gagak ini, lalu
aku dapat menguburkan mayat
saudaraku ini?” Karena itu
jadilah dia seorang di antara
orang-orang yang menyesal. (Al-
Maidah: 27-31)
Itulah kisah yang disebutkan
oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala
dalam Al-Qur’an. Kisah yang
pasti mengandung pelajaran.
Sebagaimana yang Allah
Subhanahu wa Ta’ala tegaskan
dalam ayat yang lain:
لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ
عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ
مَا كَانَ حَدِيثًا يُفْتَرَى
“Sesungguhnya pada kisah-kisah
mereka itu terdapat pengajaran
bagi orang-orang yang
mempunyai akal. Al-Qur’an itu
bukanlah cerita yang dibuat-
buat.” (Yusuf: 111)
Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ
ابْنَيْ ءَادَمَ بِالْحَقِّ
“Ceriterakanlah kepada mereka
kisah kedua putra Adam (Habil
dan Qabil) menurut yang
sebenarnya.” (Al-Maidah: 27)
Dalam ayat-ayat yang mulia ini,
Allah Subhanahu wa Ta’ala
memerintahkan kepada Rasul-
Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
”Ceritakanlah –wahai Rasul–
kepada Bani Israil, cerita tentang
dua putra Adam ‘alaihissalam,
secara utuh, tidak menambah
atau menguranginya.”
Ceritakanlah agar orang yang
mau mengambil pelajaran dapat
memetik faedahnya, dengan
penuh kejujuran, tanpa
kedustaan, sungguh-sungguh,
dan bukan main-main.
Adam dan Hawwa turun ke
dunia
Adam ‘alaihissalam sudah turun
ke bumi. Hawwa pun demikian.
Iblis tak ketinggalan, dia diusir
dan diturunkan ke dunia disertai
laknat hingga hari pembalasan.
Para ulama berbeda pendapat
tentang di mana Adam dan
Hawwa diturunkan. Ada yang
mengatakan bahwa Adam
diturunkan di India, sedangkan
Hawwa di Jeddah. Ada pula yang
berpendapat Adam turun di
Shafa, sedangkan Hawwa di
Marwah.
Yang jelas, mereka semua
diturunkan ke dunia ini. Wallahu
a’lam.
Adam dan Hawwa mulai
merasakan pahit getir yang
belum pernah mereka dapatkan
di dalam jannah. Beberapa
waktu kemudian Hawwa mulai
mengandung dan tak lama dia
pun melahirkan anaknya.
Kemudian lahir pula putra
mereka berikutnya.
Anak-anak tersebut tumbuh
dewasa di bawah pengawasan
kedua orangtua mereka.
Mulailah mereka berusaha
mengolah bumi ini, mencari
rezeki Allah Subhanahu wa
Ta’ala.
Setan yang telah bersumpah
untuk menghancurkan manusia
dan menyeret mereka agar
menyertainya di dalam neraka,
tidak pernah berhenti mencari
jalan untuk menyesatkan
mereka. Akhirnya dia melihat
kesempatan tersebut.
Ketika dua anak tersebut sudah
tumbuh dewasa dan masing-
masing mempunyai usaha untuk
penghidupannya, mereka
diperintahkan untuk
mengeluarkan sebagian harta
mereka sebagai korban untuk
mendekatkan diri kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
Qabil yang bekerja sebagai
petani, memilih harta yang akan
dikorbankannya dari hasil panen
sawah ladangnya. Dia pun
mengambil buah atau tanaman
yang buruk sebagai korbannya.
Sedangkan Habil, bekerja
sebagai penggembala ternak. Dia
memilih untuk korbannya salah
satu ternaknya yang terbaik,
paling gemuk dan sehat.
Dalam syariat umat terdahulu,
tanda diterimanya suatu korban
adalah dengan turunnya api
membakar korban tersebut.
Hari berikutnya, terlihatlah
bahwa hasil panen yang
dipersembahkan Qabil masih
utuh di tempatnya. Sedangkan
ternak gemuk yang dikorbankan
Habil tidak ada lagi, tanda
bahwa korbannya diterima.
Kenyataan ini menumbuhkan
kedengkian dalam diri Qabil, dia
berkata (sebagaimana dalam
ayat):
لَأَقْتُلَنَّكَ
“Aku pasti membunuhmu!”
Habil berkata kepadanya (seperti
dalam ayat):
إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللهُ مِنَ
الْمُتَّقِينَ
“‘Sesungguhnya Allah hanya
menerima (korban) dari orang-
orang yang bertakwa.’ Apa dosa
dan kesalahanku hingga harus
kau bunuh? Tidak lain karena
aku bertakwa kepada Allah,
yang takwa itu wajib atasku,
atasmu, dan atas setiap orang.”
Qabil tetap meradang dan ingin
membunuh Habil. Sementara
Habil, tidak ada ucapan lain
selain mengingatkannya:
لَئِنْ بَسَطْتَ إِلَيَّ
يَدَكَ لِتَقْتُلَنِي مَا أَنَا
بِبَاسِطٍ يَدِيَ إِلَيْكَ
لِأَقْتُلَكَ
“Sungguh kalau kamu
menggerakkan tanganmu
kepadaku untuk membunuhku,
aku sekali-kali tidak akan
menggerakkan tanganku
kepadamu untuk
membunuhmu.”
Yakni, seandainya engkau
memulai untuk membunuhku,
maka aku tidak akan
memulainya. Aku pun tidak akan
membalas seperti yang engkau
lakukan. Tapi aku hanya
mengingatkan engkau kepada
Allah Rabb semesta alam.
Artinya, dia tidak ingin membela
dirinya2 bila dibunuh oleh
saudaranya. Meskipun dia lebih
kuat dan mampu mengalahkan
saudaranya. Lalu Habil
menerangkan apa sebabnya dia
tidak ingin membalas
(sebagaimana ayat):
إِنِّي أَخَافُ اللهَ رَبَّ
الْعَالَمِينَ
“Sesungguhnya aku takut
kepada Allah, Rabb semesta
alam.”
Itulah alasan mengapa dia tidak
ingin membalas. Orang yang
takut kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala, tidak akan berani
berbuat dosa, terlebih dosa-dosa
besar.
Namun Qabil tidak bergeming
mendengar nasihat tersebut. Dia
tetap pada keinginannya
membunuh Habil. Maka Habil
beralih menakut-nakutinya
dengan azab Allah Subhanahu
wa Ta’ala, memberikan targhib
dan tarhib. Habil berkata kepada
Qabil (sebagaimana dalam ayat):
إِنِّي أُرِيدُ أَنْ تَبُوءَ
بِإِثْمِي وَإِثْمِكَ
فَتَكُونَ مِنْ أَصْحَابِ
النَّارِ وَذَلِكَ جَزَاءُ
الظَّالِمِينَ
“Sesungguhnya aku ingin agar
kamu kembali membawa dosa
(membunuh)ku dan dosamu
sendiri, maka kamu akan
menjadi penghuni neraka, dan
yang demikian itulah pembalasan
bagi orang-orang yang zalim.”
Artinya, aku ingin agar kamu
kembali kepada Rabb kita pada
hari kiamat dengan dosa
pembunuhan yang kau lakukan
terhadapku dan dosa yang kau
bawa selama hidupmu, sehingga
dengan sebab itu engkau
menjadi penghuni neraka, kekal
di dalamnya. Na’udzubillahi min
dzalik.
Namun, targhib dan tarhib ini
pun tidak berguna bagi Qabil.
Sebab, setan telah menguasai
dan memenuhi hatinya dengan
hasad dan dendam kepada
saudaranya. Akhirnya:
فَطَوَّعَتْ لَهُ نَفْسُهُ
قَتْلَ أَخِيهِ
“Maka hawa nafsu Qabil
menjadikannya menganggap
remeh membunuh saudaranya.”
Hawa nafsunya membangkitkan
keberaniannya, bahkan
membuatnya memandang indah
sehingga dia pun membunuhnya.
فَأَصْبَحَ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Maka jadilah ia seorang di
antara orang-orang yang
merugi.”
Dia menyesal karena tidak tahu
apa yang harus diperbuatnya
terhadap mayat saudaranya.
Itulah kejahatan pertama dalam
sejarah peradaban manusia.
Pemicunya adalah hasad. Jadi,
hasad adalah kemaksiatan
pertama yang dengan itu Allah
Subhanahu wa Ta’ala didurhakai
di muka bumi.
Inilah salah satu pangkal
terjadinya kekafiran di muka
bumi.
Kisah ini menunjukkan pula
kepada kita bahwa setiap orang
yang memperoleh nikmat tentu
akan menjadi sasaran
kedengkian dari orang yang
bersifat dengki.
Seperti diungkapkan:
وَإِذا أَرادَ اللهُ نَشْرَ
فَضيلَةٍ طُوِيَتْ
أَتـاحَ لَها لِسـانَ حَسـودِ
لَوْلَا اشْتِعَالُ النَّارِ
فِيمَا جاوَرَتْ
مَا كَانَ يُعرَفُ طِيبُ عُرْفِ
الْعَوْدِ
Dan jika Allah ingin tersebarnya
keutamaan yang tergulung
Dia bentangkan untuknya lisan
orang yang dengki
Kalau bukan karena nyala api
pada apa yang di dekatnya
Niscaya tak akan dikenal
harumnya kayu gaharu
Orang yang dengki itu, tidak
ridha dengan qadha dan qadar
Allah Subhanahu wa Ta’ala serta
pembagian-Nya.
Al-Hasan Al-Bashri
rahimahullahu menasihatkan:
”Wahai Bani Adam (manusia),
mengapa engkau mendengki
saudaramu? Kalau sesuatu yang
diberikan kepadanya itu adalah
kemuliaan baginya, maka
mengapa engkau dengki kepada
orang yang dimuliakan oleh
Allah Subhanahu wa Ta’ala? Dan
kalau bukan, maka untuk apa
engkau dengki kepada orang
yang tempat kembalinya adalah
neraka?”3
Orang yang dengki adalah
musuh bagi kenikmatan yang
Allah Subhanahu wa Ta’ala
berikan.
‘Aun bin ‘Abdillah memberi
nasihat kepada Al-Fadhl bin Al-
Muhallab yang saat itu menjadi
gubernur Wasith: ”Hati-hatilah,
jauhilah olehmu sifat dengki.
Karena yang mendorong anak
Adam membunuh saudaranya
adalah ketika dia dijangkiti rasa
dengki kepada saudaranya.”
Iri dan dengki adalah kezaliman.
Karena dia mengharapkan
hilangnya nikmat yang Allah
Subhanahu wa Ta’ala berikan
kepada seseorang.
Dengki4 ini asalnya diharamkan,
kecuali pada dua tempat,
sebagaimana disebutkan dalam
sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam:
لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِي
اثْنَتَيْنِ: رَجُلٍ آتَاهُ اللهُ
مَالاً فَسَلَّطَهُ عَلَى
هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ؛
وَرَجُلٍ آتَاهُ اللهُ حِكْمَةً
فَهُوَ يَقْضِي بِهَا
وَيُعَلِّمُهَا
“Tidak boleh dengki kecuali pada
dua hal; seseorang yang Allah
beri harta lalu dipakai untuk
dihabiskan di jalan al-haq; dan
seseorang yang diberi Allah
hikmah lalu dia memutuskan
dengan hikmah itu dan
mengajarkannya.”5
Dengki adalah penyakit
berbahaya yang pernah
menjangkiti bangsa manusia
sebelum kita. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
دَبَّ إِلَيْكُمْ دَاءُ الْأُمَمِ
قَبْلَكُمُ الْحَسَدُ
وَالْبَغْضَاءُ هِيَ الْحَالِقَةُ،
لاَ أَقُولُ تَحْلِقُ الشَّعَرَ
وَلَكِنْ تَحْلِقُ الدِّينَ
“Telah datang dan menyebar
kepada kamu penyakit umat
manusia sebelum kamu; (yaitu)
dengki dan kebencian; yang ini
merupakan pencukur. Saya tidak
katakan dia mencukur rambut,
tetapi mencukur agama.”6
Ibnul Qayyim rahimahullahu
mengatakan bahwa rukun
kekafiran ada empat, yaitu:
- Kibr (sombong, merasa besar)
- Hasad (iri, dengki)
- Marah
- Syahwat7
Kibr ini, didefinisikan sendiri oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam:
الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ
وَغَمْطُ النَّاسِ
“Kibr (sombong) artinya ialah
menolak kebenaran dan
meremehkan manusia.” (HR.
Muslim)
Bersemayamnya sifat ini di dalam
diri seorang manusia akan
menjadi penghalang baginya
untuk tunduk.
Adapun hasad yang artinya
adalah keinginan agar lenyapnya
kenikmatan yang diperoleh
orang lain, walaupun dia sendiri
tidak memperolehnya. Sifat ini
akan menghalangi pemiliknya
untuk menerima dan memberi
nasihat.
Rasa marah akan menghalangi
pemiliknya dari sifat adil dan
tawadhu’. Sedangkan syahwat
akan menghalangi pemiliknya
dari ibadah.
Maka, apabila kesombongan itu
runtuh, mudahlah bagi
seseorang untuk tunduk. Jika
sifat hasad ini lenyap niscaya
mudahlah baginya menerima
dan memberi nasihat. Kemudian,
apabila rasa marah ini runtuh,
mudahlah dia bersikap adil dan
rendah hati (tawadhu’). Jika
rukun syahwat ini juga runtuh
maka mudahlah baginya untuk
bersabar, memiliki sifat ‘iffah
(menjaga kehormatan dirinya),
lebur dalam ibadah.
Hancur leburnya gunung-
gunung dari tempatnya, lebih
mudah dibandingkan lenyapnya
keempat pilar ini dari mereka
yang diuji dengannya. Terlebih
lagi jika keempatnya telah
menjadi watak atau kepribadian
yang melekat dan kokoh. Karena
tidak akan mungkin lurus suatu
amal dikerjakan jika keempat hal
ini bersemayam dalam hati
seseorang. Jiwa tidak akan
menjadi suci dengan kekalnya
keempat pilar ini.
Semakin dia bersungguh-
sungguh (ijtihad) dalam beramal,
maka keempat rukun ini justru
merusak amalan tersebut.
Bahkan seluruh kerusakan dan
kekurangan itu terlahir dari
keempat perkara ini. Maka
apabila keempatnya semakin
kokoh tertanam di dalam hati
niscaya dia akan memperlihatkan
kebatilan sebagai suatu
kebenaran, yang benar sebagai
suatu kebatilan, yang ma’ruf
dalam bentuk kemungkaran,
dan kemungkaran sebagai suatu
yang ma’ruf. Dunia memang
semakin dekat kepadanya, tetapi
akhirat semakin jauh darinya.
Keempat rukun ini muncul dari
kebodohan pemiliknya tentang
Allah Subhanahu wa Ta’ala
(Rabbnya), dan tentang keadaan
dirinya. Sebab, kalau dia
mengenal Rabbnya, melalui sifat-
sifat dan keadaan-keadaan-Nya
Yang Maha Sempurna dan Maha
Mulia, mengenal pula keadaan
dirinya yang penuh kekurangan,
niscaya dia tidak akan merasa
besar (sombong, takabbur),
marah dan tidak dengki kepada
siapapun terhadap apa yang
telah Allah Subhanahu wa Ta’ala
berikan kepadanya. Karena
kedengkian itu hakikatnya
merupakan salah satu bentuk
permusuhan kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala, karena
pelakunya tidak senang dengan
nikmat Allah Subhanahu wa
Ta’ala tercurah kepada hamba-
Nya padahal Allah Subhanahu
wa Ta’ala mencintainya. Lalu dia
ingin nikmat itu lenyap dari
orang tersebut, padahal Allah
Subhanahu wa Ta’ala tidak
menyukai hal itu. Ini berarti dia
menentang Allah Subhanahu wa
Ta’ala dalam qadha dan qadar-
Nya, cinta dan benci-Nya.
Karena itulah, hakikatnya iblis
menjadi musuh Allah Subhanahu
wa Ta’ala. Sebab, dosa yang
dilakukannya berangkat dari sifat
kibr dan hasad.
Maka untuk menumpas kedua
sifat ini, adalah dengan
mengenal Allah Subhanahu wa
Ta’ala dan mentauhidkan-Nya,
ridha kepada-Nya, dan
senantiasa kembali kepada-Nya.
Sedangkan rasa marah, dicabut
dengan mengenal keadaan jiwa
kita sendiri, bahwasanya dia tidak
pantas serta tidak berhak marah
dan membalas karena pribadi.
Karena hal itu berarti dia
mementingkan dirinya daripada
Penciptanya. Sedangkan cara
paling ampuh memperbaiki hal
ini adalah dengan
mengembalikannya untuk
merasa marah dan ridha karena
Allah Subhanahu wa Ta’ala
semata.
Adapun syahwat, obatnya adalah
lurusnya ilmu dan ma’rifat.
Setiap kali dia membuka pintu
syahwat ini, semakin
terhalanglah dia dari ilmu dan
ma’rifat tersebut.
Terakhir, rasa marah. Seperti
binatang buas, jika pemiliknya
melepasnya, niscaya dia akan
menerkam pemiliknya. Syahwat
itu seperti api yang dinyalakan
pemiliknya lalu membakar
segalanya. Sedangkan
kesombongan (kibr) seperti
pemberontak yang
menggulingkan seorang raja dari
kekuasaannya. Kalau dia tidak
membinasakanmu, maka dia
tentu mengusirmu dari dekatnya.
Dan hasad, seperti permusuhan
yang kita lancarkan kepada
orang yang lebih kuat dan
berkuasa daripada kita.
Orang yang mampu
mengalahkan syahwat dan rasa
marahnya, niscaya setan pun
takut mendekati bayangan orang
tersebut. Sebaliknya, orang yang
dikalahkan oleh syahwat dan
rasa marahnya, maka dia justru
takut kepada bayangan
khayalnya sendiri.
Demikian uraian Ibnul Qayyim
rahimahullahu.
Adapun Qabil, semakin panik.
Tidak tahu apa yang harus
dilakukannya terhadap mayat
saudaranya. Akhirnya dia
memikul jenazah itu beberapa
hari sampai Allah Subhanahu wa
Ta’ala kirim dua ekor gagak, lalu
salah satunya mengorek tanah
untuk menutupi bangkai gagak
lainnya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
فَبَعَثَ اللهُ غُرَابًا
يَبْحَثُ فِي الْأَرْضِ
لِيُرِيَهُ كَيْفَ يُوَارِي
سَوْأَةَ أَخِيهِ قَالَ
يَاوَيْلَتَا أَعَجَزْتُ أَنْ
أَكُونَ مِثْلَ هَذَا الْغُرَابِ
فَأُوَارِيَ سَوْأَةَ أَخِي
فَأَصْبَحَ مِنَ النَّادِمِينَ
Kemudian Allah menyuruh
seekor burung gagak menggali-
gali di bumi untuk
memperlihatkan kepadanya
(Qabil) bagaimana dia
seharusnya menguburkan mayat
saudaranya. Berkata Qabil:
“Aduhai celaka aku, apakah aku
tidak mampu berbuat seperti
burung gagak ini, lalu aku dapat
menguburkan mayat saudaraku
ini?” Karena itu, jadilah dia
seorang di antara orang-orang
yang menyesal.
Di dalam kisah ini terdapat
banyak pelajaran yang dapat
diambil, di antaranya:
1. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:
وَمَنْ سَنَّ سُنَّةً سَيِّئَةً
فَعُمِلَ بِهَا كَانَ عَلَيْهِ
وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا
مِنْ بَعْدِهِ لاَ يَنْقُصُ مِنْ
أَوْزَارِهِمْ شَيْئًا
“Dan siapa yang melakukan satu
sunnah yang buruk lalu
diamalkan (orang lain)
sepeninggalnya, maka dia
menanggung dosanya dan dosa
orang-orang yang mengamalkan
sunnah itu sepeninggalnya,
tanpa mengurangi dosa mereka
sedikitpun.”8
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam juga bersabda:
مَا مِنْ نَفْسٍ تُقْتَلُ
ظُلْمًا إِلاَّ كَانَ عَلَى ابْنِ
آدَمَ اْلأَوَّلِ كِفْلٌ مِنْ
دَمِهَا، ذَلِكَ بِأَنَّهُ أَوَّلُ
مَنْ سَنَّ الْقَتْلَ
“Tidak ada satu pun jiwa yang
terbunuh secara zalim melainkan
atas Ibnu Adam yang pertama
bagian dari darahnya. Karena
dialah yang mula-mula
melakukan sunnah (tuntunan/
contoh)pembunuhan.”9
Karena itu pula Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ كَتَبْنَا
عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ
أَنَّهُ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا
بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ
فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا
قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ
أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا
النَّاسَ جَمِيعًا
“Oleh karena itu Kami tetapkan
(suatu hukum) bagi Bani Israil,
bahwa: barangsiapa yang
membunuh seorang manusia,
bukan karena orang itu
(membunuh) orang lain, atau
bukan karena membuat
kerusakan di muka bumi, maka
seakan-akan dia telah
membunuh manusia seluruhnya.
Dan barangsiapa yang
memelihara kehidupan seorang
manusia, maka seolah-olah dia
telah memelihara kehidupan
manusia semuanya.” (Al-Maidah:
32)
2. Kejinya tindak pembunuhan
dan betapa besar hukumannya
di sisi Allah Subhanahu wa
Ta’ala, bahkan Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman:
وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا
مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ
خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللهُ
عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ
عَذَابًا عَظِيمًا
“Dan barangsiapa yang
membunuh seorang mukmin
dengan sengaja, maka
balasannya ialah Jahannam,
kekal ia di dalamnya dan Allah
murka kepadanya, dan
mengutukinya serta
menyediakan azab yang besar
baginya.” (An-Nisa’: 93)
Di dalam hadits shahih,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى
اللهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ
مُسْلِمٍ
“Sungguh, lenyapnya dunia ini
lebih ringan atas Allah
dibandingkan terbunuhnya
seorang muslim.”10
Karena Allah Subhanahu wa
Ta’ala menciptakan dunia ini
untuknya agar dia melintasinya
menuju kampung akhirat dan
menjadikan dunia ini sebagai
ladang. Sehingga, siapa yang
melenyapkan orang yang dunia
ini diciptakan untuknya, berarti
dia sedang berusaha untuk
melenyapkan dunia.
Di dalam sebuah hadits, Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
مَا مِنْ ذَنْبٍ أَجْدَرُ أَنْ
يُعَجِّلَ اللهُ لِصَاحِبِهِ
الْعُقُوبَةَ فِي الدُّنْيَا مَعَ
مَا يَدَّخِرُ لَهُ فِي الْآخِرَةِ
مِنَ الْبَغْيِ وَقَطِيعَةِ
الرَّحِمِ
“Tidak ada satu dosa yang lebih
pantas disegerakan Allah
hukumannya di dunia
bersamaan dengan apa yang
Allah persiapkan untuk
pelakunya di akhirat, daripada
kezaliman dan memutuskan
silaturrahmi.”11
Sementara kedua dosa ini
dilakukan oleh Qabil terhadap
Habil. Dia melakukan kezaliman
dengan membunuh Habil
saudara kandungnya serta
memutuskan silaturrahmi.
3. Hasad (dengki) itu sudah ada
dalam di dalam diri manusia.
Al-Hasan Al-Bashri
rahimahullahu mengatakan:
”Tidak ada satu jasad pun
melainkan ada hasad di
dalamnya.” Akan tetapi orang
yang beriman tentu berusaha
menjauhinya, karena yakin akan
kejelekannya.
Alangkah tepat ungkapan ini:
أَلاَ قُلْ لِمَنْ بَاتَ لِي
حَاسِدًا
أَتَدْرِي عَلَى مَن أَسَأْتَ
الْأَدَبَ
أَسَأْتَ عَلَى اللهِ
سُبْحَانَهُ
لِأَنَّكَ لَمْ تَرْضَ لِي مَا
وَهَبَ
Ingatlah, katakan kepada yang
bermalam dalam keadaan hasad
kepadaku
Tahukah engkau kepada siapa
sesungguhnya engkau berbuat
kejelekan?
Engkau berbuat jelek kepada
Allah Subhanahu
Karena sesungguhnya engkau
tidak ridha terhadap apa yang
diberikan-Nya kepadaku
Memang, karena hal itu
menunjukkan dia menentang
qadha dan qadar Allah
Subhanahu wa Ta’ala, menyia-
nyiakan dirinya serta benci
kepada karunia Allah
Subhanahu wa Ta’ala yang
diberikannya kepada seseorang.
Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
أَمْ يَحْسُدُونَ النَّاسَ عَلَى
مَا ءَاتَاهُمُ اللهُ مِنْ
فَضْلِهِ فَقَدْ ءَاتَيْنَا
ءَالَ إِبْرَاهِيمَ الْكِتَابَ
وَالْحِكْمَةَ وَءَاتَيْنَاهُمْ
مُلْكًا عَظِيمًا
“Ataukah mereka dengki kepada
manusia (Muhammad) lantaran
karunia yang Allah telah berikan
kepadanya? Sesungguhnya Kami
telah memberikan Kitab dan
Hikmah kepada keluarga
Ibrahim, dan Kami telah
memberikan kepadanya kerajaan
yang besar.” (An-Nisa’: 54)
4. Adanya cobaan di antara
sesama saudara jika yang satu
dilebihkan dari yang lain.
Inilah yang menjadi salah satu
penyebab kedengkian. Sebab
lainnya di antaranya hidup
berdampingan, bertetangga,
persaingan, berdampingan
dalam segala hal. Seorang
pedagang kaki lima dengan
pedagang lainnya. Salah satu
dari mereka dengki kepada
lainnya. Begitu pula wanita-
wanita yang dimadu, dengki
kepada madunya, kecuali
mereka yang dirahmati Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Kemudian
cinta kedudukan, jabatan tinggi
yang diperebutkan oleh mereka
yang berlomba meraihnya.
Masing-masing dengki kepada
saingannya sehingga saingannya
tidak berhasil menduduki jabatan
tersebut. Kedengkian inilah yang
menjadi sebab kenifaqan
‘Abdullah bin Ubai bin Salul.
Oleh karena itu, wajib atas setiap
orang yang dihinggapi penyakit
ini bertaubat kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala,
berlindung kepada-Nya ketika
hawa nafsunya mendorongnya
untuk berbuat keji terhadap
orang yang dihasadinya. Bahkan
dianjurkan untuk dia banyak
melakukan kebaikan terhadap
orang yang dihasadinya. Mudah-
mudahan Allah Subhanahu wa
Ta’ala melindungi kita dari
penyakit yang berbahaya ini.
Membersihkan hati kita dari
semua kekotorannya sehingga
kita bertemu dengan Allah
Subhanahu wa Ta’ala betul-betul
dalam keadaan membawa hati
yang selamat.
Wallahul Muwaffiq.
1 Penamaan Habil dan Qabil
bagi kedua putra Adam ini,
berasal dari nukilan para ulama
dari Ahli Kitab, dan tidak ada
satu pun nash Al-Qur’an
menerangkannya, demikian pula
sunnah yang tsabit (shahih).
Sehingga kita tidak bisa
memastikannya begitu saja. Lihat
‘Umdatut Tafsir Syaikh Ahmad
Syakir (4/123). Tetapi untuk
sekadar memudahkan kita
memahami alur cerita, kita sebut
juga kedua nama tersebut,
semoga dimaklumi.
2 Al-Qurthubi mengatakan:
“Ulama kita menyatakan bahwa
dalam syariat kita dibolehkan
untuk membela diri, secara ijma’.
Namun tentang wajib atau
tidaknya, ada perbedaan
pendapat. Yang benar adalah
wajib membela diri, karena di
dalamnya terkandung nahi
munkar (melarang dari
kemungkaran).” (ed)
3 Lihat Al-Lubab fi ‘Ulumil Kitab
7/282.
4 Dalam masalah ini, diistilahkan
oleh ulama dengan ghibthah.
5 HR. Al-Bukhari dan Muslim
dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu
‘anhu.
6 HR. At-Tirmidzi dan lainnya,
dishahihkan oleh Al-Imam Al-
Albani dalam Al-Irwa’ (2/290).
7 Lihat Al-Fawaid (hal. 174-176),
dengan sedikit perubahan.
8 HR. Muslim
9 HR. Al-Bukhari (2/79) dan
Muslim (3/1303).
10 HR. At-Tirmidzi dari Ibnu
‘Umar radhiyallahu ‘anhuma,
dishahihkan oleh Al-Albani
dalam Shahihul Jami’ no. 5077.
11 HR. At-Tirmidzi dari Abu
Bakrah radhiyallahu ‘anhu,
dishahihkan oleh Al-Albani
dalam Shahihul Jami’ no. 5704.
http://www.asysyariah.com/
syariah.php?
menu=detil&id_online=
www.darussalaf.or.id/stories.php?id=1680
0 komentar:
Posting Komentar