Penulis : Al-
Ustadz Abu Nasim Mukhtar
عَنِ ابْنِ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ
الْأَنْصَارِيِّ، عَنْ أَبِيهِ
قَالَ :قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى
الله عليه وسلم: مَا ذِئْبَانِ
جَائِعَانِ أُرْسِلاَ فِي غَنَمٍ
بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ
الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ
وَالشَّرَفِ لِدِينِهِ
Dari Ka’b bin Malik radhiyallahu
‘anhu, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidaklah dua ekor serigala yang
lapar dilepas di tengah
sekawanan kambing lebih
merusak daripada merusaknya
seseorang terhadap agamanya
karena ambisinya untuk
mendapatkan harta dan
kedudukan.”
Hadits ini diriwayatkan oleh At-
Tirmidzi (no. 2482) melalui jalan
Suwaid bin Nashr, dari Abdullah
bin Al-Mubarak, dari Zakariya
bin Abi Zaidah, dari Muhammad
bin Abdirrahman, dari Ibn Ka’b
bin Malik, dari ayahnya, dari
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Al-Imam Ibnu Rajab
rahimahullahu berkata, ”Hadits
ini diriwayatkan melalui jalan lain
dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Di antaranya dari hadits
Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, Abu
Hurairah, Usamah bin Zaid, Abu
Sa’id, dan ‘Ashim bin ‘Adi Al-
Anshari g.”
Hadits ini juga diriwayatkan oleh
Al-Imam Ahmad rahimahullahu
(3/456).
Hadits ini dishahihkan oleh Asy-
Syaikh Muqbil di dalam Ash-
Shahihul Musnad (2/178) dan
Asy-Syaikh Al-Albani di dalam
Shahihul Jami’ (no. 5620).
Al-Qadhi rahimahullahu
menerangkan, hadits ini shahih
dan sangat masyhur. Kami
memperoleh hadits ini lebih dari
satu jalur periwayatan. Secara
umum, pada lafadz hadits
terdapat perbedaan kata namun
bermakna sama.
Makna Hadits
Makna hadits ini, kerusakan yang
ditimbulkan oleh dua ekor
serigala lapar yang dibiarkan
bebas di antara sekawanan
kambing masih belum seberapa
apabila dibandingkan kerusakan
yang muncul karena ambisi
seseorang untuk mendapatkan
kekayaan dan kedudukan.
Karena, ambisi untuk
mendapatkan harta dan
kedudukan akan mendorong
seseorang untuk mengorbankan
agamanya. Adapun harta,
dikatakan merusak karena ia
memiliki potensi untuk
mendorongnya terjatuh dalam
syahwat serta mendorongnya
untuk berlebihan dalam
bersenang-senang dengan hal-
hal mubah. Sehingga akan
menjadi kebiasaannya.
Terkadang ia terikat dengan
harta lalu tidak dapat mencari
dengan cara yang halal, akhirnya
ia terjatuh dalam perkara
syubhat. Ditambah lagi, harta
akan melalaikan seseorang dari
zikrullah. Hal-hal seperti ini tidak
akan terlepas dari siapapun.
Adapun kedudukan, cukuplah
sebagai bukti kerusakannya
bahwa harta dikorbankan untuk
meraih kedudukan. Sementara
kedudukan tidak mungkin
dikorbankan hanya untuk
mendapatkan harta. Inilah yang
dimaksud dengan syirik khafi
(syirik yang tersamar). Dia
tenggelam di dalam sikap
oportunis, merelakan prinsipnya
hilang, kenifakan, dan seluruh
akhlak tercela. Maka, ambisi
terhadap kedudukan lebih
merusak dan lebih merusak.
(Tuhfatul Ahwadzi Syarah Sunan
At-Tirmidzi)
Al-Imam Ibnu Rajab Al-Hanbali
rahimahullahu berkata, “Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi
wa sallam (di dalam hadits ini)
mengabarkan bahwa ambisi
untuk memperoleh kedudukan
dapat merusak agama
seseorang. Kerusakannya tidak
kurang dari kerusakan yang
ditimbulkan oleh dua ekor
serigala terhadap sekawanan
kambing. Agama seorang hamba
tidak akan selamat bila ia
memiliki ambisi untuk
memperoleh harta dan
kedudukan, hanya sedikit yang
dapat selamat. Perumpamaan
yang teramat agung ini
memberikan pesan untuk benar-
benar waspada dari keburukan
ambisi untuk memperoleh harta
dan kedudukan di dunia.”
Beliau rahimahullahu juga
berkata, “Ambisi seseorang
terhadap kedudukan tentu lebih
berbahaya dibandingkan
ambisinya terhadap harta.
Karena usaha untuk
mendapatkan kedudukan
duniawi, derajat tinggi,
kekuasaan atas orang lain, dan
kepemimpinan di atas muka
bumi, lebih besar mudaratnya
dibandingkan usaha mencari
harta. Sungguh besar
mudaratnya. Bersikap zuhud
dalam hal ini begitu sulit.” (Syarh
Ibnu Rajab)
Menjaga Agama Adalah Cita-cita
Mulia
Di dalam hadits ini terdapat
faedah yang mengingatkan kita
bahwa perkara yang terpenting
bagi seorang hamba adalah
menjaga agamanya. Serta
merasa rugi apabila muncul
kekurangan di dalam
menjalankan agama. Cinta
seorang hamba terhadap harta
dan kedudukan, upaya yang ia
tempuh untuk mendapatkannya,
ambisi untuk meraih harta dan
kedudukan, serta kerelaan
bersusah-payah untuk
mengalahkan, hanya akan
menyebabkan kehancuran
agama dan runtuhnya sendi-
sendi agamanya. Simbol-simbol
agama akan terhapus.
Bangunan-bangunan agamanya
pun akan roboh. Ditambah lagi
bahaya yang akan ia hadapi
karena menempuh sebab-sebab
kebinasaan.
Apakah Hanya Karena Sebuah
Kedudukan Kita Menjatuhkan
Diri Dalam Jurang Kehancuran?
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam melarang umat Islam
untuk meniru akhlak tercela
kalangan Yahudi. Karena meniru
akhlak tercela mereka akan
berakhir dengan kehancuran
dan celaka. Di antara sekian
banyak tingkah laku Yahudi yang
harus dijauhi adalah ambisi
untuk mendapatkan kedudukan.
Apakah pantas seorang muslim
mengaku memperjuangkan
Islam, sementara cara yang
digunakan adalah cara-cara
Yahudi? Dengan berebut kursi,
meraih suara terbanyak, ingin
tampil ke depan, hendak
memimpin, menduduki kursi-
kursi kedudukan, dan menjadi
seorang penguasa? Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ
الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ
وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ
الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ
وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ
الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ
وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ
الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللهُ
عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ
“Dijadikan indah pada
(pandangan) manusia kecintaan
kepada apa-apa yang diingini,
yaitu: wanita-wanita, anak-anak,
harta yang banyak dari jenis
emas, perak, kuda pilihan,
binatang-binatang ternak, dan
sawah ladang. Itulah kesenangan
hidup di dunia; dan di sisi Allah-
lah tempat kembali yang baik
(surga).” (Ali ‘Imran: 14)
Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thabari
rahimahullahu ketika
menjelaskan ayat di atas
menyatakan, “Telah dibuat indah
untuk manusia sifat tertariknya
mereka terhadap wanita dan
anak keturunan serta segala hal
yang disebutkan. Allah
Subhanahu wa Ta’ala
menyebutkan hal ini hanyalah
untuk menjelaskan sifat buruk
orang-orang Yahudi. Mereka
lebih mengutamakan dunia dan
ambisi terhadap kekuasaan
dibandingkan harus mengikuti
Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam, padahal
mereka telah mengetahui
kebenarannya.” (Tafsir Ath-
Thabari)
Ambisi Untuk Berkuasa Pasti
Disertai Sikap Menjelekkan
Orang Lain
Adapun orang-orang yang
berambisi untuk meraih tampuk
kekuasaan, Ibnul Qayyim
rahimahullahu menjelaskan,
mereka mengejar kekuasaan
untuk melampiaskan seluruh
keinginan. Yaitu berkuasa di
muka bumi, agar seluruh hati
mengarah dan cenderung
kepada mereka, serta membantu
mereka di dalam mewujudkan
keinginan. Dalam keadaan
merekalah yang menguasai dan
mengatur. Sehingga ambisi untuk
meraih kekuasaan hanya akan
melahirkan kerusakan-kerusakan
yang tidak mungkin diketahui
secara pasti jumlahnya kecuali
oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Akan muncul dosa, hasad,
perbuatan-perbuatan yang
melampaui batas, dengki,
kezaliman, fitnah, fanatik pribadi,
tanpa memedulikan lagi hak
Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Orang yang terhina di sisi Allah
Subhanahu wa Ta’ala akan
dimuliakan sementara orang
yang dimuliakan Allah
Subhanahu wa Ta’ala pasti
dihina. Kekuasaan duniawi tidak
mungkin sempurna kecuali
dengan cara-cara kotor seperti
tersebut di atas. Kekuasaan
duniawi tidak akan tercapai
kecuali dengan menempuh
langkah-langkah yang penuh
dengan mafsadah, bahkan
berkali-kali lipat. Sementara
orang-orang yang telah meraih
kekuasaan amatlah buta dengan
hal-hal ini. (Ar-Ruh, Ibnul
Qayyim rahimahullahu)
Al-Fudhail bin ‘Iyadh
rahimahullahu berkata: “Tidak
ada seorang pun yang memiliki
ambisi untuk mendapatkan
kekuasaan melainkan ia pasti
senang menyebutkan
kekurangan dan cela orang lain,
sehingga dialah yang dikenal
sebagai orang sempurna. Dia
pun tidak senang apabila ada
yang menyebutkan kebaikan
orang lain. Barangsiapa gila
kekuasaan maka ucapkan
‘selamat berpisah’ dari kebaikan-
kebaikannya.”
Ambisi Untuk Meraih Kekuasaan
Akan Merusak Ilmu
Al-Ahnaf bin Qais rahimahullahu
menjelaskan bahwa penyakit
yang akan merusak alim ulama
adalah ambisi untuk meraih
kekuasaan. (‘Aja'ib Al-Atsar)
Al-Imam Ahmad rahimahullahu
pernah berkata kepada Sufyan
bin ‘Uyainah rahimahullahu,
“Cinta kekuasaan lebih disenangi
orang dibandingkan emas dan
perak. Barangsiapa berambisi
memperoleh kekuasaan ia akan
mencari-cari aib orang lain.” (Al-
Adab Asy-Syar’iyyah, Ibnu
Muflih)
Sufyan Ats-Tsauri rahimahullahu
berkata, “Kekuasaan lebih
disenangi oleh ahli qira’ah
dibandingkan emas merah.” (Al-
Wara’, Al-Imam Ahmad hal. 91)
Ibnu ‘Abdus rahimahullahu
berkata, “Setiap kali bertambah
kemuliaan seorang alim dan
bertambah tinggi derajatnya,
maka semakin cepat dia merasa
ujub. Kecuali orang yang dijaga
oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala
dengan taufiq-Nya dan
membuang ambisi terhadap
kekuasaan dari dirinya.” (Jami’
Bayan Al-‘Ilmi wa Fadhlih 1/142,
Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullahu)
“Ilmu hadits adalah disiplin ilmu
yang mulia. Yang sesuai untuk
ilmu ini hanyalah akhlak mulia
dan perilaku yang terpuji. Ilmu
ini akan menghilangkan akhlak
buruk dan perilaku tercela. Ilmu
hadits adalah ilmu akhirat,
bukan ilmu dunia. Barangsiapa
yang ingin mendengarkan
periwayatan hadits atau ingin
menyampaikan ilmu hadits,
hendaknya ia berupaya
meluruskan dan mengikhlaskan
niat. Dia pun harus
membersihkan hatinya dari
tujuan-tujuan duniawi dan
segenap noda-nodanya. Dia pun
harus berhati-hati dari penyakit
dan kotoran dari ambisi
terhadap
kekuasaan.” (Muqaddimah Ibnu
Shalah)
Salah satu hal yang
membedakan antara ulama
dunia dan ulama akhirat, ulama
dunia senantiasa memerhatikan
kekuasaan. Senang akan pujian
dan massa. Sementara ulama
akhirat menjauhi hal tersebut.
Mereka benar-benar menjaga
diri dari hal itu dan
menyayangkan orang-orang
yang terkena penyakit tersebut.
Namun dikarenakan telah
terbiasa dan memiliki ambisi
mendapatkan kedudukan, telah
menguasai pemikiran mereka.
Tinggallah ilmu hanya terucap
melalui lisan sebagai sebuah
adat, bukan untuk diamalkan.
(Shaidul Khathir, Ibnul Jauzi
rahimahullahu)
Ambisi Untuk Meraih Kekuasaan
Akan Merusak Realisasi Cinta
Kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala
Seringkali syahwat khafiyyah
(tersembunyi) yang masuk pada
diri seseorang dapat merusak
realisasi cinta seorang hamba
kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Merusak pula
penghambaan dan keikhlasan di
dalam beragama. Sebagaimana
pernyataan Syaddad bin Aus
rahimahullahu, ”Wahai sekalian
sisa-sisa orang Arab.
Sesungguhnya yang paling aku
cemaskan bila menimpa kalian
adalah riya’ dan syahwat
khafiyyah.”
Ketika ditanya tentang makna
syahwat khafiyyah, Al-Imam Abu
Dawud As-Sijistani rahimahullahu
menjawab, “Syahwat khafiyyah
adalah ambisi terhadap
kekuasaan.”
Hadits ini menjelaskan bahwa
keyakinan yang benar tentu
tidak akan membawa dirinya
untuk berambisi semacam ini.
Karena bila hati telah merasakan
manisnya beribadah kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala,
merasakan manisnya mahabbah
kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala, tentu tidak ada lagi yang
lebih ia cintai selain itu sampai ia
menemui-Nya. Dengan sebab
inilah, keburukan dan kekejian
akan dijauhkan dari orang yang
benar-benar ikhlas kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
كَذَلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ
السُّوءَ وَالْفَحْشَاءَ إِنَّهُ
مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ
“Demikianlah, agar Kami
memalingkan darinya
kemungkaran dan kekejian.
Sesungguhnya Yusuf itu
termasuk hamba-hamba kami
yang terpilih.” (Yusuf: 24)
[Al-'Ubudiyyah, Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah rahimahullahu]
Termasuk Golongan Manakah
Kita?
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam memberitakan bahwa
ambisi seorang hamba untuk
memperoleh harta dan
kekuasaan akan merusak
agamanya. Seperti halnya atau
bahkan lebih parah
dibandingkan dua ekor serigala
yang dibiarkan bebas di tengah-
tengah kawanan kambing.
Sungguh, Allah Subhanahu wa
Ta’ala telah mengabarkan
keadaan orang yang
mendapatkan catatan amal
dengan tangan kirinya. Dia
menyatakan:
مَا أَغْنَى عَنِّي مَالِيَهْ.
هَلَكَ عَنِّي سُلْطَانِيَهْ
“Hartaku sekali-kali tidak
memberi manfaat kepadaku.
Telah hilang kekuasaan
dariku.” (Al-Haqqah: 28-29)
Akhir kehidupan seseorang yang
haus akan kekuasaan hanyalah
seperti Fir’aun. Adapun para
penumpuk harta, akhir
kehidupannya hanyalah seperti
Qarun. Padahal Allah
Subhanahu wa Ta’ala telah
memberitakan keadaan Fir’aun
dan Qarun di dalam kitab-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
أَوَلَمْ يَسِيْرًوا فِي
اْلأَرْضِ فَيَنْظُرُوا كَيْفَ
كَانَ عَاقِبَةُ الَّذِيْنَ كَانُوا
مِنْ قَبْلِهِمْ كَانُوا هُمْ
أَشَدَّ مِنْهُمْ قُوَّةً وَآثَارًا
فِي اْلأَرْضِ فَأَخَذَهُمُ اللهُ
بِذُنُوْبِهِمْ وَمَا كَانَ لَهُمْ
مِنَ اللهِ مِنْ وَاقٍ
“Dan apakah mereka tidak
mengadakan perjalanan di muka
bumi, lalu memerhatikan betapa
kesudahan orang-orang yang
sebelum mereka. Mereka itu
adalah lebih hebat kekuatannya
daripada mereka dan (lebih
banyak) bekas-bekas mereka di
muka bumi, maka Allah
mengazab mereka disebabkan
dosa-dosa mereka. Dan mereka
tidak mempunyai seorang
pelindung dari azab
Allah.” (Ghafir: 21)
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga
berfirman:
تِلْكَ الدَّارُ الْآخِرَةُ
نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لَا
يُرِيدُونَ عُلُوًّا فِي
الْأَرْضِ وَلَا فَسَادًا
وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ
“Negeri akhirat itu, Kami jadikan
untuk orang-orang yang tidak
ingin menyombongkan diri dan
berbuat kerusakan di (muka)
bumi. Dan kesudahan (yang
baik) itu adalah bagi orang-
orang yang bertakwa.” (Al-
Qashash: 83)
Sesungguhnya manusia ada
empat macam.
Pertama, orang-orang yang
menginginkan kekuasaan dan
kerusakan di atas muka bumi,
yaitu dengan durhaka kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Mereka adalah para raja dan
penguasa yang selalu berbuat
kejahatan seperti Fir’aun dan
pengikutnya. Mereka adalah
makhluk yang paling buruk.
Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
إِنَّ فِرْعَوْنَ عَلَا فِي
الْأَرْضِ وَجَعَلَ أَهْلَهَا
شِيَعًا يَسْتَضْعِفُ
طَائِفَةً مِنْهُمْ يُذَبِّحُ
أَبْنَاءَهُمْ وَيَسْتَحْيِي
نِسَاءَهُمْ إِنَّهُ كَانَ مِنَ
الْمُفْسِدِينَ
“Sesungguhnya Fir’aun telah
berbuat sewenang-wenang di
muka bumi dan menjadikan
penduduknya berpecah-belah,
dengan menindas segolongan
dari mereka, menyembelih anak
laki-laki mereka dan
membiarkan hidup anak-anak
perempuan mereka.
Sesungguhnya Fir’aun termasuk
orang-orang yang berbuat
kerusakan.” (Al-Qashash: 4)
Al-Imam Muslim rahimahullahu
meriwayatkan di dalam Shahih-
nya dari Ibnu Mas’ud
radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Tidak akan masuk Al-
Jannah seseorang yang di dalam
hatinya terdapat kesombongan
seberat semut kecil. Dan tidak
akan masuk neraka seseorang
yang di dalam hatinya keimanan
seberat semut kecil.” Kemudian
ada orang bertanya, “Wahai
Rasulullah, sesungguhnya aku
merasa senang bila pakaian dan
sandalku bagus. Apakah hal ini
termasuk dari kesombongan?”
Rasulullah menjawab, “Tidak,
sesungguhnya Allah adalah Dzat
Yang Maha Indah, Dia senang
dengan keindahan. Sombong
ialah menolak kebenaran dan
meremehkan orang lain.”
Sikap menolak kebenaran dan
merendahkan orang lain adalah
sikap orang yang menginginkan
kekuasaan dan kerusakan.
Kedua, orang-orang yang
menghendaki kerusakan tanpa
disertai keinginan untuk
berkuasa. Seperti para pencuri
dan penjahat dari kalangan
orang-orang rendahan.
Ketiga, orang-orang yang
menginginkan kekuasaan tanpa
disertai kerusakan. Sebagaimana
halnya orang yang memiliki
agama namun ingin menguasai
yang lain.
Keempat, para penduduk Al-
Jannah. Yaitu orang-orang yang
tidak menginginkan kekuasaan
dan kerusakan di atas muka
bumi. Padahal mereka lebih
mulia kedudukannya dibanding
yang lain. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
وَلَا تَهِنُوا وَلَا تَحْزَنُوا
وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ إِنْ
كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Janganlah kamu bersikap
lemah, dan janganlah (pula)
kamu bersedih hati, padahal
kamulah orang-orang yang
paling tinggi (derajatnya), jika
kamu orang-orang yang
beriman.” (Ali Imran: 139)
فَلَا تَهِنُوا وَتَدْعُوا إِلَى
السَّلْمِ وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ
وَاللَّهُ مَعَكُمْ وَلَنْ
يَتِرَكُمْ أَعْمَالَكُمْ
“Janganlah kamu lemah dan
minta damai padahal kamulah
yang di atas dan Allah-(pun)
beserta kamu dan Dia sekali-kali
tidak akan mengurangi (pahala)
amal-amalmu.” (Muhammad: 35)
وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ
وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَكِنَّ
الْمُنَافِقِينَ لَا يَعْلَمُونَ
“Padahal kekuatan itu hanyalah
bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan
bagi orang-orang mukmin, tetapi
orang-orang munafik itu tiada
mengetahui.” (Al-Munafiqun: 8)
Alangkah banyak orang yang
mengharapkan kekuasaan
padahal justru membuat dirinya
semakin terhina. Betapa banyak
orang yang diangkat
kedudukannya padahal dirinya
tidak berharap kekuasaan dan
kerusakan. (As-Siyasah Asy-
Syar’iyyah, Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullahu)
Ulama Islam dan Kedudukan
Kepada mereka yang mengaku
sedang memperjuangkan Islam.
Kepada mereka yang merasa
sedang mengibarkan bendera
Islam. Apakah mereka lebih baik
dari Salaf, generasi pertama
umat Islam? Apakah mereka
tidak membaca biografi para
ulama? Perhatikanlah sabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam kepada Abdurrahman bin
Samurah radhiyallahu ‘anhu
dalam riwayat Muslim
rahimahullahu:
يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ، لاَ
تَسْأَلِ الْإِمَارَةَ فَإِنَّكَ
إِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ
وُكِلْتَ إِلَيْهَا وَإِنْ
أُعْطِيتَهَا عَنْ غَيْرِ
مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا
“Wahai Abdurrahman, janganlah
engkau meminta kepemimpinan.
Karena sesungguhnya bila
engkau memperoleh
kepemimpinan karena
permintaanmu maka engkau
akan dibiarkan. Dan jika engkau
memperolehnya tanpa dasar
permintaan engkau akan
dibantu.” (Silakan merujuk
majalah Asy Syariah Vol I/No.
06/Maret 2004/Muharram 1425
untuk keterangan lebih lengkap
tentang hadits ini, dengan tema
Hukum Meminta Jabatan)
Al-Imam Adz-Dzahabi
rahimahullahu di dalam Siyar
A’lam An-Nubala’ menyebutkan
banyak kisah menakjubkan dari
sisi-sisi kehidupan para ulama.
Mereka adalah manusia-manusia
pilihan yang berusaha
menjauhkan diri dari kedudukan
dan kekuasaan. Berikut ini
beberapa contoh yang dapat
diambil ibrahnya.
- Manshur bin Al-Mu’tamir As-
Sulami rahimahullahu menolak
untuk diangkat sebagai seorang
qadhi. Maka dikirimlah
serombongan pasukan untuk
memaksanya. Kepada Yusuf bin
‘Umar, komandan pasukan
tersebut, dikatakan, ”Walaupun
engkau koyak kulit tubuhnya, dia
tidak akan mau untuk menerima
tawaran tersebut.” Maka,
Manshur pun ditinggalkan.
- Abu Qilabah Al-Jarmi
rahimahullahu, salah seorang
tabi’in, lari meninggalkan
negerinya dari Bashrah hingga
daerah Yamamah dan meninggal
di sana. Beliau lari untuk
menghindari tawaran menjadi
seorang qadhi. Ayyub As-
Sikhtiyani rahimahullahu pernah
menemuinya dan bertanya
tentang alasan beliau untuk lari
menghindar. Maka Abu Qilabah
menjawab, “Aku tidak melihat
sebuah perumpamaan yang
tepat untuk seorang qadhi
kecuali seseorang yang tercebur
di dalam lautan yang luas,
hingga kapan dia akan mampu
berenang? Pasti dia akan
tenggelam.”
- Abdullah bin Wahb bin Muslim
Al-Qurasyi rahimahullahu ketika
menolak untuk diangkat menjadi
seorang qadhi, beliau berkata
kepada seseorang yang
menanyakan sebab
penolakannya, “Apakah engkau
tidak mengerti bahwa para
ulama akan dikumpulkan pada
hari kiamat bersama para nabi?
Sementara para qadhi akan
dikumpulkan bersama para
penguasa?”
- Al-Mughirah bin Abdillah Al-
Yasykuri rahimahullahu menolak
permintaan Khalifah Harun Ar-
Rasyid untuk menjadi seorang
qadhi. Beliau beralasan, Sungguh
demi Allah, wahai Amirul
Mukminin, aku lebih memilih
dicekik oleh setan daripada
harus memegang kedudukan
qadha’. Ar-Rasyid lalu berkata,
“Tidak ada lagi keinginan selain
itu.” Kemudian Harun Ar-Rasyid
pun mengabulkan
permintaannya.
- Al-Imam Abdurrahman bin
Mahdi rahimahullahu berkata,
“Amirul Mukminin memaksa
Sufyan Ats-Tsauri untuk
memegang kedudukan al-
qadha’ (yakni menjadi qadhi).
Maka, Sufyan pun berpura-pura
menjadi orang bodoh agar
terbebas. Setelah Amirul
Mukminin mengetahui hal
tersebut, maka Sufyan pun
dibebaskan lalu ia melarikan
diri.”
Marilah kita membaca biografi
para ulama yang lain, seperti
Abu Ja’far Muhammad bin Jarir
Ath-Thabari, Abu ‘Amr
Abdurrahman bin ‘Amr Al-
Auza’i, Muhammad bin Wasi’ bin
Jabir Al-Akhnas, Abu Sufyan
Waki’ ibn Al-Jarrah Al-Kufi, Al-
Imam Abu Hanifah An-Nu’man
bin Tsabit, Abu Ya’la Mu’alla bin
Manshur Ar-Razi, Abdullah bin
Idris bin Yazid Al-Kufi, dan yang
lain. Mereka berusaha menjauhi
kursi kedudukan. Benar-benar
mengagumkan.
Apabila demikian sikap para
ulama Islam, maka apakah
mereka yang berebut kursi dan
mencari suara terbanyak dapat
dikatakan sedang
memperjuangkan Islam? Dusta
dan sungguh dusta lisan mereka.
Mungkin terbersit dalam benak,
jika kita tidak menduduki kursi-
kursi penting maka Islam akan
diinjak-injak? Maka, jawabnya
ada pada pendirian seorang
Imam Ahlus Sunnah Ahmad bin
Hanbal rahimahullahu.
Disebutkan dalam Mihnatul
Imam Ahmad (hal. 70-72) beliau
berkata, ”Sungguh, sekali-kali
tidak mungkin hal itu akan
terjadi! Sesungguhnya Allah
Subhanahu wa Ta’ala pasti akan
membela agama-Nya.
Sesungguhnya ajaran Islam ini
memilki Rabb yang akan
menolongnya. Dan
sesungguhnya dienul Islam ini
sangat kuat dan kokoh.”
Wallahu a’lam.
H
www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=774
0 komentar:
Posting Komentar