Banner 468 X 60

Sabtu, 02 Oktober 2010

Waktu-waktu Yang Terlarang Untuk Sholat

Ustadz Abu Ishaq Muslim Al-
Atsari


‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu
‘anhu berkata:

ثَلاَثُ سَاعَاتٍ كَانَ
النَّبِيُّ صلى الله عليه
وسلم يَنْهَانَا أَنْ نُصَلِّيَ
فِيْهِنَّ أَوْ أَنْ نَقْبُرَ
فِيْهِنَّ مَوْتَانَا: حِيْنَ
تَطْلُعُ الشَّمْسُ بَازِغَةً
حَتَّى تَرْتَفِعَ، وَحِيْنَ
يَقُوْمُ قَائِمُ الظَّهِيْرَةِ
حَتَّى تَمِيْلَ الشَّمْسُ،
وَحِيْنَ تَضَيَّف
لِلْغُرُوْبِ حَتَّى تَغْرُبَ

“Ada tiga waktu di mana Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
melarang kami untuk
melaksanakan shalat di tiga
waktu tersebut atau
menguburkan jenazah kami,
yaitu ketika matahari terbit
sampai tinggi, ketika seseorang
berdiri di tengah hari saat
matahari berada tinggi di tengah
langit (tidak ada bayangan di
timur dan di barat) sampai
matahari tergelincir dan ketika
matahari miring hendak
tenggelam sampai benar-benar
tenggelam.” (HR. Muslim no.
1926)
Dalam hadits di atas kita pahami
ada tiga waktu yang terlarang
bagi kita untuk melaksanakan
shalat di waktu tersebut, yaitu:

1. Ketika matahari terbit sampai
tinggi
2. Saat matahari di tengah langit,
ketika tidak ada bayangan benda
di timur dan di barat
3. Ketika matahari hendak
tenggelam sampai benar-benar
tenggelam
Dalam hadits Abu Sa’id Al-
Khudri radhiyallahu ‘anhu
disebutkan, termasuk waktu
yang dilarang untuk shalat
adalah setelah shalat subuh
sampai matahari tinggi dan
setelah shalat ashar sampai
matahari tenggelam. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:

لاَ صَلاَةَ بَعْدَ الصُّبْحِ
حَتَّى تَرْتَفِعَ الشَّمْسُ
وَلاَ صَلاَةَ بَعْدَ الْعَصْرِ
حَتَّى تَغِيْبَ الشَّمْسُ

“Tidak ada shalat setelah subuh
sampai matahari tinggi dan tidak
ada shalat setelah ashar sampai
matahari tenggelam.” (HR. Al-
Bukhari no. 586 dan Muslim no.
1920)
Adapun sebab dilarangnya shalat
di tiga waktu di atas (pada hadits
‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu
‘anhu) disebutkan dalam hadits
berikut ini:
‘Amr bin ‘Abasah radhiyallahu
‘anhu mengabarkan tentang
pertemuannya dengan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam di
Madinah setelah sebelumnya ia
pernah bertemu dengan beliau
ketika masih bermukim di
Makkah. Saat bertemu di
Madinah ini, ‘Amr bertanya
kepada beliau tentang shalat
maka beliau memberi jawaban:

صَلِّ صَلاَةَ الصُّبْحِ ثُمَّ
أَقْصِرْ عَنِ الصَّلاَةِ حَتَّى
تَطْلُعَ الشَّمْسُ حَتَّى
تَرْتَفِعَ، فَإِنَّهَا
تَطْلُعُ حِيْنَ تَطْلُعُ
بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ،
وَحِيْنَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا
الْكُفَّارُ؛ ثُمَّ صَلِّ فَإِنَّ
الصَّلاَةَ مَشْهُودَةٌ
مَحْضُوْرَةٌ، حَتَّى
يَسْتَقِلَّ الظِّلُّ
بِالرُّمْحِ، ثُمَّّ أَقْصِرْ عَنِ
الصَّلاَةِ، فَإِنَّ حِيْنَئِذٍ
تُسْجَرُ جَهَنَّمُ. فَإِذَا
أَقْبَلَ الْفَيْءُ فَصَلِّ
فَإِنَّ الصَّلاَةَ مَشْهُوْدَةٌ
مَحْضُورَةٌ، حَتَّى تُصَلِّيَ
الْعَصْرَ، ثُمَّ أَقْصِرْ عَنِ
الصَّلاَةِ حَتَّى تَغْرُبَ
الشَّمْسُ، فَإِنَّهَا تَغْرُبُ
بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ،
وَحِيْنَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا
الْكُفَّارُ

“Kerjakanlah shalat subuh
kemudian tahanlah dari
mengerjakan shalat ketika
matahari terbit sampai tinggi
karena matahari terbit di antara
dua tanduk setan dan ketika itu
orang-orang kafir sujud kepada
matahari. Kemudian shalatlah
karena shalat itu disaksikan
dihadiri (oleh para malaikat)
hingga tombak tidak memiliki
bayangan, kemudian tahanlah
dari mengerjakan shalat karena
ketika itu neraka Jahannam
dinyalakan/dibakar dengan nyala
yang sangat. Apabila telah
datang bayangan (yang jatuh ke
arah timur/saat matahari zawal)
shalatlah karena shalat itu
disaksikan dihadiri (oleh para
malaikat) hingga engkau
mengerjakan shalat ashar (terus
boleh mengerjakan shalat
sampai selesai shalat ashar,
pent.), kemudian tahanlah dari
mengerjakan shalat hingga
matahari tenggelam karena
matahari tenggelam di antara
dua tanduk syaitan dan ketika itu
orang-orang kafir sujud kepada
matahari.” (HR. Muslim no. 1927)
Al-Imam An Nawawi
rahimahullahu berkata, “Umat
sepakat tentang dibencinya
shalat yang dikerjakan tanpa
sebab pada waktu-waktu
terlarang tersebut. Mereka juga
sepakat bolehnya mengerjakan
shalat fardhu yang ditunaikan
pada waktu-waktu terlarang
tersebut. Adapun untuk shalat
nawafil (shalat sunnah) yang
dikerjakan karena ada sebab,
mereka berbeda pendapat.
Seperti shalat tahiyatul masjid,
sujud tilawah dan sujud syukur,
shalat id, shalat kusuf (gerhana),
shalat jenazah dan mengqadha
shalat yang luput dikerjakan.
Mazhab Asy-Syafi’i dan satu
kelompok membolehkan semua
itu tanpa ada karahah
(kemakruhan). Mazhab Abu
Hanifah dan yang lainnya
memandang semuanya masuk ke
dalam larangan karena
keumuman hadits-hadits yang
melarang. Al-Imam Asy-Syafi’i
rahimahullahu dan orang-orang
yang sependapat dengannya
berargumen bahwa telah tsabit
(shahih) dari perbuatan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bahwa beliau mengqadha shalat
sunnah yang mengikuti shalat
zuhur setelah shalat ashar1. Ini
jelas menunjukkan tentang
bolehnya mengqadha shalat
sunnah yang luput dikerjakan
pada waktunya. Tentunya
kebolehan untuk mengerjakan
shalat sunnah yang memang
pada waktunya lebih utama lagi.
Dan mengerjakan shalat faridhah
(wajib) yang diqadha karena
luput dari waktunya lebih utama
lagi. Termasuk dalam kebolehan
ini adalah shalat yang dikerjakan
karena ada sebab.” (Al-Minhaj,
6/351)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani
rahimahullahu berkata setelah
membawakan ucapan Al-Imam
An-Nawawi rahimahullahu di
atas, “Penukilan ijma’ dan
kesepakatan oleh Al-Imam
Nawawi perlu dikomentari.
Karena, selain beliau telah
menghikayatkan dari
sekelompok salaf tentang
bolehnya shalat di waktu-waktu
terlarang secara mutlak
sementara hadits-hadits yang
melarang tersebut mansukh
(dihapus hukumnya) –menurut
pendapat Dawud dan selainnya
dari ahlu zahir, dan ini yang
dipastikan oleh Ibnu Hazm
rahimahullahu–; ada pula
penghikayatan dari kelompok
yang lain tentang larangan
secara mutlak dalam seluruh
shalat. Didapatkan adanya berita
yang shahih dari Abu Bakrah
dan Ka’b bin Ujrah tentang
larangan mengerjakan shalat
fardhu pada waktu-waktu
terlarang ini. Ulama yang lainnya
menghikayatkan adanya ijma’
tentang bolehnya shalat jenazah
di waktu-waktu yang makruh.
Namun pendapat ini perlu
dikomentari dengan penjelasan
yang akan datang pada babnya.
Ibnu Hazm rahimahullahu dan
selainnya ketika menyatakan
mansukh-nya hadits yang
menyebutkan waktu-waktu
terlarang shalat, mereka
bersandar dengan hadits:
مَنْ أَدْرَكَ مِنَ الصُّبْحِ
رَكْعَةً قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ
الشَّمْسُ فَلْيُصَلِّ
إِلَيْهَا أُخْرَى
“Siapa yang mendapati satu
rakaat subuh sebelum matahari
terbit maka hendaklah ia
mengerjakan rakaat yang
berikutnya.”
Maka ini menunjukkan bolehnya
shalat pada waktu-waktu yang
dilarang.
Namun yang lainnya
mengatakan, “Pengkhususan
(takhshish) lebih utama daripada
menganggap adanya naskh.
Sehingga pelarangan ini dibawa
kepada pemahaman bahwa yang
dilarang adalah shalat yang
dikerjakan tanpa adanya sebab.
Adapun shalat yang memiliki
sebab maka dikhususkan dari
pelarangan (yakni boleh
dilakukan di waktu-waktu
terlarang, pent.) dalam rangka
menggabungkan di antara dalil-
dalil yang ada.” (Fathul Bari,
2/78)
Penulis Taisirul ‘Allam Syarhu
‘Umdatil Ahkam berkata, “Ulama
berbeda pendapat tentang
shalat di waktu-waktu terlarang.
Jumhur ulama berpandangan
dibencinya mengerjakan shalat di
waktu tersebut. Mereka berdalil
dengan hadits-hadits yang shahih
ini dan selainnya. Zahiriyah
berpandangan bolehnya shalat
di waktu tersebut. Adapun
hadits-hadits yang melarang,
mereka mengatakannya
mansukh. Namun semua hadits
yang mereka anggap mansukh,
ulama menjadikannya termasuk
bab membawa nash yang
muthlaq kepada yang muqayyad,
atau membangun yang khusus di
atas yang umum. Tidak perlu
menghukumi mansukh kecuali
bila nash-nash tersebut tidak
mungkin dikumpulkan/
digabungkan. Sementara nash-
nash dalam masalah ini mungkin
bahkan mudah dikumpulkan.
Kemudian ulama berbeda
pendapat lagi, shalat apa sajakah
yang dilarang untuk dikerjakan
di waktu-waktu tersebut?
Hanafiyyah, Malikiyyah, dan
Hanabilah berpandangan yang
dilarang adalah seluruh shalat
sunnah kecuali dua rakaat
thawaf. Mereka berdalil dengan
keumuman larangan yang
disebutkan dalam hadits-hadits.
Asy-Syafi’iyyah dan satu riwayat
dari Al-Imam Ahmad, serta
pendapat yang dipilih oleh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan
sekelompok muridnya, yang
dilarang adalah shalat-shalat
sunnah yang dikerjakan tanpa
sebab. Adapun yang memiliki
sebab seperti shalat tahiyatul
masjid bagi orang yang masuk
masjid, shalat sunnah dua rakaat
setelah wudhu, maka dibolehkan
ketika ada sebabnya di waktu
apa saja. Dalil mereka dalam hal
ini adalah hadits-hadits khusus
yang menyebutkan tentang
shalat-shalat ini sebagai
pengkhususan bagi hadits-hadits
yang berisi pelarangan secara
umum2.
Dengan pendapat ini
terkumpullah dalil-dalil
seluruhnya dan bisa diamalkan
seluruh hadits dari dua pihak
yang berbeda pendapat.
Kemudian ulama berbeda
pendapat lagi, apakah larangan
yang ada dimulai pada waktu
subuh dari mulai terbitnya fajar
kedua atau dimulai dari
pengerjaan shalat subuhnya?
Hanafiyyah berpendapat
pelarangan dimulai dari waktu
terbitnya fajar kedua. Pendapat
ini juga masyhur dari mazhab
Hanabilah. Mereka berdalil
dengan beberapa hadits di
antaranya hadits yang
diriwayatkan Ashabus Sunan Al-
Arba’ah (penulis kitab Sunan
yang empat) dari Ibnu ‘Umar
radhiyallahu ‘anhuma,
“Bahwasanya Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ صَلاَةَ بَعْدَ الْفَجْرِ
إِلاَّ سَجْدَتَيْنِ

“Tidak ada shalat setelah fajar
kecuali dua sujud (shalat dua
rakaat).”
Hadits ini menunjukkan
haramnya mengerjakan shalat
sunnah setelah terbitnya fajar
kecuali dua rakaat qabliyah fajar.
Karena yang dimaukan dari
penafian (peniadaan dalam
hadits di atas dengan lafadz:
“Tidak ada shalat….”-pent.)
adalah pelarangan. Mayoritas
ulama berpendapat larangan
dimulai dari selesai pelaksanaan
shalat fajar (yakni tidak ada
shalat sunnah yang dikerjakan
setelah mengerjakan shalat fajar/
subuh, pent.) bukan dimulai dari
terbitnya fajar. Mereka berdalil
dengan beberapa hadits di
antaranya hadits yang
diriwayatkan Al-Bukhari dari Abu
Sa’id radhiyallahu ‘anhu:

لاَ صَلاَةَ بَعْدَ صَلاَةِ
الْفَجْرِ حَتَّى تَطْلُعَ
الشَّمْسُ

“Tidak ada shalat setelah shalat
fajar sampai matahari terbit.”
Juga hadits yang diriwayatkan Al-
Bukhari dari ‘Umar ibnul
Khaththab radhiyallahu ‘anhu,
bahwasanya Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ صَلاَةَ بَعْدَ صَلاَةِ
الصُّبْحِ حَتَّى تَطْلُعَ
الشَّمْسُ

“Tidak ada shalat setelah shalat
fajar sampai matahari terbit.”
Juga hadits-hadits selainnya yang
banyak lagi shahih.
Adapun hadits yang dijadikan
dalil oleh kelompok pertama,
ada maqal (masih
diperbincangkan). Tidak bisa
dihadapkan dengan semisal
hadits-hadits ini.” (Taisirul ‘Allam,
1/129)
Wallahu ta’ala a’lam bish-
shawab.

1 Ummu Salamah radhiyallahu
‘anha berkata:

صَلَّى النَّبِيُّ صلى الله
عليه وسلم بَعْدَ الْعَصْرِ
رَكْعَتَيْنِ وَقَالَ:
شَغَلَنِي نَاسٌ مِنْ عَبْدِ
الْقَيْسِ عَنْ رَكْعَتَيْنِ
بَعْدَ الظُّهْرِ

“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam shalat dua rakaat setelah
ashar dan mengatakan, ‘Orang-
orang dari Abdul Qais
menyibukkan aku dari
mengerjakan shalat sunnah dua
raka’at setelah zuhur’.” (HR. Al-
Bukhari secara mu’allaq dalam
Shahih-nya, kitab Mawaqitush
Shalah, bab Ma Yushalla ba’dal
‘Ashri minal Fawait wa Nahwiha)
2 Pendapat inilah yang rajih
menurut penulis. Wallahu ta’ala
a’lam bish-shawab.


Sumber:www.majalahsyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=750

2 komentar:

affanibnu mengatakan...

asalamualaikum wr wb :)

Hidup sederhana mengatakan...

wa'alaykum salam warahmatullahi wabarakatuh

Posting Komentar