Banner 468 X 60

Sabtu, 09 Oktober 2010

Antara Tradisi dan Akhlaq Islami

Ustadz Abu Muhammad Abdul
Mu’thi, Lc

Seiring dengan jauhnya umat
dari ajaran yang benar,
membuat syariat Islam acap
terkacaukan dengan tradisi yang
berkembang di masyarakat,
lebih-lebih ritual yang
menggunakan simbol-simbol
Islam.
Manusia secara umum sekalipun
orang yang bersih fitrahnya,
sangat membutuhkan penjelasan
tentang akhlak dan adab yang
sesuai syariat melalui dalil-dalil
dari Al-Qur`an dan As-Sunnah.
Sehingga pernyataan sebagian
orang bahwa permasalahan
adab tidak perlu menengok
kepada dalil syar’i sangat keliru
dengan dua alasan:

Pertama: Banyak akhlak yang
tidak diketahui hukumnya oleh
manusia, sehingga sesuatu yang
tidak baik terkadang dianggap
baik dan yang bukan jelek
dianggap jelek. Sungguh
seseorang seberapapun ia
mendapat derajat keilmuan,
keshalihan dan adab, tentu ada
akhlak yang tidak diketahuinya.
Terlebih di saat adat kebiasaan
manusia berbeda-beda satu
dengan yang lainnya, karena
biasanya orang
mencampuradukkan antara adat
dan adab. Sebagai misal yaitu
tatkala sahabat Mu’adz bin Jabal
radhiyallahu ‘anhu datang dari
Syam kemudian menghadap
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, ia sujud di hadapan
beliau. Lalu Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam menegurnya:
“Apa ini wahai Mu’adz?” Mu’adz
radhiyallahu ‘anhu mengatakan
bahwa tatkala datang ke Syam,
ia mendapatkan manusia sujud
kepada para uskup dan pendeta
mereka, maka Mu’adz
Shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin
melakukan hal itu terhadap Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Maka Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam mengatakan
(yang artinya):
“Jangan kamu lakukan, karena
seandainya aku memerintahkan
seseorang untuk sujud kepada
selain Allah niscaya aku akan
memerintahkan wanita untuk
sujud kepada suaminya. Demi
yang jiwaku ada di tangan-Nya
(demi Allah) seorang wanita
belum (dikatakan) menunaikan
hak Rabbnya sampai ia
menunaikan hak
suaminya….” (lihat Shahih Sunan
Ibnu Majah no. 1515)

Perhatikanlah! Kalau sebagian
permasalahan adab ada yang
luput dari pengetahuan sahabat,
generasi terbaik umat ini,
sehingga Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam memberikan
penjelasannya, tentunya yang
bukan mereka lebih sangat
membutuhkan bimbingan.

Kedua: Telah diselewengkannya
syariat Allah Subhanahu wa
Ta’ala pada benak sebagian
orang, setelah jauhnya mereka
dari masa kenabian dan kakunya
hati, serta terjadinya perbauran
dengan umat selain muslimin.
Seperti yang terlihat nyata pada
kehidupan masyarakat yang
menjadikan hawa nafsu sebagai
pijakan untuk menghalalkan dan
mengharamkan. Mereka
membuat-buat aturan tentang
adab dengan penuh percaya diri
akan kebenarannya, padahal
kenyataannya tidak sedikit yang
bertentangan dengan syariat.
Berikut contoh-contohnya:

1. Masyarakat ‘modern’ hari ini
dan di masa lampau hampir
sama keyakinannya bahwa
membuat monumen pahlawan
dan orang-orang besar serta
menampakkan kekhusyukan di
sisinya sebagai bentuk ungkapan
terima kasih atas jasa-jasa
mereka. Bahkan terkadang
ditambah dengan menyengaja
mendatangi kuburan mereka
untuk berdoa di sisinya atau
meminta pertolongan kepada
penghuninya. Mereka
memandang bahwa jika tidak
dilakukan seperti itu, berarti
tidak memerhatikan peninggalan
sejarah dan ini merupakan cacat
dalam peradaban. Padahal yang
demikian menurut syariat ini
sangat jauh dari akhlak mulia,
bahkan itu akhlak yang jelek.
Bukan berarti kami mengajak
untuk tidak menghormati
mereka, tetapi menghormati jasa
mereka bukan demikian caranya.
Karena meskipun hal tersebut
mengandung penghormatan
kepada para pahlawan, namun
juga mengandung perampasan
terhadap hak Allah Subhanahu
wa Ta’ala yaitu tulusnya
peribadatan kepada-Nya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
juga melarang membuat gambar
orang-orang yang shalih dan
membuat patung-patung
mereka. Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda (yang
artinya):
“Orang-orang itu apabila mati
seorang yang shalih dari mereka,
mereka membangun di atas
kuburannya sebuah masjid
(tempat ibadah) lalu mereka
menggambar padanya gambar
tersebut. Mereka adalah sejelek-
jelek makhluk di sisi Allah.” (HR.
Al-Bukhari dan Muslim)

2. Membatasi kelahiran di zaman
sekarang dianggap sebagai
kesadaran dalam menata
perekonomian dan peradaban
yang maju. Sampai-sampai ada di
antara mereka (rumah tangga)
yang lebih suka memelihara
anjing dan tidak mau mengasuh
anak. Padahal banyaknya
keturunan dalam syariat ini
merupakan wasiat Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
kepada umatnya. Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:

تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ
فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ
الْأُمَمَ

“Nikahilah oleh kalian (wanita)
yang penyayang dan banyak
anak, karena aku akan
berbangga dengan banyaknya
kalian di hadapan umat-
umat.” (HR. Abu Dawud dan
dishahihkan oleh Al-Albani
rahimahullahu dalam Al-Irwa`
no. 1784)

3. Perbauran laki-laki dengan
perempuan yang bukan mahram
(ikhtilath) dianggap sebagai
keterbukaan sikap. Bahkan
terkadang dijadikan sebagai
sarana terbaik bagi para lelaki
dan perempuan untuk terlepas
dari sikap minder. Lebih parah
lagi, ada yang mengatakan
bahwa itu adalah cara untuk
menyetabilkan birahi. Menurut
mereka pula bahwa pelecehan
seksual bisa diminimalisir dengan
semakin dekatnya hubungan di
antara dua jenis manusia.
Falsafah mereka terilhami dari
ucapan sebagian orang bahwa
“banyak gesekan akan
menghilangkan perasaan.”
Sungguh realita mereka telah
mendustakan falsafah ini.
Bahkan orang yang melihat pada
angka kriminalitas berkaitan
dengan kesusilaan akan bisa
memberi kesimpulan bahwa
negeri Barat yang telah
mempraktikkan ikhtilath secara
total adalah murni bagaikan
hutan rimba yang penuh dengan
hewan. Rasul kita Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
orang yang paling tahu tentang
kejiwaan manusia, telah
mengatakan dalam haditsnya:

مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً
أَضَرَّ عَلىَ الرِّجَالِ مِنَ
النِّسَاءِ

“Tidaklah aku tinggalkan
sepeninggalku suatu fitnah
(ujian) yang lebih berbahaya atas
laki-laki daripada
wanita.” (Muttafaqun 'alaih)
Dan supaya terhindar dari fitnah
yang berbahaya ini, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersungguh-sungguh untuk tidak
terjadi percampuran antara laki-
laki dan perempuan, meskipun
di tempat yang paling suci yaitu
masjid. (Diambil secara ringkas
dari kitab Raf'u Adz-Dzul wa
Ash-Shaghar 'anil Maftunin bi
Khuluqil Kuffar hal. 53-60)
Namun hal ini bukan berarti
melarang adat kebiasaan yang
tidak menyelisihi syariat. Karena
yang dilarang adalah membuat
suatu peraturan tentang adab
yang bertentangan dengan
syariat Islam.
Wallahu a’lam bish-shawab.


www.majalahsyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=721

0 komentar:

Posting Komentar