Banner 468 X 60

Sabtu, 23 Oktober 2010

Hafalan Al Quran Menjadi Mahar Dalam Pernikahan

Penulis: Al-Ustadz Abu Ubaidah
Syafruddin

أَنْكَحْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ
مِنَ الْقُرْآنِ

Dari Sahl bin Sa’d As-Sa’idi
radhiyallahu ‘anhu berkata:
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah bersabda: “Aku
nikahkan kamu dengan dia
dengan mahar apa yang ada
padamu dari Al-Qur`an.”
Hadits ini diriwayatkan oleh:
Al-Imam Ahmad rahimahullahu
dalam Musnad-nya no. hadits
21733, 21783;
Al-Imam Al-Bukhari
rahimahullahu dalam Kitabul
Wakalah no. hadits 2310, Kitab
Fadhailul Qur`an no. hadits
5029, no. hadits 5030, Kitabun
Nikah no. hadits 5087, 5121,
5126, 5135, 5141, 5149, 5150;
Al-Imam Muslim rahimahullahu
dalam Kitabun Nikah no. hadits
1425;
Al-Imam At-Tirmidzi
rahimahullahu dalam Kitabun
Nikah ‘an Rasulillah no. hadits
1023;
Al-Imam An-Nasa`i
rahimahullahu dalam Kitabun
Nikah no. hadits 3228, 3306;
Al-Imam Abu Dawud
rahimahullahu dalam Kitabun
Nikah no. hadits 1806;
Al-Imam Ibnu Majah
rahimahullahu dalam Kitabun
Nikah no. hadits 1879;
Al-Imam Malik rahimahullahu
dalam Kitabun Nikah no. hadits
968;
Al-Imam Ad-Darimi
rahimahullahu dalam Kitabun
Nikah no. hadits 2104.
Adapun kelengkapan hadits di
atas dalam Shahih Al-Bukhari
Kitabun Nikah no. 5149:

عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ
السَّاعِدِيِّ يَقُولُ: إِنِّي
لَفِي الْقَوْمِ عِنْدَ رَسُولِ
اللهِ صلى الله عليه وسلم إِذْ
قَامَتِ امْرَأَةٌ فَقَالَتْ: يَا
رَسُولَ اللهِ، إِنَّهَا قَدْ
وَهَبَتْ نَفْسَهَا لَكَ فَرَ
فِيهَا رَأْيَكَ. فَلَمْ
يُجِبْهَا شَيْئًا، ثُمَّ
قَامَتْ فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ
اللهِ، إِنَّهَا قَدْ وَهَبَتْ
نَفْسَهَا لَكَ فَرَ فِيهَا
رَأْيَكَ. فَلَمْ يُجِبْهَا
شَيْئًا ثُمَّ قَامَتِ
الثَّالِثَةَ فَقَالَتْ: إِنَّهَا
قَدْ وَهَبَتْ نَفْسَهَا لَكَ
فَرَ فِيهَا رَأْيَكَ، فَقَامَ
رَجُلٌ فَقَالَ: يَا رَسُولَ
اللهِ، أَنْكِحْنِيهَا. قَالَ: هَلْ
عِنْدَكَ مِنْ شَيْءٍ؟ قَالَ: لاَ.
قَالَ: اذْهَبْ فَاطْلُبْ وَلَوْ
خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ. فَذَهَبَ
فَطَلَبَ ثُمَّ جَاءَ فَقَالَ:
مَا وَجَدْتُ شَيْئًا وَلاَ
خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ. فَقَالَ:
هَلْ مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ
شَيْءٌ؟ قَالَ: مَعِي سُورَةُ
كَذَا وَسُورَةُ كَذَا. قَالَ:
اذْهَبْ فَقَدْ أَنْكَحْتُكَهَا
بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ

Dari Sahl bin Sa’id As-Sai’di, ia
berkata: Sesungguhnya aku
berada pada suatu kaum di sisi
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam tiba-tiba berdirilah
seorang wanita seraya berkata:
“Wahai Rasulullah,
sesungguhnya dia telah
menghibahkan dirinya untukmu,
perhatikanlah dia, bagaimana
menurutmu.”1 Beliau pun diam
dan tidak menjawab sesuatupun.
Kemudian berdirilah wanita itu
dan berkata: “Wahai Rasulullah,
sesungguhnya dia telah
menghibahkan dirinya untukmu,
perhatikanlah dia, bagaimana
menurutmu.” Beliaupun diam
dan tidak menjawab sesuatupun.
Kemudian ia pun berdiri untuk
yang ketiga kalinya dan berkata:
“Sesungguhnya ia telah
menghibahkan dirinya untukmu,
perhatikan dia, bagaimana
menurutmu.” Kemudian
berdirilah seorang laki-laki dan
berkata: “Ya Rasulullah,
nikahkanlah saya dengannya.”
Beliaupun menjawab: “Apakah
kamu memiliki sesuatu?” Ia
berkata: “Tidak.” Kemudian
beliaupun berkata: “Pergilah dan
carilah (mahar) walaupun cincin
dari besi.” Kemudian iapun
mencarinya dan datang kembali
kepada Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam sambil berkata:
“Saya tidak mendapatkan
sesuatupun walaupun cincin dari
besi.” Maka Rasulullah bersabda:
“Apakah ada bersamamu
(hafalan) dari Al-Qur`an?” Ia
berkata: “Ada, saya hafal surat
ini dan itu.” Kemudian Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Pergilah, telah aku
nikahkan engkau dengan dia
dengan mahar berupa Al-
Qur`an yang ada padamu.”
Jalur Periwayatan Hadits
Hadits ini bermuara pada Abu
Hazim Salamah bin Dinar Al-
A’raj Al-Madani. Adapun para
rawi yang meriwayatkan dari
beliau yaitu Sufyan bin ‘Uyainah,
Malik bin Anas, Ya’qub bin
Abdurrahman, Hammad bin
Zaid, Abdul Aziz bin Muhammad
Ad-Darawardi, Za`idah bin
Qudamah Abu Ash-Shalt, Abdul
‘Aziz bin Abi Hazim Abu Tamam,
Abu Ghassan Al-Madani
Muhammad bin Mutharrif, dan
Fudhail bin Sulaiman An-
Numairi.
Makna dan Faedah Hadits
 Kalimat:

إِنِّي لَفِي الْقَوْمِ عِنْدَ
رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه
وسلم إِذْ قَامَتْ امْرَأَةٌ

“Sesungguhnya aku berada pada
suatu kaum di sisi Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba-
tiba berdirilah seorang wanita.”
Pada riwayat Fudhail bin
Sulaiman terdapat lafadz:

كُنَّا عِنْدَ النَّبِيِّ صلى
الله عليه وسلم جُلُوسًا
فَجَاءَتْهُ امْرَأَةٌ

Tatkala kami duduk-duduk di
sisi Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi
wa sallam, datanglah kepada
beliau seorang wanita.”
Pada riwayat Hisyam bin Sa’d
dengan lafadz:

بَيْنَمَا نَحْنُ عِنْدَ
النَّبِيِّ صلى الله عليه
وسلم أَتَتْ إِلَيْهِ امْرَأَةٌ

“Tatkala kami berada di sisi Nabi
Shallallâhu ‘alaihi wa sallam,
datanglah kepada beliau seorang
wanita. ”
Dan demikianlah keumuman
riwayat menggunakan lafadz
“Telah datang seorang wanita
kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam.”
Apabila dilihat secara zhahir,
riwayat ini bertentangan dengan
riwayat dari jalan Sufyan bin
‘Uyainah yang menggunakan
lafadz:

إِذْ قَامَتْ امْرَأَةٌ

Ketika berdiri seorang wanita.”
Yang mana, kemungkinan makna
قَامَتْ di sini adalah وَقَفَتْ,
artinya “berhenti berdiri
menghadap” maksudnya adalah
dia datang hingga berhenti
berdiri di tengah-tengah mereka,
bukan sebelumnya duduk di
majelis kemudian berdiri.
Dan pada riwayat Sufyan Ats-
Tsauri yang diriwayatkan oleh Al-
Isma’ili disebutkan:

جَاءَتِ امْرَأَةٌ إِلَى النَّبِيِّ
صلى الله عليه وسلم وَهُوَ
فِي الْمَسْجِدِ

“Telah datang seorang wanita
kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan beliau sedang
berada di masjid.”
Riwayat ini menerangkan tempat
kejadian kisah ini, yaitu di masjid.
Adapun nama wanita dalam
kisah ini, Al-Hafizh
rahimahullahu berkata: “Saya
belum menemukan siapa
namanya. Disebutkan dalam
kitab Al-Ahkam karya Ibnu Al-
Qasha’, wanita itu bernama
Khaulah bintu Hakim atau
Ummu Syarik radhiyallahu ‘anha.
Jika demikian, nama ini diperoleh
dari penukilan wanita yang
menawarkan dirinya kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang tersebut dalam tafsir
surat Al-Ahzab ayat 50:

وَامْرَأَةً مُؤْمِنَةً إِنْ وَهَبَتْ
نَفْسَهَا لِلنَّبِيِّ

“Dan perempuan beriman yang
menghibahkan dirinya kepada
Nabi.”
Dalam Kitab Tafsir, hadits no.
4788, Al-Hafizh Ibnu Hajar
rahimahullahu menyebutkan:
“Yang nampak, wanita yang
menghibahkan (menawarkan
diri) itu lebih dari satu orang.”
Namun beliau memastikan
bahwa wanita yang menawarkan
diri dalam hadits ‘Aisyah
radhiyallahu ‘anha adalah
Khaulah bintu Hakim
radhiyallahu ‘anha, meskipun
ada yang mengatakan ia adalah
Ummu Syarik atau Fathimah
bintu Syuraih. Ada juga yang
mengatakan bahwa dia adalah
Laila bintu Hathim atau Zainab
bintu Khuzaimah, dan dalam
riwayat yang lain Maimunah
bintul Harits. (Fathul Bari 8/646
dan 9/250)
 Kalimat:

فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ،
إِنَّهَا قَدْ وَهَبَتْ نَفْسَهَا
لَكَ

Ia berkata: ‘Sesungguhnya dia
telah menghibahkan dirinya
untukmu’.”
Dalam riwayat lain terdapat
lafadz:

فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ،
جِئْتُ أَهَبُ لَكَ نَفْسِي

“Ia berkata: ‘Ya Rasulullah, aku
datang untuk menghibahkan
diriku kepadamu’.”
Al-Imam An-Nawawi
rahimahullahu berkata:
“Diamnya Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam perkara
ini menjadi dalil atas bolehnya
seorang wanita menghibahkan
dirinya sebagai ganti atas mahar
dalam pernikahan. Hal ini
sebagaimana firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala:

وَامْرَأَةً مُؤْمِنَةً إِنْ وَهَبَتْ
نَفْسَهَا لِلنَّبِيِّ إِنْ
أَرَادَ النَّبِيُّ أَنْ
يَسْتَنْكِحَهَا خَالِصَةً
لَكَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ

“Dan perempuan beriman yang
menyerahkan dirinya kepada
Nabi, kalau Nabi mau
menikahinya, sebagai
pengkhususan bagimu, bukan
untuk semua orang
beriman.” (Al-Ahzab: 50)
Para sahabat kami (yakni
pengikut mazhab Syafi’iyah)
berkata bahwa ayat dan hadits
ini menjadi dalil dalam masalah
tersebut (penghibahan diri
seorang wanita). Maka, apabila
seorang wanita telah
menghibahkan dirinya untuk
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam kemudian beliau
menikahinya tanpa mahar, yang
demikian itu halal (sah) untuk
beliau. Tidak ada kewajiban sama
sekali atas beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam setelah itu
untuk membayar maharnya.
Berbeda dengan selain beliau,
karena pernikahannya tetap
diwajibkan untuk membayar
mahar sebagaimana telah
disebutkan.
Tentang perihal keabsahan akad
nikah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dengan lafadz ‘hibah’
terdapat dua pendapat:
- Ada yang mengatakan sah
sesuai dengan ayat dan hadits di
atas.
- Ada yang berpendapat tidak
sah, bahkan akad nikah tidak
sah kecuali dengan lafadz tazwij
atau inkah. Tidaklah sah akad
nikah, kecuali dengan salah satu
dari dua kalimat tersebut. (Al-
Minhaj, 9/215)
Al-Hafizh rahimahullahu berkata:
“ Pada lafadz penghibahan
terdapat dalil bahwasanya
menghibahkan diri dalam
pernikahan merupakan
kekhususan bagi Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal
ini berdasarkan ucapan para
sahabat ketika ingin menikahi
wanita yang telah menghibahkan
dirinya kepada Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam dengan
mengatakan: “Nikahkanlah saya
dengannya.” Mereka tidak
mengatakan: “Hibahkanlah dia
untuk saya.” Juga berdasarkan
ucapan wanita tersebut: “Aku
telah menghibahkan diriku
untukmu.” Dan beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak memberikan komentar atas
perkara itu. Hal ini menjadi bukti
tentang bolehnya perkara ini
khusus bagi beliau. Juga
didukung dengan ayat:
خَالِصَةً لَكَ مِنْ دُونِ
الْمُؤْمِنِينَ
“Sebagai pengkhususan bagimu,
bukan untuk semua orang
beriman.” (Al-Ahzab: 50)
[Fathul Bari, 9/254-255]
 Lafadz:
فَلَمْ يُجِبْهَا شَيْئًا
“Dan beliau tidak memberi
jawaban sesuatupun.”
Pada riwayat Ma’mar, Ats-Tsauri,
dan Za`idah menggunakan
lafadz:
فَصَمَتَ
“Beliau diam.”
Adapun pada riwayat Ya’qub,
Ibnu Abi Hazim, dan Hisyam bin
Sa’d dengan lafadz:
فَصَعَّدَ النَّظَرَ فِيهَا
وَصَوَّبَهُ
“Beliau melihat bagian atas dan
bawahnya.”
An-Nawawi rahimahullahu
berkata: فَصَعَّدَ bermakna
رَفَعَ artinya menengadahkan
pandangan (melihat bagian atas).
Adapun صَوَّبَهُ bermakna
خَفَضَ artinya menundukkan
(melihat bagian bawah). Setelah
itu beliau menundukkan kepala,
terdiam, dan tidak memberikan
jawaban. Dalam hal ini terdapat
dalil bolehnya melihat seorang
wanita yang akan dinikahi,
walaupun dengan memerhatikan
keadaan dirinya secara saksama.
 Lafadz:
فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ: يَا
رَسُولَ اللهِ أَنْكِحْنِيهَا
“Lalu berdiri seorang laki-laki
dan berkata: ‘Ya Rasulullah,
nikahkanlah saya dengannya’.”
Pada riwayat Fudhail bin
Sulaiman terdapat tambahan
“dari sahabat Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Al-Hafizh rahimahullahu berkata:
“ Saya tidak mengetahui siapa
nama sahabat tersebut. Namun
dalam riwayat Ma’mar dan Ats-
Tsauri yang diriwayatkan Al-
Imam Ath-Thabarani
rahimahullahu disebutkan:
“Berdirilah seorang laki-laki, saya
kira dia dari kaum Anshar.”
Adapun pada riwayat Za`idah:
“Telah berdiri seorang laki-laki
dari kaum Anshar dan ia
berkata: ‘Ya Rasulullah,
nikahkanlah saya dengannya’.”
Pada riwayat Malik
rahimahullahu dengan lafadz:
زَوِّجْنِيهَا إِنْ لَمْ تَكُنْ
لَكَ بِهَا حَاجَةٌ
“Nikahkanlah saya dengannya
jika engkau tidak berkeinginan
terhadapnya.”
 Lafadz:
قَالَ: هَلْ عِنْدَكَ مِنْ شَيْءٍ
“Beliau berkata: ‘Apakah engkau
memiliki sesuatu?’.”
Dalam riwayat Malik terdapat
tambahan: “Sesuatu yang dapat
kamu (berikan) kepadanya
sebagai mahar?” Iapun
menjawab: “Tidak.”
Dalam riwayat Ya’qub dan Ibnu
Abi Hazim: Ia menjawab: “Tidak,
demi Allah, wahai Rasulullah.”
Sedangkan pada riwayat Hisyam
bin Sa’d dengan lafadz:
“Rasulullah berkata: ‘Harus ada
sesuatu (mahar) untuknya’.”
Dalam hadits Ibnu ‘Abbas
radhiyallahu ‘anhuma disebutkan
bahwa seorang laki-laki berkata:
“Jika seorang wanita ridha
dengan saya, nikahkanlah saya
dengannya.” Maka Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun
bertanya: “Apa maharnya?” Ia
menjawab: “Saya tidak punya
sesuatupun.” Beliau berkata:
“Carilah mahar untuknya, sedikit
atau banyak.” Ia berkata: “Demi
Dzat yang mengutusmu dengan
kebenaran, saya tidak punya
apa-apa.”
 Lafadz:

اذْهَبْ فَاطْلُبْ وَلَوْ
خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ

“Pergi dan carilah, walaupun
sebuah cincin dari besi.”
An-Nawawi rahimahullahu
berkata: “Di sini terdapat dalil
bahwa nikah tidak sah kecuali
dengan adanya mahar. Karena
hal ini merupakan jalan keluar
dari perselisihan, lebih
bermanfaat bagi wanita dari sisi
andaikata terjadi perceraian
sebelum ia menggaulinya, wajib
atasnya separuh dari mahar yang
telah disebutkan. Kalaupun
dilakukan akad nikah tanpa
mahar, maka sah nikahnya,
sebagaimana firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala:

لاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ
طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ
تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا
لَهُنَّ فَرِيضَةً

“Tidak ada kewajiban membayar
(mahar) atas kamu, jika kamu
menceraikan istri-istrimu sebelum
kamu bercampur dengan
mereka dan sebelum kamu
menentukan maharnya.” (Al-
Baqarah: 236)
Pada lafadz ini terdapat dalil
tentang bolehnya mahar itu
sedikit atau banyak dari sesuatu
yang berupa harta jika terjadi
keridhaan pada kedua belah
pihak. Karena cincin besi
menunjukkan harta yang paling
sedikit. Dan inilah pendapat
mayoritas ulama dahulu dan
sekarang, sebagaimana
dinyatakan oleh Rabi’ah, Abu
Zinad, Ibnu Abi Zaid, Yahya bin
Sa’id, Laits bin Sa’d, Ats-Tsauri,
Al-Auza’i, Muslim bin Khalid Az-
Zanji, Ibnu Abi Laila, Dawud, dan
ahli fiqih dari kalangan ahlul
hadits serta Ibnu Wahab.
Al-Qadhi rahimahullahu berkata:
“Inilah mazhab atau pendapat
seluruh ulama penduduk Hijaz,
Bashrah, Kufah, Syam dan selain
mereka, bahwa boleh bentuk
mahar apapun selama
dengannya terjadi keridhaan dari
kedua belah pihak, walaupun
sedikit. Seperti cambuk/cemeti,
sandal, cincin besi, dan
semisalnya.”
Al-Imam Malik rahimahullahu
berkata: “Paling sedikit
seperempat dinar seperti batasan
hukuman bagi orang yang
mencuri.” Al-Qadhi Iyadh
rahimahullahu berkata:
“Pendapat ini termasuk
pendapat yang Al-Imam Malik
rahimahullahu menyendiri
padanya.”
Abu Hanifah rahimahullahu dan
pengikutnya berkata: “Sedikitnya
sepuluh dirham.” Ibnu
Syubrumah rahimahullahu
berkata: “Paling sedikit lima
dirham, seperti batasan
dipotongnya tangan bagi
seorang yang mencuri.”
Dalam perkara pernikahan, An-
Nakha’i rahimahullahu tidak
menyukai mahar yang kurang
dari 42 dirham. Terkadang beliau
mengatakan kurang dari sepuluh
(dirham).
Semua pendapat ini selain
pendapat jumhur, merupakan
pendapat yang menyelisihi As-
Sunnah. Pendapat mereka
terbantah dengan hadits yang
shahih serta jelas ini.
Dalam hadits ini juga terdapat
dalil atas pendapat yang
menyatakan bolehnya memakai
cincin dari besi walaupun di
dalamnya terdapat perselisihan
di kalangan ulama salaf,
sebagaimana yang dihikayatkan
oleh Al-Qadhi rahimahullahu. Di
kalangan Syafi’iyah ada dua
pendapat, dan yang paling benar
dari keduanya adalah pendapat
yang membolehkan, karena
hadits yang melarang dalam hal
ini lemah.
Juga disunnahkan untuk
menyegerakan dalam
menyerahkan mahar kepada
calon istri.
 Lafadz:

هَلْ مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ
شَيْءٌ؟ قَالَ: مَعِي سُورَةُ
كَذَا وَسُورَةُ كَذَا

“Apakah ada bersamamu
(hafalan) dari Al-Qur`an?” Ia
berkata: “Ada, saya hafal surat
ini dan itu.”
Dalam riwayat Sunan Abu
Dawud dan An-Nasa`i dari
hadits Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu disebutkan, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bertanya: “Apa yang kamu hafal
dari Al-Qur`an?” Sahabat itu
pun menjawab: “Surat Al-
Baqarah dan yang berikutnya.”
Dalam hadits Ibnu ‘Abbas
radhiyallahu ‘anhuma dengan
lafadz: “Aku nikahkan dia
denganmu dengan engkau
ajarkan kepadanya empat atau
lima surat dari Kitabullah
(sebagai maharnya).”
 Lafadz:
اذْهَبْ فَقَدْ أَنْكَحْتُكَهَا
بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ
“Pergilah, telah aku nikahkan
engkau dengannya dengan
mahar apa yang ada padamu
dari Al-Qur`an.”
Pada riwayat dari jalan Al-Imam
Malik rahimahullahu terdapat
lafadz:
قَدْ زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ
مِنَ الْقُرْآنِ
“Sungguh aku nikahkan engkau
dengannya dengan (mahar) Al-
Qur`an yang ada padamu.”
Demikian pula pada riwayat Ats-
Tsauri yang diriwayatkan Ibnu
Majah rahimahullahu dengan
lafadz:
قَدْ زَوَّجْتُكَهَا عَلَى مَا
مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ
“Sungguh aku nikahkan engkau
dengannya atas (mahar) Al-
Qur`an yang ada padamu.”
Pada riwayat Ats-Tsauri dan
Ma’mar yang diriwayatkan Ath-
Thabarani rahimahullahu dengan
lafadz:
قَدْ مَلَكْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ
مِنَ الْقُرْآنِ
“Sungguh aku jadikan engkau
memilikinya dengan (mahar) Al-
Qur`an yang ada padamu.”
Sebagian ulama (Abu Bakr Ar-
Razi dari kalangan Hanafiyah
dan Ar-Rafi’i dari kalangan
Syafi’iyah) menjadikan hadits ini
sebagai dalil bahwa barangsiapa
yang berkata: “Nikahkanlah aku
dengan fulanah,” kemudian
dikatakan kepadanya:
زَوَّجْتُكَهَا بِكَذَا
“Telah aku nikahkan engkau
dengannya dengan mahar
demikian dan demikian.” Maka
telah cukup yang demikian itu
dan calon suami tidak butuh
untuk mengatakan: قَبِلْتُ
(Aku terima).
Sebagian yang lain menjadikan
dalil bolehnya menikahkan dan
sah dengan lafadz selain tazwij
atau inkah berdasarkan lafadz
hadits مَلكْتُكَهَا.
Al-Hafizh rahimahullahu berkata:
“ Meski terdapat sekian lafadz,
namun yang nampak bahwa
yang diucapkan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah salah satu dari yang ada.
Maka yang benar dalam masalah
yang seperti ini adalah
memandang kepada yang
terkuat. Dan telah dinukil dari
Al-Imam Ad-Daraquthni
rahimahullahu, bahwa yang
benar adalah riwayat yang
menyebutkan dengan lafadz:
زَوَّجْتُكَهَا karena mereka
lebih banyak dan lebih kuat
hafalannya.
Ibnul Jauzi rahimahullahu
mengkritik bahwa riwayat Abu
Ghassan dengan lafadz
أَنْكَحْتُكَهَا dan riwayat yang
lainnya dengan lafadz
زَوَّجْتُكَهَا tidaklah
diriwayatkan kecuali dari tiga
orang saja. Mereka adalah
Ma’mar, Ya’qub, dan Ibnu Abi
Hazim. Beliau berkata: “Ma’mar
banyak kesalahan dan dua yang
lainnya (Ya’qub dan Ibnu Abi
Hazim) bukanlah orang yang
kuat hafalannya.”
Berkata Al-Hafizh rahimahullahu:
“ Apa yang dituturkan Ibnul Jauzi
rahimahullahu berupa kritikan
atas tiga orang rawi tadi
terbantah. Lebih-lebih Abdul
Aziz bin Abi Hazim, riwayatnya
dikuatkan karena beliau
meriwayatkan dari orangtuanya.
Seseorang yang meriwayatkan
dari keluarganya, lebih tahu
tentang riwayat tersebut
dibandingkan orang lain. Kami
telah memilih orang-orang yang
meriwayatkan dengan lafadz
تَزْوِيج dibandingkan yang
meriwayatkan dengan lafadz
selain tadi. Lebih-lebih di
dalamnya terdapat riwayat para
hafizh seperti Al-Imam Malik
rahimahullahu, Sufyan bin
Uyainah rahimahullahu, dan
yang semisal mereka, dengan
lafadz أَنْكَحْتُكَهَا.
Ibnu Tin rahimahullahu berkata:
“Ahlul hadits telah sepakat
bahwa yang benar dalam hal ini
adalah riwayat yang
menggunakan lafadz
زَوَّجْتُكَهَا. Adapun riwayat
yang menggunakan lafadz
مَلكْتُكَهَا adalah meragukan
atau bimbang (وَهْمٌ).
Faedah dari Hadits
Di antara faedah lain yang dapat
diambil dari hadits di atas:
 Bolehnya seorang wanita
menawarkan diri kepada seorang
laki-laki yang shalih agar ia (laki-
laki itu) menikahinya.
 Disunnahkan bagi seorang
wanita yang meminta dari
seorang laki-laki (untuk
menikahinya) namun tidak
memungkinkan bagi laki-laki
tersebut untuk memenuhinya,
hendaknya seorang wanita dapat
menahan diri (diam) dengan
diam yang dapat dipahami oleh
seorang yang dimintai hajat.
Janganlah membuat laki-laki
tersebut malu dari menolak.
Tidak sepantasnya dalam
meminta disertai dengan terus-
menerus mendesak. Termasuk
dalam hal ini yaitu meminta
dalam urusan dunia dan agama
dari seorang ahli ilmu. (Seperti
seseorang bertanya kepada
ulama setelah selesai
menuturkan soal kemudian
ulama tersebut diam, maka tidak
sepantasnya untuk meminta
dengan terus mendesak agar
diberikan jawaban, -pen)
 Tidak ada batasan dalam
mahar tentang sedikit atau
banyaknya.
 Bolehnya menjadikan hafalan
Al-Qur`an sebagai mahar
dengan cara mengajarkan
kepada istrinya.
 Sekufu dalam pernikahan
adalah dalam hal status diri
apakah ia budak atau merdeka,
dalam agama, nasab, dan bukan
dalam hal harta. Karena dalam
hadits di atas, laki-laki tadi tidak
memiliki harta yang ia jadikan
sebagai mahar kecuali hafalan
Al-Qur`an yang ada padanya.
(lihat Fathul Bari 8/250-262, Al-
Minhaj, 9/215-217)
 Sebaik-baik mahar dalam
pernikahan ialah yang sedikit
bebannya kepada suami
berdasarkan hadits ‘Uqbah bin
‘Amir radhiyallahu ‘anhu:
خَيْرُ النِّكَاحِ أَيْسَرُهُ
“Sebaik-baik nikah ialah yang
paling mudah
(maharnya).” (Shahih Abu
Dawud, no. 2117, Taudhihul
Ahkam, 5/311)
Wallahu a‘lam.
1 Dalam riwayat Malik:
“Sesungguhnya saya
menghibahkan diri saya
untukmu.” Namun di sini
menggunakan kata ganti orang
ketiga “dia”. Ini disebut dengan
uslub iltifat. (lihat Al-Fath, 9/206)
-ed
(Sumber: Majalah Asy Syariah,
Vol. IV/No. 39/1429H/2008,
kategori: Hadits, hal. 35-40.
Dicopy dari http://
www.asysyariah.com/print.php?
id_online=642)

www.akhwat.web.id/muslimah-salafiyah/munakahat-keluarga/hafalan-al-quran-menjadi-mahar-dalam-pernikahan/

2 komentar:

Jaloee mengatakan...

kalau cuman surat al-ikhlas sih ana masih sanggup :D

Sungai Awan mengatakan...

kalau semua surat ya pastilah sulit dilaksanakan bagi kebanyakan orang Indonesia.
Tapi kalau hanya beberapa surat pasti banyak yang sanggup

Posting Komentar