Banner 468 X 60

Minggu, 03 Oktober 2010

Bisakah Kirim Pahala?

Pertanyaan dari orang Sudan
yang tinggal di Kuwait, ia
mengatakan: “Apa hukumnya
membaca Al-Fatihah untuk
dihadiahkan kepada mayit, juga
menyembelih hewan untuknya,
demikian pula memberikan uang
untuk keluarga mayit?”

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin
Abdullah bin Baz rahimahullahu
menjawab:
Mendekatkan diri kepada mayit
dengan sembelihan, uang,
nadzar, dan ibadah-ibadah
lainnya, semacam meminta
kesembuhan darinya,
pertolongan, atau bantuan, ini
merupakan syirik akbar
(menyekutukan Allah
Subhanahu wa Ta’ala). Tidak
boleh bagi seorang pun untuk
melakukannya, karena syirik
adalah dosa dan kejahatan
terbesar. Berdasarkan firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala:

إِنَّ اللهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ
يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا
دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ

“Sesungguhnya Allah tidak
mengampuni dosa
mempersekutukan (sesuatu)
dengan Dia, dan dia
mengampuni dosa yang selain
syirik bagi siapa yang
dikehendaki-Nya.” (An-Nisa: 116)

إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللهِ
فَقَدْ حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ
الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا
لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ

“Sesungguhnya orang yang
mempersekutukan (sesuatu
dengan) Allah, maka pasti Allah
mengharamkan kepadanya
jannah (surga), dan tempatnya
ialah neraka. Tidaklah ada bagi
orang-orang zalim itu seorang
penolong pun.” (Al-Maidah: 72)

وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ
عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Seandainya mereka
mempersekutukan Allah, niscaya
lenyaplah dari mereka amalan
yang telah mereka
kerjakan.” (Al-An'am: 88)
Dan banyak ayat yang semakna
dengannya. Maka yang wajib
dilakukan adalah
mengikhlaskan/meniatkan
ibadah hanya kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala satu-
satunya, baik itu berupa
sembelihan, nadzar, doa, shalat,
puasa, atau ibadah-ibadah
selainnya. Di antara syirik juga
adalah mendekatkan diri kepada
para penghuni kuburan dengan
nadzar atau makanan (sesajen),
berdasarkan ayat-ayat yang lalu.
Juga berdasarkan firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala:

قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي
وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ
رَبِّ الْعَالَمِينَ. لَا شَرِيكَ
لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا
أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ

Katakanlah: “Sesungguhnya
shalatku, ibadahku, hidupku,
dan matiku hanyalah untuk
Allah, Rabb semesta alam, tiada
sekutu bagi-Nya. Dan demikian
itulah yang diperintahkan
kepadaku dan aku adalah orang
yang pertama-tama
menyerahkan diri (kepada
Allah).” (Al-An’am: 162-163)
Adapun menghadiahkan Al-
Fatihah atau selainnya dari Al-
Qur’an kepada mayit, hal itu
tidak ada dalilnya (landasan
hukumnya dari Al-Qur’an atau
Hadits). Maka yang wajib
dilakukan adalah meninggalkan
hal tersebut. Karena tidak
pernah dinukilkan dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau
para sahabatnya, sesuatu yang
menunjukkan bolehnya hal
tersebut. Yang disyariatkan
adalah mendoakan untuk mayit
dan menshadaqahkan untuk
mereka dengan cara berbuat
baik kepada para fakir miskin.
Dengan itu, seorang hamba
mendekatkan kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan
memohon kepada-Nya agar
pahalanya dijadikan untuk ayah
atau ibunya, atau orang yang
mati atau masih hidup selain
keduanya. Hal ini berdasarkan
sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam:

إذا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ
عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ
ثَلَاثَةٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ
جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ
بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو
لَهُ

“Bila anak Adam meninggal
maka amalnya terputus kecuali
dari tiga hal: shadaqah jariyah,
ilmu yang bermanfaat, dan anak
shalih yang mendoakannya.”
Telah shahih bahwa seseorang
berkata:

يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّ أُمِّي
مَاتَتْ وَلَمْ ْتُوْصِ
وَأَظُنُّهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ
لَتَصَدَّقَتْ، أَفَلَهَا أَجْرٌ
إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا؟ قَالَ:
نَعَمْ.

“Wahai Rasulullah,
sesungguhnya ibuku meninggal
dan belum sempat berwasiat,
dan aku kira kalau dia sempat
bicara ia akan bersedekah,
apakah dia dapat pahala jika aku
bersedekah atas namanya?”
Beliau menjawab:
“Ya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Demikian pula halnya
menghajikan mayit serta
mengumrahkannya juga
membayarkan utangnya.
Semuanya itu bisa memberi
manfaat bagi mayit sesuai
dengan keterangan yang datang
dalam dalil-dalil syariat.
Adapun jika yang dimaksud
penanya dengan pertanyaannya
adalah untuk berbuat baik
kepada keluarga mayit serta
bersedekah dengan uang dan
sembelihan, maka itu boleh bila
mereka itu orang-orang fakir.
Yang utama adalah tetangga dan
kerabat membuatkan makanan
di rumah mereka masing-masing
lalu menghadiahkannya kepada
keluarga mayit. Karena telah
shahih dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bahwa ketika
sampai kepada Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam berita kematian
Ja’far bin Abi Thalib radhiyallahu
‘anhu dalam peperangan
Mu’tah, beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam memerintahkan
kerabatnya untuk membuatkan
makanan untuk keluarga Ja’far
dan beliau mengatakan: “Karena
telah datang kepada mereka
perkara yang menyibukkan
mereka.”
Adapun bila keluarga mayit yang
membuat makanan untuk
orang-orang (masyarakat)
karena kematian (semacam
peringatan tujuh hari, red.) maka
itu tidak boleh. Hal itu termasuk
amalan jahiliah, baik itu pada
hari kematian, hari keempatnya
atau kesepuluh atau setelah
genap setahun. Semua itu tidak
boleh. Ini berdasarkan riwayat
yang shahih dari sahabat Jarir bin
Abdillah Al-Bajali radhiyallahu
‘anhu, salah seorang sahabat
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, bahwa beliau berkata:

كُنَّا نَعُدُّ الْاِجْتِمَاعَ إِلَى
أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنِيْعَهُ
الطَّعَامَ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنَ
النِّيَاحَةِ

“Kami menganggap bahwa
berkumpul-kumpul ke keluarga
mayit dan membuat makanan
setelah pemakaman adalah
termasuk niyahah1(meratapi
mayit).”
Adapun jika ada tamu
mendatangi keluarga mayit pada
hari-hari berkabung (saat
takziyah) maka tidak mengapa
keluarga mayit membuat
makanan untuk mereka sebagai
suguhan untuk tamu.
Sebagaimana tidak mengapa
bagi keluarga mayit untuk
mengundang siapa yang mereka
kehendaki dari tetangga atau
kerabat untuk makan bersama
mereka dari makanan yang
dihadiahkan kepada mereka.
Allah Subhanahu wa Ta’ala lah
yang memberi taufiq.
Bolehkah bagi saya untuk
mengkhatamkan Al-Qur’an dan
saya hadiahkan untuk ayah ibu
saya, untuk diketahui bahwa
keduanya ummi (tidak bisa baca
tulis). Dan bolehkah saya
khatamkan Al-Qur’an untuk saya
hadiahkan kepada orang yang
bisa baca tulis tapi saya
(memang) bermaksud
menghadiahkannya kepadanya?
Juga apakah boleh bagi saya
untuk mengkhatamkan Al-
Qur’an untuk saya hadiahkan
kepada lebih dari satu orang?
Jawab:
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin
Abdullah bin Baz rahimahullahu
menjawab:
Tidak terdapat dalam Al-Qur’an
yang mulia ataupun dalam hadits
yang suci dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam, tidak pula dari
para sahabatnya yang mulia,
sesuatu yang menunjukkan
disyariatkannya menghadiahkan
bacaan Al-Qur’an Al-Karim
untuk kedua orangtua atau
untuk yang lain. Allah
Subhanahu wa Ta’ala
mensyariatkan membaca Al-
Qur’an untuk diambil manfaat
darinya, diambil faedah darinya
serta untuk dipahami maknanya
lalu diamalkan. Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman:

كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ
مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا
ءَايَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو
الْأَلْبَابِ

“Ini adalah sebuah kitab yang
Kami turunkan kepadamu penuh
dengan berkah supaya mereka
memerhatikan ayat-ayatnya dan
supaya mendapat pelajaran
orang-orang yang
berakal.” (Shad: 29)

إِنَّ هَذَا الْقُرْءَانَ يَهْدِي
لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ

“Sesungguhnya Al-Qur’an ini
memberikan petunjuk kepada
(jalan) yang lebih lurus.” (Al-
Isra’: 9)

قُلْ هُوَ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا
هُدًى وَشِفَاءٌ

Katakanlah: “Al-Qur’an itu
adalah petunjuk dan penawar
bagi orang-orang
mukmin.” (Fushshilat: 44)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:

اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ
يَأْتِيْ شَفِيْعًا
لِأَصْحَابِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Bacalah Al-Qur’an karena
sesungguhnya (amalan baca) Al-
Qur’an itu nanti akan datang
pada hari kiamat sebagai
pemberi syafaat bagi para
pembacanya.” (Shahih, HR.
Muslim no. 804)
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam juga bersabda
(maknanya): “Bahwa nanti akan
didatangkan (amalan baca) Al-
Qur’an pada hari kiamat dan
para ahli Al-Qur’an yang
mengamalkannya, akan datang
kepadanya surat Al-Baqarah, Ali
Imran, keduanya akan membela
para pembacanya.” (Shahih, HR.
Muslim no. 804 dengan makna
itu)
Jadi tujuan diturunkannya Al-
Qur’an adalah untuk diamalkan,
dipahami, dan dipakai untuk
ibadah dengan membacanya,
serta memperbanyak
membacanya. Bukan untuk
menghadiahkannya kepada
orang-orang yang telah wafat
atau yang lain. Aku tidak
mengetahui ada dasar yang bisa
dijadikan sandaran dalam hal
menghadiahkan bacaan Al-
Qur’an untuk kedua orangtua
atau yang selain mereka.
Padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ
عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang mengamalkan
suatu amalan yang bukan atas
dasar ajaran kami maka itu
tertolak.” (Shahih, HR. Muslim)
Sebagian ulama membolehkan
hal itu dan mengatakan: “Tidak
mengapa menghadiahkan pahala
Al-Qur’an dan amalan shalih
yang lain.”
Mereka mengkiaskan
(menganalogikan) nya dengan
shadaqah dan doa untuk mayit.
Akan tetapi yang benar adalah
pendapat yang pertama (tidak
boleh), berdasarkan hadits yang
telah disebutkan dan yang
semakna dengannya. Seandainya
menghadiahkan bacaan itu
sesuatu yang disyariatkan, tentu
akan dilakukan oleh as-salafush
shalih (pendahulu kita yang
baik). Juga, dalam hal ibadah
tidak boleh digunakan qiyas
(kias/analogi), karena ibadah itu
berhenti pada tuntunan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tidak boleh ditetapkan kecuali
dengan nash dari kalamullah
atau hadits Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam, berdasarkan
hadits yang lalu dan yang
semakna dengannya.
Adapun menyedekahkan untuk
orang yang sudah mati dan yang
lain, demikian pula mendoakan
mereka, menghajikan orang lain
oleh yang sudah haji untuk
dirinya sendiri, juga
mengumrahkan oleh yang sudah
umrah untuk dirinya sendiri, juga
membayarkan utang puasa bagi
yang telah wafat dan punya
utang, maka semua ibadah ini
(boleh), telah shahih hadits-
hadits dari Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam... Allah
Subhanahu wa Ta’ala lah yang
memberikan taufiq. (Majmu’
Fatawa Wa Maqalat Al-
Mutanawwi’ah)
Pendapat Al-Imam Syafi’i
rahimahullahu
Apa yang dipaparkan di atas juga
merupakan pendapat Al-Imam
Asy-Syafi’i rahimahullahu,
sebagaimana disebutkan oleh
Ibnu Katsir rahimahullahu
sebagai salah seorang ulama
bermadzhab Syafi’i dalam
tafsirnya. Beliau katakan, firman-
Nya:

وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا
مَا سَعَى

“Dan bahwasanya seorang
manusia tiada memperoleh
selain apa yang telah
diusahakannya.” (An-Najm: 39)
Yakni, sebagaimana tidak
dibebankan padanya dosa orang
lain, demikian pula ia tidak
mendapatkan ganjaran kecuali
dari apa yang dia usahakan
sendiri.
Dari ayat ini, Al-Imam Asy-Syafi’i
rahimahullahu dan yang
mengikuti beliau mengambil
kesimpulan, bahwa
menghadiahkan pahala bacaan
Al-Qur’an tidak sampai kepada
mayit. Karena dia bukan dari
amalan mayit dan usahanya.
Oleh karenanya, Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak menganjurkan dan
memotivasi umatnya untuk itu.
Tidak pula membimbing ke arah
tersebut, baik dengan nash (teks)
yang jelas atau dengan isyarat.
Tidak pula dinukilkan hal itu dari
seorang pun dari kalangan
sahabat. Seandainya memang
baik, tentu mereka akan
mendahului kita dalam hal itu.
Sedangkan dalam perkara
ibadah, kita harus membatasinya
pada nash (ayat dan hadits),
tidak boleh diberlakukan
padanya berbagai macam
analogi (qiyas) dan pendapat
akal.
Adapun shadaqah dan doa, hal
ini telah disepakati bahwa bisa
sampai. Dan telah disebutkan
(bolehnya) oleh yang
menetapkan syariat.
Adapun hadits yang diriwayatkan
oleh Muslim dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ
عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ
ثَلَاثَةٍ؛ إِلَّا مِنْ وَلَدٍ
صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ، أَوْ
صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ
يُنْتَفَعُ بِهِ

“Bila anak Adam meninggal
maka amalnya terputus kecuali
dari tiga hal, anak shalih yang
mendoakannya, shadaqah
jariyah, dan ilmu yang
bermanfaat.”
Tiga perkara ini pada hakikatnya
adalah bagian dari usahanya,
jerih payah dan amalnya.
Sebagaimana terdapat dalam
hadits:

إِنَّ أَطْيَبَ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ
مِنْ كَسْبِهِ، وَإِنَّ وَلَدَهُ
مِن كَسْبِهِ

“Di antara yang terbaik dari apa
yang dimakan oleh seseorang
adalah dari hasil usahanya dan
sungguh anaknya adalah
termasuk dari usahanya.”
Shadaqah jariyah juga seperti
wakaf dan sejenisnya, termasuk
bagian dari amalnya. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَى
وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا
وَءَاثَارَهُمْ

“Sesungguhnya Kami
menghidupkan orang-orang mati
dan Kami menuliskan apa yang
telah mereka kerjakan dan
bekas-bekas yang mereka
tinggalkan.” (Yasin: 12)
Juga ilmu yang dia sebarkan di
tengah manusia sehingga orang-
orang mengikutinya setelah dia
meninggal, itu juga termasuk dari
usahanya. Dalam sebuah hadits
di kitab shahih disebutkan:

مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ
مِنَ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ
تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ
مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا

“Barangsiapa yang mengajak
kepada petunjuk maka dia akan
mendapat pahala seperti pahala
orang-orang yang mengikutinya
tanpa mengurangi pahala
mereka sedikitpun.” (Tafsir Ibnu
Katsir, surat An-Najm: 39)
1 HR. Ahmad dan Ibnu Majah,
lafadz di atas adalah lafadz
Ahmad. Niyahah atau meratapi
mayit, telah dilarang oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dengan larangan keras
dan termasuk dosa besar,
karena pelakunya telah diancam
dengan ancaman keras
sebagaimana dalam hadits:

النَّائِحَةُ إِذَا لَمْ تَتُبْ
قَبْلَ مَوْتِهَا تُقَامُ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ وَعَلَيْهَا
سِرْبَالٌ مِنْ قَطِرَانٍ وَدِرْعٌ
مِنْ جَرَبٍ

“Seorang wanita yang niyahah
(meratapi mayit) bila tidak
bertaubat sebelum matinya
maka akan dibangkitkan pada
hari kiamat dalam keadaan
memakai pakaian yang menutupi
tubuhnya dari tembaga yang
meleleh dan kulitnya terkena
penyakit kudis (secara
merata).” (Shahih, HR. Muslim)


www.majalahsyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=912

0 komentar:

Posting Komentar