Banner 468 X 60

Jumat, 08 Oktober 2010

Siapakah Ahlu Syura?

Dalam demokrasi, orang
mengenal istilah one man one
vote. Dengan satu orang satu
suara, maka tak ada lagi istilah
muslim atau kafir, ulama atau
juhala, ahli maksiat atau orang
shalih, dan seterusnya. Semua
suara bernilai sama di hadapan
‘hukum’. Walhasil, keputusan
yang terbaik adalah keputusan
yang diperoleh dengan suara
mayoritas. Lalu bagaimana
dengan sistem Islam? Siapakah
yang patut didengar suaranya?
Dalam ketatanegaraan Islam,
dikenal istilah 'ahli syura'.
Posisinya yang sangat penting
membuat keberadaannya tidak
mungkin dipisahkan dengan
struktur ketatanegaraan. Karena
bagaimanapun bagusnya
seorang pemimpin, ia tetap tidak
akan pernah lepas dari
kelemahan, kelalaian, atau
ketidaktahuan dalam beberapa
hal. Sampai-sampai Nabi
Muhammad shallallahu 'alaihi
wasallam pun diperintahkan
untuk melakukan syura. Apalagi
selain beliau tentunya. Asy-
Syaikh Abdurrahman As-Sa'di
rahimahullah mengatakan: "Jika
Allah mengatakan kepada Rasul-
Nya -padahal beliau adalah
orang yang paling sempurna
akalnya, paling banyak ilmunya,
dan paling bagus idenya- 'Maka
bermusyawarahlah dengan
mereka dalam urusan itu', maka
bagaimana dengan yang selain
beliau?" (Taisir Al-
Karimirrahman, hal. 154)
Kata asy-syura (الشُوْرَى)
adalah ungkapan lain dari kata
musyawarah (مُشَاوَرَةٌ) atau
masyurah (مَشُوْرَةٌ) yang
dalam bahasa kita juga dikenal
dengan musyawarah, sehingga
ahli syura adalah orang-orang
yang dipercaya untuk diajak
bermusyawarah.
Disyariatkannya Syura
Allah ta'ala berfirman:

وَشَاوِرْهُمْ فِي اْلأَمْرِ

"Maka bermusyawarahlah
dengan mereka dalam urusan
itu." (Ali Imran: 159)
Juga Allah memuji kaum
mukminin dengan firman-Nya:

وَأَمْرُهُمْ شُوْرَى بَيْنَهُمْ
وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ
يُنْفِقُوْنَ

"Dan urusan mereka
(diputuskan) dengan
musyawarah dan mereka
menafkahkan sebagian yang
kami rizkikan kepada
mereka." (Asy-Syura: 38)
Kedua ayat yang mulia itu
menunjukkan tentang
disyariatkannya bermusyawarah.
Ditambah lagi dengan praktek
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
yang sering melakukannya
dengan para shahabatnya seperti
dalam masalah tawanan perang
Badr, kepergian menuju Uhud
untuk menghadapi kaum
musyrikin, menanggapi tuduhan
orang-orang munafiq yang
menuduh 'Aisyah berzina, dan
lain-lain. Demikian pula para
shahabat beliau berjalan di atas
jalan ini. (lihat Shahih Al-Bukhari,
13/339 dengan Fathul Bari)
Ibnu Hajar berkata: "Para ulama
berselisih dalam hukum
wajibnya." (Fathul Bari, 13/341)
Pentingnya Syura
Syura teramat penting
keberadaannya sehingga para
ulama, di antaranya Al-Qurthubi,
mengatakan: "Syura adalah
keberkahan." (Tafsir Al-
Qurthubi, 4/251)
Al-Hasan Al-Bashri mengatakan:
"Tidaklah sebuah kaum
bermusyawarah di antara
mereka kecuali Allah akan
tunjuki mereka kepada yang
paling utama dari yang mereka
ketahui saat itu." (Ibnu Hajar
mengatakan: "Diriwayatkan oleh
Al-Bukhari dalam Al-Adabul
Mufrad dan Ibnu Abi Hatim
dengan sanad yang kuat." Lihat
Fathul Bari, 13/340)
Asy-Syaikh Abdurrahman As-
Sa'di dalam Tafsir-nya
menyebutkan faidah-faidah
musyawarah di antaranya:

1. Musyawarah termasuk ibadah
yang mendekatkan kepada
Allah.

2. Dengan musyawarah akan
melegakan mereka (yang diajak
bermusyawarah) dan
menghilangkan ganjalan hati
yang muncul karena sebuah
peristiwa. Berbeda halnya
dengan yang tidak melakukan
musyawarah. Sehingga
dikhawatirkan orang tidak akan
sungguh-sungguh mencintai dan
tidak menaatinya. Seandainya
menaati pun, tidak dengan
penuh ketaatan.

3. Dengan bermusyawarah, akan
menyinari pemikiran karena
menggunakan pada tempatnya.

4. Musyawarah akan
menghasilkan pendapat yang
benar, karena hampir-hampir
seorang yang bermusyawarah
tidak akan salah dalam
perbuatannya. Kalaupun salah
atau belum sempurna sesuatu
yang ia cari, maka ia tidak
tercela. (Taisir Al-Karimirrahman,
hal. 154)
Apa yang Perlu
Dimusyawarahkan?
Para ulama berbeda pendapat
dalam mempermasalahkan hal-
hal yang sesungguhnya Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam
diperintahkan Allah untuk
bermusyawarah dengan para
shahabatnya sebagaimana
tersebut dalam surat Ali Imran:
159. Dalam hal ini, Ibnu Jarir
menyebutkan beberapa
pendapat:
1. Pada masalah strategi
peperangan, menghadapi musuh
untuk melegakan para
shahabatnya, dan untuk
mengikat hati mereka kepada
agama ini. Serta agar mereka
melihat bahwa Nabi juga
mendengar ucapan mereka.
2. Justru Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam diperintahkan untuk
bermusyawarah dalam perkara
itu meskipun beliau mempunyai
pendapat yang paling benar
karena adanya keutamaan/
fadhilah dalam musyawarah.
3. Allah perintahkan beliau
untuk bermusyawarah padahal
beliau sesungguhnya sudah
cukup dengan bimbingan dari
Allah. Hal ini dalam rangka
memberi contoh kepada
umatnya sehingga mereka
mengikuti beliau ketika dilanda
suatu masalah, dan ketika
mereka bersepakat dalam
sebuah perkara, maka Allah
akan memberikan taufiq-Nya
kepada mereka kepada yang
paling benar. (Tafsir Ath-Thabari,
4/152-153 dengan diringkas)

4. Sebagian ulama berpendapat
bahwa maksudnya adalah
musyawarah pada hal-hal yang
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
belum diberi ketentuannya
tentang perkara tersebut secara
khusus.

5. Maksudnya yaitu pada urusan
keduniaan secara khusus.

6. Pada perkara agama dan
kejadian-kejadian yang belum
ada ketentuannya dari Allah
yang harus diikuti. Juga pada
urusan keduniaan yang dapat
dicapai melalui ide dan perkiraan
yang kuat. (Ahkamul Qur'an
karya Al-Jashshash, 2/40-42)
Pendapat terakhir inilah yang
dianggap paling kuat oleh Al-
Jashshash dengan alasan-alasan
yang disebut dalam buku beliau.
Lalu beliau juga berkata: "Dan
pasti musyawarah Nabi pada hal-
hal yang belum ada nash atau
ketentuannya dari Allah. Di
mana tidak boleh bagi beliau
melakukan musyawarah pada
hal-hal yang telah ada
ketentuannya dari Allah. Dan
ketika Allah tidak
mengkhususkan urusan agama
dari urusan dunia ketika
memerintahkan Nabi-Nya untuk
musyawarah, maka pastilah
perintah untuk musyawarah itu
pada semua urusan. Dan
nampaknya pendapat ini pula
yang dikuatkan oleh Ibnu Hajar
dalam kitabnya Fathul Bari
(13/340) setelah menyebutkan
pendapat-pendapat di atas. Juga
oleh Asy-Syaikh Abdurrahman
As-Sa'di dalam Tafsir-nya (hal.
154) seperti yang terpahami dari
ucapan beliau. Jadi tidak semua
perkara dimusyawarahkan
sampai-sampai sesuatu yang
telah ditentukan syariat pun
dimusyawarahkan, tapi bagian
tertentu saja seperti yang
dijelaskan di atas.
Yang mendukung hal ini adalah
bacaannya Abdullah bin 'Abbas:

وَشَاوِرْهُمْ فِيْ بَعْضِ
اْلأَمْرِ

"Maka bermusyawarahlah
dengan mereka dalam sebagian
urusan itu." (Tafsir Al-Qurthubi,
4/250)
Semua hal di atas kaitannya
dengan musyawarah yang
dilakukan oleh Nabi. Maka yang
boleh dimusyawarahkan oleh
umatnya perkaranya semakin
jelas, yaitu pada hal-hal yang
belum ada nash atau
ketentuannya baik dari Allah
atau Rasul-Nya. Artinya, jika
telah ada ketentuannya dari
syariat, maka tidak boleh
melampauinya. Dan mereka
harus mengikuti ketentuan
syariat tersebut. Allah ta'ala
berfirman:

ياَ َأيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَ
تُقَدِّمُوْا بَيْنَ يَدَيِ
اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَاتَّقُو
اللهَ إِنَّ اللهَ سَمِيْعٌ
عَلِيْمٌ

"Wahai orang-orang yang
beriman, janganlah kalian
mendahului Allah dan Rasul-Nya
dan bertakwalah kalian kepada
Allah, sesungguhnya Allah Maha
Mendengar dan Maha
Mengetahui." (Al-Hujurat: 1)
Al-Imam Al-Bukhari mengatakan:
"Maka Abu Bakar tidak memilih
musyawarah jika beliau memiliki
hukum dari Rasulullah…" [Shahih
Al-Bukhari, 13/339-340 dengan
Fathul Bari]
Dan sebaliknya. Jika sudah ada
ketentuannya dalam syariat
namun mereka tidak
mengetahuinya, atau lupa, atau
lalai, maka boleh
bermusyawarah untuk
mengetahui ketentuan syariat
dalam perkara tersebut, bukan
untuk menentukan sesuatu yang
berbeda dengan ketentuan
syariat. Al-Imam Asy-syafi'i
mengatakan: "Seorang hakim/
pemimpin diperintahkan untuk
bermusyawarah karena seorang
penasehat akan mengingatkan
dalil-dalil yang dia lalaikan dan
menunjuki dalil-dalil yang tidak
dia ingat, bukan untuk bertaqlid
kepada penasehat tersebut pada
apa yang dia katakan. Karena
sesungguhnya Allah tidak
menjadikan kedudukan yang
demikian (diikuti dalam segala
hal) itu bagi siapapun setelah
Nabi (Fathul Bari, 13/342). Al-
Bukhari mengatakan: "Dan para
imam setelah wafatnya Nabi,
bermusyawarah pada hal-hal
yang mubah dengan para ulama
yang amanah untuk mengambil
yang paling mudah. Dan jika
jelas bagi mereka Al Qur'an
maupun As Sunnah, maka
mereka tidak melampauinya
untuk (kemudian) mengambil
selainnya. Hal itu dalam rangka
meneladani Nabi…" (Shahih Al-
Bukhari, 13/339-340 dengan
Fathul Bari. Lihat pula hal. 342
baris 18)
Ibnu Taimiyyah mengatakan:
"Dan jika seorang (pemimpin)
bermusyawarah dengan mereka
(ahli syura) kemudian sebagian
mereka menjelaskan kepadanya
sesuatu yang wajib dia ikuti baik
dari Kitabullah atau Sunnah
Rasul-Nya atau ijma' kaum
muslimin, maka dia wajib
mengikutinya dan tiada ketaatan
kepada siapapun pada hal-hal
yang menyelisihinya. Adapun jika
pada hal-hal yang dipersilisihkan
kaum muslimin, maka mestinya
dia meminta pendapat dari
masing-masing mereka beserta
alasannya, lalu pendapat yang
paling mirip dengan Kitabullah
dan Sunnah Rasul-Nya itulah
yang ia amalkan." (Siyasah
Syar'iyyah karya Ibnu Taimiyyah,
hal. 133-134 dinukil dari Fiqh
Siyasah Syar'iyyah, hal. 58)
Al-Qurthubi mengatakan: "Syura
terjadi karena perbedaan
pendapat. Maka seseorang yang
bermusyawarah hendaknya
melihat perbedaan tersebut
kemudian melihat kepada
pendapat yang paling dekat
kepada Al Qur'an dan As
sunnah jika ia mampu. Lalu jika
Allah membimbingnya kepada
yang Allah kehendaki, maka
hendaknya ia ber-'azam/
bertekad untuk kemudian
melakukannya dengan
bertawakkal kepada Allah. Di
mana inilah ujung dari ijtihad
yang diminta dan dengan inilah
Allah perintahkan Nabi-Nya
dalam ayat ini (Ali 'Imran:
159)." (Tafsir Al-Qurthubi, 4/252)
Siapakah Ahli Syura?
Ini merupakan pembahasan yang
sangat penting mengingat ahli
syura sangat besar andilnya
dalam menentukan sebuah
keputusan, baik ataupun buruk.
Sehingga jika tidak dipahami
secara benar, akan berakibat
sangat fatal. Ketika seseorang
salah dalam menentukan ahli
syura yaitu dengan memilih
orang yang tidak memiliki kriteria
yang ditentukan syariat, maka ini
menjadi alamat kehancuran.
Saking pentingnya hal ini, Al-
Imam Al-Bukhari bahkan menulis
bab khusus dalam kitab Shahih-
nya yang berjudul: Orang
Kepercayaan Pemimpin dan Ahli
Syuranya.
Lalu beliau menyebutkan sebuah
hadits dari Abu Sa'id Al-Khudri
bahwa Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda:

مَا بَعَثَ اللهُ مِنْ نَبِيٍّ
وَلاَ اسْتَخْلَفَ مِنْ
خَلِيْفَةٍ إِلاَّ كَانَتْ لَهُ
بِطاَنَتَانِ: بِطَانَةٌ
تَأْمُرُهُ بِالْمَعْرُوْفِ
وَتَحُضُّهُ عَلَيْهِ
وَبِطاَنَةٌ تَأْمُرُهُ بِالشَّرِّ
وَتَحُضُّهُ عَلَيْهِ
فَالْمَعْصُوْمُ مَنْ عَصَمَ
اللهُ تَعَالىَ

"Tidaklah Allah mengutus
seorang nabi dan tidaklah
menjadikan seorang khalifah
kecuali ia akan punya dua orang
kepercayaan. Salah satunya
memerintahkannya kepada yang
baik dan menganjurkannya, dan
yang lain memerintahkan kepada
yang jelek dan dan
menganjurkan kepadanya. Maka
orang yang terlindungi adalah
yang dilindungi oleh
Allah." (Shahih, HR. Al-Bukhari,
kitab Al-Ahkam Bab Bithanatul
Imam, no: 7198)
Dari hadits ini dipahami, ada tiga
macam pemimpin: ada yang
cenderung kepada yang baik,
ada yang cenderung kepada
yang buruk, dan ada yang
terkadang cenderung kepada
yang baik dan terkadang kepada
yang buruk. (Fathul Bari,
13/390-391)
Atas dasar ini, akan dinukilkan
keterangan para ulama yang
menjelaskan siapa sebenarnya
yang berhak untuk duduk di
majelis permusyawaratan. Dalam
hal ini Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda:

الْمُسْتَشَارُ مُؤْتَمَنٌ

"Seorang yang diminta
musyawarahnya adalah orang
yang dipercaya." (HR. Abu
Dawud dan Ibnu Majah,
dishahihkan oleh Al-Albani
dalam Ash-Shahihul Jami' no.
6700. Lihat pula Ash-Shahihah
no. 1641)
Hadits ini mengisyaratkan bahwa
ahli syura haruslah orang yang
amanah karena tidak mungkin
seseorang yang tidak amanah
akan dipercaya. Dalam firman
Allah:

وَشَاوِرْهُمْ فِي اْلأَمْرِ

"Maka bermusyawarahlah
dengan mereka dalam urusan
itu."
Ibnu 'Abbas mengatakan:
"Maksudnya Abu Bakr dan
'Umar." (Sanadnya shahih
diriwayatkan oleh An-Nahhas
dalam An-Nasikh wal Mansukh,
dan Al-Hakim dan dishahihkan
oleh beliau dan oleh Adz-
Dzahabi. Lihat Madarikun
Nazhar, hal. 289)
Demikianlah beliau shallallahu
'alaihi wasallam bermusyawarah
dengan Abu Bakr dan 'Umar
dalam masalah tawanan perang
Badr dan dalam masalah lainnya.
Juga dengan 'Ali bin Abu Thalib
dalam masalah kejadian Ifk –
yaitu tuduhan zina kepada
'Aisyah- (Shahih Al-Bukhari no.
7369) dan juga shahabat yang
lain. Yang jelas, Nabi tidak
mengajak musyawarah kepada
seluruh para shahabatnya dalam
setiap hal. Akan tetapi memilih
mereka yang pantas dalam
perkara tersebut.
Ahli syura Abu Bakr, Maimun bin
Mihran mengatakan: "Bahwa
Abu Bakr jika mendapati sebuah
masalah maka beliau melihat
kepada Kitabullah. Jika beliau
mendapatkan sesuatu yang
memutuskan perkara itu, maka
beliau putuskan dengannya. Dan
jika beliau mengetahuinya dari
Sunnah Nabi, maka beliaupun
memutuskan dengannya. Bila
tidak beliau ketahui, beliau
keluar kepada kaum muslimin
dan bertanya kepada mereka
tentang Sunnah Nabi (pada
perkara tersebut). Dan bila hal
itu tidak mampu
(menyelesaikan), maka beliau
panggil tokoh-tokoh kaum
muslimin dan para ulama
mereka lalu beliau
bermusyawarah dengan
mereka." (Ibnu Hajar
mengatakan: "Diriwayatkan oleh
Al-Baihaqi dengan sanad yang
shahih.” Lihat Fathul Bari,
13/342)
Ahli syura 'Umar bin Al-
Khaththab, Ibnu 'Abbas
mengatakan: "Para qurra adalah
orang-orang majelisnya 'Umar
dan ahli syuranya, baik yang tua
atau yang muda." (Shahih, HR.
Al-Bukhari no. 7286, lihat Fathul
Bari, 13/250). Ibnu Hajar
mengatakan: "Al-Qurra
maksudnya para ulama yang ahli
ibadah." (Fathul Bari, 13/258)
Di antara mereka adalah
Abdullah bin 'Abbas sendiri,
sebagaimana beliau kisahkan:
"Umar memasukkan aku
bersama orang-orang tua yang
pernah ikut perang Badr, maka
seolah-olah sebagian mereka
marah dan mengatakan:
'Mengapa 'Umar memasukkan
pemuda ini bersama kita padahal
kita pun punya anak-anak
semacam dia'. Maka 'Umar
mengatakan: 'Hal itu
berdasarkan apa yang kalian
ketahui (yakni bahwa dia dari
keluarga Nabi dan dari sumber
ilmu)'." (HR. Al-Bukhari, 6/28,
lihat Bahjatun Nazhirin, 1/195)
Riwayat ini menunjukkan bahwa
majlis syuranya 'Umar adalah
para shahabat ahli Badr karena
mereka lebih utama daripada
yang lain. Kemudian 'Umar
mengikutkan Ibnu 'Abbas
bersama mereka karena ilmu
yang dimilikinya, di mana ilmu
beliau bahkan melebihi sebagian
shahabat ahli Badr karena beliau
didoakan oleh Nabi: "Ya Allah,
pahamkan dia tentang agama
dan ajari dia takwil." (Madarikun
Nazhar, hal. 162)
Dalam kejadian yang lain, Ibnu
'Abbas mengatakan: "Ketika itu,
saya berada di tempat
singgahnya Abdurrahman bin
'Auf di Mina dan beliau di sisi
'Umar, dalam sebuah haji yang
itu merupakan akhir hajinya.
Abdurrahman mengarahkan
pertanyaan kepada saya: '(Apa
pendapatmu) jika kamu melihat
seseorang datang kepada amirul
mukminin ('Umar bin Al-
Khaththab) hari ini lalu ia
mengatakan: 'Wahai amirul
mukminin, apakah anda dapat
melakukan sesuatu pada fulan
yang mengatakan: Seandainya
'Umar telah meninggal maka aku
telah membai'at fulan. Demi
Allah, tidaklah bai'atnya Abu
Bakr dahulu kecuali hanya sesaat
lalu langsung sempurna.' Maka
(mendengar laporan itu) 'Umar
marah lalu mengatakan:
'Sungguh saya insya Allah akan
berdiri sore ini di hadapan
manusia dan akan
memperingatkan mereka dari
orang-orang itu yang ingin
merampas urusan mereka.'
Maka Abdurrahman
mengatakan: 'Wahai amirul
mukminin, jangan kau lakukan!
Karena musim haji ini
menampung orang-orang hina
(juga), sesungguhnya merekalah
yang akan lebih banyak dekat
denganmu di saat kamu berdiri
di hadapan mereka. Dan saya
khawatir jika engkau bangkit dan
mengucapkan sebuah ucapan
lalu dibawa terbang oleh setiap
yang terbang, mereka tidak
memahaminya dan tidak
mendudukkan pada tempatnya.
Maka tundalah hingga engkau
pulang ke Madinah karena
Madinah adalah rumah hijrah
dan (rumah) As Sunnah sehingga
engkau dapat mengkhususkan
ahli fiqih dan tokoh-tokoh
masyarakat, lalu kamu katakan
apa yang mungkin kamu katakan
sehingga ahlul ilmi akan
memahami ucapanmu dan
menempatkannya pada
tempatnya'." (Riwayat Al-
Bukhari. Lihat Madarikun
Nazhar, hal. 163)
Setelah terjadinya usaha
pembunuhan terhadap 'Umar
dan 'Umar pun sudah merasa
dekat ajalnya, dia menyerahkan
urusan kepemimpinan ini kepada
enam orang shahabat. Dan
dikatakan kepada beliau:
"Berwasiatlah wahai amirul
mukminin, berwasiatlah!
Tunjuklah khalifah." Jawabnya:
"Saya tidak mendapati orang
yang yang lebih berhak terhadap
perkara ini (kekhilafahan) lebih
dari orang-orang itu, yang
Rasulullah meninggal dalam
keadaan ridha terhadap
mereka." Lalu beliau menyebut
'Ali, 'Utsman, Az-Zubair,
Thalhah, Sa'ad dan
Abdurrahman (Shahih, riwayat
Al-Bukhari no. 3700, dengan
Fathul Bari, 7/59). 'Umar
menyerahkan urusan ini hanya
kepada 6 orang shahabat yang
memiliki sifat tersebut, padahal
saat itu para shahabat berjumlah
lebih dari 10 ribu orang.
(Madarikun Nazhar, hal. 165)
Al-Imam Al-Bukhari mengatakan:
Dan para imam setelah wafatnya
Nabi bermusywarah dengan para
ulama yang amanah pada
perkara yang mubah untuk
mengambil yang paling mudah
dan jika jelas bagi mereka al
Qur'an maupun sunnah maka
mereka tidak melampauinya
untuk mengambil selainnya, hal
itu dalam rangka meneladani
Nabi [shahih bukhari: 13/339-340
dengan fathul bari, lihat pula
hal: 342 baris: 18] ( TEKS INI
TERULANG)
Al-Imam Asy-Syafi'i mengatakan:
"Janganlah dia bermusyawarah
jika terjadi suatu masalah kecuali
dengan seorang yang amanah,
berilmu dengan Al Qur'an dan
As Sunnah dan riwayat-riwayat
dari shahabat dan setelahnya,
serta berilmu tentang pendapat-
pendapat para ulama, qiyas, dan
bahasa Arab." (Mukhtashar Al-
Muzani, dari Madarikun Nazhar,
hal. 176)
Ibnu At-Tin menukilkan dari
Asyhab, seorang murid Al-Imam
Malik, bahwa Al-Imam Malik
mengatakan: "Semestinya
seorang pemimpin menjadikan
seseorang yang menerangkan
kepadanya tentang keadaan
masyarakatnya di saat dia
sendirian. Dan hendaknya orang
tersebut orang yang bisa
dipercaya, amanah, cerdas dan
bijaksana." (Fathul Bari, 13/190)
Sufyan Ats-Tsauri mengatakan:
"Hendaknya ahli syuramu adalah
orang-orang yang bertakwa dan
amanah serta orang yang takut
kepada Allah." (Tafsir Al-
Qurthubi, 4/250-251)
Asy-Syihristani mengatakan: "…
Akan tetapi wajib bersama
penguasa itu (ada) seorang yang
pantas berijtihad sehingga dia
(penguasa itu, red) dapat
bertanya kepadanya dalam
permasalahan hukum." (Al-Milal,
1/160, lihat Madarikun Nazhar,
hal. 177)
Ibnu Khuwairiz mandad(?)
mengatakan: "Wajib bagi para
pemimpin untuk bermusyawarah
dengan para ulama dalam hal-
hal yang tidak mereka ketahui
dan pada perkara agama yang
membuat mereka bingung. Juga
bermusyawarah dengan para
pemimpin perang pada urusan
peperangan, dengan tokoh
masyarakat pada urusan yang
berkaitan dengan maslahat
masyarakat, dan dengan para
menteri dan wakil-wakilnya pada
perkara kemaslahatan negeri
dan kemakmurannya." (Tafsir Al-
Qurthubi, 4/250)
Al-Qurthubi mengatakan: "Para
ulama berkata: 'Kriteria orang
yang diajak musyawarah jika
dalam perkara hukum
hendaknya seorang ulama dan
agamis. Dan jarang yang seperti
itu kecuali orang yang berakal.
Oleh karenanya Al-Hasan
mengatakan: 'Tidaklah akan
sempurna agama seseorang
kecuali setelah sempurna
akalnya'. Dan sifat orang yang
diajak musyawarah dalam hal
urusan dunia hendaknya orang
yang bijak, berpengalaman dan
suka terhadap orang yang
mengajaknya
musyawarah." (Tafsir Al-
Qurthubi, 4/250-251)
Al-Mawardi mengatakan ketika
menjelaskan orang-orang yang
berhak bermusyawarah untuk
memilih imam/ pemimpin: "…
Syarat-syarat yang harus ada
pada mereka ada tiga: pertama,
keadilan (yakni keshalihan
agamanya) dengan berbagai
syaratnya. Kedua, ilmu yang
dengannya dia dapat
mengetahui siapa yang berhak
menjadi pemimpin dengan
syarat-syarat kepemimpinan.
Ketiga, ide yang bagus dan bijak
yang dengan itu dia bisa memilih
yang paling pantas untuk
menjadi pemimpin." (Al-
Ahkamus Sulthaniyyah, hal. 4)
Dari penjelasan para ulama di
atas, dipahami dengan jelas
bahwa ahli syura adalah para
ulama yang benar-benar berilmu
tentang Al Qur'an dan Sunnah
Nabi serta pendapat-pendapat
para ulama sebelumnya dalam
berbagai masalah, bertakwa dan
takut kepada Allah, juga memiliki
sifat amanah, lagi bijaksana
dalam memutuskan suatu
urusan. Demikian pula memiliki
keinginan baik untuk umat
secara menyeluruh.
Jika dibutuhkan bermusyawarah
pada urusan-urusan duniawi
maka juga bisa melibatkan para
ahli yang berpengalaman dalam
bidang-bidang tertentu namun
tentunya dengan tidak
melepaskan dari sifat-sifat dasar
di atas. Demikian pula tidak bisa
dilepaskan dari para ulama
karena merekalah yang dapat
mempertimbangkan sisi maslahat
dan mafsadah yang hakiki dan
secara syar'i, serta sisi halal dan
haramnya. Wallahu a'lam.
Antara Syura dan Demokrasi
Sebagian orang menganggap
bahwa demokrasi adalah wujud
praktek sistem syura dalam
Islam. Ini adalah anggapan yang
salah, dan jauhnya perbedaan
antara keduanya bagaikan timur
dan barat. Di antara
perbedaannya adalah:
1. Aturan syura berasal dari
Allah dan selalu berlandaskan di
atas syariat-Nya. Sementara
demokrasi sumbernya adalah
suara mayoritas walaupun itu
suaranya orang-orang fasiq
bahkan kafir.
2. Bahwa syura dilakukan pada
perkara yang belum jelas
ketentuannya dalam syariat, dan
jika ada ketentuan syariat maka
itulah yang ditetapkan. Adapun
dalam demokrasi, perkara yang
sudah jelas dalam syariat pun
dapat diubah jika suara
mayoritas menghendakinya,
sehingga dapat menghalalkan
yang haram dan sebaliknya.
3. Anggota majelis syura adalah
para ulama dan yang memiliki
sifat-sifat seperti telah dijelaskan.
Sedang dewan perwakilan rakyat
atau majelis permusyawaratan
dalam sistem demokrasi
anggotanya sangat heterogen.
Ada yang berilmu agama, ada
yang bodoh, ada yang bijak ada
yang tidak, ada yang
menginginkan kebaikan rakyat,
dan ada yang mementingkan diri
sendiri, mereka semualah yang
menentukan hukum dengan
keadaan seperti itu.
4. Dalam sistem syura,
kebenaran tidak diketahui
dengan mayoritas tapi dengan
kesesuaian terhadap sumber
hukum syariat. Sedangkan dalam
sistem demokrasi, kebenaran
adalah suara mayoritas
walaupun menentang syariat
Allah yang jelas.
5. Syura adalah salah satu wujud
keimanan, karena dengan syura
kita mengamalkan ajaran Islam.
Sedangkan demokrasi adalah
wujud kekufuran kepada Allah,
karena jika mayoritas
memutuskan perkara kekafiran
maka itulah keputusan yang
harus diikuti menurut mereka.
6. Syura menghargai para ulama,
sedangkan demokrasi
menghargai orang-orang kafir.
7. Syura membedakan antara
orang yang shalih dan yang
jahat, sedangkan demokrasi
menyamakan antara keduanya.
8. Syura bukan merupakan
kewajiban di setiap saat, bahkan
hukumnya berbeda sesuai
dengan perbedaan keadaan.
Sedangkan demokrasi
merupakan sesuatu yang
diwajibkan oleh Barat kepada
para penganutnya dengan
kewajiban yang melebihi
wajibnya shalat lima waktu dan
tidak mungkin keluar darinya.
9. Sistem demokrasi jelas
menolak Islam dan menuduh
bahwa Islam lemah serta tidak
mempunyai maslahat, sedangkan
keadaan syura tidak demikian.
(Lihat kitab Tanwiruzh Zhulumat,
hal. 21-36 dan Fiqih As-Siyasah
Asy-Syar'iyyah hal. 61)
Wallahu a'lam.


www.majalahsyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=765

0 komentar:

Posting Komentar