Banner 468 X 60

Senin, 04 Oktober 2010

Al Munkar dan An Nakir dalam Aqidah Salaf

Ustadz Muhammad Rijal, Lc


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:

إِذَا قُبِرَ الْمَيِّتُ -أَوْ قَالَ:
أَحَدُكُم- أَتَاهُ مَلَكَانِ
أَسْوَدَانِ أَزْرَقَانِ يُقَالُ
لِأَحَدِهِمَا الْمُنْكَرُ وَالْآخَرُ
النَّكِيْرُ، فَيَقُولَانِ: مَا
كُنْتَ تَقُولُ فِيْ هَذَا
الرَّجُلِ؟ فَيَقُولُ مَا كَانَ
يَقُولُ: هُوَ عَبْدُ اللهِ
وَرَسُولُهُ، أَشْهَدُ أَنْ لَا
إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا
عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.
فَيَقُولَانِ: قَدْ كُنَّا
نَعْلَمُ أَنَّكَ تَقُولُ هَذَا.
ثُمَّ يُفْسَحُ لَهُ فِي
قَبْرِهِ سَبْعُونَ ذِرَاعًا فِي
سَبْعِينَ، ثُمَّ يُنَوَّرُ لَهُ
فِيْهِ ثُمَّ يُقَالُ لَهُ: نَمْ.
فَيَقُولُ: ارْجِعْ إِلَى أَهْلِي
فَأَخْبِرْهُمْ. فَيَقُولَانِ:
نَمْ كَنَوْمَةِ الْعَرُوسِ
الَّذِي لاَ يُوقِظُهُ إِلاَّ
أَحَبَّ أَهْلِهِ إِلَيْهِ. حَتَّى
يَبْعَثُهُ اللهُ مِنْ
مَضْجَعِهِ ذَلِكَ؛ وَإِنْ كَانَ
مُنَافِقًا قَالَ: سَمِعْتُ
النَّاسَ يَقُولُونَ فَقُلْتُ
مِثْلَهُ، لاَ أَدْرِي.
فَيَقُولاَنِ: قَدْ كُنَّا
نَعْلَمُ أَنَّكَ تَقُولُ ذَلِكَ.
فَيُقَالُ لِلْأَرْضِ:
الْتَئِمِي عَلَيْهِ.
فَتَلْتَئِمُ عَلَيْهِ
فَتَخْتَلِفُ فِيْهَا
أَضْلَاعُهُ فَلَا يَزَالُ
فِيْهَا مُعَذَّبًا حَتَّى
يَبْعَثُهُ اللهُ مِنْ
مَضْجَعِهِ ذَلِكَ

Jika mayit atau salah seorang
dari kalian telah dikubur, datang
dua malaikat, hitam (tubuhnya),
biru (kedua matanya), satu dari
keduanya bernama Al-Munkar
dan yang lain An-Nakir.1 Kedua
malaikat bertanya kepada mayit:
“Apa yang dulu kamu katakan
tentang lelaki ini (yakni
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam)?” Dia pun menyatakan
apa yang dulu dia katakan:
“Lelaki itu adalah hamba Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-
Nya, Asyhadu allailahaillallah wa
anna Muhammadar rasulullah.”
Kedua malaikat menimpali:
“Sungguh kami telah mengetahui
bahwa engkau mengatakan
demikian.” Lalu diluaskan kubur
untuknya 70 dzira’ (hasta) kali 70
dzira’, dan diterangi, kemudian
dikatakan padanya: “Tidurlah
engkau.” Berkatalah mayit:
“Kembalikanlah aku pada
keluargaku agar aku kabarkan
kepada mereka.” Keduanya
berkata: “Tidurlah engkau
sebagaimana tidurnya pengantin,
tidak ada yang membangunkan
kecuali orang yang paling
dicintainya.” Hingga nanti Allah
Subhanahu wa Ta’ala bangkitkan
dari pembaringannya.
Adapun jika mayit adalah
seorang munafik, dia akan
menjawab: “Dahulu aku
mendengar manusia mengatakan
sesuatu, aku pun
mengatakannya... aku tidak
tahu.” Keduanya berkata:
“Sungguh kami telah mengetahui
bahwa engkau akan berkata
demikian.” Maka dikatakan pada
bumi: “Himpitlah dia!” Bumi pun
mengimpit mayit hingga tulang-
tulang rusuknya bertautan.
Terus-menerus adzab ditimpakan
hingga Allah Subhanahu wa
Ta’ala bangkitkan ia dari
kuburnya.
Takhrij Hadits
Hadits dengan lafadz di atas
diriwayatkan At-Tirmidzi
rahimahullahu dalam As-Sunan,
Kitab Al-Jana’iz bab Ma Ja’a fi
‘Adzabil Qabri (Kitab Jenazah
bab Adzab kubur) (3/163, no.
1071), dari jalan Abdurrahman
bin Ishaq, dari Sa’id bin Abi Sa’id
Al-Maqburi, dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu.
Melalui jalan ini pula, Al-Imam
Ahmad rahimahullahu
meriwayatkan dalam Al-Musnad
(4/287, 295, 296), demikian pula
Ibnu Hibban rahimahullahu
dalam Shahih-nya (7/386, no.
3117), Ibnu Abi ‘Ashim
rahimahullahu dalam As-Sunnah
(no. 864), dan Abu Bakr Al-Ajurri
rahimahullahu dalam Asy-
Syari'ah (hal. 365).
Semuanya perawi tsiqah,
tergolong perawi Al-Imam
Muslim rahimahullahu dalam
Ash-Shahih, kecuali
Abdurrahman bin Ishaq. Dia
adalah Abdurrahman bin Ishaq
bin Abdilah bin Al-Harits bin
Kinanah Al-‘Amiri Al-Madani.
Ada pembicaraan pada rawi ini,2
tetapi tidak menurunkannya dari
derajat hasan, insya Allah,
sebagaimana disimpulkan Al-
Hafizh rahimahullahu dalam At-
Taqrib.3
Hadits ini hasan, demikian At-
Tirmidzi dan Al-Baghawi
memberikan hukum atasnya.
At-Tirmidzi rahimahullahu
mengatakan: “Haditsun hasanun
gharib (Hadits ini hasan
gharib).” (As-Sunan 3/163)
Al-Baghawi rahimahullahu
mengatakan: “Haditsun hasanun
(Hadits ini hasan).” (Syarhus
Sunnah, 5/416)
Asy-Syaikh Al-Albani
rahimahullahu
menghasankannya dalam Takhrij
Misykatul Mashabih (1/131).
Beliau berkata: “Sanad hadits ini
hasan sesuai syarat Muslim.”4
Penamaan Al-Munkar dan An-
Nakir dikuatkan dengan
beberapa syawahid (pendukung).
Di antaranya:
Pertama: Hadits Mu’adz bin Jabal
radhiyallahu ‘anhu sebagaimana
dalam riwayat Al-Bazzar dalam
Al-Musnad (7/97).
Kedua: Hadits Bara’ bin ‘Azib
radhiyallahu ‘anhu diriwayatkan
oleh Al-Baihaqi dalam Syu’abul
Iman (1/358) dan Ath-Thabarani
dalam Tahdzib Al-Atsar (2/500).
Ketiga: Riwayat mauquf dari
Abud Darda radhiyallahu ‘anhu,
sebagaimana diriwayatkan Ibnu
Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf
(3/53).
Faedah: Penamaan malaikat Al-
Munkar dan An-Nakir termaktub
dalam kitab-kitab aqidah salaf.
Ini memberikan isyarat sekaligus
menguatkan bahwasanya salaf
memandang keabsahan hadits
Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, dan kuatnya penyandaran
hadits tersebut kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Allahu ta’ala a’lam.
Kedudukan dan Makna Iman
Kepada Malaikat
Iman kepada malaikat adalah
bagian dari rukun iman. Mereka
yang tidak mengimaninya
dihukumi kafir dan berada
dalam kesesatan yang nyata.
Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:

وَمَنْ يَكْفُرْ بِاللهِ
وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ
وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا

“Barangsiapa yang kafir kepada
Allah, malaikat-malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya
dan hari kemudian, maka
sesungguhnya orang itu telah
sesat sejauh-jauhnya.” (An-Nisa’:
136)
Malaikat adalah makhluk Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan
utusan-utusan-Nya. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

الْحَمْدُ لِلَّهِ فَاطِرِ
السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ جَاعِلِ
الْمَلَائِكَةِ رُسُلًا أُولِي
أَجْنِحَةٍ مَثْنَى وَثُلَاثَ
وَرُبَاعَ يَزِيدُ فِي الْخَلْقِ
مَا يَشَاءُ إِنَّ اللهَ عَلَى
كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

“Segala puji bagi Allah Pencipta
langit dan bumi, Yang
menjadikan malaikat sebagai
utusan-utusan (untuk mengurus
berbagai macam urusan) yang
mempunyai sayap, masing-
masing (ada yang) dua, tiga, dan
empat. Allah menambahkan
pada ciptaan-Nya apa yang
dikehendaki-Nya. Sesungguhnya
Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu.” (Fathir:1)
Hadits Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu adalah
bagian dari sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
tentang malaikat-malaikat Allah
Subhanahu wa Ta’ala, sekaligus
berita tentang apa yang
menimpa mayit di alam barzakh
sebagai bagian dari iman kepada
hari akhir.
Apa sesungguhnya hakikat iman
kepada malaikat Allah
Subhanahu wa Ta’ala?
Ketahuilah, sesungguhnya iman
kepada malaikat Allah
Subhanahu wa Ta’ala bukan
sekadar pernyataan percaya
adanya malaikat, tetapi
keimanan tersebut meliputi
beberapa perkara.
Al-Imam Al-Baihaqi
rahimahullahu berkata: “Iman
kepada malaikat-malaikat Allah
Subhanahu wa Ta’ala mencakup
makna yang banyak:
Pertama: Meyakini keberadaan
(wujud) mereka.
Kedua: Menempatkan malaikat
sesuai kedudukan-
kedudukannya, (yaitu) meyakini
bahwa malaikat hanyalah
hamba-hamba Allah Subhanahu
wa Ta’ala yang Dia ciptakan
sebagaimana manusia dan jin,
mendapatkan perintah Allah
Subhanahu wa Ta’ala, dan sama
sekali tidak memiliki kemampuan
kecuali apa yang Allah
Subhanahu wa Ta’ala berikan
kepada mereka. Juga (meyakini
bahwasanya) kematian atas
malaikat adalah sesuatu yang
mungkin, hanya saja Allah
Subhanahu wa Ta’ala beri
mereka usia panjang. Tidaklah
Allah Subhanahu wa Ta’ala
mematikan kecuali jika datang
ajalnya. Malaikat tidak boleh
disifati dengan sifat-sifat yang
mengantarkan pada
penyekutuan dengan Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Mereka
tidak diibadahi sebagai
sesembahan sebagaimana orang-
orang terdahulu (menjadikan
malaikat sebagai sesembahan
selain Allah Subhanahu wa
Ta’ala).
Ketiga: Meyakini bahwa di antara
mereka ada rasul-rasul yang
Allah Subhanahu wa Ta’ala utus
kepada siapa yang Allah
Subhanahu wa Ta’ala kehendaki
baik kepada manusia atau
malaikat. Juga meyakini bahwa di
antara malaikat ada yang
(bertugas) membawa ‘Arsy, ada
yang bershaf-shaf, ada penjaga
jannah, penjaga neraka, pencatat
amalan-amalan, dan ada yang
menggiring awan. Sungguh,
semua ini atau sebagian
besarnya telah dikabarkan dalam
Al-Qur’an.” (Syu’abul Iman)
Iman kepada malaikat adalah:
Mengimani segala perkara yang
Allah Subhanahu wa Ta’ala
kabarkan dalam Al-Qur’an dan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam beritakan dalam As-
Sunnah tentang malaikat
mengenai empat perkara,
pertama: nama-nama mereka;
kedua: sifat-sifat mereka; ketiga:
tugas-tugas mereka; dan
keempat: jumlah mereka; baik
secara global maupun
terperinci.5
Apa Yang Harus Diyakini Tentang
Munkar dan Nakir?
Saudaraku, semoga Allah
Subhanahu wa Ta’ala merahmati
kita. Satu pokok yang wajib kita
yakini, bahwasanya agama
dibangun di atas Al-Kitab dan
As-Sunnah dengan pemahaman
salaful ummah, bukan hasil
rekayasa pikiran, dorongan hawa
nafsu, atau luapan perasaan.
Termasuk iman pada malaikat-
malaikat Allah Subhanahu wa
Ta’ala, tidak boleh kita bertutur
dan meyakini kecuali harus
dibangun di atas dalil.
Di atas pokok inilah kita
beragama. Termasuk dalam
permasalahan Al-Munkar dan
An-Nakir, tidak boleh kita
meyakini tentang keduanya
kecuali apa yang ditunjukkan
dalil Al-Kitab dan As-Sunnah.
Demikian pula sebaliknya, tidak
boleh bagi kita mengingkari apa
yang telah dinyatakan dalam
dalil meskipun terkadang berat
bagi akal sebagian orang untuk
menerimanya.
Al-Munkar dan An-Nakir,
bagaimana akidah salaf, Ahlus
Sunnah wal Jamaah, tentang
keduanya? Berikut beberapa
rincian pembahasannya. Wa
billahi at-taufiq.
Penamaan Munkar dan Nakir
berdasar Hadits yang Tsabit
(Tetap) dari Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Hadits Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu adalah hadits
hasan –sebagaimana telah
berlalu pada pembahasan takhrij
hadits– maka penamaan kedua
malaikat dengan Munkar dan
Nakir ditetapkan dengan hadits
yang tsabit dari Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hadits ini sekaligus
menggugurkan perkataan semua
kelompok yang meragukan
penamaan Munkar dan Nakir
atau bahkan mengingkari
keberadaan keduanya, semisal
kelompok Jahmiyah, Mu’tazilah,
dan seluruh pengekor hawa
nafsu di masa lalu, sekarang
ataupun masa yang akan datang.
Al-Imam Al-Albani
rahimahullahu berkata: “Dalam
hadits ini ada bantahan bagi
orang-orang pada masa ini yang
mengingkari penamaan Munkar
dan Nakir.” (Takhrij Al-‘Aqidah
Ath-Thahawiyah hal. 399 –cet.
Al-Maktab Al-Islami)
Orang-orang Jahmiyah misalnya,
mereka menganggap
bahwasanya iman itu sekadar
ma’rifat (mengenal) Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Oleh
karena itu, disebutkan dari Jahm
bin Shafwan6 bahwasanya iman
manusia sama seperti iman Jibril
dan malaikat-malaikat. Cukup
dengan ma’rifah, seseorang telah
mencapai kesempurnaan iman.
Demikian mereka sangka.
Meskipun mereka meyakini
wujud (keberadaan) malaikat,
namun mereka ingkari
kebanyakan dari amalan-amalan
malaikat. Jahm mengingkari
malaikat pencatat amal,
mengingkari malaikat maut
pencabut arwah, mengingkari
adzab kubur dan nikmatnya
sekaligus malaikat yang
mendapatkan tugas ini, juga
mengingkari pertanyaan di alam
kubur dan dua malaikat yang
mendapatkan tugas ini yaitu
malaikat Munkar dan Nakir ….7
Adapun Ahlus Sunnah wal
Jamaah, maka aqidah mereka
adalah akidah yang bersih dan
menyucikan jiwa, karena
dibangun di atas wahyu Allah
Subhanahu wa Ta’ala, Al-Qur’an
dan As-Sunnah.
Penamaan Mungkar dan Nakir
dalam kitab-kitab Aqidah Salaf
Berpijak pada hadits Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
ulama memasukkan dua nama
ini dalam kitab-kitab aqidah salaf
(Ahlus Sunnah wal Jamaah).
Berikut beberapa nukilan dari
kitab-kitab aqidah Ahlus Sunnah
wal Jamaah tersebut.
• Abu Muhammad
Abdurrahman bin Abi Hatim Ar-
Razi rahimahullahu (240-327 H)
berkata: Aku bertanya pada
bapakku (Abu Hatim Ar-Razi
[277 H], pen.) dan Abu Zur’ah
(264 H) –semoga Allah
Subhanahu wa Ta’ala meridhai
keduanya– tentang keyakinan
Ahlus Sunnah dalam pokok-
pokok agama dan keyakinan
ulama di seluruh negeri, yang
keduanya menjumpai mereka
berada di atas keyakinan
tersebut, dan apa yang diyakini
keduanya. Maka (Abu Hatim dan
Abu Zur’ah) berkata: Kami telah
jumpai ulama-ulama di seluruh
penjuru negeri, baik dari Hijaz
(Makkah, Madinah, Tha’if, dan
sekitarnya, pen.), Irak, Mesir,
Syam, atau Yaman, maka (kami
dapatkan) bahwa di antara
madzhab mereka adalah: …
Meyakini bahwa adzab kubur
adalah haq (benar), Munkar dan
Nakir adalah haq
(benar)...” (Ashlus Sunnah Wa
I’tiqadud Din –riwayat Ibnu Abi
Hatim dari bapaknya dan Abu
Zur’ah– hal. 15-18)
• Ibnu Abi Dawud rahimahullahu
(230-316 H) berkata dalam
Manzhumah Haiyah-nya:
وَلَا تُنْكِرَنْ جَهْلًا
نَكِيْرًا وَمُنْكَرًا * وَلَا
الْحَوْضَ وَالْمِيْزَانَ إِنَّكَ
تُنْصَحُ
“Janganlah engkau ingkari Nakir
dan Munkar karena kejahilan *
Jangan pula kau ingkari telaga
dan timbangan, sungguh engkau
mendapat nasihat.”
• Abu Ja’far Ath-Thahawi
rahimahullahu (239-321 H)8
berkata: “Dan (kita
mengimani) ... pertanyaan
Munkar dan Nakir dalam kubur
seorang tentang Rabbnya,
agamanya, dan nabinya,
berdasarkan hadits-hadits dari
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan para sahabat beliau
g.” (Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyah
hal. 397 dengan syarah Ibnu Abil
‘Izz Al-Hanafi rahimahullahu)
• Al-Imam Al-Barbahari
rahimahullahu (329 H)9 berkata:
“Dan beriman dengan adzab
kubur serta Munkar dan
Nakir.” (Syarhus Sunnah)
• Al-Imam Abdul Ghani Al-
Maqdisi rahimahullahu (600 H)
berkata: “Mengimani adzab
kubur adalah perkara yang
benar, wajib, dan fardhu ….
Demikian pula iman kepada
pertanyaan Mungkar dan
Nakir.” (‘Aqidah Al-Hafizh
Taqiyuddin ‘Abdul Ghani Al-
Maqdisi hal. 88)
• Al-Imam Abu Muhammad
Abdullah bin Ahmad bin
Qudamah Al-Maqdisi
rahimahullahu (541-620 H)
berkata: “Pertanyaan Mungkar
dan Nakir adalah benar,
kebangkitan setelah kematian
adalah benar, yaitu ketika Israfil
q meniup sangkakala,
(sebagaimana Allah Subhanahu
wa Ta’ala firmankan:)
وَنُفِخَ فِي الصُّورِ فَإِذَا
هُمْ مِنَ الْأَجْدَاثِ إِلَى
رَبِّهِمْ يَنْسِلُونَ
“Dan ditiuplah sangkakala, maka
tiba-tiba mereka keluar dengan
segera dari kuburnya (menuju)
kepada Rabb mereka.” (Yasin:
51) [Lum’atul I’tiqad hal. 51]10
Apa yang dinukil dari ucapan
ulama dalam kitab-kitab aqidah
salaf, menunjukkan bahwa
penamaan Munkar dan Nakir
adalah bagian yang tidak
terlepas dari i’tiqad (keyakinan)
Ahlus Sunnah wal Jamaah baik
dari kalangan sahabat atau
generasi sesudahnya,
sebagaimana diucapkan Al-Imam
Abu Ja’far Ath-Thahawi
rahimahullahu dalam ‘Aqidah-
nya bahwasanya penetapan
adzab kubur termasuk
penamaan malaikat Munkar dan
Nakir adalah: “... berdasarkan
hadits-hadits dari Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
dari para sahabat g.”11
Menjawab Keraguan Penamaan
Al-Munkar Dan An-Nakir
Munkar dan Nakir, penamaan ini
diragukan sebagian orang.
Keraguan tersebut setidaknya
bersandar pada dua alasan.
Pertama: Anggapan bahwa
hadits yang menetapkan dua
nama ini dha’if (lemah).
Kedua: Persangkaan adanya
nakarah (keganjilan) makna
dalam nama Munkar dan Nakir.
Mereka berkata: “Bagaimana
mungkin dua malaikat ini
bernama Munkar dan Nakir
yang bermakna sesuatu yang
diingkari atau asing?” atau
“Mungkinkah keduanya diingkari
dan asing padahal Allah
Subhanahu wa Ta’ala telah
mensifati malaikat-malaikat-Nya
dengan sifat-sifat terpuji?”
Sebagai jawaban atas keraguan
pertama, kita katakan: “Hadits
yang menetapkan penamaan
Munkar dan Nakir, termasuk
hadits hasan. Bahkan dikuatkan
dengan penyebutan salaf dalam
kitab-kitab aqidah sebagaimana
telah lalu pembahasannya.”
Maka tidak diragukan kebenaran
dua nama ini.
Adapun alasan kedua, tentang
keganjilan makna, sebenarnya
tidak perlu dibicarakan jika dalil
telah shahih. Karena kewajiban
kita adalah menerima dan
membenarkan kabar Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
semuanya adalah wahyu
sebagaimana Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى. إِنْ
هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى
“Dan tiadalah yang
diucapkannya itu menurut
kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain
hanyalah wahyu yang
diwahyukan (kepadanya).” (An-
Najm: 3-4)
Akan tetapi ulama –
jazahumullahu khairan– tetap
tidak luput untuk menjawab
syubhat persangkaan
ketidaklayakan makna Munkar
dan Nakir.
Asy-Syaikh Muhammad bin
Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu
mengatakan: “... Mereka disebut
Munkar (asing, pen.) karena
mayit (merasa asing) tidak
mengenali keduanya dan tidak
mengetahui sebelum itu.
Sebagaimana Nabi Ibrahim q
berkata pada tamunya (mensifati
dengan kemungkaran/keasingan)
padahal ternyata mereka dari
kalangan malaikat. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ ضَيْفِ
إِبْرَاهِيمَ الْمُكْرَمِينَ. إِذْ
دَخَلُوا عَلَيْهِ فَقَالُوا
سَلَامًا قَالَ سَلَامٌ قَوْمٌ
مُنْكَرُونَ
Sudahkah sampai kepadamu
(Muhammad) cerita tamu
Ibrahim (malaikat-malaikat) yang
dimuliakan? (Ingatlah) ketika
mereka masuk ke tempatnya lalu
mengucapkan: “Salaaman”,
Ibrahim menjawab:
“Salaamun” (kamu) adalah
orang-orang yang tidak dikenal.
(Adz-Dzariyat: 24-25) [Syarh
Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah]
Perhatikan ayat ini, Nabi Ibrahim
q mensifati malaikat yang
bertamu kepadanya dengan
ucapan beliau ( ﯨ ﯩ ). Yang
maknanya “(Kalian adalah) kaum
yang munkar (tidak dikenal).”
Sifat ini sama sekali tidak
menunjukkan celaan kepada
malaikat-malaikat Allah
Subhanahu wa Ta’ala, tamu
Ibrahim. Maka teranglah bahwa
penamaan Munkar atau Nakir
bukan sesuatu yang
merendahkan malaikat, terlebih
penamaan ini shahih dari sabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Ibnul Arabi rahimahullahu
mengatakan: “Dinamai Munkar
dan Nakir yang bermakna umum
(karena cobaan keduanya)
mengenai semua mayit yang
ditanya, baik kafir atau mukmin
(semua tidak luput dari
pertanyaan dua malaikat ini,
pen.)12; dan (dinamai Munkar
dan Nakir) karena semua orang
yang melihat keduanya akan
mengingkari keduanya, karena
apa yang ada pada keduanya
berupa pemandangan yang
menyeramkan, bentuk yang
menakutkan, pembicaraan yang
kasar, maqami’ (alat pukul) yang
ada pada tangan-tangan
keduanya yang sangat
mengerikan dan
menyeramkan.” (‘Aridhatul
Ahwadzi, 4/292)
Sifat Malaikat Munkar dan Nakir
Munkar dan Nakir seperti
malaikat-malaikat yang lain dari
sisi materi penciptaan. Keduanya
diciptakan dari cahaya,
berdasarkan hadits yang
diriwayatkan Al-Imam Muslim
rahimahullahu dalam Ash-Shahih
dari ‘Aisyah Ummul Mukminin
radhiyallahu ‘anha, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :
خُلِقَتِ الْمَلَائِكَةُ مِنْ
نُورٍ وَخُلِقَ الْجَانُّ مِنْ
مَارِجٍ مِنْ نَارٍ وَخُلِقَ آدَمُ
مِمَّا وُصِفَ لَكُمْ
“Malaikat diciptakan dari cahaya,
Jin diciptakan dari api, dan Adam
diciptakan dari apa yang
disifatkan bagi kalian.”13
Demikian pula mereka disifati
dengan ketaatan yang penuh
terhadap perintah Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
Sebagaimana dalam firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala:
لَا يَعْصُونَ اللهَ مَا أَمَرَهُمْ
وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
“… Tidak mendurhakai Allah
terhadap apa yang
diperintahkan-Nya kepada
mereka dan selalu mengerjakan
apa yang diperintahkan.” (At-
Tahrim: 6)
Di antara sifat Munkar dan Nakir
yang tersebut dalam hadits ini
adalah sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
أَسْوَدَانِ، أَزْرَقَانِ
“Keduanya hitam dan biru.”
Al-Mubarakfuri rahimahullahu
mengatakan: “Maksudnya, biru
kedua matanya.” (Tuhfatul
Ahwadzi, 3/520, cet. Darul
Hadits)
Allahu a’lam bish-shawab.
Keduanya disifati membawa alat
pukul dari besi untuk memukul
siapa saja yang tidak menjawab
pertanyaan keduanya.
Sebagaimana dalam hadits yang
diriwayatkan Al-Bukhari
rahimahullahu dalam Shahih-
nya:
ثُمَّ يُضْرَبُ بِمِطْرَقَةٍ
مِنْ حَدِيدٍ ضَرْبَةً بَيْنَ
أُذُنَيْهِ فَيَصِيحُ
صَيْحَةً يَسْمَعُهَا مَنْ
يَلِيهِ إِلاَّ الثَّقَلَيْنِ
“...Kemudian dia (mayyit yang
durhaka kepada Allah) dipukul
dengan palu dari besi dengan
pukulan di wajahnya, hingga dia
menjerit dengan jeritan yang
didengar siapa yang di sekitarnya
kecuali jin dan manusia.”14
Demikian beberapa sifat malaikat
Munkar dan Nakir berdasar Al-
Kitab dan As-Sunnah. Allahu
a’lam bish-shawab.
Tugas Malaikat Munkar-Nakir
dan Adanya Fitnah Kubur
Dalam hadits ini Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengabarkan tugas malaikat
Munkar dan Nakir, yaitu
menanyakan kepada mayit
tentang Rabbnya, agamanya,
dan nabinya.
Pertanyaan dua malaikat inilah
yang dimaksud dengan fitnah
kubur, yaitu ujian yang
menentukan nasib seseorang,
akankah mendapatkan nikmat
kubur atau sebaliknya
mendapatkan adzab kubur.
Manusia ketika itu terbagi
menjadi dua golongan: golongan
yang Allah Subhanahu wa Ta’ala
selamatkan dari fitnah kubur
dan golongan lain yang tidak
Allah Subhanahu wa Ta’ala beri
keselamatan, sebagaimana
disebutkan dalam hadits Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu di
atas.
Golongan Pertama: Mereka
adalah orang-orang beriman
yang Allah Subhanahu wa Ta’ala
beri tsabat (keteguhan) dalam
menghadapi fitnah. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يُثَبِّتُ اللهُ الَّذِينَ
ءَامَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ
فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي
الْآخِرَةِ وَيُضِلُّ اللهُ
الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللهُ
مَا يَشَاءُ
“Allah meneguhkan (iman)
orang-orang yang beriman
dengan ucapan yang teguh itu
dalam kehidupan di dunia dan di
akhirat; dan Allah menyesatkan
orang-orang yang zalim dan
memperbuat apa yang Dia
kehendaki.” (Ibrahim : 27)
Mereka menjawab semua
pertanyaan Munkar dan Nakir.
Kuburnya pun diluaskan dan
diberi cahaya. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
ثُمَّ يُفْسَحُ لَهُ فِي
قَبْرِهِ سَبْعُونَ ذِرَاعًا فِي
سَبْعِينَ، ثُمَّ يُنَوَّرُ لَهُ
فِيهِ
“..Lalu diluaskan kubur untuknya
70 dzira’ (hasta) kali 70 dzira’,
dan diterangi..”
Hadits menunjukkan bahwa
kubur seorang mukmin –secara
hakiki– diluaskan panjang dan
lebarnya sepanjang 70
dzira’ (hasta). Demikian
diterangkan Al-Mubarakfuri
rahimahullahu. Atau makna dari
perkataan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam tersebut adalah
bahwa kubur akan diluaskan
dengan sangat luasnya. Ath-Thibi
rahimahullahu berkata
sebagaimana dinukilkan Al-
Mubarakfuri: “... Peluasan kubur
disandarkan kepada 70 sebagai
bentuk mubalaghah (sangat)
atas luasnya kubur.” (lihat
Tuhfatul Ahwadzi 3/521)
Wal ‘ilmu ‘indallah.
Berkenaan nasib seorang
mukmin, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda dalam
hadits shahih dari shahabat Bara’
bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhuma:
Maka datanglah dua malaikat
kepada mayit, keduanya
mendudukkan mayit kemudian
bertanya kepadanya: “Siapa
Rabbmu?” Dia menjawab:
“Rabbku adalah Allah.” “Apa
agamamu?” Dia menjawab:
“Agamaku Islam.” “Siapa orang
yang diutus kepada kalian?” Dia
menjawab: “Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
“Apa amalanmu?” Dia
menjawab: “Aku membaca Al-
Qur’an dan aku mengamalkan
serta membenarkannya.” Maka
terdengarlah seruan dari langit:
“Hamba-Ku benar,
hamparkanlah untuknya dari
jannah, berilah pakaian dari
jannah, dan bukakanlah
untuknya pintu menuju jannah."
Lalu datanglah seseorang yang
sangat indah wajah dan bajunya,
sangat harum aromanya seraya
berkata: “Bergembiralah dengan
apa yang membahagiakanmu.
Inilah hari yang dahulu engkau
dijanjikan.” Berkatalah mayit:
“Siapakah kamu? Wajahmu
tampak datang dengan
kebaikan.” Dia menjawab: “Aku
adalah amalan shalihmu.”
Berkatalah mayit: “Ya Rabb,
tegakkanlah hari kiamat agar
aku kembali kepada keluarga
dan hartaku.”15
Demikianlah keadaan kaum
mukminin di alam kubur. Kita
meminta kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala semoga
Allah Subhanahu wa Ta’ala
matikan kita dalam keadaan
beriman dan mendapatkan
nikmat kubur.
Golongan kedua: orang-orang
kafir dan munafik. Mereka
mendapatkan kehinaan dengan
fitnah ini. Mulut mereka tidak
mampu mengemukakan
jawaban. Adzab yang Allah
Subhanahu wa Ta’ala sediakan
pun menimpa mereka
sebagaimana disebutkan dalam
hadits Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu di atas.
Pembaca rahimakumullah,
demikian beberapa pembahasan
terkait dengan dua malaikat
Munkar dan Nakir, sifat dan
tugas mereka. Mengimani
keduanya adalah bagian dari
iman kepada malaikat, yang
telah diimani oleh salaful ummah
baik dari kalangan sahabat,
tabi’in, dan orang-orang yang
berjalan di atas jalan mereka.
Ibnu Abil ‘Izzi Al-Hanafi
rahimahullahu (792 H)
mengatakan: “Telah mutawatir16
berita-berita dari Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
tentang adanya adzab dan
nikmat kubur bagi orang yang
pantas mendapatkannya.
Demikian pula pertanyaan dua
malaikat. Maka wajib (bagi kita)
beri’tiqad dan meyakini adanya
hal itu.”17
Semoga Allah Subhanahu wa
Ta’ala melindungi kita dan kaum
muslimin dari neraka jahannam,
fitnah kubur, serta segala
kejelekan di dunia dan akhirat.
Walhamdulillahi rabbil ‘alamin.
1 Demikian dengan
menggunakan alif dan lam: Al-
Munkar dan An-Nakir. Dalam
sebagian riwayat disebutkan
namanya tanpa menggunakan
alif dan lam, Munkar dan Nakir.
2 Al-Imam Ahmad berkata:
“Shalihul hadits (Haditsnya
baik).” (Al-‘Ilal wa Ma’rifatur
Rijal, 1/130)
Ibnu Hibban menyebutkan
Abdurrahman bin Ishaq dalam
Ats-Tsiqat (7/86).
Al-‘Ijli berkata: “Yuktabu
haditsuhu wa laisa bil qawi
(Haditsnya ditulis, namun dia
bukan orang yang kuat).” (Tarikh
Ats-Tsiqat)
Abu Hatim berkata: “Yuktabu
haditsuhu wa laa yuhtaju bihi
(Ditulis haditsnya, dan dia tidak
dijadikan hujjah).” (Al-Jarh wat
Ta’dil, 5/212. Lihat Tahdzib At-
Tahdzib, 6/125-126)
3 Beliau berkata: “Shaduq,
rumiya bil qadar (Dia seorang
yang shaduq/haditsnya hasan,
dituduh berpaham Qadariyah).”
4 Lihat juga takhrij beliau atas
Syarah Al-’Aqidah Ath-
Thahawiyah (hal. 399) dan
Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah
(3/379-380, no. 1391)
5 Definisi ini termasuk definisi
yang mencakup seluruh
permasalahan iman kepada
malaikat-malaikat Allah
Subhanahu wa Ta’ala, baik
terkait dengan sumber keyakinan
yaitu Al-Kitab dan As-Sunnah,
atau hal-hal yang harus diyakini
tentang malaikat. Demikian Asy-
Syaikh Dr. Abdur Razaq bin
Abdul Muhsin Al-Abbad
hafizhahullah menjelaskan dalam
beberapa muhadharah
(ceramah).
6 Adz-Dzahabi mengatakan:
“Jahm bin Shafwan Abu Mahraz
As-Samarqandi, seorang sesat,
mubtadi', pemuka Jahmiyah. Dia
binasa di zaman shigar tabi’in
(tabi'in kecil). Aku tidak tahu dia
meriwayatkan sesuatu, tetapi dia
telah menebarkan benih
kesesatan yang sangat
besar.” (Mizanul I'tidal, 1/426)
Di antara pemikiran Jahm adalah
meniadakan sifat Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Keyakinan
ini diambilnya dari Ja’d bin
Dirham yang disembelih oleh
Khalid bin ‘Abdilah Al-Qasri di
Wasith. Jahm sendiri dibunuh di
Khurasan oleh Salm bin Ahwaz
pada tahun 128 H.
7 Mu’taqad Firaqul Muslimin wal
Yahud wan Nashara wal
Falasifah wal Watsaniyin fil
Mala’ikah Al-Muqarrabin karya
Asy-Syaikh Dr. Muhammad bin
Abdul Wahhab Al-’Aqil (hal.
242-243).
8 Beliau adalah Al-Imam Abu
Ja’far Ahmad bin Salamah bin
Abdul Malik bin Salamah bin
Sulaiman Al-Azdi Ath-Thahawi.
9 Beliau adalah Al-Imam Al-
Hafizh Abu Muhammad Al-
Hasan bin Ali bin Khalaf Al-
Barbahari Al-Hanbali.
10 Dengan syarah Asy-Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-
Utsaimin.
11 Juga perkataan Abu Hatim
dan Abu Zur’ah: “Kami telah
menjumpai ulama-ulama (Ahlus
Sunnah, ahlul hadits) di seluruh
negeri baik dari Hijaz, Irak, Mesir,
Syam, atau Yaman... (yakni
mereka semua mengimani
Munkar dan Nakir).”
12 Kecuali beberapa golongan
yang tidak ditanya sebagaimana
ditunjukkan dalam nash-nash.
13 Diriwayatkan oleh Al-Imam
Muslim dalam Shahih-Nya kitab
Az-Zuhd wa Ar-Raqaiq (4/2294).
Faedah: Yang dimaksud dengan
sabda Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam: “Adam
diciptakan dari apa yang
disifatkan bagi kalian” adalah
bahwa Adam q diciptakan dari
tanah sebagaimana Allah
Subhanahu wa Ta’ala sifatkan
dalam Al-Qur’an, demikian pula
yang Rasul kita sebutkan tentang
materi penciptaan Adam.
14 HR. Al-Bukhari dalam Ash-
Shahih no. 1338
15 Bagian dari hadits Bara’ bin
Azib radhiyallahu ‘anhuma.
Diriwayatkan oleh Al-Imam
Ahmad rahimahullahu dalam Al-
Musnad (4/287-288) dan Al-
Hakim rahimahullahu dalam Al-
Mustadrak (1/93-94). Al-Hakim
mengatakan: “Dalam hadits ini
terdapat faedah yang sangat
banyak bagi Ahlus Sunnah dan
bantahan bagi mubtadi’ah (ahli
bid’ah)….” (Al-Mustadrak, 1/96)
Faedah: Hadits Bara’ bin ‘Azib
dishahihkan banyak ulama,
seperti Al-Hakim dan Ibnul
Qayyim rahimahumallah.
Adapun Ibnu Hazm dan Ibnu
Hibban rahimahumallah, beliau
berdua kurang tepat dalam
memberikan hukum terhadap
hadits ini dengan kedha’ifan.
Bantahan (tentang hal ini) dapat
dilihat secara rinci dalam kitab
Ar-Ruh, karya Ibnu Qayyim
rahimahullahu.
16 Lihat Qathful Az-haril
Mutanatsirah fil Akhbaril
Mutawatirah karya As-Suyuthi
hadits no. 109.
17 Syarah Al-’Aqidah Ath-
Thahawiyah hal. 399 dengan
takhrij Asy-Syaikh Al-Albani.

www.majalahsyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=814

0 komentar:

Posting Komentar