Penulis:
Buletin Islam Al Ilmu
Para pembaca, semoga Allah
Subhaanallaahu wa Ta’aala
senantiasa mencurahkan
rahmat-Nya kepada kita semua,
salah satu potret realita yang
terkandung dalam rahim sejarah
Islam. Peristiwa monumental
yang tidak akan pernah
terlupakan dalam benak muslim
sejati. Peristiwa yang
menggambarkan pertentangan
dua sisi yang berlawanan.
Pertarungan antara kebenaran
melawan kebatilan. Manusia
beradab melawan manusia
biadab. Manusia mulia melawan
manusia tercela. Kaum muslimin
yang cinta kedamaian berseteru
dengan kaum kafir yang suka
kekacauan. Sebuah tragedi
memilukan hati yang terkandung
pelajaran penting dan berharga
bagi muslim sejati terhadap
petuah dan perintah (sunnah-
sunnah) Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wa Sallam. Sebuah insiden
berdarah kontak senjata antara
kaum muslimin melawan kaum
musyrikin Quraisy yang terjadi
pada bulan Syawwal tahun
ketiga Hijriyah, peristiwa tersebut
dikenal dengan Perang Uhud.
Berikut petikan ringkas kisahnya:
Latar belakang pertempuran
Mendung kesedihan masih saja
menyelimuti kota Makkah. Tak
bisa dipungkiri lagi bahwa
Musyrikin Quraisy tak mampu
menyembunyikan duka lara
mendalam perihal kekalahan
telak mereka pada perang Badar
tahun kedua Hijriyah, hati
mereka tersayat pilu tak terkira.
Berita kalahnya pasukan Quraisy
terasa begitu cepat menyebar
keseluruh penjuru kota Makkah,
bak awan bergerak menutupi
celah celah langit yang kosong di
musim penghujan. Berita duka
itu serasa gempa bumi
menggoncang batok kepala
orang-orang musyrik. Namun
sangat disayangkan, kekalahan
telak kaum paganis Quraisy pada
perang itu tak mampu merubah
sikap bengis mereka terhadap
kaum muslimin. Dendam
kesumat nan membara tertancap
kokoh dalam hati mereka,
tewasnya tokoh-tokoh Quraisy
berstrata sosial tinggi pada
peristiwa nahas itu semakin
menambah kental kebencian
Quraisy terhadap kaum
muslimin.
Persiapan pasukan Quraisy
Tokoh-tokoh Quraisy seperti
Ikrimah bin Abu Jahal, Shafwan
bin Umayah, dan Abu Sufyan bin
Harb -sebelum mereka masuk
Islam- bangkit sebagai pelopor-
pelopor yang sangat getol
mengobarkan api balas dendam
terhadap Islam dan pemeluknya.
Para orator ulung bangsa Arab
tersebut menempuh langkah-
langkah jitu untuk memuluskan
program balas dendam tersebut,
mula-mula mereka melarang
warga Makkah meratapi
kematian korban tewas perang
Badar kemudian menunda
pembayaran tebusan kepada
pihak muslim untuk
membebaskan tawanan Quraisy
yang masih tersisa di Madinah.
Mereka sibuk menggalang dana
untuk menyongsong aksi balas
dendam, mereka datang kepada
para pemilik kafilah dagang
Quraisy yang merupakan pemicu
utama terjadinya perang Badar,
seraya menyeru: “Wahai orang-
orang Quraisy! Sungguh
Muhammad telah menganiaya
kalian serta membunuh tokoh-
tokoh kalian! Maka bantulah
kami dengan harta kalian untuk
membalasnya! Mudah-mudahan
kami bisa menuntut balas
terhadap mereka.”
Rencana tersebut mendapat
respon hangat dari masyarakat
Quraisy, kontan dalam waktu
yang sangat singkat terkumpul
dana perang yang cukup banyak
berupa 1000 onta dan 50.000
keping mata uang emas.
Sebagaimana yang Allah
Subhaanallaahu wa Ta’aala lansir
pada ayat ketigapuluh enam dari
surat Al-Anfal:
Sesungguhnya orang-orang kafir
itu mereka menginfakkan harta
mereka untuk menghalangi
manusia dari jalan Allah…
Hari demi hari tampak upaya
mereka mendapat hasil
signifikan. Betapa tidak, hanya
dalam kurun waktu satu tahun
saja mereka mampu
menghimpun pasukan tiga kali
lipat lebih besar dibanding
jumlah pasukan Quraisy pada
perang setahun lalu (perang
Badar) ditambah fasilitas
persenjataan yang memadai
terdiri dari 3000 onta, 200 kuda
dan 700 baju besi, jumlah total
pasukan tidak kurang dari 3000
prajurit ditambah lima belas
wanita bertugas mengobarkan
semangat tempur dan
menghalau pasukan lari mundur
kebelakang.
Bertindak sebagai panglima
tertinggi pasukan Quraisy adalah
Abu Sufyan bin Harb, adapun
pasukan berkuda dibawah
komando Khalid bin Al Walid
dan Ikrimah bin Abu Jahal,
sementara panji- panji perang
dipegang para ahli perang dari
Kabilah Bani Abdud Dar, dan
barisan wanita dibawah
koordinasi Hindun bintu ‘Utbah
istri Abu Sufyan. Terasa lengkap
dan cukup memadai persiapan
Quraisy dalam periode putaran
perang kali ini, arak-arakan
pasukan besar sarat anarkisme
dan angkara murka kini tengah
merangsek menuju Madinah
menyandang misi balas dendam
dan melampiaskan nafsu setan-
setan jahat.
Sampainya kabar kepada
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa
Sallam
Beliau menerima surat rahasia
dari Al Abbas bin Abdul
Mutthalib paman beliau yang
masih bermukim di Makkah.
Kala itu Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wa Sallam berada di
Quba, Ubay bin Ka’ab diminta
untuk membaca surat tersebut
dan merahasiakan isinya. Beliau
bergegas menuju Madinah
mengadakan persiapan militer
menyongsong kedatangan ‘tamu
tak diharapkan itu’.
Bak angin berhembus, berita
pergerakan pasukan kafir
Quraisy menyebar keseluruh
penjuru Madinah, tak ayal
kondisi kota itu kontan tegang
mendadak, penduduk kota siaga
satu, setiap laki-laki tidak lepas
dari senjatanya walau dalam
kondisi shalat. Sampai-sampai
mereka bermalam di depan
pintu rumah dalam keadaan
merangkul senjata.
Majelis musyawarah militer
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa
Sallam mengumpulkan para
sahabatnya sembari bersabda:
“Demi Allah sungguh aku telah
melihat pertanda baik, aku
melihat seekor sapi yang
disembelih, pedangku tumpul,
dan aku masukkan tanganku
didalam baju besi, aku ta’wilkan
sapi dengan gugurnya
sekelompok orang dari
sahabatku, tumpulnya pedangku
dengan gugurnya salah satu
anggota keluargaku sementara
baju besi dengan Madinah”.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa
Sallam berpendapat agar tetap
bertahan di dalam kota Madinah
dan meladeni tantangan mereka
di mulut-mulut lorong kota
Madinah. Pendapat ini disetujui
oleh gembong munafik Abdullah
bin Ubay bin Salul, musuh Allah
ini memilih pendapat ini bukan
atas pertimbangan strategi militer
melainkan agar dirinya bisa
dengan mudah kabur dari
pertempuran tanpa mencolok
pandangan manusia. Adapun
mayoritas para sahabat, mereka
cenderung memilih menyambut
tantangan Quraiys di luar
Madinah dengan alasan banyak
diantara mereka tidak sempat
ambil bagian dalam perang
Badar, kali ini mereka tidak ingin
ketinggalan untuk ‘menanam
saham’ pada puncak amalan
tertinggi dalam Islam. Hamzah
bin Abdul Mutthalib sangat
mendukung pendapat ini seraya
berkata: “Demi Dzat Yang
menurunkan Al Qur’an
kepadamu, sungguh Aku tidak
akan makan sampai Aku
mencincang mereka dengan
pedangku di luar Madinah”
Dengan mempertimbangkan
berbagai usulan para sahabat
akhirnya Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wa Sallam memutuskan
untuk menjawab tantangan
Quraisy di medan terbuka luar
kota Madinah. Dan
meninggalkan selera Abdullah
bin Ubay.
Hari itu Jum’at tanggal 6 Syawwal
3 H beliau memberi wasiat
kepada para sahabat agar
bersemangat penuh
kesungguhan dan bahwasannya
Allah akan memberi pertolongan
atas kesabaran mereka. Lalu
mereka shalat Ashar dan Beliau
beranjak masuk kedalam rumah
bersama Abu Bakar dan Umar
bin Al Khathab, saat itu beliau
mengenakan baju besi dan
mempersiapkan persenjataan.
Para sahabat menyesal dengan
sikap mereka yang terkesan
memaksa Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wa Sallam untuk keluar
dari Madinah, tatkala Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wa Sallam
keluar mereka berkata: “Wahai
Rasulullah, kami tidak
bermaksud menyelisihi
pendapatmu, putuskanlah
sekehendakmu! Jika engkau lebih
suka bertahan di Madinah maka
lakukanlah!” Beliau menjawab:
“Tidak pantas bagi seorang nabi
menanggalkan baju perang yang
telah dipakainya sebelum Allah
memberi keputusan antara dia
dengan musuhnya.”
Kondisi umum pasukan Islam
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa
Sallam membagi pasukan Islam
menjadi tiga batalyon:
Batalyon
Muhajirin dibawah komando
Mush’ab bin Umair, Batalyon
Aus dikomando oleh Usaid bin
Hudhair dan Batalyon Khazraj
dipimpin oleh Khabbab bin Al
Mundzir . Jumlah total pasukan
Islam hanya 1000 orang, dengan
perlengkapan fasilitas serba
minim berupa 100 baju besi dan
50 ekor kuda (dikisahkan dalam
sebuah riwayat: tanpa adanya
kuda sama sekali) dalam perang
ini. Wallahu a’lam
Sesampainya pasukan Islam
disebuah tempat yang dikenal
dengan Asy Syaikhan, Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wa Sallam
menyeleksi beberapa para
sahabat yang masih sangat dini
usia mereka diantaranya
Abdullah bin Umar bin Al
Khathab, Usamah bin Zaid, Zaid
bin Tsabit, Abu Said Al Khudry
dan beberapa sahabat muda
lainnya, tak urung kesedihan
pun tampak di wajah mereka
dengan terpaksa mereka harus
kembali ke Madinah.
Orang-orang munafikin
melakukan penggembosan
Berdalih karena pendapatnya
ditolak oleh Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wa Sallam,
tokoh munafik Abdullah bin
Ubay bin Salul melakukan aksi
penggembosan dalam tubuh
pasukan Islam. Musuh Allah ini
berhasil memprovokasi hampir
sepertiga jumlah total pasukan,
tidak kurang dari 300 orang
kabur meninggalkan front jihad
fisabilillah. ‘Manusia bermuka
dua’ ini memang sengaja
melakukan aksi penggembosan
ditengah perjalanan agar tercipta
kerisauan di hati pasukan Islam
sekaligus menyedot sebanyak
mungkin kekuatan muslimin.
Strategi militer Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wa Sallam dan
tugas pasukan
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa
Sallam sang ahli strategi militer
mengatur barisan pasukan dan
membagi tugas serta misi
mereka. Beliau menempatkan 50
pemanah di bukit Ainan bertugas
sebagai sniper-sniper dibawah
komando Abdullah bin Jubair bin
Nu’man Al Anshary, Beliau
memberi intruksi militer seraya
bersabda:“Gempurlah mereka
dengan panah-panah kalian!
Jangan tinggalkan posisi kalian
dalam kondisi apapun! Lindungi
punggung-punggung kami
dengan panah-panah kalian!
Jangan bantu kami sekalipun
kami terbunuh! Dan jangan
bergabung bersama kami
sekalipun kami mendapat
rampasan perang!. Dalam
riwayat Bukhari: jangan
tinggalkan posisi kalian sekalipun
kalian melihat burung-burung
telah menyambar kami sampai
datang utusanku kepada kalian!
Sesampainya di Uhud kedua
pasukan saling mendekat,
panglima kafir Quraisy Abu
Sufyan berupaya memecah
persatuan pasukan Islam, dia
berkata kepada kaum Anshar:
“Biarkan urusan kami dengan
anak-anak paman kami
(Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa
Sallam dan kaum Muhajirin)!
Maka kami tidak akan mengusik
kalian, kami tidak ada
kepentingan memerangi kalian!”
Akan tetapi, upaya Abu Sufyan
tidak menuai hasil karena
kokohnya keimanan kaum
Anshar. Justru sebaliknya,
mereka membalasnya dengan
ucapan yang amat pedas yang
membuat panas telinga orang
yang mendengarnya.
Awal mula pertempuran
Thalhah bin Abi Thalhah Al
Abdary pengampu panji perang
kafir Quraisy seorang yang
dikenal sangat mahir dan
pemberani maju menantang
mubarazah (duel), secepat kilat
Zubair Ibnul Awwam menerkam
dan membantingnya kemudian
menggorok lehernya, Thalhah
tak berdaya melepas nafas
terakhirnya. Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wa Sallam
bertakbir dan bertakbirlah kaum
muslimin. Bangkitlah Abu
Syaibah Utsman bin Abi Thalhah
mengibarkan kembali panji
tersebut, dengan penuh
kesombongan menantang duel,
secepat kilat pula Hamzah bin
Abdul Mutthalib menghantam
pundaknya dengan sabetan
pedang yang sangat kuat hingga
menembus pusarnya tak ayal
tangan dan pundaknya terlepas,
Utsman tersungkur tak berdaya
meregang nyawa. Berikutnya
Abu Sa’ad bin Abi Thalhah
mengambil panji tersebut namun
seiring dengan itu anak panah
Sa’ad bin Abi Waqash
menembus kerongkongannya,
tak pelak dia jatuh terjerembab
ketanah menjulurkan lidah
menjadi seonggok mayat. Musafi’
bin Abi Thalhah memberanikan
diri mengangkat kembali panji
Quraisy namun ia tewas
mendadak tersambar runcingnya
anak panah Ashim bin Tsabit bin
Abul Aflah. Berikutnya Kilab bin
Thalhah bin Abi Thalhah saudara
kandung Musafi’ mengibarkan
kembali panji itu namun ia
segera roboh ketanah
mengakhiri hidupnya setelah
pedang Zubair bin Al Awwam
menyambar badannya. Al Jallas
bin Abi Thalhah segera
menopang kembali menopang
panji itu, namun sabetan pedang
Thalhah bin Ubaidillah segera
memecat nyawa dari tubuhnya.
Keenam pemberani tersebut
berasal dari satu keluarga
kabilah Bani Abdi Dar. Kemudian
Arthah bin Syurahbil maju
namun Ali bin Abi Thalib tak
membiarkannya hidup lama
menenteng panji dan langsung
melibasnya, realita spektakuler
aneh tapi nyata, tidaklah seorang
dari musyrikin mengambil panji
tersebut melainkan terenggut
nyawanya hingga genap sepuluh
orang menemui ajalnya disekitar
panji perang musyrikin. Setelah
itu tak ada seorang pun dari
mereka yang bernyali mengambil
panji yang tergeletak di bumi
Uhud.
Wallahu Ta’ala A’lamu bish
Shawab.
http://www.assalafy.org/mahad/?
p=510#more-510
www.darussalaf.or.id/stories.php?id=1769
0 komentar:
Posting Komentar