Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullahu ditanya tentang
menyolati seorang mayit yang
dahulunya (semasa hidupnya)
tidak melakukan shalat. Apakah
dengan itu seseorang
mendapatkan pahala atau tidak?
Apakah seseorang berdosa bila
meninggalkannya, sementara dia
tahu bahwa dahulu si mayit tidak
shalat? Demikian pula mayit yang
dahulunya meminum khamr dan
tidak shalat, bolehkah bagi yang
mengetahui keadaannya untuk
menyolatinya?
Jawab:
Seseorang yang menampakkan
keislaman maka berlaku
padanya hukum-hukum Islam
yang zhahir (tampak), semacam
pernikahan, warisan, dimandikan
dan dishalati, dan dikuburkan di
pekuburan muslimin, dan yang
semacamnya.
Adapun yang mengetahui
adanya kemunafikan dan
kezindiqan1 pada dirinya (mayit),
dia tidak boleh menyolatinya,
walaupun si mayit (dahulunya)
menampakkan keislaman.
Karena Allah Subhanahu wa
Ta'ala melarang Nabi-Nya
Shallallahu 'alaihi wa sallam
untuk menyolati orang-orang
munafik. Firman-Nya:
وَلَا تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ
مِنْهُمْ مَاتَ أَبَدًا وَلَا
تَقُمْ عَلَى قَبْرِهِ إِنَّهُمْ
كَفَرُوا بِاللهِ وَرَسُولِهِ
وَمَاتُوا وَهُمْ فَاسِقُونَ
“Dan janganlah kamu sekali-kali
menyolatkan (jenazah) seorang
yang mati di antara mereka, dan
janganlah kamu berdiri
(mendoakan) di kuburnya.
Sesungguhnya mereka telah kafir
kepada Allah dan Rasul-Nya dan
mereka mati dalam keadaan
fasik.” (At-Taubah: 84)
سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ
أَسْتَغْفَرْتَ لَهُمْ أَمْ لَمْ
تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ لَنْ
يَغْفِرَ اللهُ لَهُمْ
“Sama saja bagi mereka, kamu
mintakan ampunan atau tidak
kamu mintakan ampunan bagi
mereka, Allah tidak akan
mengampuni mereka.” (Al-
Munafiqun: 6)
Adapun yang menampakkan
kefasikan bersamaan dengan
adanya iman pada dirinya,
seperti para pelaku dosa besar,
maka sebagian muslimin tetap
diharuskan menyolati (jenazah)
mereka. Tapi (bila) seseorang
tidak menyolatinya dalam rangka
memperingatkan orang-orang
yang semacamnya dari
perbuatan seperti itu,
sebagaimana Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam tidak mau
menyolati seseorang yang mati
bunuh diri, orang yang mencuri
harta rampasan perang sebelum
dibagi, serta yang mati
meninggalkan hutang dan tidak
memiliki (sesuatu) untuk
membayarnya, juga sebagaimana
dahulu banyak dari kalangan
salaf (pendahulu) berhalangan
untuk menyolati ahli bid’ah,
maka pengamalannya terhadap
sunnah ini bagus.
Dahulu putra Jundub bin
Abdillah Al-Bajali berkata kepada
ayahnya: “Aku semalam tidak
dapat tidur karena
kekenyangan.” Jundub
radhiyallahu 'anhu mengatakan:
“Seandainya kamu mati maka
aku tidak mau menyolatimu.”
Seolah Jundub mengatakan:
“Kamu bunuh dirimu dengan
kebanyakan makan.”
Yang semacam ini sejenis dengan
pemboikotan terhadap orang-
orang yang menampakkan dosa
besar agar mereka mau
bertaubat. Bila perlakuan
semacam ini membuahkan
maslahat yang besar maka sikap
itu baik.
Barangsiapa tetap menyolatinya
dengan mengharapkan rahmat
Allah Subhanahu wa Ta'ala
untuknya, sementara jika dia
tidak menyolatinya juga tidak
ada maslahat yang besar, maka
sikap yang demikian juga baik.
Atau, seandainya dia
menampakkan bahwa dia tidak
mau menyolatinya namun tetap
mendoakannya walaupun tidak
menampakkan doanya –untuk
menggabungkan dua maslahat–
maka memadu dua maslahat
lebih baik daripada
meninggalkan salah satunya.
Orang yang tidak diketahui
kemunafikannya sedangkan dia
adalah seorang muslim, boleh
memintakan ampunan untuknya.
Bahkan itu disyariatkan dan
diperintahkan. Sebagaimana
firman Allah Subhanahu wa
Ta'ala:
وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ
وَلِلْمُؤْمِنِينَ
وَالْمُؤْمِنَاتِ
“Dan mohonlah ampunan bagi
dosamu dan bagi (dosa) orang-
orang mukmin, laki-laki dan
perempuan.” (Muhammad: 19)
Semua orang yang
menampakkan dosa besar, boleh
dihukum dengan diboikot dan
cara yang lain, sampai pada
mereka yang bila di-hajr (boikot)
akan mengakibatkan maslahat
yang besar. Sehingga
dihasilkanlah maslahat yang
syar’i dalam sikap tersebut
semampu mungkin.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullahu ditanya tentang
seseorang yang terkadang shalat,
tetapi banyak meninggalkan atau
tidak shalat. Apakah (bila mati)
dia dishalati?
Jawab:
Terhadap orang yang seperti ini,
kaum muslimin tetap
menyolatinya. Bahkan kaum
munafik yang menyembunyikan
kemunafikannya, kaum muslimin
tetap menyolati dan
memandikannya, dan diterapkan
atasnya hukum-hukum Islam,
sebagaimana kaum munafik di
zaman Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam.
Bila mengetahui
kemunafikannya, maka ia tidak
boleh menyolatinya.
Sebagaimana Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam dilarang
menyolati orang yang beliau
ketahui kemunafikannya.
Adapun seseorang yang dia
ragukan keadaannya, maka
diperbolehkan menyolatinya bila
ia menampakkan keislamannya.
Sebagaimana Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam menyolati orang
yang beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam belum dilarang untuk
menyolatinya. Di antara mereka
ada yang belum beliau ketahui
kemunafikannya, sebagaimana
Allah Subhanahu wa Ta'ala
firmankan:
وَمِمَّنْ حَوْلَكُمْ مِنَ
الْأَعْرَابِ مُنَافِقُونَ وَمِنْ
أَهْلِ الْمَدِينَةِ مَرَدُوا عَلَى
النِّفَاقِ لَا تَعْلَمُهُمْ
نَحْنُ نَعْلَمُهُمْ
“Di antara orang-orang Arab
badui yang di sekelilingmu itu,
ada orang-orang munafik; dan
(juga) di antara penduduk
Madinah. Mereka keterlaluan
dalam kemunafikannya. Kamu
(Muhammad) tidak mengetahui
mereka, (tetapi) Kamilah yang
mengetahui mereka.” (At-
Taubah: 101)
Terhadap orang yang semacam
mereka tidak boleh dilarang
untuk menyolatinya. namun
shalat Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam dan kaum mukminin
terhadap orang munafik tidak
bermanfaat untuknya.
Sebagaimana Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam berkata ketika
memakaikan gamisnya kepada
Ibnu Ubai (seorang munafik):
“Dan tidak akan bermanfaat
gamisku untuk menolongnya
dari hukuman Allah.” Allah
Subhanahu wa Ta'ala juga
berfirman:
سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ
أَسْتَغْفَرْتَ لَهُمْ أَمْ لَمْ
تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ لَنْ
يَغْفِرَ اللهُ لَهُمْ
“Sama saja bagi mereka, kamu
mintakan ampunan atau tidak
kamu mintakan ampunan bagi
mereka, Allah tidak akan
mengampuni mereka.” (Al-
Munafiqun: 6)
Orang yang terkadang
meninggalkan shalat dan yang
sejenisnya, yang menampakkan
kefasikan, bila para ulama meng-
hajr (memboikot) nya dan tidak
menyolatinya akan membuahkan
manfaat bagi muslimin –di mana
hal itu akan menjadi pendorong
mereka untuk menjaga shalat–
maka hendaknya mereka
memboikotnya dan tidak
menyolatinya. Sebagaimana Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam
tidak mau menyolati orang yang
mati bunuh diri, orang yang
mencuri harta rampasan perang,
serta orang yang mati
meninggalkan hutang dan tidak
ada yang untuk melunasinya.
Orang ini (yang meninggalkan
shalat) lebih jelek dari mereka.
(Majmu’ Fatawa, 24/285-288)
www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=732
0 komentar:
Posting Komentar