Penulis : Al-
Ustadz Saifudin Zuhri, Lc.
Ada sejumlah persoalan yang
sering menjadi perselisihan di
antara kaum muslimin seputar
pembatal-pembatal puasa. Di
antaranya memang ada yang
menjadi permasalahan yang
diperselisihkan di antara para
ulama, namun ada pula hanya
sekedar anggapan yang
berlebih-lebihan dan tidak
dibangun di atas dalil.
Melalui tulisan ini akan dikupas
beberapa permasalahan yang
oleh sebagian umat dianggap
sebagai pembatal puasa namun
sesungguhnya tidak demikian.
Keterangan-keterangan yang
dibawakan nantinya sebagian
besar diambilkan dari kitab
Fatawa Ramadhan -cetakan
pertama dari penerbit Adhwaa’
As-salaf- yang berisi kumpulan
fatwa para ulama seperti Asy-
Syaikh Ibnu Baz, Asy-Syaikh
Al-‘Utsaimin, Asy-Syaikh Shalih
Al-Fauzan, dan lain-lain
rahimahumullahu ajma’in.
Di antara faidah yang bisa kita
ambil dari kitab tersebut adalah:
1. Bahwa orang yang melakukan
pembatal-pembatal puasa dalam
keadaan lupa, dipaksa, dan tidak
tahu dari sisi hukumnya, maka
tidaklah batal puasanya. Begitu
pula orang yang tidak tahu dari
sisi waktunya seperti orang yang
menjalankan sahur setelah terbit
fajar dalam keadaan yakin
bahwa waktu fajar belum tiba.
Asy-Syaikh Muhammad bin
Shalih Al-‘Utsaimin setelah
menjelaskan tentang pembatal-
pembatal puasa, berkata: “Dan
pembatal-pembatal ini akan
merusak puasa, namun tidak
merusaknya kecuali memenuhi
tiga syarat: mengetahui
hukumnya, ingat (tidak dalam
keadaan lupa) dan bermaksud
melakukannya (bukan karena
terpaksa).” Kemudian beliau
membawakan beberapa dalil, di
antaranya hadits yang
menjelaskan bahwa Allah ta'ala telah
mengabulkan doa yang tersebut
dalam firman-Nya:
رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِنْ
نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا
Ya Allah janganlah Engkau
hukum kami jika kami lupa atau
kalau kami salah (karena tidak
tahu).” (Al-Baqarah: 286)
(Hadits yang menjelaskan hal
tersebut ada di Shahih Muslim).
Begitu pula ayat ke-106 di dalam
surat An-Nahl yang menjelaskan
tidak berlakunya hukum
kekafiran terhadap orang yang
melakukan kekafiran karena
dipaksa. Maka hal ini tentu lebih
berlaku pada permasalahan
yang berhubungan dengan
pembatal-pembatal puasa.
(Fatawa Ramadhan, 2/426-428)
Dan yang dimaksud oleh Asy-
Syaikh Al-‘Utsaimin adalah
apabila orang tersebut benar-
benar tidak tahu dan bukan
orang yang tidak mau tahu,
wallahu a’lam. Sehingga orang
yang merasa dirinya teledor atau
lalai karena tidak mau bertanya,
tentu yang lebih selamat baginya
adalah mengganti puasanya atau
ditambah dengan membayar
kaffarah bagi yang terkena
kewajiban tersebut. (Lihat fatwa
Asy-Syaikh Ibnu Baz t di dalam
Fatawa Ramadhan, 2/435)
2. Orang yang muntah bukan
karena keinginannya (tidak
sengaja) tidaklah batal puasanya.
Hal ini sebagaimana tersebut
dalam hadits:
مَنْ ذَرَعَهُ قَيْءٌ وَهُوَ
صَائِمٌ فَلَيْسَ عَلَيْهِ
قَضَاءٌ وَإِنِ اسْتَقَاءَ
فَلْيَقْضِ
Barang siapa yang muntah
karena tidak disengaja, maka
tidak ada kewajiban bagi dia
untuk mengganti puasanya. Dan
barang siapa yang muntah
dengan sengaja maka wajib
baginya untuk mengganti
puasanya.” (HR. Abu Dawud, At-
Tirmidzi, Ibnu Majah, dan yang
lainnya, dishahihkan oleh As-
Syaikh Al-Albani t di dalam Al-
Irwa’ no. 930)
Oleh karena itu, orang yang
merasa mual ketika dia
menjalankan puasa, sebaiknya
tidak berusaha memuntahkan
apa yang ada dalam perutnya
dengan sengaja, karena hal ini
akan membatalkan puasanya.
Dan jangan pula dia menahan
muntahnya karena inipun akan
berakibat negatif bagi dirinya.
Maka biarkan muntahan itu
keluar dengan sendirinya karena
hal tersebut tidak membatalkan
puasa. (Fatawa Ramadhan,
2/481)
3. Menelan ludah tidaklah
membatalkan puasa. Berkata
Asy-Syaikh Ibnu Baz :
“Tidak mengapa untuk menelan
ludah dan saya tidak melihat
adanya perselisihan ulama dalam
hal ini, karena hal ini tidak
mungkin untuk dihindari dan
akan sangat memberatkan.
Adapun dahak maka wajib untuk
diludahkan apabila telah berada
di rongga mulut dan tidak boleh
bagi orang yang berpuasa untuk
menelannya karena hal itu
memungkinkan untuk dilakukan
dan tidak sama dengan ludah.
4. Keluar darah bukan karena
keinginannya seperti luka atau
karena keinginannya namun
dalam jumlah yang sedikit
tidaklah membatalkan puasa.
Berkata Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin
dalam beberapa fatwanya:
a. “Keluarnya darah di gigi
tidaklah mempengaruhi puasa
selama menjaga agar darahnya
tidak ditelan.
b. “Pengetesan darah tidaklah
mengapa bagi orang yang
berpuasa yaitu pengambilan
darah untuk diperiksa jenis
golongan darahnya dan
dilakukan karena keinginannya
maka tidak apa-apa.
c. Pengambilan darah dalam
jumlah yang banyak apabila
berakibat dengan akibat yang
sama dengan melakukan
berbekam, seperti menyebabkan
lemahnya badan dan
membutuhkan zat makanan,
maka hukumnya sama dengan
berbekam (yaitu batal puasanya)
(Fatawa Ramadhan,
2/460-466).
Maka orang yang keluar
darahnya akibat luka di giginya
baik karena dicabut atau karena
terluka giginya tidaklah batal
puasanya. Namun dia tidak
boleh menelan darah yang
keluar itu dengan sengaja. Begitu
pula orang yang dikeluarkan
sedikit darahnya untuk diperiksa
golongan darahnya tidaklah
batal puasanya. Kecuali bila
darah yang dikeluarkan dalam
jumlah yang banyak sehingga
membuat badannya lemah,
maka hal tersebut membatalkan
puasa sebagaimana orang yang
berbekam (yaitu mengeluarkan
darah dengan cara tertentu
dalam rangka pengobatan).
Meskipun terjadi perbedaan
pendapat yang cukup kuat
dalam masalah ini, namun yang
menenangkan tentunya adalah
keluar dari perbedaan pendapat.
Maka bagi orang yang ingin
melakukan donor darah,
sebaiknya dilakukan di malam
hari, karena pada umumnya
darah yang dikeluarkan
jumlahnya besar. Kecuali dalam
keadaan yang sangat
dibutuhkan, maka dia boleh
melakukannya di siang hari dan
yang lebih hati-hati adalah agar
dia mengganti puasanya di luar
bulan Ramadhan.
5. Pengobatan yang dilakukan
melalui suntik, tidaklah
membatalkan puasa, karena
obat suntik tidak tergolong
makanan atau minuman.
Berbeda halnya dengan infus,
maka hal itu membatalkan puasa
karena dia berfungsi sebagai zat
makanan. Begitu pula
pengobatan melalui tetes mata
atau telinga tidaklah
membatalkan puasa kecuali bila
dia yakin bahwa obat tersebut
mengalir ke kerongkongan.
Terdapat perbedaan pendapat
apakah mata dan telinga
merupakan saluran ke
kerongkongan sebagaimana
mulut dan hidung, ataukah
bukan. Namun wallahu a’lam
yang benar adalah bahwa
keduanya bukanlah saluran yang
akan mengalirkan obat ke
kerongkongan. Maka obat yang
diteteskan melalui mata atau
telinga tidaklah membatalkan
puasa. Meskipun bagi yang
merasakan masuknya obat ke
kerongkongan tidak mengapa
baginya untuk mengganti
puasanya agar keluar dari
perselisihan. (Fatawa Ramadhan,
2/510-511)
6. Mencium dan memeluk istri
tidaklah membatalkan puasa
apabila tidak sampai keluar air
mani meskipun mengakibatkan
keluarnya madzi. Rasulullah n
bersabda dalam sebuah hadits
shahih yang artinya:
“Dahulu Rasulullah n mencium
(istrinya) dalam keadaan beliau
berpuasa dan memeluk (istrinya)
dalam keadaan beliau puasa,
akan tetapi beliau adalah orang
yang paling mampu menahan
syahwatnya di antara
kalian.” (Lihat takhrijnya dalam
kitab Al-Irwa, hadits no. 934)
Akan tetapi bagi orang yang
khawatir akan keluarnya mani
dan terjatuh pada perbuatan
jima’ karena syahwatnya yang
kuat, maka yang terbaik baginya
adalah menghindari perbuatan
tersebut. Karena puasa bukanlah
sekedar meninggalkan makan
atau minum, tetapi juga
meninggalkan syahwatnya.
Rasulullah n bersabda:
... يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ
مِنْ أَجْلِي ...
(orang yang berpuasa)
meninggalkan syahwatnya dan
makannya karena Aku.” (Shahih
HR. Muslim)
Dan juga beliau n bersabda:
دَعْ مَا يُرِيْبُكَ إِلَى مَا لاَ
يُرِيْبُكَ
Tinggalkan hal-hal yang
meragukan kepada yang tidak
meragukan.” (HR. At-Tirmidzi
dan An-Nasai, dan At-Tirmidzi
berkata: “Hadits hasan shahih.”
Dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh
Al-Albani t di Al-Irwa)
7. Bagi laki-laki yang sedang
berpuasa diperbolehkan untuk
keluar rumah dengan memakai
wewangian. Namun bila
wewangian itu berasal dari suatu
asap atau semisalnya, maka tidak
boleh untuk menghirupnya atau
menghisapnya. Juga
diperbolehkan baginya untuk
menggosok giginya dengan pasta
gigi kalau dibutuhkan. Namun
dia harus menjaga agar tidak ada
yang tertelan ke dalam
tenggorokan, sebagaimana
diperbolehkan bagi dirinya untuk
berkumur dan memasukkan air
ke hidung dengan tidak terlalu
kuat agar tidak ada air yang
tertelan atau terhisap. Namun
seandainya ada yang tertelan
atau terhisap dengan tidak
sengaja, maka tidak
membatalkan puasa. Hal ini
sebagaimana disebutkan dalam
hadits:
“Bersungguh-sungguhlah dalam
istinsyaq (menghirup air ketika
berwudhu) kecuali jika engkau
sedang berpuasa (maka tidak
perlu bersungguh-
sungguh).” (HR. Abu Dawud,
1/132, dan At-Tirmidzi, 3/788,
An-Nasai, 1/66, dan dishahihkan
oleh As-Syaikh Al-Albani t di Al-
Irwa, hadits no. 935)
8. Diperbolehkan bagi orang
yang berpuasa untuk menyiram
kepala dan badannya dengan air
untuk mengurangi rasa panas
atau haus. Bahkan boleh pula
untuk berenang di air dengan
selalu menjaga agar tidak ada air
yang tertelan ke tenggorokan.
9. Mencicipi masakan tidaklah
membatalkan puasa, dengan
menjaga jangan sampai ada yang
masuk ke kerongkongan. Hal ini
sebagaimana disebutkan oleh
Ibnu Abbas c dalam sebuah
atsar:
لاَ بَأْسَ أَنْ يَذُوْقَ الْخَلَّ
وَالشَّيْءَ يُرِيْدُ شَرَاءَهُ
Tidak apa-apa bagi seseorang
untuk mencicipi cuka dan lainnya
yang dia akan
membelinya.” (Atsar ini
dihasankan As-Syaikh Al-Albani
di Al-Irwa no. 937)
Demikian beberapa hal yang bisa
kami ringkaskan dari penjelasan
para ulama. Yang paling penting
bagi setiap muslim, adalah
meyakini bahwa Rasulullah n
tentu telah menjelaskan seluruh
hukum-hukum yang ada dalam
syariat Islam ini. Maka, kita tidak
boleh menentukan sesuatu itu
membatalkan puasa atau tidak
dengan perasaan semata.
Bahkan harus
mengembalikannya kepada dalil
dari Al Qur`an dan As Sunnah
dan penjelasan para ulama.
Wallahu a’lam bish-shawab.
www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=298
2 komentar:
Alhamdulillah.
Terima kasih telah berbagi ilmu, semoga Alloh ta'ala yang membalas kebaikan anda
thanks gan share nya.akan aku ingat hal yang membatalkan puasa ini
Posting Komentar