Banner 468 X 60

Rabu, 24 November 2010

Hukum Mengambil Gambar Para Ulama di Majelis-majelis Mereka

Syaikh Muqbil rahimahullah

Tanya : Apa hukum mengambil
gambar para ulama dalam
muktamar-muktamar dan
muhadharah-muhadharah
mereka?

Jawab : “Gambar adalah perkara
yang diharamkan, Nabi
Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi
wasallam bersabda :

َال ُلُخْدَت ُةَكِئَالَمْلا
اًتْيَب ِهْيِف ٌبْلَك َالَو
ٌةَرْوُص

“ Para malaikat tidak akan
masuk ke dalam rumah yang
terdapat anjing dan gambar di
dalamnya”.
Dan beliau bersada :

َنَعَل ُهللا َنْيِرِّوَصُمْلا

“Allah melaknat para
penggambar”.
Dan dalam J ami’ At-Tirmidzy
dari hadits Abu Hurairah dari
Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala
alihi wasallam bahwa beliau
bersabda :

ُجُرْخَت ٌقُنُع َنِم ِراَّنلا
َمْوَي ِةَماَيِقْلا, اَهَل
ِناَنْيَع ِناَرِصْبَت,
ِناَنُذُأَو ِناَعَمْسَت ٌناَسِلَو
ُقِطْنَي, ُلْوُقَي : يِّنِإ
ُتْلِّكُو ٍثَالَثِب : ِّلُكِب
ٍراَّبَج ٍدْيِنَع, ِّلُكِبَو
ْنَم اَعَد َعَم ِهللا اًهَلِإ َرَخآ
َنْيِرِّوَصُمْلاِبَو

“Akan keluar sebuah leher dari
Neraka pada Hari Kiamat, dia
mempunyai 2 mata yang melihat,
2 telinga yang mendengar dan
lisan yang berbicara, dia
berkata : “Saya diberikan
perwakilan (untuk menyiksa) tiga
(kelompok) : semua yang keras
kepala lagi penentang, semua
yang beribadah bersama Allah
sembahan yang lain dan para
penggambar”.
Dan Nabi Shollallahu ‘alaihi wa
‘ala alihi wasallam telah enggan
untuk masuk ke kamar ‘ A`isyah
ketika (kamarnya) ditutupi
dengan tirai yang ada gambar-
gambarnya. Maka dalil ini
membantah orang-orang yang
mengatakan : “Tidak ada gambar
yang terlarang kecuali yang
memiliki bentuk (3 dimensi –
pent.)”. Maka beliau telah
enggan untuk memasuki
ruangan itu sampai tirainya
disingkirkan, dan beliau
bersabda :

َّنِإ ْنِم ِّدَشَأ ِساَّنلا
اًباَذَع َمْوَي ِةَماَيِقْلا,
َنْيِذَّلا َنْوُرِّوَصُي ِهِذَه
َرَوُّصلا

“Sesungguhnya di antara
manusia yang paling keras
siksaannya pada hari Kiamat
adalah orang-orang yang
menggambar gambar-gambar
ini”.
Adapun (gambar) yang harus
dan tidak boleh tidak, seperti
SIM, Pasport dan KTP, maka
dosanya atas (baca : ditanggung)
pemerintah”.
Apakah dilukis atau dipotret atau
direkam dalam bentuk video,
semuanya masuk dalam kategori
menggambar. (pent.)


Sumber : Jurnal Al-Atsariyyah
Vol. 02/Th01/2006
www.almakassari.com/artikel-islam/fiqh/hukum-mengambil-gambar-para-ulama-di-majelis-majelis-mereka.html#more-138
Read more..

Selasa, 23 November 2010

Fenomena TKI di Arab Saudi

Sebuah pemerintahan Islam atau
masyarakat Islam bukanlah
sebuah kumpulan orang-orang
yang tidak pernah berbuat dosa
sama sekali, sehingga kita bisa
menuduh para ulama yang
membimbing masyarakat
tersebut telah gagal atau tidak
becus dalam membina
negaranya.
Bahkan di masa kepemimpinan
Rasulullah shallallahu’alaihi wa
sallam yang masyarakatnya
adalah generasi terbaik ummat
ini, ada orang yang didera
karena minum khamar[1], ada
yang dirajam karena berzina[2],
bahkan ada yang murtad keluar
dari Islam[3]. Namun tidak ada
satupun yang menuduh
Rasulullah shallallahu’alaihi wa
sallam telah gagal mendidik para
sahabatnya. Karena memang,
tidak ada satupun manusia yang
terjaga dari kesalahan selain
para Nabi dan Rasul
‘alaihimussalam, olehnya
Rasulullah shallallahu’alaihi wa
sallam bersabda:

كُلُّ بنِي آدَمَ خَطَّاءٌ ،
وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ
التَّوَّابُونَ

“Setiap anak adam senantiasa
berbuat salah, dan sebaik-baik
orang yang berbuat salah adalah
yang senantiasa bertaubat.” (HR.
At-Tirmidzi dan Ibnu Majah,
dihasankan Asy-Syaikh Al-
Albani dalam Shohihut Targhib,
no. 3139)

Pengalaman belajar di Saudi,
bergaul dengan sebagian pekerja
Indonesia yang kebetulan
ketemu di masjid, di jalan, di
toko, di majelis-majelis ilmu dan
dalam suatu bimbingan ibadah
haji tahun 1431 H atas
permintaan sebuah travel yang
pesertanya lebih dari 90 %
pekerja Indonesia, sisanya India,
Maroko dan Philipina. Semua itu
menyisakan banyak cerita yang
mungkin sebagiannya bisa
dijadikan pelajaran, terutama
yang berkaitan dengan
hubungan antara pekerja dan
majikan, yang oleh musuh-
musuh Dakwah Tauhid dijadikan
senjata untuk menjatuhkan
ulama Ahlus Sunnah di negeri
ini. Insya Allah akan kami sarikan
dalam beberapa poin berikut:

1. Para majikan tidak
semuanya memahami agama
dengan baik, banyak yang awam,
tidak mau belajar agama dan
banyak yang zalim terhadap
pekerjanya[4]. Kepada mereka
para ulama di negeri ini telah
menasihati, baik secara pribadi
maupun terang-terangan, seperti
nasihat Asy-Syaikh Muhammad
bin Ahmad Al-Fiyfiy
hafizhahullah yang sangat
menyentuh di www.sahab.net[5]
yang berjudul At-Tahdzir min
Zhulmil Khudam wal ‘Ummal
(Peringatan Keras dari
Perbuatan Zalim kepada para
Pembantu dan Pekerja).
Demikian pula para khatib dan
imam masjid terkadang
menyampaikan khutbah tentang
bahaya perbuatan zalim
terhadap para pekerja

2. Oleh karena itu,
seharusnya TKI diberikan
informasi tentang keadaan calon
majikannya sebelum dia
memutuskan bekerja kepada
majikan tersebut, semoga hal ini
bisa menjadi catatan untuk
semua pihak yang terkait dalam
pemberangkatan TKI

3. Alhamdulillah tidak semua
majikan yang zalim, masih
banyak yang baik insya Allah,
meskipun bukan dari kalangan
mutawwa’[6], atau penuntut
ilmu, apalagi masyaikh. Bentuk-
bentuk kebaikan mereka yang
bisa saya ceritakan di sini:
Dari 100 orang yang ikut haji
dalam bimbingan kami hampir
semuanya dibiayai oleh
majikannya, biayanya sekitar
3500 riyal atau senilai kurang
lebih 7,5 juta rupiah
Perhatian majikan kepada
pekerjanya selama melaksanakan
ibadah haji dalam bentuk
menelepon dan menanyakan
kabar serta bagaimana
pelayanan travel terhadap
mereka. Jika pekerjanya
mengadukan pelayanan travel
yang kurang bagus, tidak lama
kemudian majikan akan
menelepon pengurus travel ini
dan memarahinya habis-habisan
Sampai-sampai ada majikan yang
berkata kepada pekerjanya,
“Sampaikan kepada pengurus
travel, berapa saja biaya yang dia
minta akan saya berikan, asalkan
kamu mendapat pelayanan yang
baik”.

Seorang Ikhwan dibebaskan oleh
majikannya dari seluruh
pekerjaannya demi untuk
menuntut ilmu, masih ditambah
dengan uang saku per bulan
dikirim secara rutin oleh
majikannya. Bahkan Ikhwan yang
lain, sampai pulang ke Indonesia
masih dikirimi uang secara rutin
oleh majikannya, demi untuk
membiayai kegiatan-kegiatan
dakwah

Seorang pekerja asal Sumbawa,
apabila dia cuti pulang kampung
majikannya biasa menitipkan
uang untuk dibagi-bagikan
kepada keluarga dan
tetangganya yang miskin

Pekerja asal Jawa Barat,
mengabarkan tentang
pembangunan masjid di
kampungnya yang belum selesai,
langsung dikucurkan dana oleh
majikannya tanpa mengecek
langsung ke lokasi apakah
dananya sampai atau tidak

Seorang pekerja asal Jawa Barat,
majikannya biasa mengantarnya
untuk menghadiri pengajian yang
diadakan oleh Kantor Dakwah
untuk Orang-orang Asing
Seorang Ikhwan menceritakan,
saudarinya bekerja pada seorang
masyaikh, bertahun-tahun
bekerja kepada keluarga
masyaikh tersebut tidak pernah
sekalipun dia berada dalam satu
ruangan bersama majikannya
yang laki-laki

Seorang Ustadz menceritakan,
bahwa seorang majikan meminta
bantuannya untuk menasihati
pembantu wanitanya yang sering
menggodanya untuk berzina,
akhirnya sang Ustadz menelepon
dan menasihati pembantu ini

Banyak majikan yang
mensyaratkan supirnya harus
disertai istrinya untuk mengantar
anak-anak puteri mereka ke
sekolah. Demikian pula
sebaliknya, pembantu wanita
harus datang bersama
mahramnya

Para masyaikh banyak sekali
membebaskan pekerja mereka
dari semua pekerjaan jika para
pekerja ini benar-benar mau
menuntut ilmu

4. Sebenarnya aturan-aturan
pemerintah Saudi sangat
menjamin para pekerja asing,
diantaranya kewajiban majikan
untuk membuatkan asuransi
kesehatan bagi para pekerjanya
dan hukuman yang setimpal bagi
para majikan yang zalim
terhadap pekerjanya, berikut
beberapa kasus yang kami
dengarkan:

Seorang majikan memukul
supirnya, sang supir ini
ditemukan oleh seorang Ikhwan
Saudi dan membawanya ke
kantor polisi, saat itu juga
majikannya langsung dijemput
dan ditahan oleh polisi dan wajib
diqishah atau membayar
sejumlah uang kepada
pekerjanya yang dizalimi

Cerita seorang Ustadz, ada
majikan yang dituntut oleh
pengadilan untuk membayar
berapapun yang diminta oleh
seorang pembantu wanita yang
dizalimi oleh si majikan
Seorang majikan yang
membunuh pekerjanya terancam
hukuman mati, namun pihak
keluarga di Indonesia lebih
memilih untuk memaafkan dan
menerima ganti rugi (diyah),
akhirnya uang milyaran rupiah
dititipkan melalui kedutaan
Indonesia

5. Ketika majikan berbuat
zalim, masalah terbesar para
pekerja Indonesia adalah tidak
mampu melapor ke kantor polisi,
diantaranya karena kendala
bahasa, tidak mengerti dengan
aturan-aturan yang ada dan
tidak adanya pendamping
mereka yang siap siaga ketika
dibutuhkan.

Adapun pemerintah
Philipina, sangat terkenal
pendampingan dan
pembelaannya kepada
pekerjanya, jika ada masalah
yang terjadi pada pekerjanya
mereka akan langsung turun ke
lokasi dan menggunakan
kekuatan diplomasinya untuk
menekan pemerintah Saudi agar
memproses menurut hukum
yang berlaku. Sehingga jarang
terdengar ada masalah antara
majikan dan pekerja Philipina,
padahal jumlah mereka (di luar
kota suci Makkah dan Madinah)
tidak kalah banyak dengan
pekerja Indonesia

6. Masalah terbesar dari sisi
syari’at adalah datangnya para
pekerja wanita (TKW) tanpa
disertai mahram atau suami.
Hampir semua masalah terjadi
pada TKW yang tidak bersama
suami atau mahramnya, sehingga
dengan mudah mereka dizalimi
tanpa ada yang membela
mereka atau melaporkan ke
kantor polisi. Padahal Nabi
shallallahu’alaihi wa sallam telah
melarang safar wanita tanpa
mahram dalam sabda beliau:

لا تسافر المرأة إلا مع ذي محرم
ولا يدخل عليها رجل إلا ومعها
محرم

“Janganlah wanita melakukan
safar (bepergian jauh) kecuali
bersama mahramnya, dan
janganlah seorang laki-laki asing
menemuinya melainkan wanita
itu disertai mahramnya.” (HR.
Al-Bukhari dari Abdullah bin
Abbas radhiyallahu’anhuma)

7. Alhamdulillah, dengan
sebab kerja di Saudi banyak
sekali pekerja yang mendapatkan
kebaikan yang sangat besar,
diantara bentuknya:

Banyak pekerja yang tadinya
beraqidah sufiyah quburiyah dan
aqidah kesyirikan lainnya dengan
berbagai macam bid’ahnya, tidak
melaksanakan sholat lima waktu
dan tidak memahami adab-adab
Islami. Setelah tinggal di Saudi
mereka tersentuh dakwah
tauhid, meninggalkan semua
bentuk syirik dan bid’ah, rajin
melaksanakan sholat lima waktu
dan mulai berhias dengan adab-
adab Islami

Pekerja-pekerja Philipina, Nepal
dan Sri Lanka yang tadinya
beragama Nasrani, Hindu dan
Budha juga banyak sekali
(sampai puluhan ribu orang)
yang masuk Islam dengan sebab
da’i-da’i dan buku-buku yang
dicetak dengan bahasa mereka
oleh Kantor-kantor Dakwah
untuk Orang-orang Asing di
bawah naungan Kementrian
Wakaf, Dakwah dan Bimbingan
Saudi Arabia
Bisa menghadiri majelis-majelis
ilmu para ulama
Bisa melaksanakan ibadah haji
dan umroh

8. Sayang sekali, banyak
Kantor Dakwah untuk Orang-
orang Asing disusupi oleh
hizbiyyun dari sebuah partai
Islam di Indonesia dengan hanya
bermodalkan ijazah LC dari LIPIA
[7], diantara kerusakan yang
mereka lakukan:

Fasilitas dakwah digunakan
untuk mendakwahkan kebatilan
manhaj mereka
Mengajak kepada perpecahan
dengan menjajakan partai
mereka di musim Pemilu
Beberapa orang TKI yang ana
temui, telah ikut kajian mereka
bertahun-tahun namun tidak
nampak adanya perubahan
dalam aqidah dan ibadahnya
menjadi lebih baik. Berbeda
dengan TKI yang mengikuti
kajian da’i-da’i Ahlus Sunnah,
alhamdulillah banyak yang
berubah menjadi lebih baik,
seperti yang ana singgung di atas
Hal itu karena memang tidak
ada perhatian mereka terhadap
dakwah tauhid dan sunnah
kecuali sedikit, malah mereka
lebih banyak memanfaatkan
para TKI untuk bisnis pengiriman
barang dan travel haji, dengan
bimbingan haji yang tidak
mengikuti petunjuk Nabi
shallallahu’alaihi wa sallam

9. Kezaliman yang diderita
sebagian TKI bukan hanya oleh
majikan di Saudi tapi juga oleh
PJTKI maupun calo-calonya di
Indonesia. Ana pernah
menyaksikan sendiri bagaimana
para TKI ini dibentak-bentak dan
diperlakukan tidak seperti
manusia di tempat
penampungan TKI di Jakarta.
Bahkan ketika sudah bekerja di
Saudi sebagian TKI masih
diwajibkan mengirim sejumlah
uang setiap bulan kepada calo-
calo ini di Indonesia

10. Kami menghimbau kepada
semua pihak yang terkait dalam
pemberangkatan TKI (termasuk
keluarga para TKI) ataupun yang
diberi amanah oleh pemerintah
untuk mengurus TKI di Saudi
maupun di negara lainnya;
hendaklah bertakwa kepada
Allah Ta’ala, janganlah mengirim
TKW tanpa disertai suami atau
mahramnya dan hendaklah
melaksanakan tugas pembelaan
dan pengurusan TKI sesuai
amanah pemerintah. Ingatlah
pertanggungjawabannya kelak di
hari kiamat!
Inilah catatan ringan kami, hasil
dari dialog dengan beberapa
TKI, semoga bisa diambil
pelajarannya baik oleh TKI, calon
TKI maupun semua pihak yang
terkait dalam pengurusan TKI.
Semoga Allah Ta’ala
memperbaiki keadaan kaum
muslimin dan pemerintah
mereka.
Wallahu A’la wa A’lam wa Huwal
Musta’an.

Footnote:
[1] Al-Imam Al-Bukhari
rahimahullah meriwayatkan
dalam Shahihnya (6391):
عن أنس بن مالك رضي الله
عنه : أن النبي صلى الله
عليه و سلم ضرب في الخمر
بالجريد والنعال وجلد أبو
بكر أربعين

[2] Seperti kisah Ma’iz bin Malik
radhiyallahu’anhu dalam riwayat
Al-Bukhari (6438) dan Muslim
(4520)

[3] Seperti kisah suami Ummu
Habibah radhiyallahu’anha yang
murtad di negeri Habasyah

[4] Ada juga majikan atau orang
Saudi yang Sufi (murid-muridnya
Alwi Al-Maliki), Syi’ah dan Hizbi
Ikhwani. Salah seorang Ustadz
kita, ketika diketahui oleh
majikannya yang Ikhwani bahwa
Ustadz kita ini pernah belajar di
Darul Hadits Dammaj,
majikannya mulai mempersulit
ruang gerak beliau, sampai saat
ini beliau dipaksa pulang ke
Indonesia dengan membayar
ganti rugi kepada majikannya
sebesar 6000 riyal. Adakah yang
mau membantu?

[5] http://www.sahab.net/home/
index.php?Site=News&Show=829

[6] Mutawwa’ adalah istilah
orang-orang awam di Saudi
untuk menyebut orang yang
nampak keshalihannya dan
menjalankan sunnah seperti
jenggot dan memendekkan
pakaian (tidak sampai menutupi
mata kaki)

[7] Lebih disayangkan lagi, ada
seorang Ustadz terkenal,
penerjemah buku Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab
rahimahullah yang dicetak oleh
Kantor Kerjasama Dakwah dan
Bimbingan Islam di Riyadh, yang
memberikan jalan kepada da’i-
da’i hizbi ini untuk masuk
menjadi pembina-pembina TKI di
Kantor-kantor Dakwah untuk
Orang-orang Asing di Saudi.

www.nasihatonline.wordpress.com/2010/11/22/fenomena-tki-di-arab-saudi/#comment-890
Read more..

Senin, 22 November 2010

Salah Kaprah Tentang Niat

Melafazhkan niat sudah trend di
Indonesia, baik di kalangan
awam maupun kaum santri
terpelajar. Seakan perkara ini
menjadi suatu kewajiban bagi
mereka dan aib jika mereka
tidak melafazhkan niat ketika
ingin melaksanakan sholat,
wudhu, dan berbagai macam
ibadah lainnya. Bahkan ada
sebagian di antara mereka
menganggap sholatnya batal jika
tidak melafazhkan niat. Tragisnya
lagi, jika mereka memutuskan tali
persaudaraan lantaran
saudaranya yang lain tidak
melafazhkan niat. Padahal
mereka diperintahkan oleh Allah
untuk menyambung tali
persaudaraan.Inilah salah
kaprah yang menimbulkan
perpecahan yang kita saksikan di
Indonesia.

Apa itu Niat ?
Kalau kita membuka kitab-kitab
kamus berbahasa arab, maka
kita akan jumpai ulama bahasa
akan memberikan definisi
tertentu bagi niat. Muhammad
bin Abu Bakr Ar-Rozy
Rahimahullah berkata saat
memaknai niat, “ Meniatkan
adalah menginginkan sungguh-
sungguh”. [Lihat Mukhtar Ash-
Shihah (1/286)]

Ibnu Manzhur -rahimahullah-
berkata, " Meniatkan sesuatu
artinya memaksudkannya dan
meyakininya. Niat adalah arah
yang dituju". [Lihat Lisan Al-
Arab (15/347)]

Dari ucapan dua orang ulama
bahasa ini, bisa kita simpulkan
bahwa niat ( نِيَّةٌ ) adalah
maksud dan keinginan seseorang
untuk melakukan suatu amalan
dan pekerjaan. Jadi niat itu
merupakan amalan hati.
Komentar Para Ulama tentang
Melafazhkan Niat
Para ulama telah membicarakan
masalah ini bahwa melafazhkan
dan mengeraskan niat
tidaklah wajib atau mustahab
menurut kesepakatan para
ulama kaum muslimin kecuali
segelintir di antara mereka dan
sebagian orang-orang
belakangan ini. Para ulama itu
menganggap orang yang
mengeraskan niat sebagai ahli
bid’ah yang menyelisihi syari’at.

Dari kalangan madzhab
Malikiyyah, Abu Abdillah
Muhammad bin Al-Qosim At-
Tunisi -rahimahullah- berkata, "
Niat termasuk amalan hati.
Mengeraskannya adalah bid’ah,
disamping itu mengganggu
orang".
Seorang Ulama dari kalangan
madzhab Asy-Syafi’iyyah Syaikh
Ala’uddin Ibnul Aththor, dari
kalangan madzhab Asy-Syafi’i –
rahimahullah- berkata, "
Mengeraskan suara ketika
berniat disertai gangguan
terhadap orang-orang yang
sedang sholat merupakan
perkara haram menurut ijma’.
Jika tidak disertai gangguan,
maka ia adalah bid’ah yang jelek.
Jika ia maksudkan riya’
dengannya , maka ia haram dari
dua sisi, termasuk dosa besar.
Orang yang mengingkari
seseorang yang berpendapat itu
sunnah, orangnya benar. Sedang
orang yang membenarkannya
keliru. Menisbahkan hal itu
kepada agama Allah karena ia
yakin itu agama merupakan
kekufuran. Tanpa meyakini itu
agama, (maka penisbahan itu)
adalah ma’shiyat. Wajib bagi
orang mu’min yang mampu
untuk melarangnya dengan
keras, mencegah dan
menghalanginya. Perkara ini
tidaklah pernah dinukil dari
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa
sallam-, seorang sahabatnya,
dan tidak pula dari kalangan
ulama kaum muslimin yang bisa
dijadikan teladan". [Lihat
Majmu'Ar-Rosa'il Al-Kubro
(1/254-257), di dalamnya
disebutkan ucapan kedua ulama
di atas]

Mengeraskan dan melafazhkan
niat bukanlah termasuk sunnah
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa
sallam-, dan tidak wajib menurut
empat ulama’ madzhab baik
dalam wudhu’, sholat, shoum
maupun ibadah lainnya, bahkan
merupakan perkara baru yang
diadakan oleh sebagian orang-
orang belakangan
Abu Dawud As-Sijistany ,
penulis kitab As-Sunan pernah
bertanya kepada Imam Ahmad,
"Apakah seorang yang mau
melaksanakan sholat
mengucapkan sesuatu sebelum
takbir?" Jawab beliau, " Tidak
usah! ". [Lihat Masa'il Abi
Dawud (hal.31)]

Abu Bakr As-Suyuthy -
rahimahullah-, seorang ulama
bermadzhab Syafi’iyyah berkata,
"Diantara jenis-jenis bid’ah juga
adalah berbisik-bisik ketika
berniat sholat. Itu bukanlah
termasuk perbuatan Nabi -
Shallallahu alaihi wa sallam-, dan
para sahabatnya. Mereka
tidaklah pernah mengucapkan
niat sholat, selain takbir.

Allah
Ta’ala berfirman,
“Sungguh pada diri Rasulullah
ada contoh yang baik bagi
kalian”. Asy-Syafi’iy Radhiyallahu
anhu berkata: "Berbisik-bisik
ketika berniat sholat, bersuci
termasuk bentuk kejahilan
terhadap syari’at, dan kerusakan
dalam berpikir". [Lihat Al-Amr
bil Ittiba' (hal. 295-296) karya
As-Suyuthiy, dengan tahqiq
Masyhur Hasan Salman, cet. Dar
Ibn Al-Qoyyim & Dar Ibn Affan]

Dampak Buruk Melafazhkan
Niat
Jika suatu perkara tak ada
tuntunannya dari Rasulullah -
Shallallahu alaihi wa sallam- dan
para sahabatnya, maka hal itu
akan mendatangkan malapetaka
dan musibah bagi pelakunya
berupa dampak buruk yang
kadang tidak terpikir oleh
pelakunya. Demikian pula
melafazhkan niat banyak
memiliki dampak buruk.
Sekarang dengarkan Imam Ibnul
Jauzy -rahimahullah-
mengisahkan nasib orang-orang
yang melafazhkan niat seraya
berkata, "Diantara (tipuan setan)
itu yaitu tipuannya terhadap
mereka ketika berniat sholat.
Maka diantara mereka ada yang
berkata, "Saya berniat sholat
demikian". Lalu ia ulangi karena
ia kira niatnya batal. Padahal
niatnya tidak batal, sekalipun ia
melafazhkannya. Diantara
mereka ada yang bertakbir, lalu
ia batalkan. Bertabir lagi , lalu
dibatalkan. Jika imam sudah
ruku’, maka orang kena was-was
inipun bertakbir. Eh, apakah
yang menyebabkan hadirnya niat
ketika itu ?! Itu tidaklah terjadi
kecuali karena Iblis ingin
meluputkannya dari fadhilah dan
keutamaan.

Diantara orang-
orang yang kena was-was, ada
yang bersumpah dengan nama
Allah, "Saya tidak ada akan
bertakbir lagi kecuali kali ini".
Ada juga diantara mereka yang
bersumpah atas nama Allah
akan meninggalkan hartanya,
dan mentalaq istrinya. Semua ini
merupakan tipu-daya setan.
Padahal syari’at itu mudah dan
bersih dari bahaya-bahaya
seperti ini, dan juga hal ini tak
pernah terjadi pada diri
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa
sallam- dan para sahabatnya
sedikitpun". [Lihat Talbis Iblis
(hal.138) karya Ibnul Jauzy]

Orang ini telah dikuasai waswas
yang dihembuskan oleh setan ke
dalam jiwanya. Sedang waswas
ini muncul disebabkan karena
niat sebenarnya sudah ada di
hati orang waswas ini,namun ia
sendiri menyangka niat tak ada
di hati, lalu ia hendak
menghadirkan niatnya dengan
bantuan lisannya. Padahal
menghadirkan sesuatu yang
sudah ada, itu perkara mustahil.
[Lihat Majmu' Al-Fatawa
(18/263-264) oleh Syaikhul Islam]

Alangkah benarnya apa yang
ditegaskan oleh seorang ulama
Maghrib, Syaikh Muhammad
Al-Muntashir Ar-Raisuny–
rahimahullah- bahwa orang yang
senantiasa melafazhkan niat
tidak lepas dari dua
kemungkinan, entah dia itu salah
jalan, atau dia itu orang yang
dikuasai oleh waswas setan yang
selalu berusaha untuk
mengacaukan ibadah orang dan
membisikkan kepadanya bahwa
niat harus dilafazhkan dan
dikeraskan, tak cukup di hati
saja!! Padahal niat itu cukup di
hati, tak perlu dibuatkan lafazh
tertentu lalu diucapkan atau
dijaharkan. [ Lihat Wa Kullu
Bid'ah Dholalah, (hal.91-92)]

Banyak orang di negeri kita,
ketika ia diberitahu bahwa tak
ada sunnah dan contohnya
melafazhkan niat saat kalian
mau wudhu’ atau sholat karena
tak pernah dilakukan oleh Nabi -
Shallallahu alaihi wa sallam- dan
para sahabatnya. Serta-merta
mereka marah dan
beralasan,"Siapa yang bilang
tak ada contohnya? Inikan
madzhab Syafi’iy !!"

Alasan ini tidaklah berdasar
karena ada dua hal berikut ini :

Pertama , Madzhab tidaklah
bisa dikatakan contoh atau
dijadikan dalil sebab dalil
menurut para ulama adalah Al-
Qur’an, Sunnah dan ijma’.

Kedua , madzhab Syafi’iy justru
sebaliknya menyatakan bahwa
niat itu tempatnya di hati, tak
perlu dilafazhkan.
Syaikh Abu Ishaq Asy-Syairozy–
rahimahullah- , seorang
pembesar madzhab Syafi’i
berkata, " Kemudian ia berniat.
Berniat termasuk fardhu-fardhu
sholat karena berdasarkan sabda
Nabi, "Sesugguhnya amalan itu
tergantung niatnya dan bagi
setiap orang apa yang ia
niatkan", dan karena ia (sholat)
juga merupakan ibadah murni
(mahdhoh). Maka tidak sah
tanpa disertai niat seperti puasa.
Sedang tempatnya niat itu
adalah di hati. Jika ia berniat
dengan hatinya, tanpa lisannya,
niscaya cukup. Diantara
sahabat kami ada yang
berkata, "Dia berniat dengan
hatinya, dan melafazhkan (niat)
dengan lisan". Pendapat ini tak
ada nilainya karena niat itu
adalah menginginkan sesuatu
dengan hati". [Lihat Al-
Muhadzdzab (3/168) -Majmu']

Al-Hafizh Ibnu Qoyyim Al-
Jauziyyah –rahimahullah-
berkata, “Nabi -Shallallahu alaihi
wa sallam-, apabila hendak
menunaikan sholat, beliau
berkata, "Allahu Akbar". Beliau
tidak mengucapkan sesuatu
apapun sebelumnya, dan tidak
melafazhkan niat sama sekali.
Beliau tidak berkata, “Usholli
lillahi sholatu kadza mustaqbilal
qiblah arba’ah raka’at imaman
au ma’muman”. Tidak pula
berkata, "Ada’an", dan
"qodho’an", serta tidak pula,
"Fardhol Wakti". Inilah sepuluh
bid’ah yang tak pernah dinukil
satu lafazhpun oleh seseorang
dari Nabi -Shallallahu alaihi wa
sallam, baik dengan sanad yang
shohih,dho’if, musnad, maupun
mursal satu lafazhpun. Bahkan
tidak pula dari sahabat beliau.
Tak pernah dianggap bagus oleh
seorang tabi’in, dan maupun
Empat Imam Madzhab. Cuma
ada sebagian orang-orang
belakangan yang tertipu dengan
ucapan Asy-Syafi’i Radhiyallahu
anhu dalam perkara sholat,
"Sesungguhnya sholat itu itu
tidaklah seperti puasa. Seseorang
tidaklah masuk dalam sholat
kecuali dengan dzikir". Lalu dia
menyangka bahwa maksudnya
"dzikir" adalah seseorang
melafazhkan niat. Padahal Imam
Asy-Syafi’i memaksudkan dzikir
dengan takbiratul ihram. Tiada
lain kecuali itu. Bagaimana
mungkin Asy-Syafi’i
menganjurkan suatu perkara
yang tak pernah dilakukan oleh
Nabi dalam satu sholat pun, dan
tidak pula seorang diantara para
kholifah dan sahabatnya.

Inilah
petunjuk dan perjalanan hidup
mereka. Jika ada yang bisa
memperlihatkan kepada kami
satu huruf pun dari mereka
dalam perkara itu, niscaya
kami akan terima dengan
pasrah. Tak ada suatu petunjuk
pun yang lebih sempurna dari
petunjuknya, dan tak ada
sunnah kecuali mereka terima
dari pemilik syari’at -Shallallahu
alaihi wa sallam-”.[Lihat Zaadul
Ma'ad (1/21)]

Pendapat yang ditegaskan oleh
sebagian kecil dari pengikut
madzhab Asy-Syafi’iy dalam
masalah ini telah disanggah
sendiri oleh Asy-Syairoziy
sebagaimana telah kami
sebutkan tadi. Maka kelirulah
orang yang menyangka bahwa
"bolehnya melafazhkan niat"
merupakan madzhab Asy-Syafi’iy
dan pengikutnya!! Persangkaan
ini kami telah kami bantah
secara ilmiah dalam buletin ini
pada edisi 09 dengan judul
"Melafazhkan Niat, Madzhab
Syafi’iyyah?"
Awal Sholat adalah Takbir,
Bukan Melafazhkan niat.
Takbir merupakan awal gerakan
dan perbuatan yang dilakukan
dalam sholat, tapi tentunya
didahului adanya niat, maksud
dan keinginan untuk sholat,
tanpa melafazhkan niat karena
niat merupakan pekerjaan hati.
Kalau niat dilafazhkan, maka
tidak lagi disebut "niat", tapi
disebut "an-nuthq" atau "at-
talaffuzh" artinya mengucapkan.
Semoga dipahami, ini penting!!
Banyak sekali dalil-dalil yang
menunjukkan takbir merupakan
awal gerakan sholat, tanpa
didahului melafazhkan dan
mengeraskan niat. Diantara dalil-
dalil tersebut:
Dari Ummul Mu’minin A’isyah
Rodhiyallahu anha berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَسْتَفْتِحُ الصَّلَاةَ
بِالتَّكْبِيرِ

"Dulu Rasulullah -Shallallahu
alaihi wa sallam- membuka
sholatnya dengan takbir" .
[HR.Muslim (498)]
Hadits ini menunjukkan bahwa
beliau membuka sholatnya
dengan melafazhkan takbir,
bukan melafazhkan niat atau
seperti melafazhkan ta’awwudz,
basmalah atau dzikir yang
berbunyi : ilaika anta maqshudi
waridhoka anta mathlubi
(artinya: Tujuanku hanyalah
kepada-Mu, dan ridho-Mu yang
aku cari). Semua perkara ini tak
ada petunjuknya dari Nabi -
Shallallahu alaihi wa sallam-.

Dari sini kita mengetahui dan
memastikan bahwa melafazhkan
dan menjaharkan niat tak ada
tuntunannya dari Nabi. Maka
alangkah benarnya apa yang
ditegaskan oleh Syaikhul Islam
ketika beliau berkata, "Andaikan
seorang diantara mereka hidup
seumur Nuh Alaihissalam untuk
memeriksa: apakah Rasulullah
atau salah seorang sahabatnya
pernah melakukan hal itu,
niscaya ia tak akan
mendapatnya, kecuali ia terang-
terangan dusta. Andaikan dalam
hal ini ada kebaikannya, niscaya
mereka akan mendahului dan
menunujuki kita".[LihatMawarid
Al-Aman, (hal.221)]

Ringkasnya , melafazhkan dan
mengeraskan niat merupakan
perkara baru yang tak ada
dasarnya dalam Islam. Jika
seseorang mengamalkannya, dia
telah menyelisihi petunjuk Nabi -
Shallallahu alaihi wa sallam-
yang tidak pernah mengajarkan
perkara itu kepada sahabatnya
dan akhir dari pada amalan
orang ini sebagaimana yang
disabdakan oleh Nabi

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا
مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌ

“Barang siapa yang mengadakan
suatu perkara (baru) dalam
urusan (agama) kami ini yang
bukan termasuk darinya,maka
perkara itu tertolak”. [HR.Al-
Bukhory (2697)]
Ibnu Daqiq Al-Ied -
rahimahullah- berkata, “Hadits
ini merupakan kaidah yang
sangat agung diantara kaidah-
kaidah agama.Dia termasuk
"Jawami’ Al-Kalim" (ucapan
ringkas, padat maknanya), yang
diberikan kepada Al-Mushthofa -
Shallallahu alaihi wa sallam- ,
karena hadits ini jelas sekali
dalam menolak segala bentuk
bid`ah dan perkara-perkara
baru”. [Lihat Syarh Al-Arba`in
(hal.43)]

Diantara perkara baru yang
tertolak amalannya adalah
melafazhkan niat dan sejenisnya.
[Lihat Al-Ibda' fi Madhoor Al-
Ibtida' (hal.256-257) oleh Syaikh
Ali Mahfuzh, As-Sunan Wa Al-
Mubtada'at (hal.45) oleh Syaikh
Muhammad bin ahmad Asy-
Syuqoiry , Al-Bida' wa Al-
Muhdatsat wa Ma La Ashla
Lahu (hal.497-498 & 635),

Fatawa Islamiyyah (1/315) oleh
Syaikh Ibnu Baz, Tashhih Ad-
Du'a (hal.317-318) oleh Syaikh
Bakr bin Abdullah Abu Zaid,
danAs-Sunan Al-Mubtada'at fi
Al-Ibadat (hal.32-36) oleh Amer
Abdul Mun'im Salim –
rahimahumullah-]


Sumber : Buletin Jum’at At-
Tauhid edisi 108 Tahun II.
Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas.
Alamat : Pesantren Tanwirus
Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58,
Kel. Borong Loe, Kec. Bonto
Marannu, Gowa-Sulsel. HP :
08124173512 (a/n Ust. Abu
Fa’izah). Pimpinan Redaksi/
Penanggung Jawab : Ust. Abu
Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary,
Lc.

www.almakassari.com/artikel-islam/fiqh/salah-kaprah-tentang-niat.html#more-590
Read more..

Sabtu, 06 November 2010

Hukum Mencium Mushaf(Al Quran)

Asy Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al-Albani


Beliau berkata: Perkara ini -
menurut keyakinan kami- adalah
masuk ke dalam keumuman
hadits "Jauhilah oleh kalian
perkara-perkara baru karena
setiap perkara baru adalah
bid’ah dan setiap kebid’ahan
adalah sesat", dalam hadits lain
"Setiap kesesatan dalam
Neraka".
Banyak kalangan punya
pendirian tertentu dalam
menyikapi hal ini, mereka
mengatakan, "Ada apa dengan
mencium mushaf? Bukankah ini
hanya untuk menampakkan
sikap membesarkan dan
mengagungkan Al Qur’an?"
Kita katakan kepada mereka,
"Kalian benar, tak ada apa-apa
melainkan hanya pengagungan
terhadap Al Qur’anul Karim,
tetapi perhatikanlah, apakah
sikap pengagungan ini luput atas
generasi umat yang pertama,
yang mereka tiada lain adalah
para sahabat Rosulullah
demikian pula para tabi’in dan
para tabi’ut tabi’in setelahnya?"
Tidak ragu lagi jawabannya
adalah seperti jawaban Ulama
Salaf, " Jika perkara itu baik,
tentu mereka akan mendahului
kita padanya".
Ini satu masalah, masalah yang
lainnya adalah apa hukum asal
mencium sesuatu, bolehkah atau
terlarang?
Di sini perlu kami paparkan
suatu hadits yang diriwayatkan
oleh Bukhari dan Muslim dari
sahabat Abbas bin Rabi’ah, ia
berkata, "Aku melihat Umar bin
Khoththob mencium hajar aswad
dan berkata, "Sesungguhnya aku
tahu engkau adalah batu, tidak
dapat memberi mudharat tidak
pula memberi manfa’at,
sekiranya bukan karena Aku
telah melihat Rasulullah
menciummu Aku tak akan
menciummu"".


Kalau demikian, kenapa Umar
mencium hajar aswad? Apakah
karena filsafat yang muncul
darinya?
Jadi asal hukum mencium ini
hendaknya berjalan di atas
sunnah yang dulu. Ingatlah sikap
Zaid bin Tsabit beliau telah
berkata, "Bagaimana kalian
melakukan sesuatu yang tidak
dilakukan Rasulullah?".
Jika ditanyakan kepada yang
mencium mushaf, "Bagaimana
kalian melakukan sesuatu yang
tidak dilakukan Rasulullah?", ia
akan mengarahkan jawaban
yang aneh sekali, seperti "Hai
saudaraku ada apa dengan ini?
Ini mengagungkan Al Qur`an!",
maka katakan padanya, "Hai
saudaraku, apakah Rasulullah
tidak mengagungkan Al Qur`an?
Tidak ragu lagi bahwa beliau
mengagungkan Al Qur`an,
walau demikian beliau tidak
menciumnya".
Saya katakan, "Tidak ada jalan
untuk mendekatkan diri kepada
Allah kecuali dengan apa yang
telah disyari’atkanNya, oleh
karena itu kita bertindak sesuai
dengan apa yang disyari’atkan
untuk kita dari keta’atan dan
ibadah-ibadah, tidak
menambahinya walau satu kata,
karena hal ini seperti ucapan
Nabi, "Tidak aku tinggalkan
sesuatupun yang Allah telah
perintahkan kalian, kecuali aku
telah perintahkan kalian
dengannya"".
Oleh karena itu maka mencium
mushaf (Al Qur’an) adalah
bid’ah, dan setiap kebid’ahan
adalah sesat, setiap kesesatan
tempatnya di neraka.

Dinukil dari "Kaifa Yajibu ‘Alaina
An-Nufassirol Qur’an"
Sumber: Buletin Al Wala’ Wal
Bara’ Bandung
Edisi ke-5 Tahun ke-1 / 10
Januari 2003 M / 06 Dzul Qo’dah
1423 H
www.ghuroba.blogsome.com/2007/11/14/mencium-mushaf-al-quran/

Read more..

Sesaji-Sesajian-Sesajen:Adakah Dalam Islam?

Abu Abdillah Ahmad

Sesajen berarti sajian atau
hidangan. Sesajen memiliki nilai
sakral di sebagaian besar
masyarakat kita pada umumnya.
Acara sakral ini dilakukan untuk
ngalap berkah (mencari berkah)
di tempat-tempat tertentu yang
diyakini keramat atau di berikan
kepada benda-benda yang
diyakini memiliki kekuatan ghaib,
semacam keris, trisula dan
sebagainya untuk tujuan yang
bersifat duniawi.
Sedangkan waktu penyajiannya
di tentukan pada hari-hari
tertentu. Seperti malam jum’at
kliwon, selasa legi dan
sebagainya. Adapun bentuk
sesajiannya bervariasi tergantung
permintaan atau sesuai "bisikan
ghaib" yang di terima oleh orang
pintar, paranormal, dukun dan
sebagainya.

Banyak kaum muslimin
berkeyakinan bahwa acara
tersebut merupakan hal biasa
bahkan dianggap sebagai bagian
daripada kegiatan keagamaan.
Sehingga diyakini pula apabila
suatu tempat atau benda
keramat yang biasa diberi sesaji
lalu pada suatu pada saat tidak
diberi sesaji maka orang yang
tidak memberikan sesaji akan
kualat (celaka, terkena kutukan).
Anehnya perbuatan yang
sebenarnya pengaruh dari ajaran
Animisme dan Dinamisme ini
masih marak dilakukan oleh
orang-orang pada jaman
modernisasi yang serba canggih
ini. Hal ini membuktikan pada
kita bahwa sebenarnya
manusianya secara naluri/ fitrah
meyakini adanya penguasa yang
maha besar, yang pantas
dijadikan tempat meminta,
mengadu, mengeluh, berlindung,
berharap dan lain-lain. Fitrah
inilah yang mendorong manusia
terus mencari Penguasa yang
maha besar ? Pada akhirnya ada
yang menemukan batu besar,
pohon-pohon rindang, kubur-
kubur, benda-benda kuno dan
lain-lain, lalu di agungkanlah
benda-benda tersebut.
Pengagungan itu antara lain
diekspresikan dalam bentuk
sesajen yang tak terlepas dari
unsur-unsur berikut:
menghinakan diri, rasa takut,
berharap, tawakal, do’a dan
lainnya. Unsur-unsur inilah yang
biasa disebut dalam islam
sebagai ibadah.
Islam datang membimbing
manusia agar tetap berjalan
diatas fitrah yang lurus dengan
diturunkannya syari’at yang
agung ini. AllahTa’ala
menerangkan tentang fitrah
yang lurus tersebut dalam Al
Qur’an (yang artinya): "Rasul-
rasul mereka berkata apakah
ada keragu-raguan terhadap
Allah, pencipta langit dan
bumi ?" (QS. Ibrahim : 10).

Allah juga berfirman (yang
artinya): "Maka hadapkanlah
wajahmu dengan lurus kepada
Agama (Allah), tetaplah atas
fitrah Allah yang telah
menciptakan manusia menurut
fitrah itu. Tidak ada perubahan
pada fitrah Allah. Itulah agama
yang lurus tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahuinya.
" (QS. Ar Rum : 30).

Berkenaan dengan ayat-ayat
diatas, nabi pun bersabda (yang
artinya): “Setiap anak dilahirkan
diatas fitrah, maka kedua orang
tuanyalah yang menjadikannya
Yahudi, Nasrani atau penyembah
api." (HR Bukhari, Muslim dan
Abu Hurairah, Al Irwa’ :1220).
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda dalam hadits Qudsi
(yang artinya): "(Allah berfirman)
Aku menciptakan hamba-
hamba-Ku diatas agama yang
lurus (hanif) lalu syetan
menyesatkan mereka" (HR.
Muslim dan Ahmad dari
shahabat ‘Iash bin Himar).
Imam Ibnu Abil Izzi
menerangkan, "Bahwa bayi itu
terlahir sesuai dengan fitrah."
Artinya bukan dalam keadaan
kosong jiwanya, melainkan
mengerti tauhid dan
syirik." (Syarah Aqidah
Thahawiyah : 83).

Fitrah ini akan tetap terjaga
dengan cara menghambakan diri
kepada Allah sepenuhnya. Inilah
yang disebut dengan tauhid
ibadah. Allah Ta’ala berfirman
(yang artinya): "Dan tidaklah Aku
menciptakan jin dan manusia
kecuali agar menyembah-Ku.
" (QS. Ad Dzariyat : 56).

lbnu Katsir menerangkan ayat ini
bahwa, "Allah menciptakan
manusia dan jin agar mereka
menyembah-Nya ". (Tafsir Ibnu
Katsir surat Ad Dzariyat : 56).

Ibadah yang penting untuk
diketahui adalah ibadah hati
seperti do’a, takut, berharap,
tawakal, cinta dan lain-lain.
Semua bentuk ibadah yang
agung itu haruslah ditujukan
kepada Allah semata,
sebagaimana firman-Nya (yang
artinya): "Dan sesungguhnya
masjid-masjid itu milik Allah
maka janganlah kamu menyeru
bersama Allah itu
seorangpun !" (QS. Al Jin : 18).
Allah Ta’ala berfirman (yang
artinya): "Janganlah kalian takut
kepada mereka, tetapi takutlah
kepada-Ku jika kalian benar-
benar beriman. " (QS. Ali Imran :
175).
Allah berfirman (yang artinya):
"Barang siapa yang mengharap
perjumpaan dengan Rabbnya
maka hendaknya ia beramal
shalih dan jangan melakukan
kesyirikan dalam beribadah
kepada Rabbnya dengan
seorangpun." (QS. A1 Kahfi :
110).

Pengharapan yang dibarengi
ketundukan dan penghinaan diri
haruslah ditujukan kepada Allah
semata. Jika seseorang
memperuntukkan raja’ (harapan)
seperti ini kepada selain-Nya,
sesungguhnya ia telah berbuat
kesyirikan. Syariat Islam tidak
melarang ummatnya untuk
memiliki sikap raja’ akan tetapi
raja’ yang dipuji dan dianjurkan
adalah yang diiringi dengan amal
shalih dan taubat dari
kemaksiatan (SyarahUshuluts
Tsalasah : 53).
Allah juga berfirman (yang
artinya): "Dan hanya kepada
Allah hendaklah kamu
bertawakal jika benar-benar
kamu orang-orang
beriman." (QS. Al Maidah : 23)
Tawakal berarti menyandarkan
segala urusan kepada-Nya
semata baik itu urusan yang
mendatangkan keuntungan
maupun yang mengakibatkan
kerugian atau madharat.
Keterangan-keterangan diatas
menunjukkan bahwa acara
ritualis sesajen bertentangan
dengan syariat Islam yang
murni. Sebab didalamnya
mengandung pengagungan,
penghambaan, pengharapan,
takut yang semestinya hanya
diperuntukkan kepada Allah
semata. Mudah-mudahan Allah
jauhkan kita dari segala bentuk
kesyirikan. Allahu Ta’ala A’lam.

Dinukil dari Risalah Dakwah Al
Atsari Cileungsi
Edisi 13/Th. II 1420
Judul Asli: Sesajen Adakah Dalam
Islam ?
Sumber: www.darussalaf.or.id
versi offline
www.ghuroba.blogsome.com/2008/01/27/ritual-sesaji-sesajian-sesajen-adakah-dalam-islam/#more-248

Read more..

Jumat, 05 November 2010

Syirik Mahabbah

Ditanamkannya sifat mahabbah
(cinta) pada jiwa setiap manusia
di muka bumi ini merupakan
faktor penggerak jiwa dan
raganya untuk condong kepada
sesuatu yang dia cintai. Tidaklah
aneh, bila dia akan mencintai
apa yang ia suka, dan membenci
apa yang ia tak suka, senantiasa
berusaha mencocoki siapa yang
dicintai, dengan mentaati apa
yang diperintah dan menjauhi
apa yang dilarang.
Memang, sedemikian besar
pengaruh mahabbah pada jiwa
setiap manusia. Yang tentunya
setiap dari mereka terutama
seorang muslim yang telah
mengikrarkan Laa Ilaaha lIlallah
hendaklah benar-benar
mencermati perkara yang
ternyata rentan terhadap
tauhidnya ini. Jangan sampai dia
tidak memahami permasalahan
urgent yang tidak sedikit kaum
muslimin di tengah-tengah kita
tertimpa kerancuan di dalamnya.

Tidak ada jalan yang lebih
selamat dan hikmah melainkan
dengan menelaah ilmu yang
datang dari Al Qur’an dan As
Sunnah dengan bimbingan para
ulama, yang mereka paling tahu
dan jujur di dalam menjelaskan
kedua wahyu yang agung
tersebut.
Adapun upaya yang mereka
tempuh di dalam menerangkan
pembahasan ini kepada kita
adalah membagi bentuk-bentuk
mahabbah di dalam karya-karya
berharga mereka. Sehingga
sangat disayangkan kalau
terdapat seorang muslim tersesat
disebabkan tidak mampu
memilah pembagian tadi.
Wallahul Musta ’an.

Mahabbah secara garis besar
terbagi menjadi tiga macam.
Yang ini semua merupakan
rangkuman dari keterangan Al
Imam Ibnu Qoyyim Al Jauziyyah
di dalam dua karya besar beliau
“Al Jawabul Kafi” hal. 450-451
dan “Thoriqul Hijratain” hal.
295-296, Asy Syaikh Sulaiman
Alu Syaikh di dalam “Taisirul
‘Aziizil Hamid” hal. 389, Asy
Syaikh Abdurrahman Nashir As
Sa ’di di dalam “Al Qoulus Sadid”
hal. 112-113 dan Asy Syaikh
Muhammad bin Sholih Al
‘ Utsaimin di dalam “Al Qoulul
Mufid” 2/141-142
rahimahumulloh, dengan
beberapa keterangan tambahan.

Pertama : Mahabbah Tabi’at
Macam mahabbah yang pertama
ini bukanlah pembicaraan kita di
sini. Namun sangat penting
untuk kita singgung dan
perhatikan seiring betapa banyak
saudara-saudara kita tergelincir
di dalam perkara ini, baik
disadari maupun tidak.
Yaitu mahabbah yang seseorang
condong kepada apa yang
diinginkannya secara tabiat
kemanusiaannya. Seperti
kecintaan dan keinginannya
kepada perkara-perkara mubah
yang di antaranya Allah ?
sebutkan di dalam ayat-Nya:

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ
الشَّهَوَاتِ من النِّسَاءِ وَ
البَنِيْنَ وَ الْقَنَاطِيْرِ
الْمُقَنْطَرَةِ من الذَّهَبِ وَ
الْفِضَّةِ وَ الْخَيْلِ
الْمُسَوَّمَةِ وَ الأَنْعَامِ وَ
الْحَرْثِ ذَالك مَتَاعُ
الْحَيَاةِ الدُّنْيَا، وَ اللهُ
عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَئَابِ

Dijadikan indah pada
(pandangan) manusia untuk
mencintai apa-apa yang diingini
dari wanita-wanita, anak-anak,
harta yang banyak dari jenis
emas dan perak, kuda pilihan,
binatang ternak dan sawah
ladang. Itulah kesenangan
kehidupan dunia dan di sisi Allah
adalah tempat kembali yang
baik ”. (QS. Ali Imran: 14).
dan juga ayat-ayat lainnya yang
tidak sedikit jumlahnya.
Mahabbah jenis ini tidaklah
dicela dan dilarang untuk
diberikan di antara makhluk-
makhluk Allah. Namun Allah
senantiasa memperingatkan
bahwa apa yang di sisi-Nya
berupa kehidupan Jannah
adalah kenikmatan yang hakiki.
Allah jadikan perkara-perkara
duniawi sebagai ujian, apakah
mereka memahami dan
mengindahkan peringatan
tersebut. Allah ? berfirman:

إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَ
أَوْلاَدُكُمْ فِتْنَةٌ وَ اللهُ
عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيْمٌ
“ Hanyalah harta-harta dan
anak-anak kalian adalah ujian.
Dan yang di sisi Allah adalah
balasan kebaikan yang
besar. ” (QS. At Taghabun: 15).
Jangan sampai mahabbah ini
sampai menghalangi seseorang
dari ketaatan kepada Rabb-Nya.
Allah ? tegaskan:

يَأََيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا لاَ
تُلْهِكُمْ أَمِْوَالُكُمْ وَ لاَ
أَوْدُكُمْ عَنْ ذِكْرِاللهِ

Wahai orang-orang yang
beriman janganlah harta-harta
dan anak-anak kalian
menghalangi dari dzikir kepada
Allah ”. (QS. Al Munafiqun: 9).
Bahkan sebaliknya, mahabbah ini
justru dapat menjadi bagian dari
sebuah ibadah sehingga
mendatangkan balasan kebaikan
jika mampu mendorong dan
membantu seseorang untuk
semakin taat dan cinta kepada
Allah ?. Rasululloh ? bersabda:

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِا لنِّيَاتِ
وَ إِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا
نَوَى

Hanyalah amalan-amalan
kebaikan itu tergantung dengan
niatnya. Dan hanyalah bagi
seseorang balasan sesuai dengan
apa yang diniatkan ”.
(Muttafaqun ‘Alaih).
Kedua : Mahabbah kepada apa
yang dicintai Allah, karena Allah
dan di jalan-Nya.
Mahabbah ini terwujud pada diri
seseorang kepada sesuatu yang
memang dicintai Allah baik
berupa manusia, seperti para
nabi, rasul, orang-orang
mukmin, atau amalan, seperti
sholat, zakat, amalan-amalan
kebaikan, ataupun waktu, seperti
bulan Ramadhan, seperti hari-
hari terakhir di bulan tersebut,
ataupun tempat seperti masjid-
masjid Allah, Ka ’bah dan
selainnya.
Macam kedua ini diterangkan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah di dalam “Majmu’
Fatawa” 1/93 yang secara makna
bahwa ini menunjukkan hakekat
dari mahabbah kepada Allah.
Karena hakekat mahabbah
kepada Allah adalah mencintai
apa yang Allah cintai dan
membenci apa yang Dia benci.
Rasululloh ? bersabda :

مَنْ أَحَبَّ للهِ وَ أَبغَضَ
للهِ وَ أَعْطَى للهِ وَ مَنَعَ
للهِ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ
الإِيْمَانُ

Barangsiapa mencintai karena
Allah, membenci karena Allah,
memberi karena Allah, menahan
pemberian karena Allah, maka
telah sempurnalah
keimanannya ”. (H.R. Abu Dawud
dengan sanad yang dishahihkan
Asy Syaikh Al Albani di dalam As
Shahihah no. 360).
Tidaklah berlebihan bila macam
mahabbah yang kedua ini
merupakan penyempurna dan
konsekuensi mahabbah
seseorang kepada Allah, iman
dan tauhidnya. Wa Lillahil
Hamdu.
Ketiga : Mahabbah kepada Allah
Mahabbah ini adalah mahabbah
ibadah yang menyebabkan
seorang hamba menundukkan
hatinya untuk mengagungkan
Dzat yang dia cintai, mentaati
dengan sebenar-benar ketaatan
di dalam menjalankan perintah-
Nya dan menjauhi larangan-Nya
di atas seluruh makhluk-Nya.
Bila mahabbah ibadah ini
diberikan kepada selain Allah,
maka ini termasuk perbuatan
syirik kepada Alloh ?. Asy Syaikh
As Sa ’di rahimahullah di dalam
“Al Qoulus Sadid” hal. 110
tatkala menjelaskan mahabbah
jenis ketiga ini mengatakan:
“ Pokok tauhid dan ruhnya
adalah pemurniaan mahabbah
kepada Allah saja. Mahabbah ini
merupakan pokok penyembahan
dan peribadatan kepada-Nya.
Bahkan ia merupakan hakekat
ibadah dan tidaklah sempurna
tauhid sampai sempurnanya
mahabbah seorang hamba
kepada Rabbnya. ”
Memang demikianlah
kedudukan mahabbah di dalam
lingkup ibadah. Kalaulah
seseorang beribadah tanpa
disertai mahabbah maka jadilah
dia beribadah tanpa ruh yang
menggerakkan hati untuk
menghadap Allah ?.
Bahkan mahabbah sendiri
merupakan faktor penggerak
hati terkuat untuk senantiasa
menghadap Allah dibandingkan
khauf (rasa takut dari adzab
Allah) dan roja ’ (rasa harap
terhadap rahmat-Nya). Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah dalam “Majmu’
Fatawa” 1/95 berkata :
“Ketahuilah bahwa penggerak
hati manusia untuk menghadap
Allah ? ada tiga macam :
mahabbah, khauf dan roja ’.
Yang paling kuat adalah
mahabbah, karena dialah sendiri
yang memang diinginkan secara
dzatnya. Dia diinginkan di
kehidupan dunia dan akhirat
berbeda dengan khauf yang
hilang dan sirna di kehidupan
akhirat. Allah ? berfirman
: أَلاَ إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللهِ لاَ
خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ
يَحْزَنُوْنَ
“ Ketahuilah sesunggunya wali-
wali Allah itu tidak ada
ketakutan (di kehidupan akhirat
mendatang) dan tidak pula sedih
(dari kehidupan dunia yang dia
tinggalkan). ” (QS. Yunus : 62).
Yang diinginkan dari khauf
adalah menghindari dan
mencegah dari keluarnya
seorang hamba dari jalan
kebaikan. Adapun mahabbah
mendorong seseorang untuk
menempuh jalan menuju Dzat
yang dia cintai tersebut. Sesuai
dengan lemah dan kuatnya
kadar mahabbah, dia
menempuh jalan tersebut.
Sedangkan khauf dialah yang
mecegahnya untuk keluar dari
jalan tadi. Adapun roja ’
membimbingnya dalam
menempuh jalan tersebut. Maka
ini adalah suatu asas yang
agung. Wajib bagi setiap hamba
untuk memperhatikannya.
Karena tidaklah terwujud
penghambaan diri (kepada
Allah) tanpa dengannya. Padahal
setiap orang wajib untuk menjadi
hamba Allah bukan selain-Nya ”.
Berdasarkan penjelasan tersebut
tepatlah ungkapan murid
terbesar beliau Syaikhul Islam Al
Imam Ibnu Qoyyim Al Jauziyah
rahimahullah tatkala berkata di
dalam “Al Jawabul Kafi” hal.
447 : “Dan asas kesyirikan
kepada Allah adalah syirik
mahabbah, sebagaimana Allah ?
berfirman :

وَ مِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ
مِنْ دُوْنِ اللهِ أَنْدادًا
يُحِبُّوْنَهُمْ كَحُبِّ اللهِ وَ
الَّذِيْنَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًا
للهِ

Dan di antara manusia ada
yang menjadikan selain Allah
sebagai sekutu-sekutu yang
mereka mencintainya
sebagaimana mencintai Allah.
Dan orang-orang yang beriman
lebih besar cintanya kepada
Allah.” (QS. Al Baqarah: 165).
Para ulama tafsir memberikan
tafsiran tentang ayat tersebut
dengan dua penafsiran yang
cukup kuat.
Pendapat pertama : mengatakan
bahwa di antara manusia
terdapat orang-orang musyrikin
yang mencintai sekutu-sekutu
selain Allah sebagaimana mereka
mencintai Allah. Berdasarkan
tafsiran ini maka ucapan Allah:

وَ الَّذِيْنَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًا
للهِ

Memiliki makna bahwa orang-
orang yang beriman lebih tinggi
kecintaannya kepada Allah ?
daripada kecintaan orang-orang
musyrikin tadi kepada Allah.
Karena kecintaan orang-orang
mukminin murni untuk Allah
sedangkan kecintaan orang-
orang musyrikin terdapat unsur
penyekutuan antara Allah dan
selain-Nya.
Pendapat kedua : mengatakan
bahwa orang-orang musyrikin
mencintai sekutu-sekutu selain
Allah sebagaimana kecintaan
orang-orang mukmin kepada
Allah. Sehingga berdasarkan
penafsiran ini maka ucapan
وَ
الَّذِيْنَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًا
للهِ
mengandung
arti bahwa
orang-orang mukmin lebih kuat
cintanya kepada Allah daripada
kecintaan orang-orang musyrikin
kepada sekutu-sekutu selain
Allah. Hal ini disebabkan
cintanya orang-orang mukmin
kepada Allah tetap terwujud baik
dalam keadaan senang maupun
dalam keadaan genting.
Sedangkan kecintaan orang-
orang musyrikin kepada selain
Allah hanya terbentuk pada saat
mereka senang saja.
Pendapat pertama nampaknya
lebih dekat kepada kebenaran
berdasarkan konteks ayat itu
sendiri. Pendapat ini dipilih oleh
Al Imam Ath Thobari, Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah, Ibnu
Qoyyim Al Jauziyah dan Asy
Syaikh Ibnu Utsaimin
rahimahumullah.
Titik fokus pengkajian ayat
Allah ? ini benar-benar
mengarah kepada kondisi yang
terjadi pada akidah dan
keimanan orang-orang musyrikin
ketika ayat itu turun. Bukanlah
mereka orang-orang yang
menyakini bahwa selain Allah
mampu mendatangkan rizki,
mendatangkan kemanfaatan dan
menjauhkan dari segala
mudharat. Sekali-kali bukan.
Bahkan mereka benar-benar
mengimani bahwa itu semua
hanya mampu dilakukan
Allah ? .
Hanyalah menurut mereka
bahwa mahabbah ibadah itu
dapat diberikan kepada Allah
dan selain-Nya. Allah sendiri
memberi nama perbuatan dan
keyakinan mereka sebagai
kesyirikan. Lebih menyedihkan
lagi, masih banyak terdapat di
sebagian besar kaum muslimin,
semoga Allah melimpahkan dan
menetapkan hidayah kepada kita
semuanya mewarisi keyakinan
mereka. Kita saksikan wujud
gambaran mahabbah mereka
kepada selain Allah tatkala
mendatangi kota Makkah dan
Madinah. Mereka bahkan
berpendapat bahwa ziarah ke
kubur Nabi ? lebih utama dan
agung daripada ziarah ke Baitul
Haram. Mengapa demikian?
Tidaklah aneh bila itu didasarkan
pada kecintaan mereka kepada
Rasul ? setara dengan kecintaan
mereka kepada Allah bahkan
lebih daripada itu. Padahal
kecintaan kepada Rasul ?
hendaklah diberikan sebagai
penyempurna dan mengikuti
kecintaan kepada Allah ?.
Betapa banyak pula mereka
lebih khusu ’ bila beribadah di
dekat kubur seorang nabi atau
wali daripada di masjid-masjid
Allah. Mereka lebih ikhlas untuk
mengeluarkan harta yang
banyak untuk memperbaiki
kubur tersebut daripada
menginfakkan kepada orang-
orang fakir muslimin. Tidak takut
untuk bersumpah dengan nama
Allah untuk berdusta namun
takut bila bersumpah dengan
nama wali fulan untuk berdusta.
Bahkan berani membela fasilitas-
fasilitas kesyirikan dengan harta
dan jiwanya bila merasa
terganggu dengan seruan
dakwah tauhud. Wal ’
iyadzubillah. Ingatlah dengan
berita Allah di dalam firman-
Nya :

وَ إِذّا ذُكِرَ اسْمُ اللهِ وَحْدَهُ
اشْمَأَزَّتْ قُلُوْبُ الذِّيْنَ
لاَ يُؤْمِنُوْنَ بِالآخِرَةِ وَ
إِذَا ذُكِرَ الَّذِيْنَ من دُوْنِهِ
إِذَا هُمْ يَسْتَبْشِرُون

Dan bila disebut nama Allah
saja kesallah hati orang-orang
yang tidak beriman kepada
akhirat. Namun bila disebut
sekutu-sekutu selain Allah tiba-
tiba mereka langsung
bergembira. ” (QS. Az Zumar: 45)
Dan ingatlah pula kejadian yang
pasti akan terjadi di Hari Kiamat
antara orang-orang yang
memberikan mahabbah kepada
sekutu-sekutu selain Allah
dengan sekutu-sekutu itu sendiri.
ِAllah ? berfirman :
“Hanyalah apa yang kalian
jadikan sebagai sesembahan-
sesembahan selain Allah ? itu,
kalian saling mencintai di
kehidupan dunia saja. Lantas
pada Hari Kiamat sebagian kalian
dengan sebagian yang lainnya
saling mengingkari dan
melaknat. Dan An Naar lah
tempat tinggal kalian. ” (QS. Al
Ankabut: 25).
Bila mereka telah tinggal di An
Naar maka dengarkanlah suatu
kepastian dari Allah :
“ Dan tidaklah mereka bisa
keluar dari An Naar.” (QS. Al
Baqarah: 167). “Ya Allah
selamatkan kami semua dari An
Naar. ”

Tanya Jawab
Soal : Apa tanda-tanda seorang
hamba itu mencintai Rabbnya ? ?
Jawab :
“ Sebenarnya pertanyaan di atas
dapat di jawab apabila kita
membaca awal-awal
pembahasan ini dengan
seksama. Namun tidak
berlebihan bila kita bawakan
jawaban seorang alim yaitu Asy
Syaikh Hafidz bin Ahmad Al
Hakami rahimahullah di dalam
Kitab A ’lamus Sunnah Al
Mansyurah hal. 31, beliau
menjawab :
Tanda-tandanya adalah seorang
hamba mencintai apa yang Dia
cintai, membenci apa yang Dia
benci, menunaikan perintah-
perintah-Nya menjauhi larangan-
larangan-Nya, mencintai wali-
wali-Nya, membenci musuh-
musuh-Nya. Oleh karena itu tali
iman yang paling kokoh adalah
mencintai dan benci di jalan
Allah”.
Kita katakan: ”Jawaban akhir
beliau tersebut didasarkan pada
sebuah hadits Ibnu Abbas, beliau
berkata : “Rasulullah ? bertanya
kepada Abu Dzar tali iman apa-
aku (pariwayat hadist) menduga
– yang paling kokoh ? Dia (Abu
Dzar) menjawab : Allah dan
Rasul-Nya yang lebih tahu.
Beliau ? bersabda :

المُوَالاةُ فىِ اللهِ وَ
المُعَادَاةُ فىِ اللهِ وَ الحُبُّ
فىِ اللهِ وَ البُغْضُّ فىِ
اللهِ

Saling mencintai di jalan Allah,
saling membenci di jalan-Nya,
mencintai dan membenci di
jalan-Nya. (Diriwayatkan Ath
Thabrani dan dihasankan Asy
Syaikh Al Albani di dalam Ash
Shahihhah no. 998 dan 1728)
Wallahu A’lam bish Showab

www.assalafy.org/mahad/?p=22
Read more..

Tawasul dan Wasilah

Merupakan sunnatullah setiap
tujuan akan terwujud dengan ijin
Allah setelah ditunaikannya
sebab atau perantara yang biasa
disebut wasilah. Baik wasilah
yang memang Allah ciptakan
secara tabiat dan fitrah yang
dinamakan wasilah kauniyah,
maupun wasilah yang Allah
syariatkan di dalam Al Qur ’an
maupun As Sunnah yang disebut
wasilah syar ’iyah. Hanya saja
wasilah kauniyah sangat mungkin
diwujudkan seorang mu ’min
ataupun kafir, seperti makan
untuk kenyang, pakaian untuk
menjaga diri dari rasa dingin atau
panas dan seterusnya. Adapun
wasilah syar ’iyah hanyalah
muncul dari seorang mukmin
saja. Macam kedua inilah yang
menjadi topik bahasan kita kali
ini.
Allah sendiri telah menetapkan
adanya wasilah bagi seorang
mukmin untuk mendekatkan diri
kepada-Nya:

يَأيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوْا
اتَقُوا اللهَ وَ ابْتَغُوا
إِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ

Wahai orang-orang yang
beriman, bertakwalah kepada
Allah dan carilah wasilah yang
mendekatkan diri kepada-Nya.
(Al Maidah : 35)

Al Hafizh Ibnu Katsir
rahimahullah menukilkan
tafsiran Ibnu Abbas, Mujahid,
Abu Wa ’il dan selain mereka dari
kalangan ulama tafsir bahwa
yang dimaksud wasilah di dalam
ayat tersebut adalah suatu
perkara yang bisa mendekatkan
diri kepada Allah.
Lebih daripada itu Allah juga
menetapkan perkara-perkara
yang bisa dijadikan sebagai
wasilah untuk mendekatkan diri
kepada-Nya. Allah tidak
menyerahkan begitu saja kepada
hamba-hamba-Nya untuk
menentukan perkara tersebut.
Satu-satunya kaidah untuk
mengetahui bahwa suatu
perkara itu bisa mendekatkan
diri kepada Allah hanyalah
dengan melihat keterangan dari
Allah dan Rasul-Nya di dalam Al
Qur ’an ataupun As Sunnah.
Tidak diperkenankan bagi
siapapun, setinggi apapun
derajat dia untuk
menentukannya dengan akal
pikiran, semangat ibadah,
perasaan ataupun pengalaman
religius semata. Tidaklah apa
yang datang selain dari Allah
dan Rasul-Nya melainkan pasti
akan timbul pertentangan dan
ikhtilaf. Allah berfirman:

أَفَلاَ يَتَدَبَّرُونَ
الْقُرْآنَ وَلَو كَانَ مِنْ عِنْدِ
غَيْرِ اللهِ لَوَجَدُوا فِيْهِ
اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا

Apakah mereka tidak
memperhatikan Al Qur’an?
Kalau kiranya Al Qur’an itu
bukan datang dari sisi Allah
tentulah mereka mendapati
pertentangan yang banyak di
dalamnya ”. (An Nisaa’ : 82)
Tentang Rasul-Nya pun Allah
beritakan:

وَ مَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ
هُوَ إِلاَّ وَحيٌ يُوْحَى

Dan tidaklah yang
diucapkannya itu menurut
kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tidak lain
hanyalah wahyu yang
diwahyukan (kepadanya )”. (An
Najm: 3)
Kaidah yang sangat penting ini
hendaklah selalu dipegang oleh
setiap muslim, yang bila dia
menjalankan wasilah tersebut
maka dia telah menunaikan
sebuah amalan yang disebut
tawasul. Kaidah ini semakin
tampak jelas pentingnya tatkala
tujuan tawasul itu sendiri adalah
mendekatkan diri kepada Allah ,
berharap untuk mendapatkan
balasan kebaikan, keridhoan,
jannah-Nya dan dikabulkan do’a
oleh-Nya . Nah, mustahil sekali
seseorang dapat mengetahui
perkara tertentu sebagai wasilah
untuk mendapatkan kemulian
yang agung disisi-Nya melainkan
hanya dari Allah yang Maha
Tahu dan Maha Kuasa atas
segala apa yang ada di sisi-Nya.

Asy Syaikh Al Muhaddits
Muhammad Nashiruddin Al
Albani rahimahullah di dalam
“ At Tawassul Anwa’uhu wa
Ahkamuhu” hal. 30 telah
memberikan peringatan penting
kepada kita berkaitan tentang
kaidah ini. Beliau berkata: “Dan
diantara hal yang perlu
diperhatikan: Bahwa apa yang
telah ditentukan untuk dapat
menjadi wasilah kauniyah
cukuplah dengan tidak adanya
larangan dari syari ’at. Adapun
wasilah syar’iyah tidaklah cukup
untuk ditentukan dengan tidak
adanya larangan dari syariat
sebagaimana yang dipahami
banyak manusia. Akan tetapi
wasilah syar ’iyah harus
ditentukan dengan keterangan
syar ’i tentang masyru’ dan
sunnahnya wasilah tersebut.
Kemudian beliau membawakan
ucapan Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah yang merupakan
kaidah fiqhiyah terkenal:

الأَصْلُ فِي الْعِبَادَاتِ
المَنْعُ إِلاَّ لِنَصٍّ وَفي
الْعَادَاتِِ الإِبَاحَةُ إِلاَّ
لِنَصٍّ

Hukum asal ibadah itu dilarang
kecuali kalau ada nash (dalil)
yang membolehkannya. Adapun
hukum asal adat kebiasaan itu
adalah diperbolehkan kecuali
kalau ada nash yang
melarangnya ”.
Maka ingatlah peringatan ini
karena sangat penting untuk
membantumu dalam mencari
kebenaran yang diperselisihkan
manusia ”.

Asy Syaikh Ibnu Utsaimin
rahimahullah di dalam “Al
Qoulul Mufid” 1/162-163
memberikan kelengkapan kaidah
tadi yang tidak kalah pentingnya
bahwa penentuan sesuatu
sebagai sebab (wasilah) yang
sebenarnya bukan sebab yang
Allah tentukan baik secara
kauniyah maupun syar’iyah
merupakan syirik kecil yang tidak
menutup kemungkinan untuk
kemudian terjerembab kedalam
syirik besar. Wal ‘Iyadzu billah.
Perkara-perkara yang Allah dan
Rasul-Nya telah tentukan sebagai
wasilah yang seseorang diijinkan
untuk bertawasul dengannya
adalah sebagai berikut:

1. Tawasul kepada Allah dengan
nama-nama Allah yang baik dan
sifat-sifat-Nya yang tinggi. Hal ini
Allah tegaskan dalam firman-
Nya:

وَ ِللهِ الأَسْمَاءُ الْحُسْنَى
فَادْعُوْه بِهَا

Dan hanya milik Allah nama-
nama yang baik. Maka
berdo ’alah kalian dengan
(wasilah) nama-nama tersebut”.
(Al A’raaf : 180)

Asy Syaikh Abdurrahaman As
Sa ’di rahimahullah menafsirklan
ayat ini dengan ucapan beliau:
“ Dan diantara kesempurnaan
nama-nama Allah yang baik
tersebut adalah tidaklah Dia
diseru melainkan dengan
(wasilah) nama-nama-Nya dan
seruan (do ’a) tersebut mencakup
do’a ibadah dan do’a
permintaan. Dia diseru di dalam
setiap permintaan dengan nama
yang sesuai dengan permintaan
tersebut. Contohnya seseorang
berdo ’a: “Ya Allah ampunilah
aku dan rahmatilah aku.
Sesungguhnya Engkau Maha
Pengampun dan Maha
Penyayang. Terimalah taubatku
wahai Dzat yang Maha Memberi
taubat. Berilah aku rizki wahai
Dzat yang Maha Memberi rizki.
Berilah kelembutan padaku
wahai Dzat yang Maha Lembut
dan lain-lain ”.
Tidaklah diragukan bahwa sifat-
sifat Allah yang tinggi juga
termasuk di dalam wasilah
tersebut karena nama-nama-Nya
yang baik sekaligus mengandung
sifat-sifat bagi-Nya. Terlebih lagi
Rasululullah amalkan di dalam
do ’anya yang shohih:

اللهُمَّ بِعِلمِكَ الْغَيْبَ وَ
قُدْرَتِكَ على الْخَلْقِ
أَحْيِنِي مَا عَلِمْتَ الحَيَاةَ
خَيْرًا لي وَتَوَفَّنِي إَذَا
كَانَتِ الوَفَاةُ خَيْرًا لي

Ya Allah dengan ilmu-Mu
tentang yang ghaib dan
kekuasaan-Mu terhadap
makhluk-Mu, hidupkanlah aku
yang Engkau telah ketahui
bahwa hidup itu lebih baik
bagiku dan matikanlah aku jika
kematian itu lebih baik bagiku”.
( H.R An Nasa’i dan Al Hakim
serta dishohihkan Asy Syaikh Al
Albani di dalam “Shohih An
Nasa’i no. 1304).
Disini beliau bertawasul kepada
Allah dengan wasilah dua sifat-
Nya yaitu “Al Ilmu” dan “Al
Qudrah” (kekuasaan).

2. Tawasul dengan amalan sholih
yang pernah dilakukan
seseorang yang bertawasul
tersebut.
Jenis tawasul ini didasarkan
sebuah hadits Muttafaqun ‘Alaihi
dari Abdullah bin Umar ?
tentang tiga orang dari kaum
terdahulu yang terperangkap di
sebuah gua karena tertutup batu
besar. Salah satu diantara
mereka bertawasul dengan
amalan berbakti kepada kedua
orang tuanya. Yang kedua
bertawasul dengan terjaganya
kehormatan dia dari perbuatan
zina dan yang ketiga bertawasul
dengan penunaian amanahnya.
Hal itu mereka lakukan agar
Allah menggeser batu tersebut.
Akhirnya pun Allah kabulkan
do ’a mereka. Rasulullah
mengkisahkan cerita panjang
tentang ketiga orang tersebut
diantaranya dalam rangka
menetapkan dan memuji tawasul
yang mereka lakukan walaupun
hal itu terjadi pada masa
sebelum diturunkannya syariat
beliau .

3. Tawasul dengan keimanan
kepada Allah dan Rasul-Nya.
Allah tetapkan perkara ini di
dalam firman-Nya:

رَبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا
مُنَادَيًا يُنَادِي لِلإِيْمَانِ
أَنْ آمِنُوْا بِرَبِّكُمْ
فَآمَنَّا رَبَّنَا
فَاغْفِرْلَنَا ذُنُوْبَنَا وَ
كَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَ
تَوَفَّنَا مَعَ الأَبْرَارِ

Wahai Rabb kami sesungguhnya
kami telah mendengar seruan
orang yang menyeru
(Muhammad ) kepada keimanan
yaitu: “Berimanlah kalian kepada
Rabb kalian”. Maka kami pun
beriman. Wahai Rabb kami
ampunilah dosa-dosa kami,
hapuskanlah kesalahan-
kesalahan kami dan wafatkanlah
kami bersama orang-orang yang
baik ”. (Ali Imran : 193)
Maka lihatlah mereka
menyebutkan keimanan terlebih
dahulu sebelum berdo ’a !
Bahkan iman dan amalan sholih
sendiri merupakan sebab
dikabulkannya sebuah do ’a
sebagaimana firman Allah:

وَيَسْتَجِيْبُ الَّذِيْنَ
آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
وِيَزِدْهُمْ من فَضْلِهِ

Dan Dia memperkenankan do’a
orang-orang yang beriman dan
beramal sholih serta menambah
balasan kebaikan kepada
mereka dari keutamaan-Nya ”.
(Asy Syura :26). Demikian
keterangan Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah di dalam “Al Qo’idah Al
Jalilah” hal. 97 dan 241.

4. Tawasul dengan menyebutkan
keadaannya yang sangat
membutuhkan sesuatu kepada
Allah .
Do ’a Nabi Zakariya ? yang Allah
kisahkan di dalam firman-Nya
menunjukkan bolehnya perkara
ini. Dia berfirman:

قَالَ رَبِّ إِنِّي وَهَنَ
الْعَظْمُ مِنِّي وَاشْتَعَلَ
الرَّأْسُ شَيْبًا وَلَمْ أَكُنْ
بِدُعَائِكَ رَبِّ شَقِيًّا

Wahai Rabbku sesungguhnya
tulangku telah melemah,
rambutku telah ditumbuhi uban
dan aku belum pernah kecewa
dalam berdo ’a kepada-Mu,
wahai Rabbku”. (Maryam : 4)
Kemudian beliau pun meminta
kepada Allah untuk dianugerahi
seorang putera yang sholih. Dan
Allah pun mengabulkannya.

5. Tawasul dengan do ’a orang
yang sholih kepada Allah .
Tawasul jenis ini pernah
dipraktekkan baik di jaman Nabi
masih hidup maupun setelah
sepeninggal beliau . Di dalam
riwayat Muttafaqun ‘Alaihi dari
hadits Anas bin Malik ?
menceritakan tentang tawasul
orang Arab Badui dengan do ’a
Nabi agar Allah menurunkan
hujan ketika terjadi kekeringan
dan menahan hujan ketika
terjadi banjir. Maka Allah
mengabulkan do ’a beliau .
Demikian juga apa yang
diriwayatkan Al Bukhori di dalam
“ Shohih”-nya dari Umar bin Al
Khoththob ? bahwa beliau
pernah bertawasul dengan do’a
Abbas bin Abdul Muththolib ?
agar Allah menurunkan hujan.
Di dalam tawasul jenis kelima ini
terdapat satu kaidah yang sangat
penting bahwa yang dijadikan
sebagai wasilah adalah do ’a
seorang yang sholih. Sehingga
kalaupun orang sholih tersebut
tidak memanjatkan do ’anya atau
mendo’akan sesuatu yang tidak
mungkin dikabulkan maka
tentunya tidaklah mungkin untuk
ditunaikan tawasul jenis ini.
Walillahil Hamdu.
Penyebutan macam-macam
tawasul yang diperbolehkan
secara syariat ini apabila
dipadukan dengan kaidah bahwa
penentuan tawasul syar ’iyah itu
hanya dengan keterangan Al
Qur ’an dan As Sunnah maka
mengeluarkan segala bentuk
tawasul yang tidak termasuk di
dalamnya, walaupun dengan
berbagai dalih dan alasan.
Asy Syaikh Al Albani
rahimahullah di dalam “At
Tawasul” hal. 50 memberi
nasehat mulia kepada kita
dengan ucapannya: “Dan
diantara perkara yang sangat
aneh, engkau melihat mereka
(orang-orang yang bertawasul
dengan wasilah yang tidak
disyari ’atkan) itu berpaling dari
macam-macam tawasul yang
disyariatkan. Hampir-hampir
mereka tidak lagi melakukan
satupun darinya di dalam do’a
ataupun tatkala membimbing
manusia untuk melakukan
tawasul. Padahal itu telah
ditetapkan di dalam Al Qur ’an,
As Sunnah dan kesepakatan
umat ini. Engkau melihat mereka
menggantinya untuk kemudian
sengaja membuat do ’a-do’a dan
tawasul-tawasul sendiri yang
tidak pernah disyariatkan Allah .
Tidak pula pernah dipraktekkan
Rasulullah dan ternukilkan dari
pendahulu umat ini dari
kalangan tiga generasi terbaik.
Minimal yang mereka katakan
bahwa tawasul yang diluar
tawasul syar ’i itu diperselisihkan
hukumnya oleh para ulama.
Maka betapa pantas keadaan
mereka dengan firman-Nya :

أَتَسْتَبْدِلُوْنَ الَّذِي هُوَ
أَدْنَى بِالَّذِي هُوَ خَيْرٌ

Maukah kamu mengambil
sesuatu yang rendah sebagai
pengganti yang lebih baik ?”.(Al
Baqarah : 61)
Dan nampaknya pemandangan
amaliah mereka memperkuat
kebenaran ucapan seorang
tabi ’in yang mulia Hassan bin
Athiyyah Al Muhasibi
rahimahullah tatkala berkata:
“ Tidaklah suatu kaum membuat
kebid’ahan di dalam agama
mereka kecuali Allah cabut
sunnah setimpal dengan
perbuatan bid ’ah itu. Kemudian
Allah tidak mengembalikannya
kepada mereka sampai hari
kiamat ”. (Diriwayatkan Ad Darimi
1/45 dengan sanad shohih)”.
Beliau pun juga mengajak kita
untuk berpikir jernih tentang
permasalahan besar itu di dalam
“ Silsilah Adh Dha’ifah” 1/94.
Beliau berkata: “Kalaulah
tawasul bid’ah itu dianggap tidak
keluar dari lingkup khilafiyah,
maka jika manusia mau bersikap
adil pastilah mereka akan
berpaling darinya dalam rangka
hati-hati dan mengamalkan
ucapan beliau:

دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إلَي مَالاَ
يَرِيْبُكَ

Tinggalkan apa yang
meragukanmu kepada apa yang
tidak meragukanmu ”.
Untuk kemudian engkau
beramal dengan apa yang kami
isyaratkan dari bentuk-bentuk
tawasul yang disyariatkan.
Namun ternyata mereka – ironis
sekali – berpaling dari perkara
ini. Lalu berpegang teguh
dengan tawasul yang
diperselisihkan tadi seakan-akan
tawasul bid ’ah tersebut sebagai
suatu keharusan yang mereka
tekuni sebagaimana halnya
perkara yang wajib !”.
Setelah itu kita pun harus
mengerti bagaimana bentuk
tawasul bid ’ah yang sebenarnya
telah diperingatkan para ulama
sebelum munculnya nama besar
Asy Syaikh Al Albani
rahimahullah sekalipun !.
Bentuk tawasul bid ’ah yang
sering diterangkan para ulama di
dalam banyak karya mereka
adalah seperti apa yang Allah
tegaskan di dalam firman-Nya:

مَا نَعْبُدُهُمْ إِلاَّ
لِيُقَرِّبُونَا إِلي اللهِ
زُلْفَى

Tidaklah kami (orang-orang
musyrik) beribadah kepada
mereka (orang-orang sholih)
melainkan agar mereka
mendekatkan diri kami kepada
Allah dengan sedekat-dekatnya”.
(Az Zumar: 3)
Hakekat bentuk tawasul mereka
ini adalah menjadikan dzat dan
kedudukan orang-orang sholih
sebagai wasilah untuk
mendekatkan diri kepada Allah
ataupun wasilah untuk
dikabulkannya suatu do’a. Hanya
saja Asy Syaikh Sholih bin Fauzan
bin Abdillah Al Fauzan
hafizhohullah di dalam “Al
Muntaqo” dari fatwa beliau 1/89
memberikan rincian yang bagus
tentang bentuk tawasul bid ’ah ini
yang masing-masingnya memiliki
hukum yang berbeda. Beliau
berkata: “Kemudian bila dia
(orang yang bertawasul bid’ah
yang masih beriman kepada
rububiyah Allah ) ini bertaqarrub
kepada orang-orang sholih
dengan sesuatu dari bentuk-
bentuk ibadah seperti
menyembelih untuk wali-wali
atau orang sholih, nadzar untuk
mereka, meminta hajat dari
orang-orang mati dan
beristighotsah kepada mereka
maka ini adalah syirik besar yang
mengeluarkan dia dari agama.
Namun apabila dia bertawasul
dengan orang-orang sholih
karena kedudukan mereka yang
tinggi di sisi Allah tanpa
memberikan satupun bentuk
ibadah kepada mereka maka ini
termasuk bid’ah yang
diharamkan dan perantara
untuk sampai kepada syirik”.
Alasan mereka (orang-orang
musyrik) berbuat demikian
karena memandang orang-orang
sholih memiliki ilmu dan ibadah
sehingga berkedudukan tinggi di
sisi Allah . Kemudian mereka
mengkiaskan keadaan Allah
dengan seorang raja di dunia.
Seorang raja tidak mungkin
ditemui rakyatnya melainkan
melalui para pembantunya.
Demikian juga tidak mungkin
mereka mendekatkan diri
kepada-Nya dan dikabulkannya
sebuah do ’a melainkan harus
melalui orang-orang sholih tadi.
Subhanallah ! Tidaklah mereka
sadar bahwa alasan dan dalil
yang mereka bawakan itu
sebenarnya sebuah celaan
kepada Allah . Kias yang mereka
kemukakan merupakan sejahat-
jahat kias yang mengandung
unsur penyamaan Allah yang
Maha Kuasa dengan makhluk
yang sarat dengan berbagai
kelemahan. Padahal seorang
yang memilki mata hati yang
paling lemah pun masih
mengerti adanya perbedaan
yang sangat terang antara
keadaan Rabbul ‘Alamin dengan
segenap alam semesta ini.
Diantara perbedaan yang
mencolok sekali antara seorang
raja di dunia dengan Allah
bahwasanya seorang raja
memang tidak mungkin
memenuhi segala keinginan
rakyatnya karena
kemampuannya yang sangat
terbatas. Sedangkan Allah Maha
Kuasa untuk memenuhi
kebutuhan setiap makhluk yang
ada di alam semesta ini dan Dia
pun Maha Tidak Butuh kepada
segenap makhluk-Nya. Walillahil
Hamdu.
Ironis memang tatkala kita
melihat dan menengok
kenyataan bahwa bentuk dan
alasan mereka bertawasul
ternyata diwarisi para generasi
yang mengaku paling mengerti
tentang agama ini di jaman
sekarang. Bahkan mereka telah
melengkapi alasan dan dalih
rusak nenek moyang mereka
terdahulu dengan dalih dan
alasan terbaru ataupun sekedar
“ menghias” keyakinan dan
aqidah jahiliyyah masa silam.
Mereka menjadikan tawasul
bid ’ah ini sebagai bagian yang
tidak terpisahkan dari do’a dan
dzikir mereka setiap hari. Kita
pun sering mendengar dan
melihat mereka berkata:
( بِجَاهِ مُحَمَّدٍ … ) atau
( بِبَرَكَةِ الشيخ عَبْدِ
الْقَادِرِ الجَيْلاني …)
sebelum berdo’a kepada Allah
dan seterusnya di masjid-masjid
Allah.
Mereka pun tidak sekedar
mengamalkan tawasul bid ’ah
namun lebih daripada itu
mendidik, mendakwahkan dan
menulis karya-karya yang tidak
mustahil akan dibaca di setiap
tempat dan jaman. Wallahul
Musta ’an.
Seandainya mereka
mendatangkan sejuta alasan
dengan sejuta pula tingkat
“ keilmiahan” dari alasan-alasan
sebelumnya, atau sekokoh dan
setinggi apapun bangunan
syubuhat yang mereka tegakkan
maka terpatahkanlah alasan dan
hancur pula bangunan tersebut
secara serempak tatkala
menghadapi tegaknya kaidah
yang telah kita miliki, sebelum
kita datangkan jawaban dari
tiap-tiap alasan tersebut secara
terperinci. Allah berfirman:
وَلاَ يَأْتُوْنَكَ بِمَثَلٍ إلاَّ
جِئْنَاكَ بِالْحّقِّ وَأَحْسَنَ
تَفْسِيْرًا
“ Dan tidaklah mereka
mendatangkan sesuatu yang
janggal melainkan Kami
mendatangkan kepadamu
sesuatu yang benar dan yang
paling baik penjelasannya ”. (Al
Furqan : 33)
Tanya-Jawab
Soal: Kalau memang tawasul
dengan dzat dan kedudukan
Nabi tidak diperbolehkan maka
bagaimana dengan hadits:
تَوَسَّلُوا بِجَاهِي فَإِنَّ
جَاهي عِنْدَ اللهِ عَظِيْمٌ
“ Bertawasullah kalian dengan
kedudukanku karena
sesungguhnya kedudukanku
sangat agung di sisi Allah ”.?
Jawab: Asy Syaikh Al Albani
rahimahullah di dalam “Silsilah
Adh Dho’ifah” 1/76-99 telah
menjelaskan secara terperinci
bahwa seluruh hadits yang
menganjurkan untuk bertawasul
dengan dzat Nabi dan orang-
orang sholih adalah lemah
bahkan sampai derajat tidak
asalnya sama sekali.
Kita pun tetap meyakini tentang
kedudukan Nabi yang sangat
tinggi di sisi Allah namun hal itu
tidak sampai kepada sikap
berlebih-lebihan kepada beliau
dalam bentuk bertawasul
dengan dzatnya yang mulia.
Wallahu “A’lam bish Showab


www.assalafy.org/mahad/?p=53
Read more..

Wanita Penghuni Surga dan Ciri-Cirinya

Setiap insan tentunya
mendambakan kenikmatan yang
paling tinggi dan abadi.
Kenikmatan itu adalah Surga. Di
dalamnya terdapat bejana-
bejana dari emas dan perak,
istana yang megah dengan
dihiasi beragam permata, dan
berbagai macam kenikmatan
lainnya yang tidak pernah
terlihat oleh mata, terdengar
oleh telinga, dan terbetik di hati.
Kenikmatan-kenikmatan di Al-
Jannah (Surga)
Dalam Al Qur’an banyak sekali
ayat-ayat yang menggambarkan
kenikmatan-kenikmatan Surga.
Diantaranya Allah Subhanallahu
wa Ta ’ala Shalallahu ‘alaihi wa
Sallam rahimahullah berfirman:
“(Apakah) perumpamaan
(penghuni) Surga yang dijanjikan
kepada orang-orang bertakwa
yang di dalamnya ada sungai-
sungai dari air yang tidak
berubah rasa dan baunya,
sungai-sungai dari air susu yang
tidak berubah rasanya, sungai-
sungai dari khamr (arak) yang
lezat rasanya bagi peminumnya,
dan sungai-sungai dari madu
yang disaring dan mereka
memperoleh di dalamnya segala
macam buah-buahan dan
ampunan dari Rabb mereka
sama dengan orang yang kekal
dalam neraka dan diberi
minuman dengan air yang
mendidih sehingga memotong-
motong ususnya?” (QS.
Muhammad: 15)
“Dan orang-orang yang paling
dahulu beriman, merekalah yang
paling dulu (masuk Surga).
Merekalah orang yang
didekatkan (kepada Allah).
Berada dalam Surga kenikmatan.
Segolongan besar dari orang-
orang yang terdahulu dan
segolongan kecil dari orang-
orang yang kemudian. Mereka
berada di atas dipan yang
bertahtakan emas dan permata
seraya bertelekan di atasnya
berhadap-hadapan. Mereka
dikelilingi oleh anak-anak muda
yang tetap muda dengan
membawa gelas, cerek, dan piala
berisi minuman yang diambil dari
air yang mengalir, mereka tidak
pening karenanya dan tidak pula
mabuk dan buah-buahan dari
apa yang mereka pilih dan
daging burung dari apa yang
mereka inginkan. ” (QS. Al
Waqiah: 10-21)

Di samping mendapatkan
kenikmatan-kenikmatan
tersebut, orang-orang yang
beriman kepada Allah
Subhanallahu wa Ta ’ala kelak
akan mendapatkan pendamping
(istri) dari bidadari-bidadari
Surga nan rupawan yang banyak
dikisahkan dalam ayat-ayat Al
Qur ’an yang mulia, diantaranya
firman Allah Subhanallahu wa
Ta ’ala:
“Dan (di dalam Surga itu) ada
bidadari-bidadari yang bermata
jeli laksana mutiara yang
tersimpan baik. ” (QS. Al
Waqiah: 22-23)

Juga firman Allah Subhanallahu
wa Ta ’ala (yang artinya):
“Dan di dalam Surga-Surga itu
ada bidadari-bidadari yang
sopan, menundukkan
pandangannya, tidak pernah
disentuh oleh manusia sebelum
mereka (penghuni-penghuni
Surga yang menjadi suami
mereka) dan tidak pula oleh
jin. ” (QS. Ar Rahman: 56)

Juga firman Allah Subhanallahu
wa Ta ’ala (yang artinya):
“Seakan-akan bidadari itu
permata yakut dan
marjan. ” (QS. Ar Rahman: 58)
Dan firman Allah Subhanallahu
wa Ta ’ala (yang artinya):
“Sesungguhnya Kami
menciptakan mereka (bidadari-
bidadari) dengan langsung dan
Kami jadikan mereka gadis-gadis
perawan penuh cinta lagi sebaya
umurnya. ” (QS. Al Waqiah:
35-37)
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa
Sallam menggambarkan
keutamaan-keutamaan wanita
penduduk Surga dalam sabda
beliau:

“…seandainya salah seorang
wanita penduduk Surga
menengok penduduk bumi
niscaya dia akan menyinari
antara keduanya (penduduk
Surga dan penduduk bumi) dan
akan memenuhinya bau wangi-
wangian. Dan setengah dari
kerudung wanita Surga yang ada
di kepalanya itu lebih baik
daripada dunia dan isinya. ” (HR.
Bukhari dari Anas bin Malik
radliyallahu ‘anhu)

Dalam hadits lain Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wa Sallam
bersabda:
“Sesungguhnya istri-istri
penduduk Surga akan
berdendang bagi suami-suami
mereka dengan suara yang
merdu yang tidak pernah
didengarkan oleh seorangpun.
Diantara yang didendangkan
oleh mereka: “Kami adalah
wanita-wanita pilihan yang
terbaik. Istri-istri kaum yang
termulia. Mereka memandang
dengan mata yang
menyejukkan. ” Dan mereka juga
mendendangkan: “Kami adalah
wanita-wanita yang kekal, tidak
akan mati. Kami adalah wanita-
wanita yang aman, tidak akan
takut. Kami adalah wanita-wanita
yang tinggal, tidak akan
pergi. ” (Shahih Al Jami’ nomor
1561)

Ciri-Ciri Wanita Ahli Surga

Apakah hanya orang-orang
beriman dari kalangan laki-laki
dan bidadari-bidadari saja yang
menjadi penduduk Surga?
Bagaimana dengan istri-istri
kaum Mukminin di dunia,
wanita-wanita penduduk bumi?
Istri-istri kaum Mukminin yang
beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya tersebut akan tetap
menjadi pendamping suaminya
kelak di Surga dan akan
memperoleh kenikmatan yang
sama dengan yang diperoleh
penduduk Surga lainnya,
tentunya sesuai dengan amalnya
selama di dunia.
Tentunya setiap wanita Muslimah
ingin menjadi ahli Surga. Pada
hakikatnya wanita ahli Surga
adalah wanita yang taat kepada
Allah dan Rasul-Nya. Seluruh
ciri-cirinya merupakan cerminan
ketaatan yang dia miliki.

Diantara
ciri-ciri wanita ahli Surga adalah:

1. Bertakwa.

2. Beriman kepada Allah
Subhanallahu wa Ta ’ala,
Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-
Kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, hari
kiamat, dan beriman kepada
takdir yang baik maupun yang
buruk.

3. Bersaksi bahwa tiada ilah yang
berhak disembah kecuali Allah
Subhanallahu wa Ta ’ala, bersaksi
bahwa Muhammad adalah
hamba dan Rasul-Nya,
mendirikan shalat, menunaikan
zakat, berpuasa di bulan
Ramadlan, dan naik haji bagi
yang mampu.

4. Ihsan, yaitu beribadah kepada
Allah Subhanallahu wa Ta ’ala
seakan-akan melihat Allah
Subhanallahu wa Ta ’ala, jika dia
tidak dapat melihat Allah
Subhanallahu wa Ta ’ala, dia
meyakini bahwa Allah
Subhanallahu wa Ta ’ala melihat
dirinya.

5. Ikhlas beribadah semata-mata
kepada Allah Subhanallahu wa
Ta ’ala, tawakkal kepada-Nya,
mencintai Allah dan Rasul-Nya,
takut terhadap adzab Allah
Subhanallahu wa Ta ’ala,
mengharap rahmat Allah
Subhanallahu wa Ta ’ala,
bertaubat kepada-Nya, dan
bersabar atas segala takdir-takdir
Allah Subhanallahu wa Ta ’ala
serta mensyukuri segala
kenikmatan yang diberikan
kepadanya.

6. Taat kepada suami (dalam hal
ma ’ruf/kebaikan)

7. Gemar membaca Al Qur’an
dan berusaha memahaminya,
berdzikir mengingat Allah
Subhanallahu wa Ta ’ala ketika
sendiri atau bersama banyak
orang dan berdoa kepada Allah
Subhanallahu wa Ta ’ala semata.

8. Menghidupkan amar ma’ruf
dan nahi mungkar pada
keluarga dan masyarakat.

9. Berbuat baik (ihsan) kepada
tetangga, anak yatim, fakir
miskin, dan seluruh makhluk,
serta berbuat baik terhadap
hewan ternak yang dia miliki.

10. Menyambung tali
persaudaraan terhadap orang
yang memutuskannya, suka
berderma, menjaga diri dari
meminta-minta, dan memaafkan
orang yang mendhaliminya.

11. Berinfak, baik ketika lapang
maupun dalam keadaan sempit,
menahan amarah dan
memaafkan manusia.

12. Adil dalam segala perkara
dan bersikap adil terhadap
seluruh makhluk

13. Menjaga lisannya dari
perkataan dusta, saksi palsu dan
menceritakan kejelekan orang
lain (ghibah).

14. Menepati janji dan amanah
yang diberikan kepadanya.

15. Berbakti kepada kedua orang
tua.

16. Menyambung silaturahmi
dengan karib kerabatnya,
sahabat terdekat dan terjauh.

17. Menutup aurat dan menjaga
kehormatan dirinya.

18. Menundukkan pandangan

19. Mendidik anak-anaknya
dengan pendidikan islami.
Demikian beberapa ciri-ciri
wanita Ahli Surga yang kami
sadur dari kitab Majmu’ Fatawa
karya Syaikhul Islam Ibnu
Tamiyyah juz 11 halaman
422-423 .

Ciri-ciri tersebut bukan
merupakan suatu batasan tetapi
ciri-ciri wanita Ahli Surga
seluruhnya masuk dalam
kerangka taat kepada Allah dan
Rasul-Nya. Allah Subhanallahu
wa Ta ’ala berfirman:
” … dan barangsiapa taat kepada
Allah dan Rasul-Nya, niscaya
Allah memasukkannya ke dalam
Surga yang mengalir di dalamnya
sungai-sungai sedang mereka
kekal di dalamnya dan itulah
kemenangan yang besar. ” (QS.
An Nisa’: 13).
Wallahu A’lam Bis Shawab.

(Dikutip dari tulisan Al Ustadz
Azhari Asri dan Redaksi artikel
Darus Sunnah, berjudul Wanita
Ahli Surga dan Ciri-cirinya.
MUSLIMAH XVII/1418/1997/
Kajian Kali Ini, dengan beberapa
tambahan)

www.darussunnah.or.id
www.assalafy.org/mahad/?p=502#comments

Read more..

Sabtu, 23 Oktober 2010

Hafalan Al Quran Menjadi Mahar Dalam Pernikahan

Penulis: Al-Ustadz Abu Ubaidah
Syafruddin

أَنْكَحْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ
مِنَ الْقُرْآنِ

Dari Sahl bin Sa’d As-Sa’idi
radhiyallahu ‘anhu berkata:
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah bersabda: “Aku
nikahkan kamu dengan dia
dengan mahar apa yang ada
padamu dari Al-Qur`an.”
Hadits ini diriwayatkan oleh:
Al-Imam Ahmad rahimahullahu
dalam Musnad-nya no. hadits
21733, 21783;
Al-Imam Al-Bukhari
rahimahullahu dalam Kitabul
Wakalah no. hadits 2310, Kitab
Fadhailul Qur`an no. hadits
5029, no. hadits 5030, Kitabun
Nikah no. hadits 5087, 5121,
5126, 5135, 5141, 5149, 5150;
Al-Imam Muslim rahimahullahu
dalam Kitabun Nikah no. hadits
1425;
Al-Imam At-Tirmidzi
rahimahullahu dalam Kitabun
Nikah ‘an Rasulillah no. hadits
1023;
Al-Imam An-Nasa`i
rahimahullahu dalam Kitabun
Nikah no. hadits 3228, 3306;
Al-Imam Abu Dawud
rahimahullahu dalam Kitabun
Nikah no. hadits 1806;
Al-Imam Ibnu Majah
rahimahullahu dalam Kitabun
Nikah no. hadits 1879;
Al-Imam Malik rahimahullahu
dalam Kitabun Nikah no. hadits
968;
Al-Imam Ad-Darimi
rahimahullahu dalam Kitabun
Nikah no. hadits 2104.
Adapun kelengkapan hadits di
atas dalam Shahih Al-Bukhari
Kitabun Nikah no. 5149:

عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ
السَّاعِدِيِّ يَقُولُ: إِنِّي
لَفِي الْقَوْمِ عِنْدَ رَسُولِ
اللهِ صلى الله عليه وسلم إِذْ
قَامَتِ امْرَأَةٌ فَقَالَتْ: يَا
رَسُولَ اللهِ، إِنَّهَا قَدْ
وَهَبَتْ نَفْسَهَا لَكَ فَرَ
فِيهَا رَأْيَكَ. فَلَمْ
يُجِبْهَا شَيْئًا، ثُمَّ
قَامَتْ فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ
اللهِ، إِنَّهَا قَدْ وَهَبَتْ
نَفْسَهَا لَكَ فَرَ فِيهَا
رَأْيَكَ. فَلَمْ يُجِبْهَا
شَيْئًا ثُمَّ قَامَتِ
الثَّالِثَةَ فَقَالَتْ: إِنَّهَا
قَدْ وَهَبَتْ نَفْسَهَا لَكَ
فَرَ فِيهَا رَأْيَكَ، فَقَامَ
رَجُلٌ فَقَالَ: يَا رَسُولَ
اللهِ، أَنْكِحْنِيهَا. قَالَ: هَلْ
عِنْدَكَ مِنْ شَيْءٍ؟ قَالَ: لاَ.
قَالَ: اذْهَبْ فَاطْلُبْ وَلَوْ
خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ. فَذَهَبَ
فَطَلَبَ ثُمَّ جَاءَ فَقَالَ:
مَا وَجَدْتُ شَيْئًا وَلاَ
خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ. فَقَالَ:
هَلْ مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ
شَيْءٌ؟ قَالَ: مَعِي سُورَةُ
كَذَا وَسُورَةُ كَذَا. قَالَ:
اذْهَبْ فَقَدْ أَنْكَحْتُكَهَا
بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ

Dari Sahl bin Sa’id As-Sai’di, ia
berkata: Sesungguhnya aku
berada pada suatu kaum di sisi
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam tiba-tiba berdirilah
seorang wanita seraya berkata:
“Wahai Rasulullah,
sesungguhnya dia telah
menghibahkan dirinya untukmu,
perhatikanlah dia, bagaimana
menurutmu.”1 Beliau pun diam
dan tidak menjawab sesuatupun.
Kemudian berdirilah wanita itu
dan berkata: “Wahai Rasulullah,
sesungguhnya dia telah
menghibahkan dirinya untukmu,
perhatikanlah dia, bagaimana
menurutmu.” Beliaupun diam
dan tidak menjawab sesuatupun.
Kemudian ia pun berdiri untuk
yang ketiga kalinya dan berkata:
“Sesungguhnya ia telah
menghibahkan dirinya untukmu,
perhatikan dia, bagaimana
menurutmu.” Kemudian
berdirilah seorang laki-laki dan
berkata: “Ya Rasulullah,
nikahkanlah saya dengannya.”
Beliaupun menjawab: “Apakah
kamu memiliki sesuatu?” Ia
berkata: “Tidak.” Kemudian
beliaupun berkata: “Pergilah dan
carilah (mahar) walaupun cincin
dari besi.” Kemudian iapun
mencarinya dan datang kembali
kepada Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam sambil berkata:
“Saya tidak mendapatkan
sesuatupun walaupun cincin dari
besi.” Maka Rasulullah bersabda:
“Apakah ada bersamamu
(hafalan) dari Al-Qur`an?” Ia
berkata: “Ada, saya hafal surat
ini dan itu.” Kemudian Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Pergilah, telah aku
nikahkan engkau dengan dia
dengan mahar berupa Al-
Qur`an yang ada padamu.”
Jalur Periwayatan Hadits
Hadits ini bermuara pada Abu
Hazim Salamah bin Dinar Al-
A’raj Al-Madani. Adapun para
rawi yang meriwayatkan dari
beliau yaitu Sufyan bin ‘Uyainah,
Malik bin Anas, Ya’qub bin
Abdurrahman, Hammad bin
Zaid, Abdul Aziz bin Muhammad
Ad-Darawardi, Za`idah bin
Qudamah Abu Ash-Shalt, Abdul
‘Aziz bin Abi Hazim Abu Tamam,
Abu Ghassan Al-Madani
Muhammad bin Mutharrif, dan
Fudhail bin Sulaiman An-
Numairi.
Makna dan Faedah Hadits
 Kalimat:

إِنِّي لَفِي الْقَوْمِ عِنْدَ
رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه
وسلم إِذْ قَامَتْ امْرَأَةٌ

“Sesungguhnya aku berada pada
suatu kaum di sisi Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba-
tiba berdirilah seorang wanita.”
Pada riwayat Fudhail bin
Sulaiman terdapat lafadz:

كُنَّا عِنْدَ النَّبِيِّ صلى
الله عليه وسلم جُلُوسًا
فَجَاءَتْهُ امْرَأَةٌ

Tatkala kami duduk-duduk di
sisi Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi
wa sallam, datanglah kepada
beliau seorang wanita.”
Pada riwayat Hisyam bin Sa’d
dengan lafadz:

بَيْنَمَا نَحْنُ عِنْدَ
النَّبِيِّ صلى الله عليه
وسلم أَتَتْ إِلَيْهِ امْرَأَةٌ

“Tatkala kami berada di sisi Nabi
Shallallâhu ‘alaihi wa sallam,
datanglah kepada beliau seorang
wanita. ”
Dan demikianlah keumuman
riwayat menggunakan lafadz
“Telah datang seorang wanita
kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam.”
Apabila dilihat secara zhahir,
riwayat ini bertentangan dengan
riwayat dari jalan Sufyan bin
‘Uyainah yang menggunakan
lafadz:

إِذْ قَامَتْ امْرَأَةٌ

Ketika berdiri seorang wanita.”
Yang mana, kemungkinan makna
قَامَتْ di sini adalah وَقَفَتْ,
artinya “berhenti berdiri
menghadap” maksudnya adalah
dia datang hingga berhenti
berdiri di tengah-tengah mereka,
bukan sebelumnya duduk di
majelis kemudian berdiri.
Dan pada riwayat Sufyan Ats-
Tsauri yang diriwayatkan oleh Al-
Isma’ili disebutkan:

جَاءَتِ امْرَأَةٌ إِلَى النَّبِيِّ
صلى الله عليه وسلم وَهُوَ
فِي الْمَسْجِدِ

“Telah datang seorang wanita
kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan beliau sedang
berada di masjid.”
Riwayat ini menerangkan tempat
kejadian kisah ini, yaitu di masjid.
Adapun nama wanita dalam
kisah ini, Al-Hafizh
rahimahullahu berkata: “Saya
belum menemukan siapa
namanya. Disebutkan dalam
kitab Al-Ahkam karya Ibnu Al-
Qasha’, wanita itu bernama
Khaulah bintu Hakim atau
Ummu Syarik radhiyallahu ‘anha.
Jika demikian, nama ini diperoleh
dari penukilan wanita yang
menawarkan dirinya kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang tersebut dalam tafsir
surat Al-Ahzab ayat 50:

وَامْرَأَةً مُؤْمِنَةً إِنْ وَهَبَتْ
نَفْسَهَا لِلنَّبِيِّ

“Dan perempuan beriman yang
menghibahkan dirinya kepada
Nabi.”
Dalam Kitab Tafsir, hadits no.
4788, Al-Hafizh Ibnu Hajar
rahimahullahu menyebutkan:
“Yang nampak, wanita yang
menghibahkan (menawarkan
diri) itu lebih dari satu orang.”
Namun beliau memastikan
bahwa wanita yang menawarkan
diri dalam hadits ‘Aisyah
radhiyallahu ‘anha adalah
Khaulah bintu Hakim
radhiyallahu ‘anha, meskipun
ada yang mengatakan ia adalah
Ummu Syarik atau Fathimah
bintu Syuraih. Ada juga yang
mengatakan bahwa dia adalah
Laila bintu Hathim atau Zainab
bintu Khuzaimah, dan dalam
riwayat yang lain Maimunah
bintul Harits. (Fathul Bari 8/646
dan 9/250)
 Kalimat:

فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ،
إِنَّهَا قَدْ وَهَبَتْ نَفْسَهَا
لَكَ

Ia berkata: ‘Sesungguhnya dia
telah menghibahkan dirinya
untukmu’.”
Dalam riwayat lain terdapat
lafadz:

فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ،
جِئْتُ أَهَبُ لَكَ نَفْسِي

“Ia berkata: ‘Ya Rasulullah, aku
datang untuk menghibahkan
diriku kepadamu’.”
Al-Imam An-Nawawi
rahimahullahu berkata:
“Diamnya Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam perkara
ini menjadi dalil atas bolehnya
seorang wanita menghibahkan
dirinya sebagai ganti atas mahar
dalam pernikahan. Hal ini
sebagaimana firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala:

وَامْرَأَةً مُؤْمِنَةً إِنْ وَهَبَتْ
نَفْسَهَا لِلنَّبِيِّ إِنْ
أَرَادَ النَّبِيُّ أَنْ
يَسْتَنْكِحَهَا خَالِصَةً
لَكَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ

“Dan perempuan beriman yang
menyerahkan dirinya kepada
Nabi, kalau Nabi mau
menikahinya, sebagai
pengkhususan bagimu, bukan
untuk semua orang
beriman.” (Al-Ahzab: 50)
Para sahabat kami (yakni
pengikut mazhab Syafi’iyah)
berkata bahwa ayat dan hadits
ini menjadi dalil dalam masalah
tersebut (penghibahan diri
seorang wanita). Maka, apabila
seorang wanita telah
menghibahkan dirinya untuk
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam kemudian beliau
menikahinya tanpa mahar, yang
demikian itu halal (sah) untuk
beliau. Tidak ada kewajiban sama
sekali atas beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam setelah itu
untuk membayar maharnya.
Berbeda dengan selain beliau,
karena pernikahannya tetap
diwajibkan untuk membayar
mahar sebagaimana telah
disebutkan.
Tentang perihal keabsahan akad
nikah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dengan lafadz ‘hibah’
terdapat dua pendapat:
- Ada yang mengatakan sah
sesuai dengan ayat dan hadits di
atas.
- Ada yang berpendapat tidak
sah, bahkan akad nikah tidak
sah kecuali dengan lafadz tazwij
atau inkah. Tidaklah sah akad
nikah, kecuali dengan salah satu
dari dua kalimat tersebut. (Al-
Minhaj, 9/215)
Al-Hafizh rahimahullahu berkata:
“ Pada lafadz penghibahan
terdapat dalil bahwasanya
menghibahkan diri dalam
pernikahan merupakan
kekhususan bagi Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal
ini berdasarkan ucapan para
sahabat ketika ingin menikahi
wanita yang telah menghibahkan
dirinya kepada Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam dengan
mengatakan: “Nikahkanlah saya
dengannya.” Mereka tidak
mengatakan: “Hibahkanlah dia
untuk saya.” Juga berdasarkan
ucapan wanita tersebut: “Aku
telah menghibahkan diriku
untukmu.” Dan beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak memberikan komentar atas
perkara itu. Hal ini menjadi bukti
tentang bolehnya perkara ini
khusus bagi beliau. Juga
didukung dengan ayat:
خَالِصَةً لَكَ مِنْ دُونِ
الْمُؤْمِنِينَ
“Sebagai pengkhususan bagimu,
bukan untuk semua orang
beriman.” (Al-Ahzab: 50)
[Fathul Bari, 9/254-255]
 Lafadz:
فَلَمْ يُجِبْهَا شَيْئًا
“Dan beliau tidak memberi
jawaban sesuatupun.”
Pada riwayat Ma’mar, Ats-Tsauri,
dan Za`idah menggunakan
lafadz:
فَصَمَتَ
“Beliau diam.”
Adapun pada riwayat Ya’qub,
Ibnu Abi Hazim, dan Hisyam bin
Sa’d dengan lafadz:
فَصَعَّدَ النَّظَرَ فِيهَا
وَصَوَّبَهُ
“Beliau melihat bagian atas dan
bawahnya.”
An-Nawawi rahimahullahu
berkata: فَصَعَّدَ bermakna
رَفَعَ artinya menengadahkan
pandangan (melihat bagian atas).
Adapun صَوَّبَهُ bermakna
خَفَضَ artinya menundukkan
(melihat bagian bawah). Setelah
itu beliau menundukkan kepala,
terdiam, dan tidak memberikan
jawaban. Dalam hal ini terdapat
dalil bolehnya melihat seorang
wanita yang akan dinikahi,
walaupun dengan memerhatikan
keadaan dirinya secara saksama.
 Lafadz:
فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ: يَا
رَسُولَ اللهِ أَنْكِحْنِيهَا
“Lalu berdiri seorang laki-laki
dan berkata: ‘Ya Rasulullah,
nikahkanlah saya dengannya’.”
Pada riwayat Fudhail bin
Sulaiman terdapat tambahan
“dari sahabat Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Al-Hafizh rahimahullahu berkata:
“ Saya tidak mengetahui siapa
nama sahabat tersebut. Namun
dalam riwayat Ma’mar dan Ats-
Tsauri yang diriwayatkan Al-
Imam Ath-Thabarani
rahimahullahu disebutkan:
“Berdirilah seorang laki-laki, saya
kira dia dari kaum Anshar.”
Adapun pada riwayat Za`idah:
“Telah berdiri seorang laki-laki
dari kaum Anshar dan ia
berkata: ‘Ya Rasulullah,
nikahkanlah saya dengannya’.”
Pada riwayat Malik
rahimahullahu dengan lafadz:
زَوِّجْنِيهَا إِنْ لَمْ تَكُنْ
لَكَ بِهَا حَاجَةٌ
“Nikahkanlah saya dengannya
jika engkau tidak berkeinginan
terhadapnya.”
 Lafadz:
قَالَ: هَلْ عِنْدَكَ مِنْ شَيْءٍ
“Beliau berkata: ‘Apakah engkau
memiliki sesuatu?’.”
Dalam riwayat Malik terdapat
tambahan: “Sesuatu yang dapat
kamu (berikan) kepadanya
sebagai mahar?” Iapun
menjawab: “Tidak.”
Dalam riwayat Ya’qub dan Ibnu
Abi Hazim: Ia menjawab: “Tidak,
demi Allah, wahai Rasulullah.”
Sedangkan pada riwayat Hisyam
bin Sa’d dengan lafadz:
“Rasulullah berkata: ‘Harus ada
sesuatu (mahar) untuknya’.”
Dalam hadits Ibnu ‘Abbas
radhiyallahu ‘anhuma disebutkan
bahwa seorang laki-laki berkata:
“Jika seorang wanita ridha
dengan saya, nikahkanlah saya
dengannya.” Maka Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun
bertanya: “Apa maharnya?” Ia
menjawab: “Saya tidak punya
sesuatupun.” Beliau berkata:
“Carilah mahar untuknya, sedikit
atau banyak.” Ia berkata: “Demi
Dzat yang mengutusmu dengan
kebenaran, saya tidak punya
apa-apa.”
 Lafadz:

اذْهَبْ فَاطْلُبْ وَلَوْ
خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ

“Pergi dan carilah, walaupun
sebuah cincin dari besi.”
An-Nawawi rahimahullahu
berkata: “Di sini terdapat dalil
bahwa nikah tidak sah kecuali
dengan adanya mahar. Karena
hal ini merupakan jalan keluar
dari perselisihan, lebih
bermanfaat bagi wanita dari sisi
andaikata terjadi perceraian
sebelum ia menggaulinya, wajib
atasnya separuh dari mahar yang
telah disebutkan. Kalaupun
dilakukan akad nikah tanpa
mahar, maka sah nikahnya,
sebagaimana firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala:

لاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ
طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ
تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا
لَهُنَّ فَرِيضَةً

“Tidak ada kewajiban membayar
(mahar) atas kamu, jika kamu
menceraikan istri-istrimu sebelum
kamu bercampur dengan
mereka dan sebelum kamu
menentukan maharnya.” (Al-
Baqarah: 236)
Pada lafadz ini terdapat dalil
tentang bolehnya mahar itu
sedikit atau banyak dari sesuatu
yang berupa harta jika terjadi
keridhaan pada kedua belah
pihak. Karena cincin besi
menunjukkan harta yang paling
sedikit. Dan inilah pendapat
mayoritas ulama dahulu dan
sekarang, sebagaimana
dinyatakan oleh Rabi’ah, Abu
Zinad, Ibnu Abi Zaid, Yahya bin
Sa’id, Laits bin Sa’d, Ats-Tsauri,
Al-Auza’i, Muslim bin Khalid Az-
Zanji, Ibnu Abi Laila, Dawud, dan
ahli fiqih dari kalangan ahlul
hadits serta Ibnu Wahab.
Al-Qadhi rahimahullahu berkata:
“Inilah mazhab atau pendapat
seluruh ulama penduduk Hijaz,
Bashrah, Kufah, Syam dan selain
mereka, bahwa boleh bentuk
mahar apapun selama
dengannya terjadi keridhaan dari
kedua belah pihak, walaupun
sedikit. Seperti cambuk/cemeti,
sandal, cincin besi, dan
semisalnya.”
Al-Imam Malik rahimahullahu
berkata: “Paling sedikit
seperempat dinar seperti batasan
hukuman bagi orang yang
mencuri.” Al-Qadhi Iyadh
rahimahullahu berkata:
“Pendapat ini termasuk
pendapat yang Al-Imam Malik
rahimahullahu menyendiri
padanya.”
Abu Hanifah rahimahullahu dan
pengikutnya berkata: “Sedikitnya
sepuluh dirham.” Ibnu
Syubrumah rahimahullahu
berkata: “Paling sedikit lima
dirham, seperti batasan
dipotongnya tangan bagi
seorang yang mencuri.”
Dalam perkara pernikahan, An-
Nakha’i rahimahullahu tidak
menyukai mahar yang kurang
dari 42 dirham. Terkadang beliau
mengatakan kurang dari sepuluh
(dirham).
Semua pendapat ini selain
pendapat jumhur, merupakan
pendapat yang menyelisihi As-
Sunnah. Pendapat mereka
terbantah dengan hadits yang
shahih serta jelas ini.
Dalam hadits ini juga terdapat
dalil atas pendapat yang
menyatakan bolehnya memakai
cincin dari besi walaupun di
dalamnya terdapat perselisihan
di kalangan ulama salaf,
sebagaimana yang dihikayatkan
oleh Al-Qadhi rahimahullahu. Di
kalangan Syafi’iyah ada dua
pendapat, dan yang paling benar
dari keduanya adalah pendapat
yang membolehkan, karena
hadits yang melarang dalam hal
ini lemah.
Juga disunnahkan untuk
menyegerakan dalam
menyerahkan mahar kepada
calon istri.
 Lafadz:

هَلْ مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ
شَيْءٌ؟ قَالَ: مَعِي سُورَةُ
كَذَا وَسُورَةُ كَذَا

“Apakah ada bersamamu
(hafalan) dari Al-Qur`an?” Ia
berkata: “Ada, saya hafal surat
ini dan itu.”
Dalam riwayat Sunan Abu
Dawud dan An-Nasa`i dari
hadits Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu disebutkan, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bertanya: “Apa yang kamu hafal
dari Al-Qur`an?” Sahabat itu
pun menjawab: “Surat Al-
Baqarah dan yang berikutnya.”
Dalam hadits Ibnu ‘Abbas
radhiyallahu ‘anhuma dengan
lafadz: “Aku nikahkan dia
denganmu dengan engkau
ajarkan kepadanya empat atau
lima surat dari Kitabullah
(sebagai maharnya).”
 Lafadz:
اذْهَبْ فَقَدْ أَنْكَحْتُكَهَا
بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ
“Pergilah, telah aku nikahkan
engkau dengannya dengan
mahar apa yang ada padamu
dari Al-Qur`an.”
Pada riwayat dari jalan Al-Imam
Malik rahimahullahu terdapat
lafadz:
قَدْ زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ
مِنَ الْقُرْآنِ
“Sungguh aku nikahkan engkau
dengannya dengan (mahar) Al-
Qur`an yang ada padamu.”
Demikian pula pada riwayat Ats-
Tsauri yang diriwayatkan Ibnu
Majah rahimahullahu dengan
lafadz:
قَدْ زَوَّجْتُكَهَا عَلَى مَا
مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ
“Sungguh aku nikahkan engkau
dengannya atas (mahar) Al-
Qur`an yang ada padamu.”
Pada riwayat Ats-Tsauri dan
Ma’mar yang diriwayatkan Ath-
Thabarani rahimahullahu dengan
lafadz:
قَدْ مَلَكْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ
مِنَ الْقُرْآنِ
“Sungguh aku jadikan engkau
memilikinya dengan (mahar) Al-
Qur`an yang ada padamu.”
Sebagian ulama (Abu Bakr Ar-
Razi dari kalangan Hanafiyah
dan Ar-Rafi’i dari kalangan
Syafi’iyah) menjadikan hadits ini
sebagai dalil bahwa barangsiapa
yang berkata: “Nikahkanlah aku
dengan fulanah,” kemudian
dikatakan kepadanya:
زَوَّجْتُكَهَا بِكَذَا
“Telah aku nikahkan engkau
dengannya dengan mahar
demikian dan demikian.” Maka
telah cukup yang demikian itu
dan calon suami tidak butuh
untuk mengatakan: قَبِلْتُ
(Aku terima).
Sebagian yang lain menjadikan
dalil bolehnya menikahkan dan
sah dengan lafadz selain tazwij
atau inkah berdasarkan lafadz
hadits مَلكْتُكَهَا.
Al-Hafizh rahimahullahu berkata:
“ Meski terdapat sekian lafadz,
namun yang nampak bahwa
yang diucapkan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah salah satu dari yang ada.
Maka yang benar dalam masalah
yang seperti ini adalah
memandang kepada yang
terkuat. Dan telah dinukil dari
Al-Imam Ad-Daraquthni
rahimahullahu, bahwa yang
benar adalah riwayat yang
menyebutkan dengan lafadz:
زَوَّجْتُكَهَا karena mereka
lebih banyak dan lebih kuat
hafalannya.
Ibnul Jauzi rahimahullahu
mengkritik bahwa riwayat Abu
Ghassan dengan lafadz
أَنْكَحْتُكَهَا dan riwayat yang
lainnya dengan lafadz
زَوَّجْتُكَهَا tidaklah
diriwayatkan kecuali dari tiga
orang saja. Mereka adalah
Ma’mar, Ya’qub, dan Ibnu Abi
Hazim. Beliau berkata: “Ma’mar
banyak kesalahan dan dua yang
lainnya (Ya’qub dan Ibnu Abi
Hazim) bukanlah orang yang
kuat hafalannya.”
Berkata Al-Hafizh rahimahullahu:
“ Apa yang dituturkan Ibnul Jauzi
rahimahullahu berupa kritikan
atas tiga orang rawi tadi
terbantah. Lebih-lebih Abdul
Aziz bin Abi Hazim, riwayatnya
dikuatkan karena beliau
meriwayatkan dari orangtuanya.
Seseorang yang meriwayatkan
dari keluarganya, lebih tahu
tentang riwayat tersebut
dibandingkan orang lain. Kami
telah memilih orang-orang yang
meriwayatkan dengan lafadz
تَزْوِيج dibandingkan yang
meriwayatkan dengan lafadz
selain tadi. Lebih-lebih di
dalamnya terdapat riwayat para
hafizh seperti Al-Imam Malik
rahimahullahu, Sufyan bin
Uyainah rahimahullahu, dan
yang semisal mereka, dengan
lafadz أَنْكَحْتُكَهَا.
Ibnu Tin rahimahullahu berkata:
“Ahlul hadits telah sepakat
bahwa yang benar dalam hal ini
adalah riwayat yang
menggunakan lafadz
زَوَّجْتُكَهَا. Adapun riwayat
yang menggunakan lafadz
مَلكْتُكَهَا adalah meragukan
atau bimbang (وَهْمٌ).
Faedah dari Hadits
Di antara faedah lain yang dapat
diambil dari hadits di atas:
 Bolehnya seorang wanita
menawarkan diri kepada seorang
laki-laki yang shalih agar ia (laki-
laki itu) menikahinya.
 Disunnahkan bagi seorang
wanita yang meminta dari
seorang laki-laki (untuk
menikahinya) namun tidak
memungkinkan bagi laki-laki
tersebut untuk memenuhinya,
hendaknya seorang wanita dapat
menahan diri (diam) dengan
diam yang dapat dipahami oleh
seorang yang dimintai hajat.
Janganlah membuat laki-laki
tersebut malu dari menolak.
Tidak sepantasnya dalam
meminta disertai dengan terus-
menerus mendesak. Termasuk
dalam hal ini yaitu meminta
dalam urusan dunia dan agama
dari seorang ahli ilmu. (Seperti
seseorang bertanya kepada
ulama setelah selesai
menuturkan soal kemudian
ulama tersebut diam, maka tidak
sepantasnya untuk meminta
dengan terus mendesak agar
diberikan jawaban, -pen)
 Tidak ada batasan dalam
mahar tentang sedikit atau
banyaknya.
 Bolehnya menjadikan hafalan
Al-Qur`an sebagai mahar
dengan cara mengajarkan
kepada istrinya.
 Sekufu dalam pernikahan
adalah dalam hal status diri
apakah ia budak atau merdeka,
dalam agama, nasab, dan bukan
dalam hal harta. Karena dalam
hadits di atas, laki-laki tadi tidak
memiliki harta yang ia jadikan
sebagai mahar kecuali hafalan
Al-Qur`an yang ada padanya.
(lihat Fathul Bari 8/250-262, Al-
Minhaj, 9/215-217)
 Sebaik-baik mahar dalam
pernikahan ialah yang sedikit
bebannya kepada suami
berdasarkan hadits ‘Uqbah bin
‘Amir radhiyallahu ‘anhu:
خَيْرُ النِّكَاحِ أَيْسَرُهُ
“Sebaik-baik nikah ialah yang
paling mudah
(maharnya).” (Shahih Abu
Dawud, no. 2117, Taudhihul
Ahkam, 5/311)
Wallahu a‘lam.
1 Dalam riwayat Malik:
“Sesungguhnya saya
menghibahkan diri saya
untukmu.” Namun di sini
menggunakan kata ganti orang
ketiga “dia”. Ini disebut dengan
uslub iltifat. (lihat Al-Fath, 9/206)
-ed
(Sumber: Majalah Asy Syariah,
Vol. IV/No. 39/1429H/2008,
kategori: Hadits, hal. 35-40.
Dicopy dari http://
www.asysyariah.com/print.php?
id_online=642)

www.akhwat.web.id/muslimah-salafiyah/munakahat-keluarga/hafalan-al-quran-menjadi-mahar-dalam-pernikahan/
Read more..