Merupakan sunnatullah setiap
tujuan akan terwujud dengan ijin
Allah setelah ditunaikannya
sebab atau perantara yang biasa
disebut wasilah. Baik wasilah
yang memang Allah ciptakan
secara tabiat dan fitrah yang
dinamakan wasilah kauniyah,
maupun wasilah yang Allah
syariatkan di dalam Al Qur ’an
maupun As Sunnah yang disebut
wasilah syar ’iyah. Hanya saja
wasilah kauniyah sangat mungkin
diwujudkan seorang mu ’min
ataupun kafir, seperti makan
untuk kenyang, pakaian untuk
menjaga diri dari rasa dingin atau
panas dan seterusnya. Adapun
wasilah syar ’iyah hanyalah
muncul dari seorang mukmin
saja. Macam kedua inilah yang
menjadi topik bahasan kita kali
ini.
Allah sendiri telah menetapkan
adanya wasilah bagi seorang
mukmin untuk mendekatkan diri
kepada-Nya:
يَأيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوْا
اتَقُوا اللهَ وَ ابْتَغُوا
إِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ
Wahai orang-orang yang
beriman, bertakwalah kepada
Allah dan carilah wasilah yang
mendekatkan diri kepada-Nya.
(Al Maidah : 35)
Al Hafizh Ibnu Katsir
rahimahullah menukilkan
tafsiran Ibnu Abbas, Mujahid,
Abu Wa ’il dan selain mereka dari
kalangan ulama tafsir bahwa
yang dimaksud wasilah di dalam
ayat tersebut adalah suatu
perkara yang bisa mendekatkan
diri kepada Allah.
Lebih daripada itu Allah juga
menetapkan perkara-perkara
yang bisa dijadikan sebagai
wasilah untuk mendekatkan diri
kepada-Nya. Allah tidak
menyerahkan begitu saja kepada
hamba-hamba-Nya untuk
menentukan perkara tersebut.
Satu-satunya kaidah untuk
mengetahui bahwa suatu
perkara itu bisa mendekatkan
diri kepada Allah hanyalah
dengan melihat keterangan dari
Allah dan Rasul-Nya di dalam Al
Qur ’an ataupun As Sunnah.
Tidak diperkenankan bagi
siapapun, setinggi apapun
derajat dia untuk
menentukannya dengan akal
pikiran, semangat ibadah,
perasaan ataupun pengalaman
religius semata. Tidaklah apa
yang datang selain dari Allah
dan Rasul-Nya melainkan pasti
akan timbul pertentangan dan
ikhtilaf. Allah berfirman:
أَفَلاَ يَتَدَبَّرُونَ
الْقُرْآنَ وَلَو كَانَ مِنْ عِنْدِ
غَيْرِ اللهِ لَوَجَدُوا فِيْهِ
اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا
Apakah mereka tidak
memperhatikan Al Qur’an?
Kalau kiranya Al Qur’an itu
bukan datang dari sisi Allah
tentulah mereka mendapati
pertentangan yang banyak di
dalamnya ”. (An Nisaa’ : 82)
Tentang Rasul-Nya pun Allah
beritakan:
وَ مَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ
هُوَ إِلاَّ وَحيٌ يُوْحَى
Dan tidaklah yang
diucapkannya itu menurut
kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tidak lain
hanyalah wahyu yang
diwahyukan (kepadanya )”. (An
Najm: 3)
Kaidah yang sangat penting ini
hendaklah selalu dipegang oleh
setiap muslim, yang bila dia
menjalankan wasilah tersebut
maka dia telah menunaikan
sebuah amalan yang disebut
tawasul. Kaidah ini semakin
tampak jelas pentingnya tatkala
tujuan tawasul itu sendiri adalah
mendekatkan diri kepada Allah ,
berharap untuk mendapatkan
balasan kebaikan, keridhoan,
jannah-Nya dan dikabulkan do’a
oleh-Nya . Nah, mustahil sekali
seseorang dapat mengetahui
perkara tertentu sebagai wasilah
untuk mendapatkan kemulian
yang agung disisi-Nya melainkan
hanya dari Allah yang Maha
Tahu dan Maha Kuasa atas
segala apa yang ada di sisi-Nya.
Asy Syaikh Al Muhaddits
Muhammad Nashiruddin Al
Albani rahimahullah di dalam
“ At Tawassul Anwa’uhu wa
Ahkamuhu” hal. 30 telah
memberikan peringatan penting
kepada kita berkaitan tentang
kaidah ini. Beliau berkata: “Dan
diantara hal yang perlu
diperhatikan: Bahwa apa yang
telah ditentukan untuk dapat
menjadi wasilah kauniyah
cukuplah dengan tidak adanya
larangan dari syari ’at. Adapun
wasilah syar’iyah tidaklah cukup
untuk ditentukan dengan tidak
adanya larangan dari syariat
sebagaimana yang dipahami
banyak manusia. Akan tetapi
wasilah syar ’iyah harus
ditentukan dengan keterangan
syar ’i tentang masyru’ dan
sunnahnya wasilah tersebut.
Kemudian beliau membawakan
ucapan Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah yang merupakan
kaidah fiqhiyah terkenal:
الأَصْلُ فِي الْعِبَادَاتِ
المَنْعُ إِلاَّ لِنَصٍّ وَفي
الْعَادَاتِِ الإِبَاحَةُ إِلاَّ
لِنَصٍّ
Hukum asal ibadah itu dilarang
kecuali kalau ada nash (dalil)
yang membolehkannya. Adapun
hukum asal adat kebiasaan itu
adalah diperbolehkan kecuali
kalau ada nash yang
melarangnya ”.
Maka ingatlah peringatan ini
karena sangat penting untuk
membantumu dalam mencari
kebenaran yang diperselisihkan
manusia ”.
Asy Syaikh Ibnu Utsaimin
rahimahullah di dalam “Al
Qoulul Mufid” 1/162-163
memberikan kelengkapan kaidah
tadi yang tidak kalah pentingnya
bahwa penentuan sesuatu
sebagai sebab (wasilah) yang
sebenarnya bukan sebab yang
Allah tentukan baik secara
kauniyah maupun syar’iyah
merupakan syirik kecil yang tidak
menutup kemungkinan untuk
kemudian terjerembab kedalam
syirik besar. Wal ‘Iyadzu billah.
Perkara-perkara yang Allah dan
Rasul-Nya telah tentukan sebagai
wasilah yang seseorang diijinkan
untuk bertawasul dengannya
adalah sebagai berikut:
1. Tawasul kepada Allah dengan
nama-nama Allah yang baik dan
sifat-sifat-Nya yang tinggi. Hal ini
Allah tegaskan dalam firman-
Nya:
وَ ِللهِ الأَسْمَاءُ الْحُسْنَى
فَادْعُوْه بِهَا
Dan hanya milik Allah nama-
nama yang baik. Maka
berdo ’alah kalian dengan
(wasilah) nama-nama tersebut”.
(Al A’raaf : 180)
Asy Syaikh Abdurrahaman As
Sa ’di rahimahullah menafsirklan
ayat ini dengan ucapan beliau:
“ Dan diantara kesempurnaan
nama-nama Allah yang baik
tersebut adalah tidaklah Dia
diseru melainkan dengan
(wasilah) nama-nama-Nya dan
seruan (do ’a) tersebut mencakup
do’a ibadah dan do’a
permintaan. Dia diseru di dalam
setiap permintaan dengan nama
yang sesuai dengan permintaan
tersebut. Contohnya seseorang
berdo ’a: “Ya Allah ampunilah
aku dan rahmatilah aku.
Sesungguhnya Engkau Maha
Pengampun dan Maha
Penyayang. Terimalah taubatku
wahai Dzat yang Maha Memberi
taubat. Berilah aku rizki wahai
Dzat yang Maha Memberi rizki.
Berilah kelembutan padaku
wahai Dzat yang Maha Lembut
dan lain-lain ”.
Tidaklah diragukan bahwa sifat-
sifat Allah yang tinggi juga
termasuk di dalam wasilah
tersebut karena nama-nama-Nya
yang baik sekaligus mengandung
sifat-sifat bagi-Nya. Terlebih lagi
Rasululullah amalkan di dalam
do ’anya yang shohih:
اللهُمَّ بِعِلمِكَ الْغَيْبَ وَ
قُدْرَتِكَ على الْخَلْقِ
أَحْيِنِي مَا عَلِمْتَ الحَيَاةَ
خَيْرًا لي وَتَوَفَّنِي إَذَا
كَانَتِ الوَفَاةُ خَيْرًا لي
Ya Allah dengan ilmu-Mu
tentang yang ghaib dan
kekuasaan-Mu terhadap
makhluk-Mu, hidupkanlah aku
yang Engkau telah ketahui
bahwa hidup itu lebih baik
bagiku dan matikanlah aku jika
kematian itu lebih baik bagiku”.
( H.R An Nasa’i dan Al Hakim
serta dishohihkan Asy Syaikh Al
Albani di dalam “Shohih An
Nasa’i no. 1304).
Disini beliau bertawasul kepada
Allah dengan wasilah dua sifat-
Nya yaitu “Al Ilmu” dan “Al
Qudrah” (kekuasaan).
2. Tawasul dengan amalan sholih
yang pernah dilakukan
seseorang yang bertawasul
tersebut.
Jenis tawasul ini didasarkan
sebuah hadits Muttafaqun ‘Alaihi
dari Abdullah bin Umar ?
tentang tiga orang dari kaum
terdahulu yang terperangkap di
sebuah gua karena tertutup batu
besar. Salah satu diantara
mereka bertawasul dengan
amalan berbakti kepada kedua
orang tuanya. Yang kedua
bertawasul dengan terjaganya
kehormatan dia dari perbuatan
zina dan yang ketiga bertawasul
dengan penunaian amanahnya.
Hal itu mereka lakukan agar
Allah menggeser batu tersebut.
Akhirnya pun Allah kabulkan
do ’a mereka. Rasulullah
mengkisahkan cerita panjang
tentang ketiga orang tersebut
diantaranya dalam rangka
menetapkan dan memuji tawasul
yang mereka lakukan walaupun
hal itu terjadi pada masa
sebelum diturunkannya syariat
beliau .
3. Tawasul dengan keimanan
kepada Allah dan Rasul-Nya.
Allah tetapkan perkara ini di
dalam firman-Nya:
رَبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا
مُنَادَيًا يُنَادِي لِلإِيْمَانِ
أَنْ آمِنُوْا بِرَبِّكُمْ
فَآمَنَّا رَبَّنَا
فَاغْفِرْلَنَا ذُنُوْبَنَا وَ
كَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَ
تَوَفَّنَا مَعَ الأَبْرَارِ
Wahai Rabb kami sesungguhnya
kami telah mendengar seruan
orang yang menyeru
(Muhammad ) kepada keimanan
yaitu: “Berimanlah kalian kepada
Rabb kalian”. Maka kami pun
beriman. Wahai Rabb kami
ampunilah dosa-dosa kami,
hapuskanlah kesalahan-
kesalahan kami dan wafatkanlah
kami bersama orang-orang yang
baik ”. (Ali Imran : 193)
Maka lihatlah mereka
menyebutkan keimanan terlebih
dahulu sebelum berdo ’a !
Bahkan iman dan amalan sholih
sendiri merupakan sebab
dikabulkannya sebuah do ’a
sebagaimana firman Allah:
وَيَسْتَجِيْبُ الَّذِيْنَ
آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
وِيَزِدْهُمْ من فَضْلِهِ
Dan Dia memperkenankan do’a
orang-orang yang beriman dan
beramal sholih serta menambah
balasan kebaikan kepada
mereka dari keutamaan-Nya ”.
(Asy Syura :26). Demikian
keterangan Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah di dalam “Al Qo’idah Al
Jalilah” hal. 97 dan 241.
4. Tawasul dengan menyebutkan
keadaannya yang sangat
membutuhkan sesuatu kepada
Allah .
Do ’a Nabi Zakariya ? yang Allah
kisahkan di dalam firman-Nya
menunjukkan bolehnya perkara
ini. Dia berfirman:
قَالَ رَبِّ إِنِّي وَهَنَ
الْعَظْمُ مِنِّي وَاشْتَعَلَ
الرَّأْسُ شَيْبًا وَلَمْ أَكُنْ
بِدُعَائِكَ رَبِّ شَقِيًّا
Wahai Rabbku sesungguhnya
tulangku telah melemah,
rambutku telah ditumbuhi uban
dan aku belum pernah kecewa
dalam berdo ’a kepada-Mu,
wahai Rabbku”. (Maryam : 4)
Kemudian beliau pun meminta
kepada Allah untuk dianugerahi
seorang putera yang sholih. Dan
Allah pun mengabulkannya.
5. Tawasul dengan do ’a orang
yang sholih kepada Allah .
Tawasul jenis ini pernah
dipraktekkan baik di jaman Nabi
masih hidup maupun setelah
sepeninggal beliau . Di dalam
riwayat Muttafaqun ‘Alaihi dari
hadits Anas bin Malik ?
menceritakan tentang tawasul
orang Arab Badui dengan do ’a
Nabi agar Allah menurunkan
hujan ketika terjadi kekeringan
dan menahan hujan ketika
terjadi banjir. Maka Allah
mengabulkan do ’a beliau .
Demikian juga apa yang
diriwayatkan Al Bukhori di dalam
“ Shohih”-nya dari Umar bin Al
Khoththob ? bahwa beliau
pernah bertawasul dengan do’a
Abbas bin Abdul Muththolib ?
agar Allah menurunkan hujan.
Di dalam tawasul jenis kelima ini
terdapat satu kaidah yang sangat
penting bahwa yang dijadikan
sebagai wasilah adalah do ’a
seorang yang sholih. Sehingga
kalaupun orang sholih tersebut
tidak memanjatkan do ’anya atau
mendo’akan sesuatu yang tidak
mungkin dikabulkan maka
tentunya tidaklah mungkin untuk
ditunaikan tawasul jenis ini.
Walillahil Hamdu.
Penyebutan macam-macam
tawasul yang diperbolehkan
secara syariat ini apabila
dipadukan dengan kaidah bahwa
penentuan tawasul syar ’iyah itu
hanya dengan keterangan Al
Qur ’an dan As Sunnah maka
mengeluarkan segala bentuk
tawasul yang tidak termasuk di
dalamnya, walaupun dengan
berbagai dalih dan alasan.
Asy Syaikh Al Albani
rahimahullah di dalam “At
Tawasul” hal. 50 memberi
nasehat mulia kepada kita
dengan ucapannya: “Dan
diantara perkara yang sangat
aneh, engkau melihat mereka
(orang-orang yang bertawasul
dengan wasilah yang tidak
disyari ’atkan) itu berpaling dari
macam-macam tawasul yang
disyariatkan. Hampir-hampir
mereka tidak lagi melakukan
satupun darinya di dalam do’a
ataupun tatkala membimbing
manusia untuk melakukan
tawasul. Padahal itu telah
ditetapkan di dalam Al Qur ’an,
As Sunnah dan kesepakatan
umat ini. Engkau melihat mereka
menggantinya untuk kemudian
sengaja membuat do ’a-do’a dan
tawasul-tawasul sendiri yang
tidak pernah disyariatkan Allah .
Tidak pula pernah dipraktekkan
Rasulullah dan ternukilkan dari
pendahulu umat ini dari
kalangan tiga generasi terbaik.
Minimal yang mereka katakan
bahwa tawasul yang diluar
tawasul syar ’i itu diperselisihkan
hukumnya oleh para ulama.
Maka betapa pantas keadaan
mereka dengan firman-Nya :
أَتَسْتَبْدِلُوْنَ الَّذِي هُوَ
أَدْنَى بِالَّذِي هُوَ خَيْرٌ
Maukah kamu mengambil
sesuatu yang rendah sebagai
pengganti yang lebih baik ?”.(Al
Baqarah : 61)
Dan nampaknya pemandangan
amaliah mereka memperkuat
kebenaran ucapan seorang
tabi ’in yang mulia Hassan bin
Athiyyah Al Muhasibi
rahimahullah tatkala berkata:
“ Tidaklah suatu kaum membuat
kebid’ahan di dalam agama
mereka kecuali Allah cabut
sunnah setimpal dengan
perbuatan bid ’ah itu. Kemudian
Allah tidak mengembalikannya
kepada mereka sampai hari
kiamat ”. (Diriwayatkan Ad Darimi
1/45 dengan sanad shohih)”.
Beliau pun juga mengajak kita
untuk berpikir jernih tentang
permasalahan besar itu di dalam
“ Silsilah Adh Dha’ifah” 1/94.
Beliau berkata: “Kalaulah
tawasul bid’ah itu dianggap tidak
keluar dari lingkup khilafiyah,
maka jika manusia mau bersikap
adil pastilah mereka akan
berpaling darinya dalam rangka
hati-hati dan mengamalkan
ucapan beliau:
دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إلَي مَالاَ
يَرِيْبُكَ
Tinggalkan apa yang
meragukanmu kepada apa yang
tidak meragukanmu ”.
Untuk kemudian engkau
beramal dengan apa yang kami
isyaratkan dari bentuk-bentuk
tawasul yang disyariatkan.
Namun ternyata mereka – ironis
sekali – berpaling dari perkara
ini. Lalu berpegang teguh
dengan tawasul yang
diperselisihkan tadi seakan-akan
tawasul bid ’ah tersebut sebagai
suatu keharusan yang mereka
tekuni sebagaimana halnya
perkara yang wajib !”.
Setelah itu kita pun harus
mengerti bagaimana bentuk
tawasul bid ’ah yang sebenarnya
telah diperingatkan para ulama
sebelum munculnya nama besar
Asy Syaikh Al Albani
rahimahullah sekalipun !.
Bentuk tawasul bid ’ah yang
sering diterangkan para ulama di
dalam banyak karya mereka
adalah seperti apa yang Allah
tegaskan di dalam firman-Nya:
مَا نَعْبُدُهُمْ إِلاَّ
لِيُقَرِّبُونَا إِلي اللهِ
زُلْفَى
Tidaklah kami (orang-orang
musyrik) beribadah kepada
mereka (orang-orang sholih)
melainkan agar mereka
mendekatkan diri kami kepada
Allah dengan sedekat-dekatnya”.
(Az Zumar: 3)
Hakekat bentuk tawasul mereka
ini adalah menjadikan dzat dan
kedudukan orang-orang sholih
sebagai wasilah untuk
mendekatkan diri kepada Allah
ataupun wasilah untuk
dikabulkannya suatu do’a. Hanya
saja Asy Syaikh Sholih bin Fauzan
bin Abdillah Al Fauzan
hafizhohullah di dalam “Al
Muntaqo” dari fatwa beliau 1/89
memberikan rincian yang bagus
tentang bentuk tawasul bid ’ah ini
yang masing-masingnya memiliki
hukum yang berbeda. Beliau
berkata: “Kemudian bila dia
(orang yang bertawasul bid’ah
yang masih beriman kepada
rububiyah Allah ) ini bertaqarrub
kepada orang-orang sholih
dengan sesuatu dari bentuk-
bentuk ibadah seperti
menyembelih untuk wali-wali
atau orang sholih, nadzar untuk
mereka, meminta hajat dari
orang-orang mati dan
beristighotsah kepada mereka
maka ini adalah syirik besar yang
mengeluarkan dia dari agama.
Namun apabila dia bertawasul
dengan orang-orang sholih
karena kedudukan mereka yang
tinggi di sisi Allah tanpa
memberikan satupun bentuk
ibadah kepada mereka maka ini
termasuk bid’ah yang
diharamkan dan perantara
untuk sampai kepada syirik”.
Alasan mereka (orang-orang
musyrik) berbuat demikian
karena memandang orang-orang
sholih memiliki ilmu dan ibadah
sehingga berkedudukan tinggi di
sisi Allah . Kemudian mereka
mengkiaskan keadaan Allah
dengan seorang raja di dunia.
Seorang raja tidak mungkin
ditemui rakyatnya melainkan
melalui para pembantunya.
Demikian juga tidak mungkin
mereka mendekatkan diri
kepada-Nya dan dikabulkannya
sebuah do ’a melainkan harus
melalui orang-orang sholih tadi.
Subhanallah ! Tidaklah mereka
sadar bahwa alasan dan dalil
yang mereka bawakan itu
sebenarnya sebuah celaan
kepada Allah . Kias yang mereka
kemukakan merupakan sejahat-
jahat kias yang mengandung
unsur penyamaan Allah yang
Maha Kuasa dengan makhluk
yang sarat dengan berbagai
kelemahan. Padahal seorang
yang memilki mata hati yang
paling lemah pun masih
mengerti adanya perbedaan
yang sangat terang antara
keadaan Rabbul ‘Alamin dengan
segenap alam semesta ini.
Diantara perbedaan yang
mencolok sekali antara seorang
raja di dunia dengan Allah
bahwasanya seorang raja
memang tidak mungkin
memenuhi segala keinginan
rakyatnya karena
kemampuannya yang sangat
terbatas. Sedangkan Allah Maha
Kuasa untuk memenuhi
kebutuhan setiap makhluk yang
ada di alam semesta ini dan Dia
pun Maha Tidak Butuh kepada
segenap makhluk-Nya. Walillahil
Hamdu.
Ironis memang tatkala kita
melihat dan menengok
kenyataan bahwa bentuk dan
alasan mereka bertawasul
ternyata diwarisi para generasi
yang mengaku paling mengerti
tentang agama ini di jaman
sekarang. Bahkan mereka telah
melengkapi alasan dan dalih
rusak nenek moyang mereka
terdahulu dengan dalih dan
alasan terbaru ataupun sekedar
“ menghias” keyakinan dan
aqidah jahiliyyah masa silam.
Mereka menjadikan tawasul
bid ’ah ini sebagai bagian yang
tidak terpisahkan dari do’a dan
dzikir mereka setiap hari. Kita
pun sering mendengar dan
melihat mereka berkata:
( بِجَاهِ مُحَمَّدٍ … ) atau
( بِبَرَكَةِ الشيخ عَبْدِ
الْقَادِرِ الجَيْلاني …)
sebelum berdo’a kepada Allah
dan seterusnya di masjid-masjid
Allah.
Mereka pun tidak sekedar
mengamalkan tawasul bid ’ah
namun lebih daripada itu
mendidik, mendakwahkan dan
menulis karya-karya yang tidak
mustahil akan dibaca di setiap
tempat dan jaman. Wallahul
Musta ’an.
Seandainya mereka
mendatangkan sejuta alasan
dengan sejuta pula tingkat
“ keilmiahan” dari alasan-alasan
sebelumnya, atau sekokoh dan
setinggi apapun bangunan
syubuhat yang mereka tegakkan
maka terpatahkanlah alasan dan
hancur pula bangunan tersebut
secara serempak tatkala
menghadapi tegaknya kaidah
yang telah kita miliki, sebelum
kita datangkan jawaban dari
tiap-tiap alasan tersebut secara
terperinci. Allah berfirman:
وَلاَ يَأْتُوْنَكَ بِمَثَلٍ إلاَّ
جِئْنَاكَ بِالْحّقِّ وَأَحْسَنَ
تَفْسِيْرًا
“ Dan tidaklah mereka
mendatangkan sesuatu yang
janggal melainkan Kami
mendatangkan kepadamu
sesuatu yang benar dan yang
paling baik penjelasannya ”. (Al
Furqan : 33)
Tanya-Jawab
Soal: Kalau memang tawasul
dengan dzat dan kedudukan
Nabi tidak diperbolehkan maka
bagaimana dengan hadits:
تَوَسَّلُوا بِجَاهِي فَإِنَّ
جَاهي عِنْدَ اللهِ عَظِيْمٌ
“ Bertawasullah kalian dengan
kedudukanku karena
sesungguhnya kedudukanku
sangat agung di sisi Allah ”.?
Jawab: Asy Syaikh Al Albani
rahimahullah di dalam “Silsilah
Adh Dho’ifah” 1/76-99 telah
menjelaskan secara terperinci
bahwa seluruh hadits yang
menganjurkan untuk bertawasul
dengan dzat Nabi dan orang-
orang sholih adalah lemah
bahkan sampai derajat tidak
asalnya sama sekali.
Kita pun tetap meyakini tentang
kedudukan Nabi yang sangat
tinggi di sisi Allah namun hal itu
tidak sampai kepada sikap
berlebih-lebihan kepada beliau
dalam bentuk bertawasul
dengan dzatnya yang mulia.
Wallahu “A’lam bish Showab
www.assalafy.org/mahad/?p=53
0 komentar:
Posting Komentar