Banner 468 X 60

Senin, 31 Mei 2010

Fatwa-Fatwa Syaikh Muhamad bin Sholeh Al Utsaimin

Ada sebagian cerita atau kisah
yang ditujukan untuk anak,
tujuannya untuk memberikan
pengajaran ataupun hiburan
bagi anak. Yang menjadi tokoh
dalam kisah tersebut adalah
hewan, di mana digambarkan
hewan-hewan tersebut dapat
berbicara layaknya manusia
(dongeng fabel). Untuk
mengajarkan anak akibat jelek
dari berdusta misalnya,
dikisahkan ada seekor musang
berpura-pura jadi dokter hingga
ia dapat memperdaya seekor
ayam. Kemudian si musang
terperosok ke dalam lubang
akibat perbuatan dustanya. Apa
pendapat antum terhadap kisah
seperti ini?
Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Muhammad
ibnu Shalih Al- ’Utsaimin
rahimahullahu menjawab,
“ Tentang permasalahan seperti
ini, saya tawaqquf (mendiamkan,
belum bisa mengatakan boleh
atau tidak). Karena mengisahkan
seperti itu berarti mengeluarkan
si hewan dari keadaan asal
penciptaannya. Dikatakan ia bisa
berbicara, bisa mengobati/jadi
dokter, dan bisa mendapat
hukuman atas perbuatannya.
Terkadang mungkin dikatakan
bahwa ini hanya permisalan/
perumpamaan. Namun wallahu
a’lam, saya tawaqquf dalam
perkara ini. Saya tidak
mengatakan apa pun dalam hal
ini. ”
Ada bentuk lain dari cerita untuk
anak. Seorang ibu terkadang
bercerita kepada anaknya untuk
memberikan pengajaran pada si
anak dengan kisah yang
memang mungkin terjadi,
walaupun tidak mesti kisah itu
telah terjadi. Misalnya si ibu
berkata, “Ada seorang anak
bernama Hasan. Anak ini suka
mengganggu tetangganya. Suatu
hari ia memanjat tembok rumah
tetangganya. Tiba-tiba ia jatuh
dan patah tangannya. ” Yang
menjadi pertanyaan kami, apa
hukumnya cerita seperti ini, di
mana memang tidak dapat
dipungkiri anak yang
mendengarnya terkadang
beroleh pelajaran tentang
perangai yang mulia lagi terpuji.
Apakah cerita seperti ini
termasuk dusta yang dilarang?
Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Muhammad
ibnu Shalih Al- ’Utsaimin
rahimahullahu kembali
menjawab, “Yang zhahir, bila si
ibu menceritakannya hanya
sebagai perumpamaan dengan
misalnya ia mengatakan, “Di
sana ada seorang anak....” tanpa
menyebut nama tertentu dan
kisahnya seakan benar terjadi,
maka tidak apa-apa, karena di
dalamnya ada faedah dan tidak
ada madharat. ”
GAMBAR MAHLUK BERNYAWA
Dalam salah satu kurikulum
pelajaran di sekolah-sekolah,
anak diminta menggambar
makhluk bernyawa atau
diberikan gambar ayam betina
yang belum lengkap, lalu
dikatakan padanya,
“ Sempurnakanlah gambar ini.”
Terkadang si anak diminta
menggunting gambar bernyawa
lalu menempelkannya di kertas,
atau ia diminta mewarnai
gambar tersebut. Apa pendapat
antum tentang hal ini?
Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Muhammad
ibnu Shalih Al Utsaimin
rahimahullahu berkata, “Saya
memandang hal tersebut haram,
wajib untuk dilarang. Para
penanggung jawab pengajaran
harus menunaikan amanah
dalam masalah ini dan melarang
perkara yang seperti ini. Bila
mereka ingin mencari kejelasan
tentang kecerdasan seorang
murid, mereka bisa mengatakan,
‘ Buatlah gambar mobil atau
pohon’, atau benda-benda
semisalnya yang diketahuinya.
Dengan seperti itu dapat
diketahui sejauh mana
kecerdasan, kecermatan, dan
penerapannya terhadap
perkara-perkara yang ada.
Apa yang terjadi di sekolah-
sekolah tersebut merupakan
musibah yang menimpa manusia
dengan perantara setan, padahal
sebenarnya tidak ada bedanya
membuat gambar pohon,
gambar mobil, istana, ataupun
gambar manusia. Karenanya aku
memandang wajib bagi para
penanggung jawab untuk
melarang hal seperti itu. Bila
memang terpaksa menggambar
makhluk bernyawa maka
hendaknya mereka menggambar
hewan tanpa kepala. ”
BERHIJAB DI HADAPAN ANAK
LELAKI
Di hadapan anak lelaki usia
berapakah seorang wanita
ajnabiyyah harus berhijab?
Apakah ketika si anak telah
mencapai tamyiz ataukah saat ia
baligh?
Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Muhammad
bin Shalih Al- ’Utsaimin
rahimahullahu menjawab: “Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman
ketika menyebutkan orang-
orang yang diperkenankan
melihat perhiasan wanita (atau
seorang wanita boleh
menampakkan perhiasannya di
hadapan mereka):
أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ
يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ
النِّسَاءِ
“ ...Atau anak-anak lelaki yang
belum mengerti tentang aurat
wanita. ” (An-Nur: 31)
Dengan demikian bila seorang
anak lelaki telah mengerti aurat
wanita, yang membuatnya bisa
menilai seorang wanita ketika
memandangnya, dan ia banyak
berbicara kepada si wanita (atau
membicarakan wanita), maka
tidak boleh wanita itu membuka
perhiasannya di hadapan si anak
(ia harus berhijab dari si anak).
Adapun batas usianya, maka ini
berbeda-beda pada setiap anak,
ditinjau dari tabiatnya dan
dengan siapa anak itu biasa
duduk-duduk (teman
duduknya). Karena seorang anak
kecil terkadang bisa mengerti
perkara wanita bila ia biasa
duduk dengan orang-orang yang
banyak membicarakan tentang
wanita. Seandainya ia tidak
duduk atau tidak mendengar
dari mereka, niscaya si anak
tidak paham dan tidak akan
peduli dengan wanita. Yang
penting dalam perkara ini Allah
Subhanahu wa Ta ’ala telah
memberikan batasan dengan
firman-Nya:
أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ
يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ
النِّسَاءِ
“ Selama si anak belum mengerti
aurat wanita dan tidak ambil
peduli dengan perkara wanita
maka si wanita boleh tidak
berhijab di hadapannya. ”
Wallahu ta’ala a’lam bish-
shawab.
(Fatwa-fatwa di atas diambil dari
kitab Majmu ’ah As’ilah Tuhimmu
Al-Usrah Al-Muslimah, hal.
138-141, 148-149)
http://www.asysyariah.com/
print.php?id_online=873

0 komentar:

Posting Komentar