Banner 468 X 60

Sabtu, 29 Mei 2010

Sebuah Renungan Bagi Yang Suka Maksiat

Tatkala masih di bangku
sekolah, aku masih hidup
bersama kedua orang tuaku
dalam lingkungan yang baik.
Aku selalu mendengar do'a
ibuku saat pulang dari
keluyuran dan begadang
malam. Demikian pula ayahku,
ia selalu dalam shalatnya yang
panjang. Aku heran, mengapa
ayah shalat begitu lama,
apalagi jika saat musim dingin
yang menyengat tulang. Aku
sungguh heran. Bahkan hingga
aku berkata kepada diri
sendiri : "Alangkah sabarnya
mereka …setiap hari begitu…
benar-benar mengherankan!"
Aku belum tahu bahwa di
situlah kebahagiaan orang
mukmin, dan itulah shalat
orang-orang pilihan …Mereka
bangkit dari tempat tidurnya
untuk bermunajat kepada
Allah.
Setelah menjalani pendidikan
militer, aku tumbuh sebagai
pemuda yang matang. Tetapi
diriku semakin jauh dari Allah.
Padahal berbagai nasehat
selalu kuterima dan kudengar
dari waktu ke waktu. Setelah
tamat dari pendidikan, aku
ditugaskan ke kota yang jauh
dari kotaku. Perkenalanku
dengan teman-teman sekerja
membuatku agak ringan
menanggung beban sebagai
orang terasing. Di sana aku tak
mendengar lagi suara bacaan
Al Qur'an. Tak ada lagi suara
ibu yang membangunkan dan
menyuruhku shalat. Aku
benar-benar hidup sendirian,
jauh dari lingkungan keluarga
yang dulu kami nikmati. Aku
ditugaskan mengatur lalu lintas
di sebuah jalan tol. Di samping
menjaga keamanan jalan,
tugasku membantu orang-
orang yang membutuhkan
bantuan. Pekerjaan baruku
sungguh menyenangkan. Aku
lakukan tugas-tugasku dengan
semangat dan dedikasi tinggi.
Tetapi, hidupku bagai selalu
diombang-ambingkan ombak.
Aku bingung dan sering
melamun sendirian …banyak
waktu luang…pengetahuanku
terbatas. Aku mulai jenuh…tak
ada yang menuntunku di
bidang agama. Aku sebatang
kara. Hampir tiap hari yang
kusaksikan hanya kecelakaan
dan orang-orang yang
mengadu kecopetan atau
bentuk-bentuk penganiayaan
lain. Aku bosan dengan
rutinitas. Sampai suatu hari
terjadilah suatu peristiwa yang
hingga kini tak pernah
kulupakan.
Ketika kami dengan seorang
kawan sedang bertugas di
sebuah pos jalan. Kami asyik
ngobrol …tiba-tiba kami
dikagetkan oleh suara
benturan yang amat keras.
Kami mengalihkan pandangan.
Ternyata, sebuah mobil
bertabrakan dengan mobil lain
yang meluncur dari arah
berlawanan. Kami segera
berlari menuju tempat kejadian
untuk menolong korban.
Kejadian yang sungguh tragis.
Kami lihat dua awak salah satu
mobil dalam kondisi sangat
kritis. Keduanya segera kami
keluarkan dari mobil lalu kami
bujurkan di tanah.
Kami cepat-cepat menuju
mobil satunya. Ternyata
pengemudinya telah tewas
dengan amat mengerikan.
Kami kembali lagi kepada dua
orang yang berada dalam
kondisi koma. Temanku
menuntun mereka
mengucapkan kalimat
syahadat. Ucapkanlah “LAA
ILAAHA ILLALLAAH… LAA
ILAAHA ILLALLAAH…" perintah
temanku. Tetapi sungguh
mengherankan, dari mulutnya
malah meluncur lagu-lagu.
Keadaan itu membuatku
merinding. Temanku
tampaknya sudah biasa
menghadapi orang-orang yang
sekarat …Kembali ia menuntun
korban itu membaca syahadat.
Aku diam membisu. Aku tak
berkutik dengan pandangan
nanar. Seumur hidupku, aku
belum pernah menyaksikan
orang yang sedang sekarat,
apalagi dengan kondisi seperti
ini. Temanku terus menuntun
keduanya mengulang-ulang
bacaan syahadat. Tetapi …
keduanya tetap terus saja
melantunkan lagu. Tak ada
gunanya …Suara lagunya
semakin melemah…lemah dan
lemah sekali. Orang pertama
diam, tak bersuara lagi, disusul
orang kedua. Tak ada gerak …
keduanya telah meninggal
dunia.
Kami segera membawa mereka
ke dalam mobil. Temanku
menunduk, ia tak berbicara
sepatah pun. Selama
perjalanan hanya ada
kebisuan, hening. Kesunyian
pecah ketika temanku memulai
berbicara. Ia berbicara tentang
hakikat kematian dan su'ul
khatimah (kesudahan yang
buruk). Ia berkata : "Manusia
akan mengakhiri hidupnya
dengan baik atau buruk.
Kesudahan hidup itu biasanya
pertanda dari apa yang
dilakukan olehnya selama di
dunia". Ia bercerita panjang
lebar padaku tentang berbagai
kisah yang diriwayatkan dalam
buku-buku Islam. Ia juga
berbicara bagaimana
seseorang akan mengakhiri
hidupnya sesuai dengan masa
lalunya secara lahir dan batin.
Perjalanan ke rumah sakit
terasa singkat oleh
pembicaraan kami tentang
kematian. Pembicaraan itu
makin sempurna gambarannya
tatkala ingat bahwa kami
sedang membawa mayat. Tiba-
tiba aku menjadi takut mati.
Peristiwa ini benar-benar
memberi pelajaran berharga
bagiku. Hari itu, aku shalat
khusyu' sekali. Tetapi
perlahan-lahan aku mulai
melupakan peristiwa itu.
Aku kembali pada kebiasaanku
semula …Aku seperti tak
pernah menyaksikan apa yang
menimpa dua orang yang tak
kukenal beberapa waktu lalu.
Tetapi sejak saat itu, aku
memang benar-benar menjadi
benci kepada yang namanya
lagu-lagu. Aku tak mau
tenggelam menikmatinya
seperti sedia kala. Mungkin itu
ada kaitannya dengan lagu
yang pernah kudengar dari
dua orang yang sedang
sekarat dahulu.
*Kejadian yang menakjubkan…
Selang enam bulan dari
peristiwa mengerikan itu…
Sebuah kejadian menakjubkan
kembali terjadi di depan
mataku. Seseorang
mengendarai mobilnya dengan
pelan, tetapi tiba-tiba mobilnya
mogok di sebuah terowongan
menuju kota. Ia turun dari
mobilnya untuk mengganti ban
yang kempes. Ketika ia berdiri
di belakang mobil untuk
menurunkan ban serep, tiba-
tiba sebuah mobil dengan
kecepatan tinggi menabraknya
dari arah belakang. Lelaki itu
pun langsung tersungkur
seketika.
Aku dengan seorang kawan, -
bukan yang menemani- ku
pada peristiwa yang pertama-
cepat-cepat menuju tempat
kejadian. Dia kami bawa
dengan mobil dan segera pula
kami menghubungi rumah
sakit agar langsung mendapat
penanganan. Ketika
mengangkatnya ke mobil, kami
berdua cukup panik, sehingga
tak sempat memperhatikan
kalau ia menggumamkan
sesuatu. Ketika kami
membujurkannya di dalam
mobil, kami baru bisa
membedakan suara yang
keluar dari mulutnya. Ia
melantunkan ayat-ayat suci Al-
Qur'an …dengan suara amat
lemah. "Subhanallah!" dalam
kondisi kritis seperti itu, ia
masih sempat melantunkan
ayat-ayat suci Al-Qur'an?
Darah mengguyur seluruh
pakaiannya; tulang-tulangnya
patah, bahkan ia hampir mati.
Dalam kondisi seperti itu, ia
terus melantunkan ayat-ayat
Al-Qur'an dengan suaranya
yang merdu. Selama hidup aku
tak pernah mendengar suara
bacaan Al-Qur'an seindah itu.
Dalam batin aku bergumam
sendirian: "Aku akan
menuntun membaca syahadat
sebagaimana yang dilakukan
oleh temanku terdahulu …
apalagi aku sudah punya
pengalaman". Aku meyakinkan
diriku sendiri. Aku dan
kawanku seperti kena hipnotis
mendengarkan suara bacaan
Al-Qur'an yang merdu itu.
Sekonyong-konyong tubuhku
merinding menjalar dan
menyelusup ke setiap rongga.
Tiba-tiba suara itu berhenti.
Aku menoleh ke belakang.
Kusaksikan dia mengacungkan
jari telunjuknya lalu
bersyahadat. Kepalanya
terkulai, aku melompat ke
belakang. Kupegang
tangannya, detak jantungnya,
nafasnya, tidak ada yang
terasa. Dia telah meninggal
dunia. Aku lalu
memandanginya lekat-lekat,
air mataku menetes,
kusembunyikan tangisku, takut
diketahui kawanku. Ku
kabarkan kepada kawanku
kalau pemuda itu telah wafat.
Kawanku tak kuasa menahan
tangisnya. Demikian pula
halnya dengan diriku. Aku
terus menangis, air mataku
deras mengalir. Suasana dalam
mobil betul-betul sangat
mengharukan.
Sampai di rumah sakit…kepada
orang-orang di sana, kami
mengabarkan perihal kematian
pemuda itu dan peristiwa
menjelang kematiannya yang
menakjubkan. Banyak orang
yang terpengaruh dengan
kisah kami, sehingga tak sedikit
yang meneteskan air mata.
Salah seorang dari mereka,
demi mendengar kisahnya,
segera menghampiri jenazah
dan mencium keningnya.
Semua orang yang hadir
memutuskan untuk tidak
beranjak sebelum mengetahui
secara pasti kapan jenazah
akan dishalatkan. Mereka ingin
memberi penghormatan
terakhir kepada jenazah,
semua ingin ikut menyalatinya.
Salah seorang petugas rumah
sakit menghubungi rumah
almarhum. Kami ikut
mengantarkan jenazah hingga
ke rumah keluarganya. Salah
seorang saudaranya
mengisahkan ketika
kecelakaan sebetulnya
almarhum hendak menjenguk
neneknya di desa. Pekerjaan
itu rutin ia lakukan setiap hari
Senin. Di sana almarhum juga
menyantuni para janda, anak
yatim dan orang-orang miskin.
Ketika terjadi kecelakaan,
mobilnya penuh dengan beras,
gula, buah-buahan dan
barang-barang kebutuhan
pokok lainnya. Ia juga tak lupa
membawa buku-buku agama
dan kaset-kaset pengajian.
Semua itu untuk dibagi-
bagikan kepada orang-orang
yang ia santuni. Bahkan ia juga
membawa permen untuk
dibagi-bagikan kepada anak-
anak kecil. Bila ada yang
mengeluhkan padanya tentang
kejenuhan dalam perjalanan,
ia menjawab dengan halus.
“Justru saya memanfaatkan
waktu perjalananku dengan
menghafal dan mengulang-
ulang bacaan Al-Qur ’an, juga
dengan mendengarkan kaset-
kaset pengajian, aku
mengharap ridha Allah pada
setiap langkah kaki yang aku
ayunkan. ” kata almarhum. Aku
ikut menyalati jenazah dan
mengantarnya sampai ke
kuburan. Dalam liang lahat
yang sempit, almarhum
dikebumikan. Wajahnya
dihadapkan ke kiblat. “Dengan
nama Allah dan atas agama
Rasulullah. ” Pelan-pelan, kami
menimbuninya dengan
tanah...Mintalah kepada Allah
keteguhan hati saudaramu,
sesungguhnya dia akan
ditanya...Almarhum
menghadapi hari petamanya
dari hari-hari akhirat...
Dan aku...sungguh seakan-
akan sedang menghadapi hari
pertamaku di dunia. Aku
benar-benar bertaubat dari
kebiasaan burukku. Mudah-
mudahan Allah mengampuni
dosa-dosaku di masa lalu dan
meneguhkanku untuk tetap
mentaatinya, memberiku
kesudahan hidup yang baik
(khusnul khatimah) serta
menjadikan kuburanku dan
kuburan kaum muslimin
sebagai taman-taman Surga.
Amin...
Sumber: “Saudariku, apa yang
menghalangimu untuk
berhijab ?” Oleh : Syaikh Abdul
Hamid Al Bilaly.

1 komentar:

MUHASABAH mengatakan...

SYUKRON, SUNGGUH Q TERHANYUT MEMBACA KISAH YANNG ANTUM TULIS, SEMOGA KITA MENINGGAL DALAM KEADAAN KHUSNUL KHOTIMAH

Posting Komentar