Oleh:Ustadz Abu Muhammad Harits
Syaikhul Islam pernah
mengungkapkan: “Di antara
Sunnatullah yang ada, apabila
Dia ingin menampakkan dien-
Nya, maka Dia munculkan pula
orang yang akan menentang
ajaran dien-Nya. Lalu Dia
membenarkan al-haq itu dengan
firman-firman-Nya, dan Dia
melontarkan yang haq kepada
yang batil (lalu yang haq itu
menghancurkannya), maka
dengan serta merta yang batil itu
lenyap.”
Seteru Syaikhul Islam
rahimahullahu sangat banyak.
Mulai dari yang sezaman dengan
beliau hingga zaman kita ini.
Umumnya mereka adalah
musuh-musuh aqidah salafus
shalih. Sebab itulah, kebanyakan
mereka menyerang beliau dalam
masalah aqidah, berlanjut
kepada hal-hal yang terkait,
seperti metode penerimaan ilmu
(talaqqi) dan penggunaan dalil
(istidlal).
Sehingga untuk memilah lawan-
lawan beliau menjadi beberapa
bagian cukup sulit. Sebagai
contoh, mereka yang terang-
terangan memusuhi Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah dari
kalangan ahli fiqih justru memiliki
keyakinan aqidah Asy’ariyah.
Sementara itu banyak di
kalangan tokoh Asy’ariyah
berpahaman tarekat Sufiyah.
Bahkan cukup banyak pula
mereka yang berpegang pada
ajaran filsafat.
Yang jelas, di manapun dan
kapanpun, ahlul batil senantiasa
bersatu padu mengarahkan
serangannya kepada Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah, hingga saat
ini.
Salah seorang murid beliau, Al-
Imam Abu Hafsh Al-Bazzar
rahimahullahu (wafat 749 H),
dengan ungkapan yang sangat
mengesankan berkata:
“Ahli bid’ah dan pengekor hawa
nafsu senantiasa meraih dunia
dengan (memanfaatkan) ajaran
dien ini. Mereka saling dukung
dan membantu satu sama lain di
dalam memusuhi beliau. Bahkan
selalu mencurahkan segenap
daya upaya mereka untuk
melenyapkan Syaikhul Islam.
Tidak segan-segan mereka
menyerang beliau dengan
kedustaan yang nyata,
menisbahkan kepada beliau hal-
hal yang tidak pernah beliau
nukil dan tidak pernah beliau
ucapkan, bahkan tidak pula
ditemukan dalam tulisan dan
fatwa beliau, atau di majelis ilmu
yang beliau adakan. Apakah
kamu kira mereka tidak tahu
bahwa mereka akan ditanya dan
dihisab oleh Allah Subhanahu
wa Ta’ala tentang semua itu?
Tidakkah mereka mendengar
firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala:
“Dan sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dan
mengetahui apa yang dibisikkan
oleh hatinya, dan Kami lebih
dekat kepadanya daripada urat
lehernya, (yaitu) ketika dua
orang malaikat mencatat amal
perbuatannya, seorang duduk di
sebelah kanan dan yang lain
duduk di sebelah kiri. Tiada
suatu ucapanpun yang
diucapkannya melainkan ada di
dekatnya malaikat pengawas
yang selalu hadir.” (Qaf: 16-18)
Tentu, demi Allah (demikianlah).
Tetapi ambisi mereka yang lebih
mementingkan dunia daripada
akhirat, telah menguasai mereka.
Sebab itulah mereka mendengki
dan membencinya, karena beliau
berbeda dan menyelisihi
mereka.”
Berbagai upaya senantiasa
mereka lakukan untuk
melenyapkan pengaruh Ibnu
Taimiyah di dalam hati umat,
ketika mereka tidak mampu lagi
membantah hujjah beliau dalam
meruntuhkan sendi-sendi
kesesatan mereka.
Di antara bentuk-bentuk
permusuhan yang mereka
lancarkan terhadap Syaikhul
Islam ialah:1
1. Melemparkan tuduhan palsu
kepada beliau, antara lain:
a. Syaikhul Islam berpemahaman
tasybih (menyerupakan sifat
Allah Subhanahu wa Ta’ala
dengan makhluk-Nya) tentang
istiwa’ Allah Subhanahu wa
Ta’ala di atas ‘Arsy-Nya dan sifat
turun bagi Allah Subhanahu wa
Ta’ala serta sifat lainnya.
b. Syaikhul Islam mengharamkan
ziarah kubur secara mutlak,
terutama kubur Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
c. Syaikhul Islam lancang
menyalah-nyalahkan ‘Umar bin
Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu
dan ‘Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu ‘anhu.
2. Talbis (pemalsuan) dan Tadhlil
(penyesatan)
a. Misalnya, ahli bid’ah
menyampaikan sebagian masalah
aqidah yang sesat, lalu menukil
perkataan Syaikhul Islam untuk
mendukung pendapat dan
keyakinannya itu. Salah satu
contohnya, mereka (Khawarij di
zaman ini) menghasut kaum
muslimin untuk mengkafirkan
dan memberontak kepada
pemerintah muslimin dengan
dalil bahwa Syaikhul Islam
mengkafirkan raja Tartar (yang
sudah masuk Islam),
memerintahkan kaum muslimin
menyerang mereka karena
mereka kafir.
b. Syaikhul Islam membolehkan
tawassul dengan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
c. Syaikhul Islam memuji kaum
Asya’irah dan menganggap
mereka para pembela
ushuluddin.
d. Syaikhul Islam tidak menerima
khabar ahad (hadits yang dari
satu jalan sanad) dalam masalah
aqidah.
3. Tahdzir (agar menjauh) dan
tidak tertipu dari beliau, terang-
terangan.
Ketika mereka tidak mampu
menghadapi Ibnu Taimiyah
secara ilmiah, mereka
menggunakan cara lain.
Akhirnya dengan memenjarakan
beliau, mereka merasa telah
menghinakannya. Ternyata tidak
demikian hasilnya. Kaum
muslimin semakin mencintai
beliau. Lisan mereka senantiasa
basah memanjatkan doa kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala
untuk beliau. Akhirnya mereka
men-tahdzir kaum muslimin
untuk tidak sampai membaca
buku-buku Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah.
Yang paling panjang menulis
tahdzir terhadap Syaikhul Islam
dan buku-bukunya dewasa ini
adalah Yusuf An-Nabhani.
Seolah-olah dia sedang memberi
nasihat dan merasa kasihan
kepada umat ini, lalu
mengingatkan orang agar tidak
tertipu dari perkataan setan dan
pendapat Ibnu Taimiyah.
Tetapi al-haq justru semakin
menjulang. Kebatilan dan
kesesatan semakin tenggelam
meskipun selang beberapa
waktu. Allah Subhanahu wa
Ta’ala memuliakan Syaikhul
Islam, mengabadikan namanya,
menyebarkan ilmunya,
menghinakan musuh-musuhnya
dan membutakan mata (hati)
mereka.
4. Menuduh Syaikhul Islam
sebagai orang pertama dalam
kebid’ahan dan kesesatan:
Di antaranya tentang larangan
bertawassul dan sebagainya.
Bantahan terhadap Sebagian
Syubhat dan Tuduhan
Sebagaimana kita uraikan tadi,
bahwa semua yang dialamatkan
kepada Syaikhul Islam adalah
kepalsuan, tuduhan dusta, dan
tanpa bukti. Pada bagian ini,
akan kita paparkan sebagian
bukti kepalsuan dan tuduhan-
tuduhan dusta tersebut, dengan
izin Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Semestinya, mereka yang
melontarkan tuduhan dusta dan
syubhat seputar pemikiran
Syaikhul Islam, harus siap untuk
mendatangkan bukti tuduhan
tersebut. Namun mereka selalu
menghindar dan mundur.
Seorang peneliti yang jujur dan
adil, ketika melihat nukilan-
nukilan dusta yang diklaim
berasal dari Syaikhul Islam, tentu
melihat kenyataan bahwa
nukilan itu hanya sepotong-
sepotong, tidak sempurna. Atau
nukilan itu adalah dari
pernyataan ahli bid’ah yang
sedang dibantah oleh Syaikhul
Islam, tapi dia –dengan sengaja
atau tidak– meninggalkan
bantahan yang ditulis oleh
Syaikhul Islam, kemudian
mengklaim bahwa itulah bid’ah
yang dibuat-buat Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah. Atau dia menukil
sesuatu dari Syaikhul Islam tapi
tidak memahami apa
maksudnya.
Tuduhan mereka bahwa Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah menyelisihi
aqidah salaf (Ahlus Sunnah wal
Jamaah), maka dijawab: “Apa
yang dimaksud dengan salaf?
Kalau yang dimaksud salaf
adalah golongan Asya’irah atau
Tarekat Sufiyah, dan kebid’ahan
lainnya, maka beliau memang
tidak menisbahkan diri kepada
salah satunya. Beliau tidak
berpegang dengan pendapat
mereka bahkan membantah
mereka.”
Namun jika yang dimaksud salaf
adalah para pendahulu umat ini
serta para imamnya, dari
kalangan sahabat, tabi’in, tabi’ut
tabi’in dan aimmatul huda
(imam-imam petunjuk), lalu Ibnu
Taimiyah menyelisihi keyakinan
dan prinsip mereka, maka ini
adalah sesuatu yang sangat
mengherankan. Sebab, beliau
yang selalu menjelaskan aqidah
salaf, berhujjah dengannya dan
membelanya serta membantah
orang-orang yang
menyelisihinya, bagaimana lantas
dikatakan memiliki aqidah yang
menyimpang dari aqidah salaf?
Para penulis biografi beliau
selalu menukil pendapat-
pendapat Syaikhul Islam dalam
buku-buku mereka, baik dalam
fiqih maupun i’tiqad (keyakinan/
aqidah).
Bahkan Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah sendiri memberi
kesempatan selama tiga tahun
kepada orang-orang yang
menyelisihinya untuk meneliti
tulisan-tulisannya dalam masalah
aqidah agar mereka
menunjukkan satu masalah yang
di dalamnya beliau menyelisihi
keyakinan ulama salaf. Sebab
ketika itu, kalau beliau
membantah dengan lisan lalu
menjelaskannya, mungkin akan
dicurigai bahwa uraian tersebut
ada yang dikurangi atau
ditambah.
Berbagai tuduhan yang ditujukan
kepada beliau, dapat dijelaskan:
Pertama yang harus kita ketahui
bahwa kebiasaan ahli bid’ah dan
orang-orang yang
memperturutkan hawa nafsunya
adalah senantiasa memberi
gelar-gelar yang buruk kepada
para nabi serta pengikut-
pengikut mereka.
Sejak zaman Rasul yang pertama
diutus ke tengah-tengah umat
manusia, Nabiullah Nuh q,
mereka telah melakukannya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman menceritakan ucapan
mereka tentang pengikut Nabi
Nuh q:
“Dan kami tidak melihat orang-
orang yang mengikuti kamu
melainkan orang-orang yang
hina dina di antara kami yang
lekas percaya saja.” (Hud: 27)
Begitu pula kepada Nabi yang
diutus kepada mereka,
sebagaimana Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman:
“Demikianlah tidak seorang
rasulpun yang datang kepada
orang-orang yang sebelum
mereka, melainkan mereka
mengatakan: ‘Ia adalah seorang
tukang sihir atau orang
gila’.” (Adz-Dzariyat: 52)
Apalagi terhadap pengikut
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, para pewaris nabi dan
rasul.
Al-Imam Ash-Shabuni
rahimahullahu (wafat 449 H)
meriwayatkan dari Ibnu Abi
Hatim, dari ayahnya, Abu Hatim
Ar-Razi rahimahullahu, dia
mengatakan:
Tanda-tanda/ciri-ciri ahli
bid’ah adalah penghinaannya
terhadap ahli atsar.2
Tanda-tanda kaum zanadiqah
(orang-orang zindiq) ialah
menggelari ahli atsar sebagai
hasyawiyah3, karena hendak
menggugurkan atsar.
Tanda-tanda Qadariyah ialah
menamakan Ahlus Sunnah
sebagai Mujbirah
(berpemahaman Jabriyah).4
Tanda-tanda Jahmiyah adalah
menamakan Ahlus Sunnah
dengan musyabbihah (golongan
yang menyerupakan Allah
Subhanahu wa Ta’ala dengan
makhluk).
Tanda-tanda Rafidhah (Syi’ah)
adalah menjuluki ahli atsar
sebagai Nabitah dan Nashibah.”5
Demikianlah keadaan ahli ahwa’
dan ahli bid’ah serta musuh-
musuh Islam lainnya. Tidak ada
satupun yang menisbahkan diri
kepada kebid’ahan dan
kesesatan apalagi kekafiran
melainkan mereka sangat
antipati dan memusuhi Ahlus
Sunnah, baik pakar haditsnya,
ahli fiqihnya, maupun ahli tafsir.
Mereka melecehkan dan
memandang rendah Ahlus
Sunnah wal Jamaah.
Menganggap Ahlus Sunnah wal
Jamaah hanya mengerti teks Al-
Qur’an dan As-Sunnah, namun
tidak memahami maksud di balik
lafadz-lafadz tersebut. Wallahul
musta’an.
Tetapi, semua julukan itu tidak
mengena pada diri Ahlus Sunnah
wal Jamaah, sebagaimana
tuduhan para pendahulu
mereka, dari kalangan musyrikin
terhadap para Nabi dan
pengikutnya, terlebih terhadap
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
“Lihatlah bagaimana mereka
membuat perumpamaan-
perumpamaan terhadapmu;
karena itu mereka menjadi sesat
dan tidak dapat lagi menemukan
jalan (yang benar).” (Al-Isra’: 48)
Itulah sebagian ciri dan tanda
ahli bid’ah serta orang-orang
yang menyimpang, dahulu dan
sekarang.
Sebagaimana telah diterangkan,
bahwa ciri-ciri Jahmiyah adalah
menggelari Ahlus Sunnah wal
Jamaah sebagai mujassimah atau
musyabbihah.6
Al-Imam Ishaq bin Rahawaih7
mengingatkan bahwa kaum
mu’aththilah8 (yang menolak
sifat-sifat Allah Subhanahu wa
Ta’ala) itulah sejatinya yang
pantas dikatakan musyabbihah
karena mereka mula-mula
melakukan tasybih (penyerupaan
terhadap makhluk), kemudian
ta’thil (penolakan sifat-sifat Allah
Subhanahu wa Ta’ala).
Karena salah memahami makna
tauhid dan tanzih9, mereka
terjerumus ke dalam perkara
sesat yang lebih buruk dari apa
yang mereka tinggalkan. Mereka
ingin menyucikan Allah
Subhanahu wa Ta’ala dari
keserupaan dengan makhluk-
Nya kalau menyandarkan
adanya sifat bagi Allah
Subhanahu wa Ta’ala, tapi
akhirnya mereka terjerumus ke
dalam penyembahan sesuatu
yang ‘adam (tiada). Karena
sesuatu yang tidak punya sifat
adalah sesuatu yang hakikatnya
tidak ada, karena sesuatu yang
ada mesti mempunyai sifat.
Contoh, kalau Allah Subhanahu
wa Ta’ala dikatakan punya
Tangan, maka -menurut mereka-
tidak dikenal tangan melainkan
yang ada pada manusia.
Sehingga merekapun menafikan
bahwa Allah Subhanahu wa
Ta’ala mempunyai tangan.
Sedangkan prinsip Ahlus Sunnah
wal Jamaah adalah menetapkan
sifat-sifat yang Allah Subhanahu
wa Ta’ala tetapkan dalam Kitab-
Nya, dan ditetapkan oleh Rasul-
Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam Sunnah beliau, tanpa
menyelewengkan maknanya
(tahrif), tanpa menolaknya
(ta’thil), tanpa menyerupakannya
dengan makhluk (tamtsil), dan
tanpa mempertanyakan
bagaimana hakikat sifat itu
(takyif).
Termasuk kedustaan yang paling
laris dilansir musuh-musuh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullahu adalah nukilan
pengelana Ibnu Bathuthah yang
mengatakan: “Ibnu Taimiyah
menjelaskan hadits ‘Rabb kita
turun pada sepertiga akhir
malam,’ seperti turunku ini.”
Saya menyaksikan dia turun satu
tingkat dari mimbar tempatnya
berkhutbah.”
Mari kita lihat kebohongan yang
dia lakukan terhadap Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullahu.
Kapan Ibnu Bathuthah masuk ke
Damaskus?
Ibnu Bathuthah sendiri
menerangkan bahwa dia masuk
negeri Damaskus tanggal 17
Ramadhan tahun 726 H, selang
beberapa hari sesudah Syaikhul
Islam masuk penjara yang
terakhir kalinya, yaitu di awal
Sya’ban tahun itu juga.
Kemudian, Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah wafat dalam keadaan
tetap di penjara. Lantas, dari
mana dia menyaksikan Syaikhul
Islam berkhutbah di atas
mimbar? Apalagi Syaikhul Islam
bukan seorang khatib, sehingga
kapan beliau berdiri di mimbar
lalu turun, dan disaksikan oleh
Ibnu Bathuthah?
Untuk menampakkan bukti
kebohongan ini, periksalah
buku-buku Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullahu baik
‘Aqidah Wasithiyah, At-
Tadmuriyah, Al-Hamawiyah, dan
lainnya. Semua menegaskan
betapa jauhnya Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah dari pemahaman
musyabbihah dan mujassimah.
Apalagi mengatakan Allah
Subhanahu wa Ta’ala turun
seperti turunnya Ibnu Taimiyah
rahimahullahu? Maha Suci Allah,
sungguh ini adalah kedustaan
yang nyata.
Tuduhan bahwa Syaikhul Islam
menganggap alam ini bersifat
qidam (tidak berawalan), adalah
dusta. Karena pernyataan beliau
tentang masalah ini sangat jelas
dalam semua tulisan beliau.
Tuduhan mereka, Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah mengharamkan
ziarah ke kuburan terutama
kubur Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, juga satu dari sekian
kedustaan yang mereka
timpakan kepada beliau.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
menjelaskan bahwa lafadz ziarah
itu global, masuk ke dalamnya
ziarah yang syar’i dan ziarah
yang bid’ah. Adapun ziarah
bid’ah adalah ziarah yang
mengandung kesyirikan.
Beliau terangkan pula bahwa
ulama salaf berbeda pendapat
tentang disyariatkannya ziarah
kubur. Sebagian mengatakan
bahwa ziarah kubur haram
secara mutlak dan bahwa
larangan ziarah tidak mansukh
(dihapus hukumnya). Di antara
mereka ada yang tidak
menganggapnya sunnah dan ada
pula yang memakruhkannya
secara mutlak, sebagaimana
dinukil dari Al-Imam Asy-Sya’bi,
An-Nakha’i, dan Ibnu Sirin.
Ibnu Baththal menukil dari Asy-
Sya’bi, bahwa beliau
mengatakan: “Kalaulah ziarah
kubur tidak dilarang Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
tentulah aku ziarahi kuburan
anakku.”10
Tidak diperselisihkan oleh kaum
muslimin bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah melarang ziarah kubur.
Ada yang mengatakan alasannya
adalah karena menggiring ke
arah kesyirikan. Tapi kemudian,
mereka berselisih apakah
pengharaman ini, apakah
mansukh atau tidak? Sebagian
mengatakan sudah mansukh,
yang lain ada yang mengatakan
tidak. Yang mengatakan
mansukh, berbeda pula
pendapatnya, apakah mansukh
dari haram kepada sunnah, atau
kepada mubah?
Maka, ziarah yang mengandung
perkara yang diharamkan, baik
kesyirikan, kedustaan, ratapan,
dan sejenisnya, hukumnya
haram. Sedangkan ziarah hanya
karena berduka kepada si mayit,
kerabat atau sahabatnya, ini
boleh. Bahkan dibolehkan pula
menziarahi orang kafir untuk
memperbanyak mengingat
kampung akhirat, bukan untuk
mendoakan atau memintakan
ampunan.
Telah shahih diriwayatkan bahwa
Rasulullah n meminta izin
menziarahi kuburan ibundanya,
dan beliau diizinkan. Tetapi
beliau tidak diizinkan
memintakan ampunan untuk
ibunda beliau, lalu beliaupun
menangis dan para sahabat yang
menyertai juga menangis.
Kemudian, ziarah ke kuburan
kaum mukminin, untuk
mendoakan dan mengucapkan
salam kepada mereka, ini
disunnahkan.
Beberapa ulama Baghdad juga
bangkit membela pendapat
Syaikhul Islam seputar masalah
ziarah kubur terutama dalam
masalah hadits Syaddu Rihal.
Asy-Syaikh Jamaluddin Yusuf bin
‘Abdil Mahmud Al-Hanbali
mengatakan: “...Sesungguhnya
jawaban beliau dalam masalah
ini, tuntas memaparkan adanya
perbedaan pendapat di antara
ulama, bukan hakim pemutus.
Tanpa memandang apakah yang
dituju adalah orang shalih atau
para nabi... Sehingga dosa apa
orang yang menjawab bila dia
menyebutkan dalam masalah ini
beberapa pendapat ulama yang
berbeda lalu dia memilih
condong kepada salah satu
pendapat tersebut? Persoalan ini,
memang seperti inilah adanya
sejak dahulu kala...
Tidaklah hal itu dibawa oleh
yang mengritik melainkan karena
hawa nafsu yang mendorong
pemiliknya kepada
penyimpangan....”
Jadi, Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah membagi ziarah itu ada
dua; ziarah yang syar’i dan
ziarah yang bid’ah. Jelas pula
bahwa beliau tidak
mengharamkan ziarah secara
mutlak. Sedangkan ziarah kubur
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, tidaklah wajib menurut
kesepakatan kaum muslimin.
Tidak pula ada dalilnya dalam
Al-Qur’an dan As-Sunnah,
perintah menziarahi kuburan
beliau secara khusus. Yang ada
hanyalah memanjatkan shalawat
dan salam untuk beliau.
Sebagaimana diamalkan oleh
para ulama, dengan
mengerjakan shalat di masjid
beliau dan mengucapkan salam
kepada beliau ketika masuk ke
dalam masjid. Hal inilah yang
disyariatkan. Wallahu a’lam.
Inilah sekelumit dari penggalan
sejarah hidup Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah rahimahullahu.
Lembaran dan waktu yang
tersedia, kiranya tak cukup
menorehkan gambaran emas
kehidupan beliau yang penuh
perjuangan, dakwah dan
bimbingan untuk umat Islam.
Cukuplah karya-karya tulis dan
buah pikiran beliau yang
tergambar dalam corak berbagai
pergerakan Islam yang ada di
zaman ini, sebagai bukti
harumnya nama besar beliau di
hati umat Islam. Semoga Allah
Subhanahu wa Ta’ala membalasi
beliau dengan kebaikan atas
jasanya terhadap Islam dan
kaum muslimin. Semoga Allah
Subhanahu wa Ta’ala
memelihara warisan beliau dan
memelihara para ulama yang
terus menghidupkan
peninggalan dan perjuangan
beliau. Amin Ya Mujibas Sa’ilin.
Sumber Bacaan:
1 Ar-Raddul Wafir, Ibnu
Nashiruddin Ad-Dismasyqi
2. Al-A’lamul ‘Aliyyah fi Manaqib
Ibni Taimiyah, ‘Umar bin ‘Ali Al-
Bazzar
3. Syahadatuz Zakiyah, Mar’i
Yusuf Al-Karmani
4. Fihris Al-Faharis, Al-Kattani
5. Ad-Durarul Kaminah, Ibnu
Hajar Al-‘Asqalani
6. Al-Bidayah wan Nihayah, Ibnu
Katsir
7. Al-‘Uqud Ad-Durriyah, Ibnu
‘Abdil Hadi
8. Adh-Dhau’ Al-Lami’, As-
Sakhawi
9. Tarikhul Islam, Adz-Dzahabi
10. Al-‘Ibar fi Khabari man
Ghabar, Adz-Dzahabi
11. Dzail Thabaqat Al-Hanabilah,
Ibnu Rajab Al-Hanbali
12. Da’awi Al-Munawi’in li
Syaikhil Islam Ibni Taimiyah,
‘Abdullah bin Shalih bin ‘Abdul
‘Aziz Al-Ghashani.
13. Mauqif Ibni Taimiyah Minal
Asya’irah, Dr. ‘Abdurrahman bin
Shalih bin Shalih Al-Hamud (tesis
doktoral).
14. Da'wah Syaikhil Islam Ibni
Taimiyah, Shalahuddin Maqbul
15. Al-Ushul Al-Fikriyah Lil
Manahij As-Salafiyah, Syaikh
Khalid Al-‘Ik
16. Syarh Al-’Aqidah Ath-
Thahawiyah, Ibnu Abil ‘Izzi Al-
Hanafi.
1 Apa yang diuraikan di sini
hanyalah sebagian contoh.
Wallahu a’lam.
2 Ahli Atsar adalah golongan
yang mengambil ajaran aqidah
mereka melalui periwayatan dari
Allah Subhanahu wa Ta’ala
dalam Kitab-Nya atau sunnah
Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa
sallam serta yang shahih dari
salafus shalih, baik dari kalangan
sahabat dan tabi’in, bukan dari
ahli bid’ah dan ahwa’.
3 Hasyawiyah, dari kata hasywu
orang kebanyakan (keumuman
manusia).
4 Jabriyah: meyakini bahwa
manusia tidak punya kehendak
dalam melakukan perbuatannya,
bahkan itu semata-mata
kehendak Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Sehingga mereka
menganggap manusia seperti
sebuah pohon yang ditiup angin,
mengikuti arah angin bertiup.
5 Nabitah, golongan ingusan,
yang muda, baru tumbuh.
Nashibah, yang menancapkan
permusuhan terhadap ‘Ali bin
Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu
dan ahli bait serta berlepas diri
dari mereka. (lihat 'Aqidah Salaf
Ash-habil Hadits hal. 304-305)
6 Jahmiyah, pengikut Jahm bin
Shafwan yang berkeyakinan
meniadakan nama-nama dan
sifat-sifat Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Mujassimah adalah
golongan yang menyatakan
bahwa Allah Subhanahu wa
Ta’ala memiliki jasmani seperti
jasmani manusia. Musyabbihah
yaitu golongan yang
menyerupakan sifat Allah
Subhanahu wa Ta’ala dengan
sifat manusia.
7 Lihat Khalqu Af’alil ‘Ibad karya
Al-Imam Al-Bukhari
rahimahullahu.
8 Golongan Mu’aththilah (yang
menolak sifat Allah Subhanahu
wa Ta’ala) ini terbagi dua, yang
kulli (menolak sifat secara
keseluruhan) seperti Jahmiyah
dan para pengikutnya. Yang
kedua, juz’i (menolak sebagian
sifat), dan penolakan ini baik
dengan penentangan atau
dengan melakukan tahrif.
Wallahu a’lam.
9 Tanzih: Menyucikan Allah
Subhanahu wa Ta’ala dari sifat-
sifat tercela dan kekurangan.
10 Diriwayatkan oleh Ibnu Abi
Syaibah dalam Al-Mushannaf
(4/345), Kitab Al-Jana’iz
11 Sebagian besar dari Program
Komputer Asy-Syamilah, kecuali
13, 14, 15 dan 16.
www.majalahsyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=743
0 komentar:
Posting Komentar