Ustadz Qomar Suaidi, Lc
Perdukunan, ramalan nasib, dan
sejenisnya telah tegas
diharamkan oleh Islam dengan
larangan yang keras. Sisi
keharamannya terkait dengan
banyak hal, di antaranya:
1. Apa yang akan terjadi itu
hanya diketahui oleh Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Maka
seseorang yang meramal berarti
ia telah menyejajarkan dirinya
dengan Allah Subhanahu wa
Ta’ala dalam hal ini. Ini
merupakan kesyirikan, membuat
sekutu (tandingan) bagi Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Atau;
2. Meminta bantuan kepada jin
atau setan. Ini banyak terkait
dengan praktik perdukunan dan
sihir semacam santet atau
sejenisnya.
Praktik sihir, ramal, dan
perdukunan sendiri telah dikenal
di masyarakat Arab dengan
beberapa istilah. Para dukun dan
peramal itu terkadang disebut:
1. Kahin
Al-Baghawi rahimahullahu
mengatakan bahwa Al-Kahin
adalah seseorang yang
mengabarkan sesuatu yang akan
terjadi di masa yang akan
datang. Ada pula yang
mengatakan, al-kahin adalah
yang mengabarkan apa yang
tersembunyi dalam qalbu.
2. ‘Arraf
Al-Baghawi rahimahullahu
mengatakan bahwa ia adalah
orang yang mengaku-ngaku
mengetahui urusan-urusan
tertentu melalui cara-cara
tertentu, yang darinya ia
mengaku mengetahui tempat
barang yang dicuri atau hilang.
3. Rammal
Raml dalam bahasa Arab berarti
pasir yang lembut. Rammal
adalah seorang tukang ramal
yang menggaris-garis di pasir
untuk meramal sesuatu. Ilmu ini
telah dikenal di masyarakat Arab
dengan sebutan ilmu raml.
4. Munajjim, ahli ilmu nujum
Nujum artinya bintang-bintang.
Akhir-akhir ini populer dengan
nama astrologi (ilmu
perbintangan) yang dipakai
untuk meramal nasib.
5. Sahir, tukang sihir
Ini lebih jahat dari yang
sebelumnya, karena dia tidak
hanya terkait dengan ramalan
bahkan dengan ilmu sihir yang
identik dengan kejahatan.
Dan masih ada lagi tentunya
istilah lain. Namun hakikatnya
semuanya bermuara pada satu
titik kesamaan yaitu meramal,
mengaku mengetahui perkara
ghaib (sesuatu yang belum
diketahui) yang akan datang,
baik itu terkait dengan nasib
seseorang, suatu peristiwa, mujur
dan celaka, atau sejenisnya.
Perbedaannya hanyalah dalam
penggunaan alat yang dipakai
untuk meramal. Ada yang
memakai kerikil, bintang, atau
yang lain. Oleh karenanya
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullahu mengatakan:
“Al-‘Arraf, adalah sebutan bagi
kahin, munajjim, dan rammaal,
serta yang sejenis dengan
mereka, yang berbicara dalam
hal mengetahui perkara-perkara
semacam itu dengan cara-cara
semacam ini.” (dinukil dari
Kitabut Tauhid)
Dengan demikian, apapun nama
dan julukannya, baik disebut
dukun, tukang sihir, paranormal,
‘orang pintar’, ‘orang tua’,
spiritualis, ahli metafisika, atau
bahkan mencatut nama kyai dan
gurutta (sebutan untuk tokoh
agama di Sulawesi Selatan), atau
nama-nama lain, jika dia bicara
dalam hal ramal-meramal
dengan cara-cara semacam di
atas maka itu hukumnya sama:
haram dan syirik, menyekutukan
Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Demikian pula istilah-istilah ilmu
yang mereka gunakan, baik
disebut horoskop, zodiak,
astrologi, ilmu nujum, ilmu
spiritual, metafisika,
supranatural, ilmu hitam, ilmu
putih, sihir, hipnotis dan ilmu
sugesti, feng shui, geomanci,
berkedok pengobatan alternatif
atau bahkan pengobatan Islami,
serta apapun namanya, maka
hukumnya juga sama, haram.
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan
hafizhahullah mengatakan saat
menjelaskan sebuah hadits Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا قَضَى اللهُ الْأَمْرَ فِي
السَّمَاءِ ضَرَبَتِ
الْمَلَائِكَةُ بِأَجْنِحَتِهَا
خضَعَانًا لِقَوْلِهِ كَأَنَّهُ
سِلْسِلَةٌ عَلَى صَفْوَانٍ
فَإِذَا فُزِّعَ عَنْ قُلُوبِهِمْ
قَالُوا: مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ؟
قَالُوا لِلَّذِي قَالَ: الْحَقَّ
وَهُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيْرُ.
فَيَسْمَعُهَا مُسْتَرِقُ
السَّمْعَ وَمُسْتَرِقُ
السَّمْعِ هَكَذَا بَعْضَهُ
فَوْقَ بَعْضٍ –وَوَصَفَ
سُفْيَانُ بِكَفِّهِ
فَحَرَّفَهَا وَبَدَّدَ بَيْنَ
أَصَابِعِهِ- فَيَسْمَعُ
الْكَلِمَةَ فَيُلْقِيهَا إِلَى
مَنْ تَحْتَهُ ثُمَّ يُلْقِيهَا
الْآخَرُ إِلَى مَنْ تَحْتَهُ
حَتَّى يُلْقِيهَا عَلَى
لِسَانِ السَّاحِرِ أَوِ الْكَاهِنِ
فَرُبَّمَا أَدْرَكَ الشِّهَابُ
قَبْلَ أَنْ يُلْقِيَهَا
وَرُبَّمَا أَلْقَاهَا قَبْلَ أَنْ
يُدْرِكَهُ فَيَكْذِبُ مَعَهَا
مِائَةَ كِذْبَةٍ فَيُقَالُ:
أَلَيْسَ قَدْ قَالَ لَنَا يَوْمَ
كَذَا وَكَذا كَذَا وَكَذَا؟
فَيُصَدَّقُ بِتِلْكَ
الْكَلِمَةِ الَّتِي سُمِعَ مِنَ
السَّمَاءِ
Apabila Allah memutuskan
sebuah urusan di langit,
tertunduklah seluruh malaikat
karena takutnya terhadap firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala
seakan-akan suara rantai
tergerus di atas batu. Tatkala
tersadar, mereka berkata: “Apa
yang telah difirmankan oleh
Rabb kalian?” Mereka
menjawab: “Kebenaran, dan dia
Maha Tinggi lagi Maha Besar.”
Lalu berita tersebut dicuri oleh
para pencuri pendengaran
(setan). Demikian sebagian
mereka di atas sebagian yang
lain –Sufyan menggambarkan
tumpang tindihnya mereka
dengan telapak tangan beliau
lalu menjarakkan antara jari
jemarinya–. (Pencuri berita) itu
mendengar kalimat yang
disampaikan, lalu
menyampaikannya kepada yang
di bawahnya. Yang di bawahnya
menyampaikannya kepada yang
di bawahnya lagi, sampai dia
menyampaikannya ke lisan
tukang sihir atau dukun.
Terkadang mereka dijumpai oleh
bintang pelempar sebelum dia
menyampaikannya, namun
terkadang dia bisa
menyampaikan berita tersebut
sebelum dijumpai oleh bintang
tersebut. Dia menyisipkan seratus
kedustaan bersama satu berita
yang benar itu. Kemudian
petuah dukun yang salah
dikomentari: “Bukankah dia
telah mengatakan demikian pada
hari demikian?” Dia dibenarkan
dengan kalimat yang
didengarnya dari langit itu.” (HR.
Al-Bukhari no. 4522 dari sahabat
Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu)
Pada (hadits ini) terdapat
keterangan tentang batilnya sihir
dan perdukunan, bahwa
keduanya sumbernya sama yaitu
mengambil dari setan. Oleh
karena itu, sihir tidak boleh
diterima, demikian pula berita
tukang sihir. Juga dukun dan
berita dukun. Karena sumbernya
batil. Disebutkan dalam hadits
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam:
مَنْ أَتَى كَاهِناً أَوْ عَرَّافًا
لمَ ْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ
أَرْبَعِيْنَ يَوْماً
“Barangsiapa mendatangi dukun
atau peramal maka tidak
diterima shalatnya 40 hari.”
Dalam hadits yang lain:
مَنْ أَتَى كَاهِناً أَوْ عَرَّافاً
فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُوْلُ
فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ
عَلَى مُحَمَّدٍ صلى الله عليه
وسلم
“Barangsiapa mendatangi dukun
atau peramal lalu memercayai
apa yang dia katakan maka dia
telah kafir dengan apa yang
diturunkan kepada Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Dalam hadits ini terdapat
keterangan batilnya sihir atau
dukun, larangan membenarkan
tukang sihir atau dukun, atau
mendatangi mereka. Akan tetapi
di masa ini, para tukang sihir dan
dukun muncul dengan julukan
tabib atau ahli pengobatan.
Mereka membuka tempat-
tempat praktik serta mengobati
orang-orang dengan sihir dan
perdukunan. Namun mereka
tidak mengatakan: “Ini sihir, ini
perdukunan.” Mereka
tampakkan kepada manusia
bahwa mereka mengobati
dengan cara yang mubah, serta
menyebut nama Allah
Subhanahu wa Ta’ala di depan
orang-orang. Bahkan terkadang
membaca sebagian ayat Al-
Qur’an untuk mengelabui
manusia, tapi dengan sembunyi
mengatakan kepada orang yang
sakit, “Sembelihlah kambing
dengan sifat demikian dan
demikian, tapi jangan kamu
makan (dagingnya), ambillah
darahnya”, “Lakukan demikian
dan demikian”, atau mengatakan
“Sembelihlah ayam jantan atau
ayam betina” ia sebutkan sifat-
sifatnya dan mewanti-wanti “Tapi
jangan menyebut nama Allah
Subhanahu wa Ta’ala”. Atau
menanyakan nama ibu atau
ayahnya (pasien), mengambil
baju atau topinya (si sakit) untuk
dia tanyakan kepada setan
pembantunya, karena setan juga
saling memberi informasi.
Setelah itu ia mengatakan: “Yang
menyihir kamu itu adalah fulan”,
padahal dia juga dusta. Maka
wajib bagi muslimin untuk
berhati-hati. (I’anatul Mustafid)
Ciri-ciri Dukun atau Penyihir
Berikut ini beberapa ciri dukun,
sehingga dengan mengetahui
ciri-ciri tersebut, hendaknya kita
berhati-hati bila kita dapati ciri-
ciri tersebut ada pada seseorang
walaupun dia mengaku hanya
sebagai tukang pijat bahkan kyai.
Di antara ciri tersebut:
1. Bertanya kepada yang sakit
tentang namanya, nama ibunya,
atau semacamnya.
2. Meminta bekas-bekas si sakit
baik pakaian, sorban, sapu
tangan, kaos, celana, atau
sejenisnya dari sesuatu yang
biasa dipakai si sakit. Atau bisa
juga meminta fotonya.
3. Terkadang meminta hewan
dengan sifat tertentu untuk
disembelih tanpa menyebut
nama Allah Subhanahu wa
Ta’ala, atau dalam rangka
diambil darahnya untuk
kemudian dilumurkan pada
tempat yang sakit pada
pasiennya, atau untuk dibuang di
tempat kosong.
4. Menulis jampi-jampi dan
mantra-mantra yang memuat
kesyirikan.
5. Membaca mantra atau jampi-
jampi yang tidak jelas.
6. Memberikan kepada si sakit
kain, kertas, atau sejenisnya, dan
bergariskan kotak. Di dalamnya
terdapat pula huruf-huruf dan
nomor-nomor.
7. Memerintahkan si sakit untuk
menjauh dari manusia beberapa
saat tertentu di sebuah tempat
yang gelap yang tidak dimasuki
sinar matahari.
8. Meminta si sakit untuk tidak
menyentuh air sebatas waktu
tertentu, biasanya selama 40
hari.
9. Memberikan kepada si sakit
sesuatu untuk ditanam dalam
tanah.
10. Memberikan kepada si sakit
sesuatu untuk dibakar dan
mengasapi dirinya dengannya.
11. Terkadang mengabarkan
kepada si sakit tentang namanya,
asal daerahnya, dan problem
yang menyebabkan dia datang,
padahal belum diberitahu oleh si
sakit.
12. Menuliskan untuk si sakit
huruf-huruf yang terputus-putus
baik di kertas atau mangkok
putih, lalu menyuruh si sakit
untuk meleburnya dengan air
lantas meminumnya.
13. Terkadang menampakkan
suatu penghinaan kepada agama
misal menyobek tulisan-tulisan
ayat Al-Qur’an atau
menggunakannya pada sesuatu
yang hina.
14. Mayoritas waktunya untuk
menyendiri dan menjauh dari
orang-orang, karena dia lebih
sering bersepi bersama setannya
yang membantunya dalam
praktik perdukunan. (Kaifa
Tatakhallas minas Sihr)
Ini sekadar beberapa ciri dan
bukan terbatas pada ini saja.
Dengannya, seseorang dapat
mengetahui bahwa orang
tersebut adalah dukun atau
penyihir, apapun nama dan
julukannya walaupun terkadang
berbalut label-label keagamaan
semacam kyai atau ustadz.
Dilarang Mendatangi Dukun
Bila kita telah mendengar
tentang seseorang yang memiliki
ciri-ciri sebagaimana dijelaskan di
atas, janganlah kita
mendatanginya. Hal itu sangat
dilarang dalam agama Islam.
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan
menjelaskan:
Dalam Shahih Muslim
disebutkan:
مَنْ أَتَى كَاهِناً أَوْ عَرَّافًا
لمَ ْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ
أَرْبَعِيْنَ يَوْماً
“Barangsiapa mendatangi dukun
maka tidak akan diterima
shalatnya selama 40 hari.”
Hukum ini sebagai akibat dari
hanya mendatangi dukun saja.
Karena (sekadar) mendatanginya
sudah merupakan kejahatan dan
perbuatan haram, walaupun ia
tidak memercayai dukun
tersebut. Oleh karenanya, ketika
sahabat Mu’awiyah Ibnul Hakam
radhiyallahu ‘anhu bertanya
kepada Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam perihal dukun
beliau menjawab: ‘Jangan kamu
datangi dia.’ Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam melarangnya
walaupun sekadar
mendatanginya. Jadi hadits ini
menunjukkan tentang haramnya
mendatangi dukun walaupun
tidak memercayainya, walaupun
yang datang mengatakan:
‘Kedatangan saya hanya sekadar
ingin tahu’. Ini tidak boleh.
“Tidak diterima shalatnya selama
empat puluh hari” dalam sebuah
riwayat “40 hari 40 malam.”
Ini menunjukkan beratnya
hukuman bagi yang mendatangi
dukun, di mana shalatnya tidak
diterima di sisi Allah Subhanahu
wa Ta’ala, tidak ada pahalanya di
sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala,
walaupun ia tidak diperintahkan
untuk mengulangi shalatnya,
karena secara lahiriah ia telah
melakukan shalat. Akan tetapi,
antara dia dengan Allah
Subhanahu wa Ta’ala, dia tidak
mendapatkan pahala dari
shalatnya karena tidak Allah
Subhanahu wa Ta’ala terima. Ini
adalah ancaman keras yang
menunjukkan haramnya
mendatangi dukun, sekadar
mendatangi walaupun tidak
memercayai. Adapun bila
memercayainya maka hadits-
hadits yang akan dijelaskan
berikut telah menunjukkan
ancaman yang keras, kita
berlindung kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bahwa beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
مَنْ أَتَى كَاهِناً أَوْ عَرَّافاً
فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُوْلُ
فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ
عَلَى مُحَمَّدٍ صلى الله عليه
وسلم
“Barangsiapa mendatangi dukun
atau peramal lalu memercayai
apa yang dia katakan maka dia
telah kafir dengan apa yang
diturunkan kepada Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Dalam hadits ini ada dua
masalah:
Masalah pertama: mendatangi
dukun.
Masalah kedua: memercayainya
pada apa yang ia beritakan dari
perdukunannya. Hukumnya ia
telah dianggap kafir terhadap
apa yang Allah Subhanahu wa
Ta’ala turunkan kepada Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Karena tidak akan
bersatu antara membenarkan
apa yang diturunkan kepada
Muhammad Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dengan membenarkan
berita dukun yang itu adalah
pekerjaan setan. Dua hal yang
tidak mungkin bersatu,
memercayai Al-Qur’an dan
memercayai dukun.
Yang nampak dari hadits itu
bahwa ia telah keluar dari Islam.
Dari riwayat dari Al-Imam
Ahmad rahimahullahu ada dua
pemahaman dalam hal kekafiran
semacam ini. Satu riwayat,
bahwa maksudnya kekafiran
besar yang mengeluarkan dari
agama. Riwayat yang lain:
kekafiran kecil, di bawah
kekafiran tadi.
Ada pendapat ketiga: tawaqquf,
yakni kita baca hadits
sebagaimana datangnya tanpa
menafsirkan serta mengatakan
kafir besar atau kecil. Kita
katakan seperti kata Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
cukup.
Tapi yang kuat –wallahu a’lam–
adalah pendapat yang pertama,
bahwa itu adalah kekafiran yang
mengeluarkan dari agama.
Karena tidak akan bersatu
antara iman kepada Al-Qur’an
dengan iman kepada
perdukunan. Karena Allah
Subhanahu wa Ta’ala telah
mengharamkan perdukunan,
dan memberitakan bahwa itu
adalah perbuatan setan, maka
orang yang memercayai dan
membenarkan berarti telah kafir
dengan kekafiran besar. Inilah
yang nampak dari hadits.
(I’anatul Mustafid)
Demikian penjelasan beliau
tentang mendatangi dukun.
Adapun tentang bertanya-tanya
atau konsultasi dengan para
dukun, telah dijelaskan dalam
rubrik Manhaji secara lebih
detail.
Ada satu hal yang perlu lebih
kita sadari, yaitu kecanggihan
teknologi yang ada ternyata
digunakan para dukun untuk
mencari mangsa. Sehingga tidak
mesti seseorang datang ke
tempat praktik dukun tersebut,
tapi justru dukunnya yang
mendatangi seseorang melalui
radio, televisi, internet, atau SMS.
Dengan itu, bertanya kepada
dukun jalannya semakin
dipermudah. Cukup dengan
ketik: ”reg spasi ....” selanjutnya
mengirimkannya ke nomor
tertentu melalui ponsel,
seseorang sudah bisa
mendapatkan layanan
perdukunan. Bahkan, sampai-
sampai ada sebuah stasiun
televisi yang membuat program
khusus untuk menayangkan
kompetisi di antara dukun/
tukang sihir.
Subhanallah, cobaan nyata
semakin berat. Kaum muslimin
mesti menyadari hal ini. Jangan
sampai kecanggihan teknologi ini
membuat kita semakin jauh dari
ajaran agama. Justru seharusnya
kita gunakan kemajuan teknologi
ini untuk membantu kita agar
semakin taat kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
Semoga kaum muslimin
menerima dan memahaminya
dengan baik sehingga menyadari
akan bahaya perdukunan, untuk
kemudian kaum muslimin pun
bersatu dalam memerangi
perdukunan.
Sumber:www.majalahsyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=830
4 komentar:
wah makasih info na ustad.. soal na ana cuman tahu kahin doank
kaya lagunya si Alam :D
ane buka ustad kang jaloe,ane tau masalah dien hanya sedikit. Ini ane share untuk sesama blogger.
ane buka ustad kang jaloe,ane tau masalah dien hanya sedikit. Ini ane share untuk sesama blogger.
Posting Komentar