Oleh:Ustadz Abu Muhammad Harist
Peristiwa ini terjadi pada zaman
Bani Israil, jauh sebelum
diutusnya Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wa sallam. Beliau
mengisahkannya kepada kita
berdasarkan wahyu dari Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
بَيْنَمَا ثَلاَثَةُ نَفَرٍ
يَتَمَشَّوْنَ أَخَذَهُمُ
الْمَطَرُ فَأَوَوْا إِلَى غَارٍ
فِي جَبَلٍ فَانْحَطَّتْ
عَلَى فَمِ غَارِهِمْ صَخْرَةٌ
مِنَ الْجَبَلِ فَانْطَبَقَتْ
عَلَيْهِمْ فَقَالَ بَعْضُهُمْ
لِبَعْضٍ: انْظُرُوا أَعْمَالاً
عَمِلْتُمُوهَا صَالِحَةً لِلهِ
فَادْعُوا اللهَ تَعَالَى بِهَا،
لَعَلَّ اللهَ يَفْرُجُهَا
عَنْكُمْ. فَقَالَ أَحَدُهُمْ:
اللَّهُمَّ إِنَّهُ كَانَ لِي
وَالِدَانِ شَيْخَانِ كَبِيرَانِ
وَامْرَأَتِي وَلِي صِبْيَةٌ
صِغَارٌ أَرْعَى عَلَيْهِمْ فَإِذَا
أَرَحْتُ عَلَيْهِمْ حَلَبْتُ
فَبَدَأْتُ بِوَالِدَيَّ
فَسَقَيْتُهُمَا قَبْلَ
بَنِيَّ، وَأَنَّهُ نَأَى بِي
ذَاتَ يَوْمٍ الشَّجَرُ فَلَمْ
آتِ حَتَّى أَمْسَيْتُ
فَوَجَدْتُهُمَا قَدْ نَامَا
فَحَلَبْتُ كَمَا كُنْتُ
أَحْلُبُ فَجِئْتُ
بِالْحِلاَبِ فَقُمْتُ عِنْدَ
رُءُوسِهِمَا أَكْرَهُ أَنْ
أُوقِظَهُمَا مِنْ نَوْمِهِمَا
وَأَكْرَهُ أَنْ أَسْقِيَ
الصِّبْيَةَ قَبْلَهُمَا،
وَالصِّبْيَةُ يَتَضَاغَوْنَ
عِنْدَ قَدَمَيَّ، فَلَمْ يَزَلْ
ذَلِكَ دَأْبِي وَدَأْبَهُمْ
حَتَّى طَلَعَ الْفَجْرُ، فَإِنْ
كُنْتَ تَعْلَمُ أَنِّي
فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ
وَجْهِكَ فَافْرُجْ لَنَا مِنْهَا
فُرْجَةً نَرَى مِنْهَا السَّمَاءَ.
فَفَرَجَ اللهُ مِنْهَا فُرْجَةً
فَرَأَوْا مِنْهَا السَّمَاءَ،
وَقَالَ الْآخَرُ: اللَّهُمَّ إِنَّهُ
كَانَتْ لِيَ ابْنَةُ عَمٍّ
أَحْبَبْتُهَا كَأَشَدِّ مَا
يُحِبُّ الرِّجَالُ النِّسَاءَ
وَطَلَبْتُ إِلَيْهَا نَفْسَهَا
فَأَبَتْ حَتَّى آتِيَهَا
بِمِائَةِ دِينَارٍ فَتَعِبْتُ
حَتَّى جَمَعْتُ مِائَةَ دِينَارٍ
فَجِئْتُهَا بِهَا فَلَمَّا
وَقَعْتُ بَيْنَ رِجْلَيْهَا
قَالَتْ: يَا عَبْدَ اللهِ، اتَّقِ
اللهَ وَلاَ تَفْتَحِ الْخَاتَمَ
إِلاَ بِحَقِّهِ. فَقُمْتُ
عَنْهَا، فَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ
أَنِّي فَعَلْتُ ذَلِكَ
ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَافْرُجْ
لَنَا مِنْهَا فُرْجَةً. فَفَرَجَ
لَهُمْ، وَقَالَ الْآخَرُ: اللَّهُمَّ
إِنِّي كُنْتُ اسْتَأْجَرْتُ
أَجِيرًا بِفَرَقِ أَرُزٍّ فَلَمَّا
قَضَى عَمَلَهُ قَالَ: أَعْطِنِي
حَقِّي فَعَرَضْتُ عَلَيْهِ
فَرَقَهُ فَرَغِبَ عَنْهُ،
فَلَمْ أَزَلْ أَزْرَعُهُ حَتَّى
جَمَعْتُ مِنْهُ بَقَرًا
وَرِعَاءَهَا، فَجَاءَنِي فَقَالَ:
اتَّقِ اللهَ وَلاَ تَظْلِمْنِي
حَقِّي. قُلْتُ: اذْهَبْ إِلَى
تِلْكَ الْبَقَرِ وَرِعَائِهَا
فَخُذْهَا. فَقَالَ: اتَّقِ اللهَ
وَلاَ تَسْتَهْزِئْ بِي.
فَقُلْتُ: إِنِّي لاَ
أَسْتَهْزِئُ بِكَ، خُذْ ذَلِكَ
الْبَقَرَ وَرِعَاءَهَا. فَأَخَذَهُ
فَذَهَبَ بِهِ، فَإِنْ كُنْتَ
تَعْلَمُ أَنِّي فَعَلْتُ
ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ
فَافْرُجْ لَنَا مَا بَقِيَ.
فَفَرَجَ اللهُ مَا بَقِيَ
Ketika ada tiga orang sedang
berjalan, mereka ditimpa oleh
hujan. Lalu mereka pun
berlindung ke dalam sebuah gua
di sebuah gunung. Tiba-tiba
jatuhlah sebuah batu besar dari
gunung itu lalu menutupi mulut
gua mereka. Lalu sebagian
mereka berkata kepada yang
lain: “Perhatikan amalan shalih
yang pernah kamu kerjakan
karena Allah, lalu berdoalah
kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala dengan amalan itu.
Mudah-mudahan Allah
menyingkirkan batu itu dari
kalian.”
Lalu berkatalah salah seorang
dari mereka: “Ya Allah,
sesungguhnya aku mempunyai
dua ibu bapak yang sudah tua
renta, seorang istri, dan anak-
anak yang masih kecil, di mana
aku menggembalakan ternak
untuk mereka. Kalau aku
membawa ternak itu pulang ke
kandangnya, aku perahkan susu
dan aku mulai dengan kedua ibu
bapakku, lantas aku beri minum
mereka sebelum anak-anakku.
Suatu hari, ternak itu
membawaku jauh mencari
tempat gembalaan. Akhirnya aku
tidak pulang kecuali setelah sore,
dan aku dapati ibu bapakku
telah tertidur. Aku pun memerah
susu sebagaimana biasa, lalu aku
datang membawa susu tersebut
dan berdiri di dekat kepala
mereka, dalam keadaan tidak
suka membangunkan mereka
dari tidur. Aku pun tidak suka
memberi minum anak-anakku
sebelum mereka (kedua
orangtuanya, red.) meminumnya.
Anak-anakku sendiri menangis di
bawah kakiku meminta minum
karena lapar. Seperti itulah
keadaanku dan mereka, hingga
terbit fajar. Maka kalau Engkau
tahu, aku melakukan hal itu
karena mengharapkan wajah-
Mu, bukakanlah satu celah
untuk kami dari batu ini agar
kami melihat langit.”
Lalu Allah bukakan satu celah
hingga mereka pun melihat
langit.
Yang kedua berkata:
“Sesungguhnya aku punya
sepupu wanita yang aku cintai,
sebagaimana layaknya cinta
seorang laki-laki kepada seorang
wanita. Aku minta dirinya
(melayaniku), tapi dia menolak
sampai aku datang kepadanya
(menawarkan) seratus dinar. Aku
pun semakin payah, akhirnya
aku kumpulkan seratus dinar,
lalu menyerahkannya kepada
gadis itu. Setelah aku berada di
antara kedua kakinya, dia
berkata: ‘Wahai hamba Allah.
Bertakwalah kepada Allah.
Jangan engkau buka tutup
(kiasan untuk keperawanannya)
kecuali dengan haknya.’ Maka
aku pun berdiri
meninggalkannya. Kalau Engkau
tahu, aku melakukannya adalah
karena mengharap wajah-Mu,
maka bukakanlah untuk kami
satu celah dari batu ini.”
Maka Allah Subhanahu wa
Ta’ala pun membuka satu celah
untuk mereka.
Laki-laki ketiga berkata: “Ya
Allah, sungguh, aku pernah
mengambil sewa seorang buruh,
dengan upah satu faraq1 beras.
Setelah dia menyelesaikan
pekerjaannya, dia berkata:
‘Berikan hakku.’ Lalu aku
serahkan kepadanya beras
tersebut, tapi dia tidak
menyukainya. Akhirnya aku pun
tetap menanamnya hingga aku
kumpulkan dari hasil beras itu
seekor sapi dan
penggembalanya. Kemudian dia
datang kepadaku dan berkata:
‘Bertakwalah kepada Allah, dan
jangan zalimi aku dalam urusan
hakku.’
Aku pun berkata: ‘Pergilah,
ambil sapi dan penggembalanya.’
Dia berkata: ‘Bertakwalah
kepada Allah dan jangan
mempermainkan saya.’ Aku pun
berkata: ‘Ambillah sapi dan
penggembalanya itu.’ Akhirnya
dia pun membawa sapi dan
penggembalanya lalu pergi.
Kalau Engkau tahu bahwa aku
melakukannya karena
mengharap wajah-Mu, maka
bukakanlah untuk kami apa
yang tersisa.”
Maka Allah pun membukakan
untuk mereka sisa celah yang
menutupi.
Itulah kisah yang diceritakan
oleh beliau Shalallahu ‘alaihi wa
sallam. Sebuah kisah yang di
dalamnya sarat dengan pelajaran
yang sangat berharga. Dalam
kisah ini terkandung dalil tentang
tawassul (perantara) yang
dibolehkan, yaitu dengan amal
shalih yang pernah dikerjakan.
Orang pertama bertawassul
kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala dengan baktinya kepada
kedua orangtuanya. Dia seorang
penggembala, dan makanan
pokoknya tergantung kepada
susu ternaknya. Kebiasaan orang
ini adalah memerah susu itu
sesudah dia pulang dan mulai
memberi minum kepada kedua
orangtuanya sebelum anak dan
istrinya.
Inilah salah satu bentuk bakti
kepada ibu dan bapak.
Betapa banyak di antara manusia
saat ini yang berbakti kepada
orangtua sesuai keridhaan anak
dan istrinya. Mereka
mendahulukan anak dan istrinya,
kemudian baru berbakti kepada
ibu bapak mereka. Yang lebih
menyedihkan lagi, sebagian
mereka lebih suka menitipkan
ibu bapaknya di panti-panti
jompo.
Tidak takutkah mereka dengan
peringatan Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam sebuah
hadits, ketika beliau naik ke atas
mimbar sambil mengucapkan
amin, setiap kali menapakkan
kaki di atas mimbarnya? Para
sahabat yang begitu antusias
dengan kebaikan, bertanya
kepada Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam: “Apa yang
anda aminkan, wahai
Rasulullah?”
Beliau berkata: “Jibril datang
kepadaku lalu berkata –di
antaranya–:
رَغِمَ أَنْفُ امْرِئٍ أَدْرَكَ
وَالِدَيْهِ أَوْ أَحَدَهُمَا فَلَمْ
يُدْخِلاَهُ الْجَنَّةَ، قُلْتُ
آمِيْن
‘Alangkah celakanya seseorang
yang mendapati kedua
orangtuanya atau salah satunya,
namun keduanya tidak
menyebabkan dia masuk ke
dalam jannah.’ Aku pun berkata:
‘Amiin’.”2
Adapun kebiasaan si
penggembala ini, dia menjauh
untuk mencari ladang
gembalaan ternaknya, dan tidak
kembali kecuali sesudah malam
agak larut. Dia pun memerahkan
susu untuk ibu bapaknya yang
ternyata telah tertidur. Dia tidak
suka membangunkan mereka
dan tidak mau memberikan susu
itu untuk anaknya. Akhirnya dia
pun berjaga sepanjang malam itu
dengan susu itu masih di
tangannya, sedangkan anaknya
menangis di bawah kakinya.
Sungguh, hanya Allah
Subhanahu wa Ta’ala yang tahu
betapa sulitnya keadaan si
penggembala malam itu. Jauh-
jauh dia menggembalakan
kambing, lalu bergegas pulang
dan belum sempat makan
malam, sementara anaknya
menangis di bawah kakinya.
Gambaran yang sangat agung
yang ditunjukkan oleh iman,
hingga membawanya sampai
pada tingkatan demikian tinggi
karena baktinya kepada ibu
bapaknya dan semangatnya
melakukan hal itu, sehingga
menjadi salah satu sebab Allah
Subhanahu wa Ta’ala membuka
sedikit celah yang menutupi gua
itu.
Ini adalah peringatan bagi umat
ini, sekaligus anjuran agar
berbakti kepada ibu bapaknya
dan bersegera menjalankannya.
Kemudian Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam melanjutkan
kisahnya.
Orang kedua, dia bertawassul
kepada Rabbnya dengan rasa
takutnya kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Rasa takut
itu mendorongnya untuk
meninggalkan perbuatan keji
dan bujukan syahwat. Dia begitu
mencintai dan ingin memiliki
putri pamannya, bahkan
membujuk gadis itu agar mau
mengikuti keinginannya, namun
wanita itu menolak.
Pada suatu ketika wanita itu
ditimpa kesulitan ekonomi. Hal
ini mendorongnya datang
menemui si pemuda. Tapi
keadaan ini seolah menjadi
sebuah kesempatan baik bagi si
pemuda agar melampiaskan
syahwatnya. Akhirnya, dia
membujuk wanita agar menuruti
keinginannya dan dia siap
membantunya. Dengan terpaksa,
wanita itu meluluskan keinginan
si pemuda setelah dia menerima
sejumlah uang yang cukup besar
dan diserahkan sebelum dia
melayani si pemuda.
Akan tetapi, di saat pemuda itu
sudah siap untuk melakukan
segala perkara yang hanya layak
dilakukan oleh suami kepada
istrinya, dan tidak ada lagi yang
akan mencegah si pemuda
berbuat apa yang diinginkannya
terhadap tubuh wanita itu, tiba-
tiba wanita itu menangis dan
bergetar. Pemuda itu bertanya:
“Ada apa?” Si wanita
mengatakan bahwa dia takut
kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala, karena dia belum pernah
melakukan perbuatan keji (zina)
sebelum itu. Mendengar ucapan
wanita tersebut, pemuda itu
segera berdiri dan meninggalkan
si wanita yang sangat dicintainya
serta harta yang diberikannya
untuk si wanita.
Itulah keimanan, yang
mendorongnya meninggalkan
perbuatan zina. Padahal dia
mampu melakukannya, bahkan
semua sarana dan fasilitas serta
situasi sangat mendukung
keinginannya. Tetapi, iman dan
rasa takutnya kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala
menuntutnya segera
meninggalkan perbuatan keji itu
dan bertaubat kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
Sungguh sangat disayangkan,
sebagian anak-anak kaum
muslimin, justru melangkah
menuju perbuatan keji ini. Lebih
celaka lagi, semua dikemas
dengan label Islam; Pacaran
Islami. Bahkan para orangtua
mendukung perbuatan tersebut.
Mereka merasa bangga bila anak
gadisnya bergandengan atau
berduaan dengan seorang
pemuda, entah teman
sekolahnya atau hasil perkenalan
di sebuah tempat. Sementara
pada diri para pemuda dan
pemudinya, rasa minder akan
menghinggapinya jika mereka
tidak mempunyai pacar.
Jadi, seolah-olah dalam Islam
perzinaan itu sah-sah saja.
Na’udzu billahi min dzalik. Maha
Suci Allah dari kedustaan yang
mereka ada-adakan.
Tapi, lihatlah bagaimana pemuda
itu. Dalam keadaan sudah
hampir melakukannya, terhadap
wanita yang dicintainya, tanpa
ada yang merintangi. Ternyata
dia segera beranjak pergi
meninggalkan si wanita dan
membiarkan harta itu untuknya.
Itulah taubat yang membasuh
dosa.
Rasa takut kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala membuat
laki-laki itu menjauhi putri
pamannya itu, padahal dia
adalah wanita yang paling
dicintainya. Wanita yang
memberi kesempatan kepada
dirinya untuk berbuat apa saja,
tapi juga mengingatkannya agar
bertakwa kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Wanita itu
mengingatkannya kepada Dzat
yang dirinya adalah hamba
sahaya-Nya. Wanita itu
mengingatkannya kepada Allah:
“Wahai hamba Allah,
bertakwalah kepada Allah!”
Artinya, buatlah antara dirimu
dengan Allah Subhanahu wa
Ta’ala sebuah pelindung, dengan
menjalankan perintah dan
menjauhi larangan-Nya dalam
keadaan penuh rasa takut dan
harap.
“Bertakwalah kepada Allah,
jangan kau buka tutupnya
kecuali dengan haknya,” kata
wanita itu.
“Lalu aku pun berdiri
meninggalkannya. Ya Allah,
kalau Engkau tahu aku
melakukannya karena
mengharap Wajah-Mu, maka
lepaskanlah kami dari batu ini.”
Maka Allah Subhanahu wa
Ta’ala pun memberi celah lebih
lebar daripada sebelumnya,
namun mereka belum dapat
keluar.
Apa yang mendorongnya
meninggalkan wanita itu dalam
keadaan dia sudah ada di atas
tubuhnya? Apa yang
mencegahnya dari kemaksiatan?
Tidak ada yang menghalanginya
selain kokohnya sikap ta’zhim
(pengagungan) kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala dalam
sanubarinya. Tidak ada yang
menghentikannya selain
kebesaran Rabbnya yang
bertahta di hatinya, sehingga
menimbulkan rasa takut dan
merasa diawasi oleh Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Dia segera
berdiri karena Allah Subhanahu
wa Ta’ala, mengharap pahala
dan takut akan siksa-Nya.
Menghormati hak orang lain
Alangkah banyak di antara
manusia yang masih suka
mengangkangi hak orang lain.
Sementara Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda dalam
sebuah hadits shahih dari Ibnu
Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:
مَنِ اقْتَطَعَ مَالَ امْرِئٍ
مُسْلِمٍ بِغَيْرِ حَقٍّ لَقِيَ
اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَهُوَ عَلَيْهِ
غَضْبَانُ
“Siapa yang mengambil harta
seorang muslim tanpa alasan
yang haq, niscaya dia bertemu
dengan Allah Subhanahu wa
Ta’ala dalam keadaan Dia sangat
murka kepadanya.” (HR. Ahmad)
Bayangkanlah hari yang sangat
dahsyat tersebut. Ketika manusia
dikumpulkan dalam keadaan
tidak beralas kaki, tidak
berpakaian, dan tidak berkhitan,
di saat kita sangat membutuhkan
karunia dan rahmat Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Dalam
hadits lain yang hampir serupa
dengan ini, terkait dengan
sumpah, mereka bertanya
kepada Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wa sallam: “Walaupun
sebatang kayu arak –untuk
siwak–?”
Kata beliau: “Walaupun hanya
sebatang kayu arak.”
Artinya, seandainya kita
mengambil sebatang kayu arak
dari seorang muslim dalam
keadaan dia tidak senang kamu
mengambilnya, niscaya kita akan
bertemu dengan Allah
Subhanahu wa Ta’ala dalam
keadaan dia murka. Lantas, di
mana sikap ta’zhim
(pengagungan) kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala dari
orang-orang yang berbuat zalim
seperti ini?
Seandainya dia memiliki sikap
ta’zhim kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala, tentulah dia seperti
orang yang diceritakan oleh
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa
sallam dalam hadits ini. Kita
perhatikan kisah tentang orang
ketiga ini.
Dia menyewa seorang buruh
agar bekerja dengan upah yang
telah ditentukan, tetapi pekerja
itu tidak jadi mengambil
upahnya. Dia malah pergi tanpa
membuat kesepakatan dengan
majikannya agar upahnya
dikembangkan. Namun,
kedermawanan majikan tersebut
mendorongnya mengolah upah
buruh tadi sehingga bertambah
banyak.
Tak lama, dari upah buruh tadi
yang tidak seberapa, harta itu
berkembang menjadi berlimpah.
Kemudian datanglah si buruh
menagih upah yang dahulu dia
tinggalkan. Oleh si majikan, harta
yang berasal dari upah si buruh
diserahkan seluruhnya kepada
buruh tersebut.
Dia berkata: “Lalu aku berikan
kepada buruh itu semua yang
telah aku kembangkan dari
upahnya. Andai aku mau
tentulah tidak aku berikan
kepadanya melainkan upahnya
semata.” Artinya, dia kuasa
untuk tidak memberi buruh tadi
harta yang sudah
dikembangkannya dalam waktu
cukup lama. Akan tetapi, dengan
sikap pemurahnya itu, dia
menyerahkan semua harta yang
diperoleh dari upah buruh
tersebut.
Lalu dia pun berkata: “Ya Allah,
kalau Engkau tahu aku
melakukannya demi mengharap
rahmat-Mu dan takut akan
siksa-Mu, maka lepaskanlah
kami.” Maka batu itu pun
bergeser dan mereka berjalan
keluar dari gua tersebut.
Melalui kisah ini pula kita
dapatkan bahwa selamat dari
petaka/bencana adalah balasan
atas amal perbuatan yang shalih.
Betapa besar ganjaran yang
diterima oleh mereka yang jujur
dan amanah dalam
bermuamalah.
Majikan yang jujur dan amanah
yang mengembangkan upah
buruhnya adalah cermin bagi
kita melihat betapa langkanya
kejujuran dan amanah itu di
sekitar kita saat ini. Dia
menyerahkan semua harta yang
dihasilkan dari pengembangan
upah buruhnya, tanpa meminta
imbalan atau bagian atas
upayanya mengembangkan upah
buruh tersebut. Sementara di
sekitar kita, hal ini justru menjadi
peluang untuk memperoleh
harta tambahan. Wallahul
Musta’an.
Alangkah tepat ungkapan ini:
صَبْراً جَمِيلاً مَا أَقْرَبَ
الْفَرَجَا
مَنْ رَاقَبَ اللهَ فِي
الْأُمُوْرِ نَجَا
مَنْ صَدَقَ اللهَ لَمْ يَنَلْهُ
أَذَى
وَمَنْ رَجَاهُ يَكُونُ حَيْثُ
رَجَا
Bersabarlah dengan kesabaran
yang indah, alangkah dekatnya
jalan keluar
Siapa yang senantiasa yakin
diawasi oleh Allah dalam semua
urusan pasti selamat
Siapa yang jujur terhadap Allah
tentu tidak akan celaka
Dan siapa yang mengharapkan-
Nya tentu Dia ada di mana pun
diharap
Jelaslah, dari hadits ini bahwa
ketiga laki-laki mukmin ini, di
saat mereka ditimpa malapetaka
dan keadaan mengimpit mereka,
serta putus asa akan datangnya
kelonggaran dari semua jalan
selain jalan Allah Tabaraka wa
Ta’ala satu-satunya, maka
mereka pun berlindung dan
berdoa kepada-Nya dengan
ikhlas, serta menyebutkan
amalan-amalan shalih mereka
yang dahulu biasa mereka ingat
kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala pada waktu-waktu
senang, sambil mengharapkan
agar Allah Subhanahu wa Ta’ala
mengetahui keadaan mereka di
saat-saat yang sulit. Sebagaimana
hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam:
تَعَرَّفْ إِلَى اللهِ فِي
الرَّخَاءِ يَعْرِفْكَ فِي
الشِّدَّةِ
“Ingatlah kepada Allah ketika
dalam keadaan senang, tentu
Dia mengingatmu pada saat-saat
yang sulit.”2
Wallahu a’lam.
1 Kira-kira 16 ritl. Ritl adalah
ukuran yang dipakai untuk
menimbang, dan takarannya
berbeda antara satu negeri
dengan negeri lainnya. Di Mesir
misalnya, 1 ritl= 12 uqiyah, 1
uqiyah= 12 dirham. 1 dirham
sendiri = 3,98 gram perak,
berarti 1 faraq sekitar 9,17 kg.
Adapula yang berpendapat 1
uqiyah= 40 dirham, sehingga 1
faraq sekitar 30,5 kg.
2 Shahih Adabul Mufrad (no.
503), dihasankan oleh Asy-Syaikh
Al-Albani rahimahullahu.
2 HR. Ahmad dari Ibnu ‘Abbas
radhiyallahu ‘anhuma dan
sanadnya sahih dengan
syawahid, lihat Zhilalul Jannah fi
Takhrij As-Sunnah (hal. 138),
karya Asy-Syaikh Al-Albani
rahimahullahu.
www.majalahsyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=865
0 komentar:
Posting Komentar