Banner 468 X 60

Jumat, 05 November 2010

Syirik Mahabbah

Ditanamkannya sifat mahabbah
(cinta) pada jiwa setiap manusia
di muka bumi ini merupakan
faktor penggerak jiwa dan
raganya untuk condong kepada
sesuatu yang dia cintai. Tidaklah
aneh, bila dia akan mencintai
apa yang ia suka, dan membenci
apa yang ia tak suka, senantiasa
berusaha mencocoki siapa yang
dicintai, dengan mentaati apa
yang diperintah dan menjauhi
apa yang dilarang.
Memang, sedemikian besar
pengaruh mahabbah pada jiwa
setiap manusia. Yang tentunya
setiap dari mereka terutama
seorang muslim yang telah
mengikrarkan Laa Ilaaha lIlallah
hendaklah benar-benar
mencermati perkara yang
ternyata rentan terhadap
tauhidnya ini. Jangan sampai dia
tidak memahami permasalahan
urgent yang tidak sedikit kaum
muslimin di tengah-tengah kita
tertimpa kerancuan di dalamnya.

Tidak ada jalan yang lebih
selamat dan hikmah melainkan
dengan menelaah ilmu yang
datang dari Al Qur’an dan As
Sunnah dengan bimbingan para
ulama, yang mereka paling tahu
dan jujur di dalam menjelaskan
kedua wahyu yang agung
tersebut.
Adapun upaya yang mereka
tempuh di dalam menerangkan
pembahasan ini kepada kita
adalah membagi bentuk-bentuk
mahabbah di dalam karya-karya
berharga mereka. Sehingga
sangat disayangkan kalau
terdapat seorang muslim tersesat
disebabkan tidak mampu
memilah pembagian tadi.
Wallahul Musta ’an.

Mahabbah secara garis besar
terbagi menjadi tiga macam.
Yang ini semua merupakan
rangkuman dari keterangan Al
Imam Ibnu Qoyyim Al Jauziyyah
di dalam dua karya besar beliau
“Al Jawabul Kafi” hal. 450-451
dan “Thoriqul Hijratain” hal.
295-296, Asy Syaikh Sulaiman
Alu Syaikh di dalam “Taisirul
‘Aziizil Hamid” hal. 389, Asy
Syaikh Abdurrahman Nashir As
Sa ’di di dalam “Al Qoulus Sadid”
hal. 112-113 dan Asy Syaikh
Muhammad bin Sholih Al
‘ Utsaimin di dalam “Al Qoulul
Mufid” 2/141-142
rahimahumulloh, dengan
beberapa keterangan tambahan.

Pertama : Mahabbah Tabi’at
Macam mahabbah yang pertama
ini bukanlah pembicaraan kita di
sini. Namun sangat penting
untuk kita singgung dan
perhatikan seiring betapa banyak
saudara-saudara kita tergelincir
di dalam perkara ini, baik
disadari maupun tidak.
Yaitu mahabbah yang seseorang
condong kepada apa yang
diinginkannya secara tabiat
kemanusiaannya. Seperti
kecintaan dan keinginannya
kepada perkara-perkara mubah
yang di antaranya Allah ?
sebutkan di dalam ayat-Nya:

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ
الشَّهَوَاتِ من النِّسَاءِ وَ
البَنِيْنَ وَ الْقَنَاطِيْرِ
الْمُقَنْطَرَةِ من الذَّهَبِ وَ
الْفِضَّةِ وَ الْخَيْلِ
الْمُسَوَّمَةِ وَ الأَنْعَامِ وَ
الْحَرْثِ ذَالك مَتَاعُ
الْحَيَاةِ الدُّنْيَا، وَ اللهُ
عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَئَابِ

Dijadikan indah pada
(pandangan) manusia untuk
mencintai apa-apa yang diingini
dari wanita-wanita, anak-anak,
harta yang banyak dari jenis
emas dan perak, kuda pilihan,
binatang ternak dan sawah
ladang. Itulah kesenangan
kehidupan dunia dan di sisi Allah
adalah tempat kembali yang
baik ”. (QS. Ali Imran: 14).
dan juga ayat-ayat lainnya yang
tidak sedikit jumlahnya.
Mahabbah jenis ini tidaklah
dicela dan dilarang untuk
diberikan di antara makhluk-
makhluk Allah. Namun Allah
senantiasa memperingatkan
bahwa apa yang di sisi-Nya
berupa kehidupan Jannah
adalah kenikmatan yang hakiki.
Allah jadikan perkara-perkara
duniawi sebagai ujian, apakah
mereka memahami dan
mengindahkan peringatan
tersebut. Allah ? berfirman:

إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَ
أَوْلاَدُكُمْ فِتْنَةٌ وَ اللهُ
عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيْمٌ
“ Hanyalah harta-harta dan
anak-anak kalian adalah ujian.
Dan yang di sisi Allah adalah
balasan kebaikan yang
besar. ” (QS. At Taghabun: 15).
Jangan sampai mahabbah ini
sampai menghalangi seseorang
dari ketaatan kepada Rabb-Nya.
Allah ? tegaskan:

يَأََيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا لاَ
تُلْهِكُمْ أَمِْوَالُكُمْ وَ لاَ
أَوْدُكُمْ عَنْ ذِكْرِاللهِ

Wahai orang-orang yang
beriman janganlah harta-harta
dan anak-anak kalian
menghalangi dari dzikir kepada
Allah ”. (QS. Al Munafiqun: 9).
Bahkan sebaliknya, mahabbah ini
justru dapat menjadi bagian dari
sebuah ibadah sehingga
mendatangkan balasan kebaikan
jika mampu mendorong dan
membantu seseorang untuk
semakin taat dan cinta kepada
Allah ?. Rasululloh ? bersabda:

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِا لنِّيَاتِ
وَ إِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا
نَوَى

Hanyalah amalan-amalan
kebaikan itu tergantung dengan
niatnya. Dan hanyalah bagi
seseorang balasan sesuai dengan
apa yang diniatkan ”.
(Muttafaqun ‘Alaih).
Kedua : Mahabbah kepada apa
yang dicintai Allah, karena Allah
dan di jalan-Nya.
Mahabbah ini terwujud pada diri
seseorang kepada sesuatu yang
memang dicintai Allah baik
berupa manusia, seperti para
nabi, rasul, orang-orang
mukmin, atau amalan, seperti
sholat, zakat, amalan-amalan
kebaikan, ataupun waktu, seperti
bulan Ramadhan, seperti hari-
hari terakhir di bulan tersebut,
ataupun tempat seperti masjid-
masjid Allah, Ka ’bah dan
selainnya.
Macam kedua ini diterangkan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah di dalam “Majmu’
Fatawa” 1/93 yang secara makna
bahwa ini menunjukkan hakekat
dari mahabbah kepada Allah.
Karena hakekat mahabbah
kepada Allah adalah mencintai
apa yang Allah cintai dan
membenci apa yang Dia benci.
Rasululloh ? bersabda :

مَنْ أَحَبَّ للهِ وَ أَبغَضَ
للهِ وَ أَعْطَى للهِ وَ مَنَعَ
للهِ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ
الإِيْمَانُ

Barangsiapa mencintai karena
Allah, membenci karena Allah,
memberi karena Allah, menahan
pemberian karena Allah, maka
telah sempurnalah
keimanannya ”. (H.R. Abu Dawud
dengan sanad yang dishahihkan
Asy Syaikh Al Albani di dalam As
Shahihah no. 360).
Tidaklah berlebihan bila macam
mahabbah yang kedua ini
merupakan penyempurna dan
konsekuensi mahabbah
seseorang kepada Allah, iman
dan tauhidnya. Wa Lillahil
Hamdu.
Ketiga : Mahabbah kepada Allah
Mahabbah ini adalah mahabbah
ibadah yang menyebabkan
seorang hamba menundukkan
hatinya untuk mengagungkan
Dzat yang dia cintai, mentaati
dengan sebenar-benar ketaatan
di dalam menjalankan perintah-
Nya dan menjauhi larangan-Nya
di atas seluruh makhluk-Nya.
Bila mahabbah ibadah ini
diberikan kepada selain Allah,
maka ini termasuk perbuatan
syirik kepada Alloh ?. Asy Syaikh
As Sa ’di rahimahullah di dalam
“Al Qoulus Sadid” hal. 110
tatkala menjelaskan mahabbah
jenis ketiga ini mengatakan:
“ Pokok tauhid dan ruhnya
adalah pemurniaan mahabbah
kepada Allah saja. Mahabbah ini
merupakan pokok penyembahan
dan peribadatan kepada-Nya.
Bahkan ia merupakan hakekat
ibadah dan tidaklah sempurna
tauhid sampai sempurnanya
mahabbah seorang hamba
kepada Rabbnya. ”
Memang demikianlah
kedudukan mahabbah di dalam
lingkup ibadah. Kalaulah
seseorang beribadah tanpa
disertai mahabbah maka jadilah
dia beribadah tanpa ruh yang
menggerakkan hati untuk
menghadap Allah ?.
Bahkan mahabbah sendiri
merupakan faktor penggerak
hati terkuat untuk senantiasa
menghadap Allah dibandingkan
khauf (rasa takut dari adzab
Allah) dan roja ’ (rasa harap
terhadap rahmat-Nya). Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah dalam “Majmu’
Fatawa” 1/95 berkata :
“Ketahuilah bahwa penggerak
hati manusia untuk menghadap
Allah ? ada tiga macam :
mahabbah, khauf dan roja ’.
Yang paling kuat adalah
mahabbah, karena dialah sendiri
yang memang diinginkan secara
dzatnya. Dia diinginkan di
kehidupan dunia dan akhirat
berbeda dengan khauf yang
hilang dan sirna di kehidupan
akhirat. Allah ? berfirman
: أَلاَ إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللهِ لاَ
خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ
يَحْزَنُوْنَ
“ Ketahuilah sesunggunya wali-
wali Allah itu tidak ada
ketakutan (di kehidupan akhirat
mendatang) dan tidak pula sedih
(dari kehidupan dunia yang dia
tinggalkan). ” (QS. Yunus : 62).
Yang diinginkan dari khauf
adalah menghindari dan
mencegah dari keluarnya
seorang hamba dari jalan
kebaikan. Adapun mahabbah
mendorong seseorang untuk
menempuh jalan menuju Dzat
yang dia cintai tersebut. Sesuai
dengan lemah dan kuatnya
kadar mahabbah, dia
menempuh jalan tersebut.
Sedangkan khauf dialah yang
mecegahnya untuk keluar dari
jalan tadi. Adapun roja ’
membimbingnya dalam
menempuh jalan tersebut. Maka
ini adalah suatu asas yang
agung. Wajib bagi setiap hamba
untuk memperhatikannya.
Karena tidaklah terwujud
penghambaan diri (kepada
Allah) tanpa dengannya. Padahal
setiap orang wajib untuk menjadi
hamba Allah bukan selain-Nya ”.
Berdasarkan penjelasan tersebut
tepatlah ungkapan murid
terbesar beliau Syaikhul Islam Al
Imam Ibnu Qoyyim Al Jauziyah
rahimahullah tatkala berkata di
dalam “Al Jawabul Kafi” hal.
447 : “Dan asas kesyirikan
kepada Allah adalah syirik
mahabbah, sebagaimana Allah ?
berfirman :

وَ مِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ
مِنْ دُوْنِ اللهِ أَنْدادًا
يُحِبُّوْنَهُمْ كَحُبِّ اللهِ وَ
الَّذِيْنَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًا
للهِ

Dan di antara manusia ada
yang menjadikan selain Allah
sebagai sekutu-sekutu yang
mereka mencintainya
sebagaimana mencintai Allah.
Dan orang-orang yang beriman
lebih besar cintanya kepada
Allah.” (QS. Al Baqarah: 165).
Para ulama tafsir memberikan
tafsiran tentang ayat tersebut
dengan dua penafsiran yang
cukup kuat.
Pendapat pertama : mengatakan
bahwa di antara manusia
terdapat orang-orang musyrikin
yang mencintai sekutu-sekutu
selain Allah sebagaimana mereka
mencintai Allah. Berdasarkan
tafsiran ini maka ucapan Allah:

وَ الَّذِيْنَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًا
للهِ

Memiliki makna bahwa orang-
orang yang beriman lebih tinggi
kecintaannya kepada Allah ?
daripada kecintaan orang-orang
musyrikin tadi kepada Allah.
Karena kecintaan orang-orang
mukminin murni untuk Allah
sedangkan kecintaan orang-
orang musyrikin terdapat unsur
penyekutuan antara Allah dan
selain-Nya.
Pendapat kedua : mengatakan
bahwa orang-orang musyrikin
mencintai sekutu-sekutu selain
Allah sebagaimana kecintaan
orang-orang mukmin kepada
Allah. Sehingga berdasarkan
penafsiran ini maka ucapan
وَ
الَّذِيْنَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًا
للهِ
mengandung
arti bahwa
orang-orang mukmin lebih kuat
cintanya kepada Allah daripada
kecintaan orang-orang musyrikin
kepada sekutu-sekutu selain
Allah. Hal ini disebabkan
cintanya orang-orang mukmin
kepada Allah tetap terwujud baik
dalam keadaan senang maupun
dalam keadaan genting.
Sedangkan kecintaan orang-
orang musyrikin kepada selain
Allah hanya terbentuk pada saat
mereka senang saja.
Pendapat pertama nampaknya
lebih dekat kepada kebenaran
berdasarkan konteks ayat itu
sendiri. Pendapat ini dipilih oleh
Al Imam Ath Thobari, Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah, Ibnu
Qoyyim Al Jauziyah dan Asy
Syaikh Ibnu Utsaimin
rahimahumullah.
Titik fokus pengkajian ayat
Allah ? ini benar-benar
mengarah kepada kondisi yang
terjadi pada akidah dan
keimanan orang-orang musyrikin
ketika ayat itu turun. Bukanlah
mereka orang-orang yang
menyakini bahwa selain Allah
mampu mendatangkan rizki,
mendatangkan kemanfaatan dan
menjauhkan dari segala
mudharat. Sekali-kali bukan.
Bahkan mereka benar-benar
mengimani bahwa itu semua
hanya mampu dilakukan
Allah ? .
Hanyalah menurut mereka
bahwa mahabbah ibadah itu
dapat diberikan kepada Allah
dan selain-Nya. Allah sendiri
memberi nama perbuatan dan
keyakinan mereka sebagai
kesyirikan. Lebih menyedihkan
lagi, masih banyak terdapat di
sebagian besar kaum muslimin,
semoga Allah melimpahkan dan
menetapkan hidayah kepada kita
semuanya mewarisi keyakinan
mereka. Kita saksikan wujud
gambaran mahabbah mereka
kepada selain Allah tatkala
mendatangi kota Makkah dan
Madinah. Mereka bahkan
berpendapat bahwa ziarah ke
kubur Nabi ? lebih utama dan
agung daripada ziarah ke Baitul
Haram. Mengapa demikian?
Tidaklah aneh bila itu didasarkan
pada kecintaan mereka kepada
Rasul ? setara dengan kecintaan
mereka kepada Allah bahkan
lebih daripada itu. Padahal
kecintaan kepada Rasul ?
hendaklah diberikan sebagai
penyempurna dan mengikuti
kecintaan kepada Allah ?.
Betapa banyak pula mereka
lebih khusu ’ bila beribadah di
dekat kubur seorang nabi atau
wali daripada di masjid-masjid
Allah. Mereka lebih ikhlas untuk
mengeluarkan harta yang
banyak untuk memperbaiki
kubur tersebut daripada
menginfakkan kepada orang-
orang fakir muslimin. Tidak takut
untuk bersumpah dengan nama
Allah untuk berdusta namun
takut bila bersumpah dengan
nama wali fulan untuk berdusta.
Bahkan berani membela fasilitas-
fasilitas kesyirikan dengan harta
dan jiwanya bila merasa
terganggu dengan seruan
dakwah tauhud. Wal ’
iyadzubillah. Ingatlah dengan
berita Allah di dalam firman-
Nya :

وَ إِذّا ذُكِرَ اسْمُ اللهِ وَحْدَهُ
اشْمَأَزَّتْ قُلُوْبُ الذِّيْنَ
لاَ يُؤْمِنُوْنَ بِالآخِرَةِ وَ
إِذَا ذُكِرَ الَّذِيْنَ من دُوْنِهِ
إِذَا هُمْ يَسْتَبْشِرُون

Dan bila disebut nama Allah
saja kesallah hati orang-orang
yang tidak beriman kepada
akhirat. Namun bila disebut
sekutu-sekutu selain Allah tiba-
tiba mereka langsung
bergembira. ” (QS. Az Zumar: 45)
Dan ingatlah pula kejadian yang
pasti akan terjadi di Hari Kiamat
antara orang-orang yang
memberikan mahabbah kepada
sekutu-sekutu selain Allah
dengan sekutu-sekutu itu sendiri.
ِAllah ? berfirman :
“Hanyalah apa yang kalian
jadikan sebagai sesembahan-
sesembahan selain Allah ? itu,
kalian saling mencintai di
kehidupan dunia saja. Lantas
pada Hari Kiamat sebagian kalian
dengan sebagian yang lainnya
saling mengingkari dan
melaknat. Dan An Naar lah
tempat tinggal kalian. ” (QS. Al
Ankabut: 25).
Bila mereka telah tinggal di An
Naar maka dengarkanlah suatu
kepastian dari Allah :
“ Dan tidaklah mereka bisa
keluar dari An Naar.” (QS. Al
Baqarah: 167). “Ya Allah
selamatkan kami semua dari An
Naar. ”

Tanya Jawab
Soal : Apa tanda-tanda seorang
hamba itu mencintai Rabbnya ? ?
Jawab :
“ Sebenarnya pertanyaan di atas
dapat di jawab apabila kita
membaca awal-awal
pembahasan ini dengan
seksama. Namun tidak
berlebihan bila kita bawakan
jawaban seorang alim yaitu Asy
Syaikh Hafidz bin Ahmad Al
Hakami rahimahullah di dalam
Kitab A ’lamus Sunnah Al
Mansyurah hal. 31, beliau
menjawab :
Tanda-tandanya adalah seorang
hamba mencintai apa yang Dia
cintai, membenci apa yang Dia
benci, menunaikan perintah-
perintah-Nya menjauhi larangan-
larangan-Nya, mencintai wali-
wali-Nya, membenci musuh-
musuh-Nya. Oleh karena itu tali
iman yang paling kokoh adalah
mencintai dan benci di jalan
Allah”.
Kita katakan: ”Jawaban akhir
beliau tersebut didasarkan pada
sebuah hadits Ibnu Abbas, beliau
berkata : “Rasulullah ? bertanya
kepada Abu Dzar tali iman apa-
aku (pariwayat hadist) menduga
– yang paling kokoh ? Dia (Abu
Dzar) menjawab : Allah dan
Rasul-Nya yang lebih tahu.
Beliau ? bersabda :

المُوَالاةُ فىِ اللهِ وَ
المُعَادَاةُ فىِ اللهِ وَ الحُبُّ
فىِ اللهِ وَ البُغْضُّ فىِ
اللهِ

Saling mencintai di jalan Allah,
saling membenci di jalan-Nya,
mencintai dan membenci di
jalan-Nya. (Diriwayatkan Ath
Thabrani dan dihasankan Asy
Syaikh Al Albani di dalam Ash
Shahihhah no. 998 dan 1728)
Wallahu A’lam bish Showab

www.assalafy.org/mahad/?p=22

1 komentar:

Jaloee mengatakan...

mahabah mungkin definisinya lebih rumit dari pada cinta..

Posting Komentar