Banner 468 X 60

Senin, 22 November 2010

Salah Kaprah Tentang Niat

Melafazhkan niat sudah trend di
Indonesia, baik di kalangan
awam maupun kaum santri
terpelajar. Seakan perkara ini
menjadi suatu kewajiban bagi
mereka dan aib jika mereka
tidak melafazhkan niat ketika
ingin melaksanakan sholat,
wudhu, dan berbagai macam
ibadah lainnya. Bahkan ada
sebagian di antara mereka
menganggap sholatnya batal jika
tidak melafazhkan niat. Tragisnya
lagi, jika mereka memutuskan tali
persaudaraan lantaran
saudaranya yang lain tidak
melafazhkan niat. Padahal
mereka diperintahkan oleh Allah
untuk menyambung tali
persaudaraan.Inilah salah
kaprah yang menimbulkan
perpecahan yang kita saksikan di
Indonesia.

Apa itu Niat ?
Kalau kita membuka kitab-kitab
kamus berbahasa arab, maka
kita akan jumpai ulama bahasa
akan memberikan definisi
tertentu bagi niat. Muhammad
bin Abu Bakr Ar-Rozy
Rahimahullah berkata saat
memaknai niat, “ Meniatkan
adalah menginginkan sungguh-
sungguh”. [Lihat Mukhtar Ash-
Shihah (1/286)]

Ibnu Manzhur -rahimahullah-
berkata, " Meniatkan sesuatu
artinya memaksudkannya dan
meyakininya. Niat adalah arah
yang dituju". [Lihat Lisan Al-
Arab (15/347)]

Dari ucapan dua orang ulama
bahasa ini, bisa kita simpulkan
bahwa niat ( نِيَّةٌ ) adalah
maksud dan keinginan seseorang
untuk melakukan suatu amalan
dan pekerjaan. Jadi niat itu
merupakan amalan hati.
Komentar Para Ulama tentang
Melafazhkan Niat
Para ulama telah membicarakan
masalah ini bahwa melafazhkan
dan mengeraskan niat
tidaklah wajib atau mustahab
menurut kesepakatan para
ulama kaum muslimin kecuali
segelintir di antara mereka dan
sebagian orang-orang
belakangan ini. Para ulama itu
menganggap orang yang
mengeraskan niat sebagai ahli
bid’ah yang menyelisihi syari’at.

Dari kalangan madzhab
Malikiyyah, Abu Abdillah
Muhammad bin Al-Qosim At-
Tunisi -rahimahullah- berkata, "
Niat termasuk amalan hati.
Mengeraskannya adalah bid’ah,
disamping itu mengganggu
orang".
Seorang Ulama dari kalangan
madzhab Asy-Syafi’iyyah Syaikh
Ala’uddin Ibnul Aththor, dari
kalangan madzhab Asy-Syafi’i –
rahimahullah- berkata, "
Mengeraskan suara ketika
berniat disertai gangguan
terhadap orang-orang yang
sedang sholat merupakan
perkara haram menurut ijma’.
Jika tidak disertai gangguan,
maka ia adalah bid’ah yang jelek.
Jika ia maksudkan riya’
dengannya , maka ia haram dari
dua sisi, termasuk dosa besar.
Orang yang mengingkari
seseorang yang berpendapat itu
sunnah, orangnya benar. Sedang
orang yang membenarkannya
keliru. Menisbahkan hal itu
kepada agama Allah karena ia
yakin itu agama merupakan
kekufuran. Tanpa meyakini itu
agama, (maka penisbahan itu)
adalah ma’shiyat. Wajib bagi
orang mu’min yang mampu
untuk melarangnya dengan
keras, mencegah dan
menghalanginya. Perkara ini
tidaklah pernah dinukil dari
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa
sallam-, seorang sahabatnya,
dan tidak pula dari kalangan
ulama kaum muslimin yang bisa
dijadikan teladan". [Lihat
Majmu'Ar-Rosa'il Al-Kubro
(1/254-257), di dalamnya
disebutkan ucapan kedua ulama
di atas]

Mengeraskan dan melafazhkan
niat bukanlah termasuk sunnah
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa
sallam-, dan tidak wajib menurut
empat ulama’ madzhab baik
dalam wudhu’, sholat, shoum
maupun ibadah lainnya, bahkan
merupakan perkara baru yang
diadakan oleh sebagian orang-
orang belakangan
Abu Dawud As-Sijistany ,
penulis kitab As-Sunan pernah
bertanya kepada Imam Ahmad,
"Apakah seorang yang mau
melaksanakan sholat
mengucapkan sesuatu sebelum
takbir?" Jawab beliau, " Tidak
usah! ". [Lihat Masa'il Abi
Dawud (hal.31)]

Abu Bakr As-Suyuthy -
rahimahullah-, seorang ulama
bermadzhab Syafi’iyyah berkata,
"Diantara jenis-jenis bid’ah juga
adalah berbisik-bisik ketika
berniat sholat. Itu bukanlah
termasuk perbuatan Nabi -
Shallallahu alaihi wa sallam-, dan
para sahabatnya. Mereka
tidaklah pernah mengucapkan
niat sholat, selain takbir.

Allah
Ta’ala berfirman,
“Sungguh pada diri Rasulullah
ada contoh yang baik bagi
kalian”. Asy-Syafi’iy Radhiyallahu
anhu berkata: "Berbisik-bisik
ketika berniat sholat, bersuci
termasuk bentuk kejahilan
terhadap syari’at, dan kerusakan
dalam berpikir". [Lihat Al-Amr
bil Ittiba' (hal. 295-296) karya
As-Suyuthiy, dengan tahqiq
Masyhur Hasan Salman, cet. Dar
Ibn Al-Qoyyim & Dar Ibn Affan]

Dampak Buruk Melafazhkan
Niat
Jika suatu perkara tak ada
tuntunannya dari Rasulullah -
Shallallahu alaihi wa sallam- dan
para sahabatnya, maka hal itu
akan mendatangkan malapetaka
dan musibah bagi pelakunya
berupa dampak buruk yang
kadang tidak terpikir oleh
pelakunya. Demikian pula
melafazhkan niat banyak
memiliki dampak buruk.
Sekarang dengarkan Imam Ibnul
Jauzy -rahimahullah-
mengisahkan nasib orang-orang
yang melafazhkan niat seraya
berkata, "Diantara (tipuan setan)
itu yaitu tipuannya terhadap
mereka ketika berniat sholat.
Maka diantara mereka ada yang
berkata, "Saya berniat sholat
demikian". Lalu ia ulangi karena
ia kira niatnya batal. Padahal
niatnya tidak batal, sekalipun ia
melafazhkannya. Diantara
mereka ada yang bertakbir, lalu
ia batalkan. Bertabir lagi , lalu
dibatalkan. Jika imam sudah
ruku’, maka orang kena was-was
inipun bertakbir. Eh, apakah
yang menyebabkan hadirnya niat
ketika itu ?! Itu tidaklah terjadi
kecuali karena Iblis ingin
meluputkannya dari fadhilah dan
keutamaan.

Diantara orang-
orang yang kena was-was, ada
yang bersumpah dengan nama
Allah, "Saya tidak ada akan
bertakbir lagi kecuali kali ini".
Ada juga diantara mereka yang
bersumpah atas nama Allah
akan meninggalkan hartanya,
dan mentalaq istrinya. Semua ini
merupakan tipu-daya setan.
Padahal syari’at itu mudah dan
bersih dari bahaya-bahaya
seperti ini, dan juga hal ini tak
pernah terjadi pada diri
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa
sallam- dan para sahabatnya
sedikitpun". [Lihat Talbis Iblis
(hal.138) karya Ibnul Jauzy]

Orang ini telah dikuasai waswas
yang dihembuskan oleh setan ke
dalam jiwanya. Sedang waswas
ini muncul disebabkan karena
niat sebenarnya sudah ada di
hati orang waswas ini,namun ia
sendiri menyangka niat tak ada
di hati, lalu ia hendak
menghadirkan niatnya dengan
bantuan lisannya. Padahal
menghadirkan sesuatu yang
sudah ada, itu perkara mustahil.
[Lihat Majmu' Al-Fatawa
(18/263-264) oleh Syaikhul Islam]

Alangkah benarnya apa yang
ditegaskan oleh seorang ulama
Maghrib, Syaikh Muhammad
Al-Muntashir Ar-Raisuny–
rahimahullah- bahwa orang yang
senantiasa melafazhkan niat
tidak lepas dari dua
kemungkinan, entah dia itu salah
jalan, atau dia itu orang yang
dikuasai oleh waswas setan yang
selalu berusaha untuk
mengacaukan ibadah orang dan
membisikkan kepadanya bahwa
niat harus dilafazhkan dan
dikeraskan, tak cukup di hati
saja!! Padahal niat itu cukup di
hati, tak perlu dibuatkan lafazh
tertentu lalu diucapkan atau
dijaharkan. [ Lihat Wa Kullu
Bid'ah Dholalah, (hal.91-92)]

Banyak orang di negeri kita,
ketika ia diberitahu bahwa tak
ada sunnah dan contohnya
melafazhkan niat saat kalian
mau wudhu’ atau sholat karena
tak pernah dilakukan oleh Nabi -
Shallallahu alaihi wa sallam- dan
para sahabatnya. Serta-merta
mereka marah dan
beralasan,"Siapa yang bilang
tak ada contohnya? Inikan
madzhab Syafi’iy !!"

Alasan ini tidaklah berdasar
karena ada dua hal berikut ini :

Pertama , Madzhab tidaklah
bisa dikatakan contoh atau
dijadikan dalil sebab dalil
menurut para ulama adalah Al-
Qur’an, Sunnah dan ijma’.

Kedua , madzhab Syafi’iy justru
sebaliknya menyatakan bahwa
niat itu tempatnya di hati, tak
perlu dilafazhkan.
Syaikh Abu Ishaq Asy-Syairozy–
rahimahullah- , seorang
pembesar madzhab Syafi’i
berkata, " Kemudian ia berniat.
Berniat termasuk fardhu-fardhu
sholat karena berdasarkan sabda
Nabi, "Sesugguhnya amalan itu
tergantung niatnya dan bagi
setiap orang apa yang ia
niatkan", dan karena ia (sholat)
juga merupakan ibadah murni
(mahdhoh). Maka tidak sah
tanpa disertai niat seperti puasa.
Sedang tempatnya niat itu
adalah di hati. Jika ia berniat
dengan hatinya, tanpa lisannya,
niscaya cukup. Diantara
sahabat kami ada yang
berkata, "Dia berniat dengan
hatinya, dan melafazhkan (niat)
dengan lisan". Pendapat ini tak
ada nilainya karena niat itu
adalah menginginkan sesuatu
dengan hati". [Lihat Al-
Muhadzdzab (3/168) -Majmu']

Al-Hafizh Ibnu Qoyyim Al-
Jauziyyah –rahimahullah-
berkata, “Nabi -Shallallahu alaihi
wa sallam-, apabila hendak
menunaikan sholat, beliau
berkata, "Allahu Akbar". Beliau
tidak mengucapkan sesuatu
apapun sebelumnya, dan tidak
melafazhkan niat sama sekali.
Beliau tidak berkata, “Usholli
lillahi sholatu kadza mustaqbilal
qiblah arba’ah raka’at imaman
au ma’muman”. Tidak pula
berkata, "Ada’an", dan
"qodho’an", serta tidak pula,
"Fardhol Wakti". Inilah sepuluh
bid’ah yang tak pernah dinukil
satu lafazhpun oleh seseorang
dari Nabi -Shallallahu alaihi wa
sallam, baik dengan sanad yang
shohih,dho’if, musnad, maupun
mursal satu lafazhpun. Bahkan
tidak pula dari sahabat beliau.
Tak pernah dianggap bagus oleh
seorang tabi’in, dan maupun
Empat Imam Madzhab. Cuma
ada sebagian orang-orang
belakangan yang tertipu dengan
ucapan Asy-Syafi’i Radhiyallahu
anhu dalam perkara sholat,
"Sesungguhnya sholat itu itu
tidaklah seperti puasa. Seseorang
tidaklah masuk dalam sholat
kecuali dengan dzikir". Lalu dia
menyangka bahwa maksudnya
"dzikir" adalah seseorang
melafazhkan niat. Padahal Imam
Asy-Syafi’i memaksudkan dzikir
dengan takbiratul ihram. Tiada
lain kecuali itu. Bagaimana
mungkin Asy-Syafi’i
menganjurkan suatu perkara
yang tak pernah dilakukan oleh
Nabi dalam satu sholat pun, dan
tidak pula seorang diantara para
kholifah dan sahabatnya.

Inilah
petunjuk dan perjalanan hidup
mereka. Jika ada yang bisa
memperlihatkan kepada kami
satu huruf pun dari mereka
dalam perkara itu, niscaya
kami akan terima dengan
pasrah. Tak ada suatu petunjuk
pun yang lebih sempurna dari
petunjuknya, dan tak ada
sunnah kecuali mereka terima
dari pemilik syari’at -Shallallahu
alaihi wa sallam-”.[Lihat Zaadul
Ma'ad (1/21)]

Pendapat yang ditegaskan oleh
sebagian kecil dari pengikut
madzhab Asy-Syafi’iy dalam
masalah ini telah disanggah
sendiri oleh Asy-Syairoziy
sebagaimana telah kami
sebutkan tadi. Maka kelirulah
orang yang menyangka bahwa
"bolehnya melafazhkan niat"
merupakan madzhab Asy-Syafi’iy
dan pengikutnya!! Persangkaan
ini kami telah kami bantah
secara ilmiah dalam buletin ini
pada edisi 09 dengan judul
"Melafazhkan Niat, Madzhab
Syafi’iyyah?"
Awal Sholat adalah Takbir,
Bukan Melafazhkan niat.
Takbir merupakan awal gerakan
dan perbuatan yang dilakukan
dalam sholat, tapi tentunya
didahului adanya niat, maksud
dan keinginan untuk sholat,
tanpa melafazhkan niat karena
niat merupakan pekerjaan hati.
Kalau niat dilafazhkan, maka
tidak lagi disebut "niat", tapi
disebut "an-nuthq" atau "at-
talaffuzh" artinya mengucapkan.
Semoga dipahami, ini penting!!
Banyak sekali dalil-dalil yang
menunjukkan takbir merupakan
awal gerakan sholat, tanpa
didahului melafazhkan dan
mengeraskan niat. Diantara dalil-
dalil tersebut:
Dari Ummul Mu’minin A’isyah
Rodhiyallahu anha berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَسْتَفْتِحُ الصَّلَاةَ
بِالتَّكْبِيرِ

"Dulu Rasulullah -Shallallahu
alaihi wa sallam- membuka
sholatnya dengan takbir" .
[HR.Muslim (498)]
Hadits ini menunjukkan bahwa
beliau membuka sholatnya
dengan melafazhkan takbir,
bukan melafazhkan niat atau
seperti melafazhkan ta’awwudz,
basmalah atau dzikir yang
berbunyi : ilaika anta maqshudi
waridhoka anta mathlubi
(artinya: Tujuanku hanyalah
kepada-Mu, dan ridho-Mu yang
aku cari). Semua perkara ini tak
ada petunjuknya dari Nabi -
Shallallahu alaihi wa sallam-.

Dari sini kita mengetahui dan
memastikan bahwa melafazhkan
dan menjaharkan niat tak ada
tuntunannya dari Nabi. Maka
alangkah benarnya apa yang
ditegaskan oleh Syaikhul Islam
ketika beliau berkata, "Andaikan
seorang diantara mereka hidup
seumur Nuh Alaihissalam untuk
memeriksa: apakah Rasulullah
atau salah seorang sahabatnya
pernah melakukan hal itu,
niscaya ia tak akan
mendapatnya, kecuali ia terang-
terangan dusta. Andaikan dalam
hal ini ada kebaikannya, niscaya
mereka akan mendahului dan
menunujuki kita".[LihatMawarid
Al-Aman, (hal.221)]

Ringkasnya , melafazhkan dan
mengeraskan niat merupakan
perkara baru yang tak ada
dasarnya dalam Islam. Jika
seseorang mengamalkannya, dia
telah menyelisihi petunjuk Nabi -
Shallallahu alaihi wa sallam-
yang tidak pernah mengajarkan
perkara itu kepada sahabatnya
dan akhir dari pada amalan
orang ini sebagaimana yang
disabdakan oleh Nabi

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا
مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌ

“Barang siapa yang mengadakan
suatu perkara (baru) dalam
urusan (agama) kami ini yang
bukan termasuk darinya,maka
perkara itu tertolak”. [HR.Al-
Bukhory (2697)]
Ibnu Daqiq Al-Ied -
rahimahullah- berkata, “Hadits
ini merupakan kaidah yang
sangat agung diantara kaidah-
kaidah agama.Dia termasuk
"Jawami’ Al-Kalim" (ucapan
ringkas, padat maknanya), yang
diberikan kepada Al-Mushthofa -
Shallallahu alaihi wa sallam- ,
karena hadits ini jelas sekali
dalam menolak segala bentuk
bid`ah dan perkara-perkara
baru”. [Lihat Syarh Al-Arba`in
(hal.43)]

Diantara perkara baru yang
tertolak amalannya adalah
melafazhkan niat dan sejenisnya.
[Lihat Al-Ibda' fi Madhoor Al-
Ibtida' (hal.256-257) oleh Syaikh
Ali Mahfuzh, As-Sunan Wa Al-
Mubtada'at (hal.45) oleh Syaikh
Muhammad bin ahmad Asy-
Syuqoiry , Al-Bida' wa Al-
Muhdatsat wa Ma La Ashla
Lahu (hal.497-498 & 635),

Fatawa Islamiyyah (1/315) oleh
Syaikh Ibnu Baz, Tashhih Ad-
Du'a (hal.317-318) oleh Syaikh
Bakr bin Abdullah Abu Zaid,
danAs-Sunan Al-Mubtada'at fi
Al-Ibadat (hal.32-36) oleh Amer
Abdul Mun'im Salim –
rahimahumullah-]


Sumber : Buletin Jum’at At-
Tauhid edisi 108 Tahun II.
Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas.
Alamat : Pesantren Tanwirus
Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58,
Kel. Borong Loe, Kec. Bonto
Marannu, Gowa-Sulsel. HP :
08124173512 (a/n Ust. Abu
Fa’izah). Pimpinan Redaksi/
Penanggung Jawab : Ust. Abu
Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary,
Lc.

www.almakassari.com/artikel-islam/fiqh/salah-kaprah-tentang-niat.html#more-590

0 komentar:

Posting Komentar