Banner 468 X 60

Sabtu, 06 November 2010

Sesaji-Sesajian-Sesajen:Adakah Dalam Islam?

Abu Abdillah Ahmad

Sesajen berarti sajian atau
hidangan. Sesajen memiliki nilai
sakral di sebagaian besar
masyarakat kita pada umumnya.
Acara sakral ini dilakukan untuk
ngalap berkah (mencari berkah)
di tempat-tempat tertentu yang
diyakini keramat atau di berikan
kepada benda-benda yang
diyakini memiliki kekuatan ghaib,
semacam keris, trisula dan
sebagainya untuk tujuan yang
bersifat duniawi.
Sedangkan waktu penyajiannya
di tentukan pada hari-hari
tertentu. Seperti malam jum’at
kliwon, selasa legi dan
sebagainya. Adapun bentuk
sesajiannya bervariasi tergantung
permintaan atau sesuai "bisikan
ghaib" yang di terima oleh orang
pintar, paranormal, dukun dan
sebagainya.

Banyak kaum muslimin
berkeyakinan bahwa acara
tersebut merupakan hal biasa
bahkan dianggap sebagai bagian
daripada kegiatan keagamaan.
Sehingga diyakini pula apabila
suatu tempat atau benda
keramat yang biasa diberi sesaji
lalu pada suatu pada saat tidak
diberi sesaji maka orang yang
tidak memberikan sesaji akan
kualat (celaka, terkena kutukan).
Anehnya perbuatan yang
sebenarnya pengaruh dari ajaran
Animisme dan Dinamisme ini
masih marak dilakukan oleh
orang-orang pada jaman
modernisasi yang serba canggih
ini. Hal ini membuktikan pada
kita bahwa sebenarnya
manusianya secara naluri/ fitrah
meyakini adanya penguasa yang
maha besar, yang pantas
dijadikan tempat meminta,
mengadu, mengeluh, berlindung,
berharap dan lain-lain. Fitrah
inilah yang mendorong manusia
terus mencari Penguasa yang
maha besar ? Pada akhirnya ada
yang menemukan batu besar,
pohon-pohon rindang, kubur-
kubur, benda-benda kuno dan
lain-lain, lalu di agungkanlah
benda-benda tersebut.
Pengagungan itu antara lain
diekspresikan dalam bentuk
sesajen yang tak terlepas dari
unsur-unsur berikut:
menghinakan diri, rasa takut,
berharap, tawakal, do’a dan
lainnya. Unsur-unsur inilah yang
biasa disebut dalam islam
sebagai ibadah.
Islam datang membimbing
manusia agar tetap berjalan
diatas fitrah yang lurus dengan
diturunkannya syari’at yang
agung ini. AllahTa’ala
menerangkan tentang fitrah
yang lurus tersebut dalam Al
Qur’an (yang artinya): "Rasul-
rasul mereka berkata apakah
ada keragu-raguan terhadap
Allah, pencipta langit dan
bumi ?" (QS. Ibrahim : 10).

Allah juga berfirman (yang
artinya): "Maka hadapkanlah
wajahmu dengan lurus kepada
Agama (Allah), tetaplah atas
fitrah Allah yang telah
menciptakan manusia menurut
fitrah itu. Tidak ada perubahan
pada fitrah Allah. Itulah agama
yang lurus tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahuinya.
" (QS. Ar Rum : 30).

Berkenaan dengan ayat-ayat
diatas, nabi pun bersabda (yang
artinya): “Setiap anak dilahirkan
diatas fitrah, maka kedua orang
tuanyalah yang menjadikannya
Yahudi, Nasrani atau penyembah
api." (HR Bukhari, Muslim dan
Abu Hurairah, Al Irwa’ :1220).
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda dalam hadits Qudsi
(yang artinya): "(Allah berfirman)
Aku menciptakan hamba-
hamba-Ku diatas agama yang
lurus (hanif) lalu syetan
menyesatkan mereka" (HR.
Muslim dan Ahmad dari
shahabat ‘Iash bin Himar).
Imam Ibnu Abil Izzi
menerangkan, "Bahwa bayi itu
terlahir sesuai dengan fitrah."
Artinya bukan dalam keadaan
kosong jiwanya, melainkan
mengerti tauhid dan
syirik." (Syarah Aqidah
Thahawiyah : 83).

Fitrah ini akan tetap terjaga
dengan cara menghambakan diri
kepada Allah sepenuhnya. Inilah
yang disebut dengan tauhid
ibadah. Allah Ta’ala berfirman
(yang artinya): "Dan tidaklah Aku
menciptakan jin dan manusia
kecuali agar menyembah-Ku.
" (QS. Ad Dzariyat : 56).

lbnu Katsir menerangkan ayat ini
bahwa, "Allah menciptakan
manusia dan jin agar mereka
menyembah-Nya ". (Tafsir Ibnu
Katsir surat Ad Dzariyat : 56).

Ibadah yang penting untuk
diketahui adalah ibadah hati
seperti do’a, takut, berharap,
tawakal, cinta dan lain-lain.
Semua bentuk ibadah yang
agung itu haruslah ditujukan
kepada Allah semata,
sebagaimana firman-Nya (yang
artinya): "Dan sesungguhnya
masjid-masjid itu milik Allah
maka janganlah kamu menyeru
bersama Allah itu
seorangpun !" (QS. Al Jin : 18).
Allah Ta’ala berfirman (yang
artinya): "Janganlah kalian takut
kepada mereka, tetapi takutlah
kepada-Ku jika kalian benar-
benar beriman. " (QS. Ali Imran :
175).
Allah berfirman (yang artinya):
"Barang siapa yang mengharap
perjumpaan dengan Rabbnya
maka hendaknya ia beramal
shalih dan jangan melakukan
kesyirikan dalam beribadah
kepada Rabbnya dengan
seorangpun." (QS. A1 Kahfi :
110).

Pengharapan yang dibarengi
ketundukan dan penghinaan diri
haruslah ditujukan kepada Allah
semata. Jika seseorang
memperuntukkan raja’ (harapan)
seperti ini kepada selain-Nya,
sesungguhnya ia telah berbuat
kesyirikan. Syariat Islam tidak
melarang ummatnya untuk
memiliki sikap raja’ akan tetapi
raja’ yang dipuji dan dianjurkan
adalah yang diiringi dengan amal
shalih dan taubat dari
kemaksiatan (SyarahUshuluts
Tsalasah : 53).
Allah juga berfirman (yang
artinya): "Dan hanya kepada
Allah hendaklah kamu
bertawakal jika benar-benar
kamu orang-orang
beriman." (QS. Al Maidah : 23)
Tawakal berarti menyandarkan
segala urusan kepada-Nya
semata baik itu urusan yang
mendatangkan keuntungan
maupun yang mengakibatkan
kerugian atau madharat.
Keterangan-keterangan diatas
menunjukkan bahwa acara
ritualis sesajen bertentangan
dengan syariat Islam yang
murni. Sebab didalamnya
mengandung pengagungan,
penghambaan, pengharapan,
takut yang semestinya hanya
diperuntukkan kepada Allah
semata. Mudah-mudahan Allah
jauhkan kita dari segala bentuk
kesyirikan. Allahu Ta’ala A’lam.

Dinukil dari Risalah Dakwah Al
Atsari Cileungsi
Edisi 13/Th. II 1420
Judul Asli: Sesajen Adakah Dalam
Islam ?
Sumber: www.darussalaf.or.id
versi offline
www.ghuroba.blogsome.com/2008/01/27/ritual-sesaji-sesajian-sesajen-adakah-dalam-islam/#more-248

0 komentar:

Posting Komentar