Penulis: Al-Ustadz Abu Karimah
Askari bin Jamal Al-Bugisi
.: :.
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُجَادِلُ
فِي اللهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَلاَ
هُدًى وَلاَ كِتَابٍ مُنِيْرٍ.
ثَانِيَ عِطْفِهِ لِيُضِلَّ
عَنْ سَبِيْلِ اللهِ لَهُ فِي
الدُّنْيَا خِزْيٌ وَنُذِيْقُهُ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَذَابَ
الْحَرِيْقِ. ذَلِكَ بِمَا
قَدَّمَتْ يَدَاكَ وَأَنَّ اللهَ
لَيْسَ بِظَلاَّمٍ لِلْعَبِيْدِ
“Dan di antara manusia ada
orang-orang yang membantah
tentang Allah tanpa ilmu
pengetahuan, tanpa petunjuk,
dan tanpa kitab (wahyu) yang
bercahaya dengan memalingkan
lambungnya untuk menyesatkan
manusia dari jalan Allah. Ia
mendapat kehinaan di dunia dan
di hari kiamat. Kami merasakan
kepadanya adzab neraka yang
membakar. (Akan dikatakan
kepadanya): ‘Yang demikian itu,
adalah disebabkan perbuatan
yang dikerjakan oleh kedua
tangan kamu dahulu dan
sesungguhnya Allah sekali-kali
bukanlah penganiaya hamba-
hamba-Nya ’.” (Al-Hajj: 8-10)
Penjelasan Beberapa Mufradat
Ayat
ثَانِيَ عِطْفِهِ
“Memalingkan lambung atau
lehernya.” Ini merupakan
gambaran bahwa dia tidak
menerima dan berpaling dari
sesuatu.
Ibnu Abbas radhiyallahu
'anhuma mengatakan: “Ia
menyombongkan diri dari
kebenaran jika diajak
kepadanya. ”
Mujahid, Qatadah, dan Malik
dari Zaid bin Aslam mengatakan:
“ Memalingkan lehernya, yaitu
berpaling dari sesuatu yang dia
diajak kepadanya dari
kebenaran, karena sombong. ”
Seperti firman-Nya:
وَفِي مُوْسَى إِذْ أَرْسَلْنَاهُ
إِلَى فِرْعَوْنَ بِسُلْطَانٍ
مُبِيْنٍ. فَتَوَلَّى
بِرُكْنِهِ وَقَالَ سَاحِرٌ أَوْ
مَجْنُوْنٌ
“Dan juga pada Musa (terdapat
tanda-tanda kekuasaan Allah)
ketika Kami mengutusnya
kepada Fir ’aun dengan
membawa mukjizat yang nyata.
Maka dia (Fir ’aun) berpaling
(dari keimanan) bersama
tentaranya, dan berkata: ‘Dia
adalah seorang tukang sihir atau
seorang gila ’.” (Adz-Dzariyat:
38-39)
Ibnu Jarir At-Thabari
rahimahullahu berkata: “Yang
benar dari penafsiran tersebut
adalah dengan mengatakan
bahwa sesungguhnya Allah
Subhanahu wa Ta ’ala menyifati
orang yang mendebat tentang
Allah Subhanahu wa Ta ’ala ini
tanpa ilmu, bahwa itu karena
kesombongannya. Jika diajak
kepada jalan Allah Subhanahu
wa Ta ’ala, dia berpaling dari
yang mengajaknya, sambil
memalingkan lehernya dan tidak
mau mendengar apa yang
dikatakan kepadanya dengan
berlaku sombong. ” (Tafsir At-
Thabari)
لِيُضِلَّ
“Untuk menyesatkan.” Ada yang
mengatakan bahwa huruf lam
dalam ayat ini adalah
menjelaskan tentang akibat.
Maknanya yaitu yang berakibat
dia menyesatkan (manusia) dari
jalan Allah Subhanahu wa Ta ’ala.
Pendapat ini dikuatkan oleh Al-
Qurthubi rahimahullahu dalam
tafsirnya. Adapula yang
mengatakan bahwa huruf lam
tersebut sebagai ta ’li, yang
berarti bertujuan untuk
menyesatkan manusia dari jalan
Allah Subhanahu wa Ta ’ala.
(lihat Tafsir Ibnu Katsir dan Al-
Qurthubi)
Penjelasan Makna Ayat
Asy-Syaikh Abdurrahman As-
Sa ’di rahimahullahu tatkala
menjelaskan ayat ini,
mengatakan:
“Perdebatan tersebut bagi
seorang muqallid (yang
mengikuti satu perkataan tanpa
dalil). Perdebatan ini berasal dari
setan yang jahat yang menyeru
kepada berbagai bid ’ah. Maka
Allah Subhanahu wa Ta’ala
mengabarkan bahwa dia
mendebat tentang Allah
Subhanahu wa Ta ’ala dengan
cara mendebat para rasul Allah
Subhanahu wa Ta ’ala dan para
pengikutnya dengan cara yang
batil dalam rangka
menggugurkan kebenaran,
tanpa ilmu yang benar dan
petunjuk. Dia tidak mengikuti
sesuatu yang membimbingnya
dalam perdebatannya itu. Tidak
dengan akal yang membimbing
dan tidak pula dengan seseorang
yang diikuti karena hidayah.
Tidak pula dengan kitab yang
bercahaya, yaitu yang jelas dan
nyata. Dia tidak memiliki hujjah
baik secara aqli maupun naqli,
namun hanya sekedar
menampilkan syubhat-syubhat
yang dibisikkan oleh setan
kepadanya. (Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman):
وَإِنَّ الشَّيَاطِيْنَ
لَيُوْحُوْنَ إِلَى أَوْلِيَائِهِمْ
لِيُجَادِلُوْكُمْ
“Sesungguhnya setan itu
membisikkan kepada kawan-
kawannya agar mereka
membantah kamu. ” (Al-An'am:
121)
Bersamaan dengan itu, dia
memalingkan lambung dan
lehernya. Ini merupakan
gambaran tentang
kesombongannya dari menerima
kebenaran serta menganggap
remeh makhluk yang lain. Dia
merasa bangga dengan apa yang
dia miliki berupa ilmu yang tidak
bermanfaat, serta meremehkan
orang-orang yang berada di atas
kebenaran dan al-haq yang
mereka miliki. Akibatnya, dia
menyesatkan manusia, yaitu dia
termasuk ke dalam penyeru
kepada kesesatan. Termasuk
dalam hal ini adalah semua para
pemimpin kufur dan kesesatan.
Lalu (Allah Subhanahu wa
Ta ’ala) menyebutkan hukuman
yang mereka dapatkan di dunia
dan akhirat. Allah Subhanahu
wa Ta ’ala berfirman:
لَهُ فِي الدُّنْيَا خِزْيٌ
“baginya di dunia kehinaan.”
Yaitu, dia akan menjadi buruk di
dunia sebelum di akhirat.
Dan ini termasuk tanda-tanda
kekuasaan Allah Subhanahu wa
Ta ’ala yang menakjubkan, di
mana tidaklah engkau
mendapati seorang da’i yang
menyeru kepada kekafiran dan
kesesatan melainkan dia akan
dimurkai di jagad raya ini. Ia
mendapatkan laknat, kebencian,
celaan, yang berhak ia peroleh.
Setiap mereka tergantung
keadaannya.
وَنُذِيْقُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
عَذَابَ الْحَرِيْقِ
“Dan Kami akan merasakan
kepadanya pada hari kiamat
adzab neraka yang membakar.”
yaitu Kami akan menjadikan dia
merasakan panasnya yang
dahsyat dan apinya yang sangat
panas. Hal itu disebabkan apa
yang telah dia amalkan. Dan
sesungguhnya Allah Subhanahu
wa Ta’ala tidak berlaku dzalim
terhadap hamba-hamba-Nya.
(Taisir Al-Karim Ar-Rahman)
Ibnu Katsir rahimahullahu
berkata: “Tatkala Allah
Subhanahu wa Ta’ala
menyebutkan keadaan orang-
orang sesat yang jahil dan hanya
bertaqlid dalam firman-Nya:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُجَادِلُ
فِي اللهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ
وَيَتَّبِعُ كُلَّ شَيْطَانٍ
مَرِيْدٍ
“Di antara manusia ada orang
yang membantah tentang Allah
tanpa ilmu pengetahuan dan
mengikuti setiap setan yang
sangat jahat. ” (Al-Hajj: 3)
Lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala
menyebut dalam ayat ini
keadaan para penyeru kepada
kesesatan dari tokoh-tokoh
kekafiran dan kesesatan. Yaitu, di
antara manusia ada yang
mendebat tentang Allah
Subhanahu wa Ta’ala dengan
tanpa ilmu, tanpa hidayah, dan
tanpa kitab yang bercahaya,
yaitu tanpa akal sehat dan tanpa
dalil syar ’i yang benar dan jelas.
Namun hanya sekedar akal dan
hawa nafsu. (Tafsir Ibnu Katsir)
Terjadi perselisihan di kalangan
para ulama tentang siapa yang
dimaksud dalam ayat ini. Ada
yang mengatakan bahwa yang
dimaksud adalah An-Nadhr bin
Al-Harits dari Bani Abdid Dar,
tatkala dia berkata bahwa para
malaikat ini merupakan anak-
anak perempuan Allah. Adapula
yang mengatakan yang dimaksud
adalah Abu Jahl bin Hisyam, dan
ada lagi yang mengatakan
bahwa yang dimaksud adalah Al-
Akhnas bin Syuraiq. Namun ayat
ini mencakup setiap yang
mendebat tentang Allah
Subhanahu wa Ta ’ala yang
berakibat menolak kebenaran
dan menjauhkan manusia dari
jalan Allah Subhanahu wa Ta ’ala,
baik dia orang kafir, munafik,
atau dari kalangan ahli bid ’ah.
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas
radhiyallahu 'anhuma tatkala
beliau menjelaskan makna “ia
memalingkan lehernya untuk
menyesatkan manusia dari jalan
Allah ”: “Dia adalah ahli
bid’ah.” (lihat Tafsir Al-Qurthubi)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullahu berkata:
“ mendebat tentang Allah
Subhanahu wa Ta’ala dengan
tanpa ilmu” ini merupakan
celaan terhadap setiap orang
yang mendebat tentang Allah
Subhanahu wa Ta ’ala tanpa
ilmu. Juga merupakan dalil yang
menunjukkan bolehnya
(berdebat) bila dengan ilmu,
sebagaimana yang dilakukan
oleh Ibrahim ‘alaihissalam
dengan kaumnya.” (Majmu’
Fatawa, 15/267)
Berdebat, antara yang Boleh dan
yang Terlarang
Terdapat nash-nash yang
menjelaskan tentang tercelanya
berdebat dalam agama Allah
Subhanahu wa Ta'ala. Di
antaranya adalah firman Allah
Subhanahu wa Ta ’ala:
مَا يُجَادِلُ فِي آيَاتِ اللهِ
إِلاَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوا فَلاَ
يَغْرُرْكَ تَقَلُّبُهُمْ فِي
الْبِلاَدِ
“Tidak ada yang
memperdebatkan tentang ayat-
ayat Allah, kecuali orang-orang
yang kafir. Karena itu janganlah
pulang balik mereka dengan
bebas dari suatu kota ke kota
yang lain memperdayakan
kamu.” (Ghafir: 4)
dan firman-Nya:
إِنَّ الَّذِيْنَ يُجَادِلُوْنَ
فِي آيَاتِ اللهِ بِغَيْرِ
سُلْطَانٍ أَتَاهُمْ إِنْ فِي
صُدُوْرِهِمْ إِلاَّ كِبْرٌ مَا هُمْ
بِبَالِغِيْهِ فَاسْتَعِذْ
بِاللهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ
الْبَصِيْرُ
“Sesungguhnya orang-orang
yang memperdebatkan tentang
ayat-ayat Allah tanpa alasan
yang sampai kepada mereka
tidak ada dalam dada mereka
melainkan hanyalah (keinginan
akan) kebesaran yang mereka
sekali-kali tiada akan
mencapainya, maka mintalah
perlindungan kepada Allah.
Sesungguhnya Dia Maha
Mendengar lagi Maha
Melihat. ” (Ghafir: 56)
Telah diriwayatkan dari hadits
Aisyah radhiyallahu 'anha
berkata: Rasulullah Shallallahu
‘ alaihi wa sallam bersabda:
أَبْغَضُ الرِّجَالِ إِلىَ اللهِ
اْلأَلَدُّ الْخَصِمُ
“Orang yang paling dibenci Allah
adalah yang suka
berdebat. ” (Muttafaq Alaihi)
Juga dari hadits Abu Umamah
radhiyallahu 'anhu berkata:
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
مَا ضَلَّ قَوْمٌ بَعْدَ هُدًى
كَانُوا عَلَيْهِ إِلاَّ أُوْتُوا
الْجَدَلَ. ثُمَّ تَلاَ رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ هَذِهِ اْلآيَةَ: }مَا
ضَرَبُوْهُ لَكَ إِلاَّ جَدَلاً
بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُوْنَ }
“Tidaklah tersesat satu kaum
setelah mendapatkan hidayah
yang dahulu mereka di atasnya,
melainkan mereka diberi sifat
berdebat. ” Kemudian Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
membaca firman Allah
Subhanahu wa Ta ’ala:
مَا ضَرَبُوْهُ لَكَ إِلاَّ جَدَلاً
بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُوْنَ
“Mereka tidak memberikan
perumpamaan itu kepadamu
melainkan dengan maksud
membantah saja, sebenarnya
mereka adalah kaum yang suka
bertengkar. ” (Az-Zukhruf: 58)
[HR.Tirmidzi dan Ibnu Majah,
dihasankan Al-Albani t dalam
Shahih Al-Jami ’ no. 5633]
Abdurrahman bin Abiz Zinad
berkata: “Kami mendapati
orang-orang yang mulia dan ahli
fiqih -dari orang-orang pilihan
manusia- sangat mencela para
ahli debat dan yang
mendahulukan akalnya. Dan
mereka melarang kami bertemu
dan duduk bersama orang-
orang itu. Mereka juga
memperingatkan kami dengan
keras dari mendekati
mereka. ” (lihat Al-Ibanah Al-
Kubra 2/532, Mauqif Ahlis
Sunnah, Asy-Syaikh Ibrahim Ar-
Ruhaili 2/591)
Demikian pula Al-Imam Ahmad
rahimahullahu mengatakan:
“ Pokok-pokok ajaran As-Sunnah
menurut kami adalah:
berpegang teguh di atas metode
para sahabat Rasul Shallallahu
‘ alaihi wa sallam, mengikuti
mereka, dan meninggalkan
bid ’ah. Dan setiap bid’ah adalah
sesat. Dan meninggalkan
pertengkaran serta duduk
bersama pengekor hawa nafsu,
juga meninggalkan dialog dan
berdebat serta bertengkar dalam
agama ini. ” (Syarh Al-Lalika`i,
1/156, Mauqif Ahlis Sunnah, Ar-
Ruhaili 2/591)
Wahb bin Munabbih
rahimahullahu berkata:
“ Tinggalkan perdebatan dari
perkaramu. Karena
sesungguhnya engkau tidak akan
terlepas dari menghadapi salah
satu dari dua orang: (1) orang
yang lebih berilmu darimu, lalu
bagaimana mungkin engkau
berdebat dengan orang yang
lebih berilmu darimu? (2) orang
yang engkau lebih berilmu
darinya, maka bagaimana
mungkin engkau mendebat
orang yang engkau lebih berilmu
darinya, lalu dia tidak
mengikutimu? Maka
tinggalkanlah perdebatan
tersebut !” (Lammud Durr,
karangan Jamal Al-Haritsi hal.
158)
Namun di samping dalil-dalil
yang melarang berdebat
tersebut di atas, juga terdapat
nash-nash lain yang
menunjukkan kebolehannya. Di
antara yang menunjukkan
bolehnya berdebat adalah
firman Allah Subhanahu wa
Ta ’ala:
ادْعُ إِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ
بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ
الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ
بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ
رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ
ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهِ وَهُوَ
أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ
“Serulah (manusia) kepada jalan
Rabbmu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara
yang baik. Sesungguhnya
Rabbmu Dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang
tersesat dari jalan-Nya dan
Dialah yang lebih mengetahui
orang-orang yang mendapat
petunjuk. ” (An-Nahl: 125)
Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala
menyebutkan beberapa kisah
debat antara Rasul-Nya dengan
orang-orang kafir. Seperti kisah
Ibrahim ‘alaihissalam yang
mendebat kaumnya. Demikian
pula debat Nabi Musa
‘ alaihissalam dengan Fir’aun, dan
berbagai kisah lainnya yang
disebutkan dalam Al-Qur`an.
Demikian pula dalam hadits Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
menyebutkan perdebatan antara
Nabi Adam dan Musa
‘ alaihissalam, sebagaimana yang
disebutkan dalam riwayat Al-
Bukhari dan Muslim dari hadits
Abu Hurairah radhiyallahu
'anhu.
Ibnu Rajab rahimahullahu
berkata: “Banyak dari kalangan
imam salaf mengatakan:
Debatlah kelompok Al-
Qadariyyah dengan ilmu, jika
mereka mengakui maka mereka
membantah (pemikiran mereka
sendiri). Dan jika mereka
mengingkari, maka sungguh
mereka telah kafir. ”
Demikian pula banyak terjadi
perdebatan di kalangan ulama
salaf, seperti yang terjadi antara
‘ Umar bin Abdil ‘Aziz
rahimahullahu dengan Ghailan
Ad-Dimasyqi Al-Qadari, Ibnu
‘ Abbas radhiyallahu 'anhuma
yang mendebat kelompok
Khawarij, Al-Auza ’i
rahimahullahu yang berdebat
dengan seorang qadari (pengikut
aliran Qadariyyah), Abdul ‘Aziz
Al-Kinani rahimahullahu dengan
Bisyr bin Ghiyats Al-Marisi Al-
Mu ’tazili, Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah rahimahullahu dengan
para tokoh ahli bid ’ah, serta
yang lainnya, yang menunjukkan
diperbolehkannya melakukan
dialog dan debat tersebut.
(Mauqif Ahlis Sunnah, 2/597)
Apa yang telah kami sebutkan di
atas menunjukkan bahwa dalam
masalah berdebat, tidak
dihukumi dengan sikap yang
sama. Namun tergantung dari
keadaan, tujuan, dan maksud
dari perdebatan tersebut. An-
Nawawi rahimahullahu berkata:
“Jika perdebatan tersebut
dilakukan untuk menyatakan
dan menegakkan al-haq, maka
hal itu terpuji. Namun jika
dengan tujuan menolak
kebenaran atau berdebat tanpa
ilmu, maka hal itu tercela.
Dengan perincian inilah
didudukkan nash-nash yang
menyebutkan tentang boleh dan
tercelanya berdebat. ”
Asy-Syaikh Muhammad bin
Shalih Al- ’Utsaimin
rahimahullahu berkata:
“ Pertengkaran dan perdebatan
dalam perkara agama terbagi
menjadi dua:
Pertama: dilakukan dengan
tujuan menetapkan kebenaran
dan membantah kebatilan. Ini
merupakan perkara yang terpuji.
Adakalanya hukumnya wajib
atau sunnah, sesuai keadaannya.
Berdasarkan firman Allah
Subhanahu wa Ta ’ala:
ادْعُ إِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ
بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ
الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ
بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ
رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ
ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهِ وَهُوَ
أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ
“Serulah (manusia) kepada jalan
Rabbmu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara
yang baik. Sesungguhnya
Rabbmu Dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang
tersesat dari jalan-Nya dan
Dialah yang lebih mengetahui
orang-orang yang mendapat
petunjuk. ” (An-Nahl: 125)
Kedua: dilakukan dengan tujuan
bersikap berlebih-lebihan, untuk
membela diri, atau membela
kebatilan. Ini adalah perkara
yang buruk lagi terlarang,
berdasarkan firman-Nya:
مَا يُجَادِلُ فِي آيَاتِ اللهِ
إِلاَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوا
“Tidak ada yang
memperdebatkan tentang ayat-
ayat Allah, kecuali orang-orang
yang kafir. ” (Ghafir: 4)
Dan firman-Nya:
وَجَادَلُوا بِالْبَاطِلِ
لِيُدْحِضُوا بِهِ الْحَقَّ
فَأَخَذْتُهُمْ فَكَيْفَ كَانَ
عِقَابِ
“Dan mereka membantah
dengan (alasan) yang batil untuk
melenyapkan kebenaran dengan
yang batil itu; karena itu Aku
adzab mereka. Maka betapa
(pedihnya) adzab-Ku. ” (Ghafir: 5)
[Mauqif Ahlis Sunnah,
2/600-601]
Ibnu Baththah rahimahullahu
berkata: “Jika ada seseorang
bertanya: ‘Engkau telah memberi
peringatan kepada kami dari
melakukan pertengkaran,
perdebatan, dan dialog (dengan
ahlul bid'ah). Dan kami telah
mengetahui bahwa inilah yang
benar. Inilah jalan para ulama,
jalan para sahabat, dan orang-
orang yang berilmu dari
kalangan kaum mukminin serta
para ulama yang diberi
penerangan jalan. Lalu, jika ada
seseorang datang kepadaku
bertanya tentang sesuatu berupa
berbagai macam hawa nafsu
yang nampak dan berbagai
macam pendapat buruk yang
menyebar, lalu dia berbicara
dengan sesuatu darinya dan
mengharapkan jawaban dariku;
sedangkan aku termasuk orang
yang telah Allah Subhanahu wa
Ta ’ala berikan ilmu tentangnya
serta pemahaman yang tajam
dalam menyingkapnya. Apakah
aku tinggalkan dia berbicara
seenaknya dan tidak
menjawabnya serta aku biarkan
dia dengan bid ’ahnya, dan saya
tidak membantah pendapat
jeleknya tersebut ?’
Maka aku akan mengatakan
kepadanya: Ketahuilah wahai
saudaraku –semoga Allah
Subhanahu wa Ta’ala
merahmatimu– bahwa orang
yang seperti ini keadaannya
(yang mau mendebatmu), yang
engkau diuji dengannya, tidak
lepas dari tiga keadaan:
(1) Adakalanya dia orang yang
engkau telah mengetahui
metode dan pendapatnya yang
baik, serta kecintaannya untuk
mendapatkan keselamatan dan
selalu berusaha berjalan di atas
jalan istiqamah. Namun dia
sempat mendengar perkataan
mereka yang para setan telah
bercokol dalam hati-hati mereka,
sehingga dia berbicara dengan
berbagai jenis kekufuran melalui
lisan-lisan mereka. Dan dia tidak
mengetahui jalan keluar dari apa
yang telah menimpanya tersebut,
sehingga dia bertanya dengan
pertanyaan seseorang yang
meminta bimbingan, untuk
mendapat solusi dari problem
yang dihadapinya dan obat dari
gangguan yang dialaminya. Dan
engkau memandang bahwa dia
akan taat dan tidak
menyelisihinya.
Orang yang seperti ini, yang
wajib atasmu adalah
mengarahkan dan
membimbingnya dari berbagai
jeratan setan. Dan hendaklah
engkau membimbingnya kepada
Al-Kitab dan As-Sunnah serta
atsar-atsar yang shahih dari
ulama umat ini dari kalangan
para sahabat dan tabi ’in. Semua
itu dilakukan dengan cara
hikmah dan nasihat yang baik.
Dan jauhilah sikap berlebih-
lebihan terhadap apa yang
engkau tidak ketahui, lalu hanya
mengandalkan akal dan
tenggelam dalam ilmu kalam.
Karena sesungguhnya
perbuatanmu tersebut adalah
bid ’ah. Jika engkau menghendaki
sunnah, maka sesungguhnya
keinginanmu mengikuti
kebenaran namun dengan tidak
mengikuti jalan kebenaran
tersebut adalah batil. Dan
engkau berbicara tentang As-
Sunnah dengan cara bukan As-
Sunnah adalah bid ’ah. Jangan
engkau mencari kesembuhan
saudaramu dengan penyakit
yang ada pada dirimu. Jangan
engkau memperbaikinya dengan
kerusakanmu, karena
sesungguhnya orang yang
menipu dirinya tidak bisa
menasihati manusia. Dan siapa
yang tidak ada kebaikan pada
dirinya, maka tidak ada pula
kebaikan untuk yang lainnya.
Siapa yang Allah Subhanahu wa
Ta’ala beri taufiq, maka Allah
Subhanahu wa Ta’ala akan
meluruskan jalannya. Dan
barangsiapa yang bertakwa
kepada Allah Subhanahu wa
Ta ’ala, maka Allah Subhanahu
wa Ta’ala akan menolong dan
membantunya.”
Abu Bakr Al-Ajurri
rahimahullahu berkata:
“Jika seseorang berkata: ‘Jika
seseorang yang telah diberi ilmu
oleh Allah Subhanahu wa Ta ’ala,
lalu ada seseorang datang
kepadanya bertanya tentang
masalah agama, lalu
mendebatnya; apakah
menurutmu dia perlu
mengajaknya berdialog agar
sampai kepadanya hujjah dan
membantah pemikirannya ?’
Maka katakan kepadanya: ‘Inilah
yang kita dilarang dari
melakukannya, dan inilah yang
diperingatkan oleh para imam
kaum muslimin yang terdahulu.’
Jika ada yang bertanya: ‘Lalu apa
yang harus kami lakukan?’
Maka katakan kepadanya: ‘Jika
orang yang menanyakan
permasalahannya kepadamu
adalah orang yang
mengharapkan bimbingan
kepada al-haq dan bukan
perdebatan, maka bimbinglah
dia dengan cara yang terbaik
dengan penjelasan. Bimbinglah
dia dengan ilmu dari Al-Kitab
dan As-Sunnah, perkataan para
shahabat dan ucapan para imam
kaum muslimin. Dan jika dia
ingin mendebatmu, maka inilah
yang dibenci oleh para ulama,
dan berhati-hatilah engkau
terhadap agamamu. ’
Jika dia bertanya: ‘Apakah kita
biarkan mereka berbicara
dengan kebatilan dan kita
mendiamkan mereka ?’
Maka katakan kepadanya:
‘ Diamnya engkau dari mereka
dan engkau meninggalkan
mereka dalam apa yang mereka
bicarakan itu lebih besar
pengaruhnya atas mereka
daripada engkau berdebat
dengannya. Itulah yang
diucapkan oleh para ulama
terdahulu dari ulama salafush
shalih kaum muslimin." (Lammud
Durr, Jamal Al-Haritsi hal.
160-162)
Sumber:
http://www.asysyariah.com/
syariah.php?
menu=detil&id_online=512
0 komentar:
Posting Komentar