Setiap orang yang beriman pasti
akan diberikan ujian oleh Allah
subhanahu wata ’ala. Ujian
tersebut beragam bentuknya,
sesuai kondisi dan kadar
keimanan seseorang. Ujian bisa
berupa kesenangan dan bisa
pula berupa kesusahan. Dan
salah satu dari bentuk ujian
tersebut adalah tertimpanya
seseorang dengan suatu penyakit
yang menggerogoti dirinya.
Sebagaimana yang Allah
subhanahu wata ’ala sebutkan
dalam surat Al-‘Ankabut ayat
1sampai 3, bahwa hikmah
diberikannya ujian kepada kaum
mukminin adalah untuk
mengetahui[1] siapa yang jujur
dan siapa yang dusta dalam
pengakuan iman mereka
tersebut.
Demikian juga ketika sakit,
seseorang akan teruji tingkat
kejujuran iman dan aqidah dia.
Sangat disayangkan, ternyata di
sana masih banyak terjadi
pelanggaran-pelanggaran syari ’at
yang dilakukan oleh orang yang
sedang tertimpa penyakit. Di
antara mereka ada yang tidak
menerima bahkan menolak
takdir Allah yang sedang dia
rasakan tersebut. Bahkan ada
yang mengatakan dan
mengklaim bahwa Allah tidak
adil kepada dirinya, Allah telah
berbuat zhalim kepadanya, dan
sebagainya, na ’udzubillah min
dzalik. Ada pula yang tidak sabar
dan putus asa dengan
keadaannya tersebut sehingga
dia sangat berharap ajal segera
menjemputnya. Dan bahkan ada
pula yang nekad melakukan
upaya bunuh diri dengan
harapan penderitaannya segera
berakhir. Ini semua
menunjukkan lemahnya iman
dan kurang jujurnya dia dalam
ikrar keimanannya tersebut.
Lalu bagaimana bimbingan
syari ’at yang mulia dan
sempurna ini dalam menyikapi
permasalahan-permasalahan
seperti itu? Solusi apa yang
seharusnya dilakukan oleh setiap
hamba yang mengaku beriman
kepada Allah ‘azza wajalla,
Rasul-Nya dan hari akhir jika
tertimpa suatu penyakit agar
iman dan aqidah ini senantiasa
terjaga? Maka kali ini insya Allah
akan kami tengahkan kepada
anda, bagaimana syari ’at
membimbing anda tentang sikap
yang seharusnya dilakukan oleh
seseorang yang sedang
mengalami sakit agar dia
dikatakan sebagai seorang yang
jujur dalam keimanan dan
aqidahnya. Di antara sikap
tersebut adalah[2]
- Hendaknya dia merasa ridha
dengan takdir dan ketentuan
Allah subhanahu wata ’ala
tersebut, bersabar dengannya
dan berbaik sangka kepada
Allah subhanahu wata ’ala
dengan apa yang sedang dia
rasakan. Karena segala yang dia
terima adalah merupakan
sesuatu terbaik yang Allah
subhanahu wata ’ala berikan
padanya. Ini merupakan sikap
seorang yang beriman kepada
Allah dan Rasul-Nya dengan
keimanan yang benar. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda:
عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ
أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ
ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ
إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ
فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ
أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ
فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
“Sungguh sangat menakjubkan
urusan seorang mukmin, karena
segala urusannya adalah berupa
kebaikan. Dan tidaklah
didapatkan keadaan yang seperti
ini kecuali pada diri seorang
mukmin saja. Ketika dia
mendapatkan kebahagiaan, dia
segera bersyukur. Maka itu
menjadi kebaikan baginya. Dan
ketika dia mendapatkan
kesusahan dia bersabar. Maka
itu menjadi kebaikan
baginya.” (HR. Muslim dari
shahabat Shuhaib bin Sinan
radhiyallahu ‘anhu)
Beliau juga bersabda:
لَا يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلَّا
وَهُوَ يُحْسِنُ بِاللَّهِ
الظَّنَّ
“Janganlah salah seorang
diantara kalian meninggal kecuali
dalam keadaan dia berbaik
sangka kepada Allah. ” (HR.
Muslim dari shahabat Jabir bin
‘ Abdillah radhiyallahu ‘anhuma) - Hendaknya dia memiliki sikap
raja ’ (berharap atas rahmat Allah
subhanahu wata’ala) dan rasa
khauf (takut dan cemas dari
adzab Allah subhanahu wata’ala)
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَلَى
شَابٍّ وَهُوَ فِي الْمَوْتِ
فَقَالَ كَيْفَ تَجِدُكَ قَالَ
وَاللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ
أَنِّي أَرْجُو اللَّهَ وَإِنِّي
أَخَافُ ذُنُوبِي فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا
يَجْتَمِعَانِ فِي قَلْبِ
عَبْدٍ فِي مِثْلِ هَذَا
الْمَوْطِنِ إِلَّا أَعْطَاهُ اللَّهُ
مَا يَرْجُو وَآمَنَهُ مِمَّا
يَخَافُ
“Suatu ketika Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam
pernah mendatangi seorang
pemuda yang sedang sakit.
kemudian beliau bertanya
kepadanya: “Bagaimana
keadaanmu?” Pemuda itu
menjawab: “Demi Allah ya
Rasulullah, sungguh saya sangat
mengharapkan rahmat Allah dan
saya takut akan siksa Allah
dikarenakan dosa-dosa saya. ”
Maka kemudian Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Tidaklah dua sifat
tersebut ada pada seorang
hamba yang dalam keadaan
seperti ini, kecuali Allah akan
memberikan apa yang dia
harapkan dan akan memberi
rasa aman dengan apa yang dia
takutkan.” (HR. At-Tirmidzi dan
Ibnu Majah dari shahabat Anas
bin Malik radhiyallahu ‘anhu). - Tidak diperbolehkan baginya
untuk mengharapkan kematian
segera menjemputnya ketika
penyakitnya ternyata semakin
menjadi parah dan memburuk.
أأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَلَى
الْعَبَّاسِ وَهُوَ يَشْتَكِي
فَتَمَنَّى الْمَوْتَ فَقَالَ
يَا عَبَّاسُ يَا عَمَّ رَسُولِ
اللَّهِ لَا تَتَمَنَّ الْمَوْتَ
إِنْ كُنْتَ مُحْسِنًا تَزْدَادُ
إِحْسَانًا إِلَى إِحْسَانِكَ
خَيْرٌ لَكَ وَإِنْ كُنْتَ
مُسِيئًا فَإِنْ تُؤَخَّرْ
تَسْتَعْتِبْ خَيْرٌ لَكَ
فَلَا تَتَمَنَّ الْمَوْتَ قَالَ
يُونُسُ وَإِنْ كُنْتَ مُسِيئًا
فَإِنْ تُؤَخَّرْ
تَسْتَعْتِبْ مِنْ
إِسَاءَتِكَ خَيْرٌ لَكَ
“Suatu ketika Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam
mendatangi pamannya ‘Abbas
yang sedang sakit. Dia mengeluh
dan berharap kematian segera
datang menjemputnya. Maka
beliau bersabda kepadanya:
“ Wahai pamanku, janganlah
engkau berharap kematian itu
datang. Jika engkau adalah
orang baik, maka engkau bisa
menambah kebaikanmu, dan itu
baik untukmu. Namun jika
engkau adalah orang yang
banyak melakukan kesalahan,
maka engkau dapat mengingkari
dan membenahi kesalahanmu
itu, dan itu baik bagimu. maka
janganlah berharap akan
kematian. ” (HR. Ahmad dan Al-
Hakim dari shahabiyyah Ummul
Fadhl radhiyallahu ‘anha)
Namun ketika ternyata dia tidak
bisa bersabar dan harus
melakukannya, maka hendaknya
dia mengucapkan:
اللَّهُمَّ أَحْيِنِي مَا كَانَتْ
الْحَيَاةُ خَيْرًا لِي
وَتَوَفَّنِي إِذَا كَانَتْ
الْوَفَاةُ خَيْرًا لِي
“Ya Allah hidupkanlah aku
apabila kehidupan itu lebih baik
bagiku. Dan matikanlah aku
apabila kematian itu lebih baik
bagiku. ” (HR. Al-Bukhari dan
Muslim dari shahabat Anas bin
Malik radhiyallahu ‘anhu) - Hendaknya dia berwasiat
ketika merasa ajalnya telah dekat
untuk dipersiapkan dan
dilakukan pengurusan
jenazahnya nanti sesuai dengan
bimbingan syari ’at dan tidak
melakukan perbuatan-perbuatan
bid ’ah. Hal ini sebagai bentuk
pengamalan firman Allah
subhanahu wata ’ala :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا
أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا
Wahai orang-orang yang
beriman jagalah diri kalian dan
keluarga kalian dari api
neraka. (At-Tahrim: 6)
Dan di sana banyak kisah- kisah
para sahabat yang mereka
berwasiat dengan hal ini ketika
merasa ajal segera
menjemputnya. Salah satunya
adalah kisah shahabat Hudzaifah
radhiyallahu ‘anhu yang pernah
berwasiat ketika dia merasa ajal
telah dekat. Dia berkata:
إِذَا مِتُّ فَلَا تُؤْذِنُوا بِي
إِنِّي أَخَافُ أَنْ يَكُونَ
نَعْيًا فَإِنِّي سَمِعْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْهَى عَنْ
النَّعْيِ
Jika aku mati, janganlah kalian
mengumumkannya. aku takut
kalau perbuatan tersebut
termasuk na’i (mengumumkan
kematian yang dilarang
sebagaimana dilakukan orang-
orang jahiliyyah), karena
sesungguhnya aku mendengar
Rasulullah melarang perbuatan
na’i tersebut. (HR. At-Tirmidzi)
Al-Imam An-Nawawi
rahimahullah berkata dalam
kitabnya Al-Adzkar: Sangat
dianjurkan bagi seorang muslim
untuk berwasiat kepada
keluarganya agar meninggalkan
kebiasaan atau adat yang ada
dari berbagai bentuk kebid ’ahan
dalam penyelenggaraan jenazah.
Dan hendaknya dia menekankan
permasalahan itu.
Wallahu A’lam.
Diringkas dari Kitab Ahkamul
Jana-iz karya Al- ‘Allamah Al-
Muhaddits Muhammad
Nashiruddin Al-Albani
rahimahullah oleh Al-Ustadz
Abdullah Imam.
[1] Dan Allah subhanahu
wata ’ala Maha Mengetahui
kadar dan tingkat kejujuran iman
seseorang walaupun tidak
memberikan ujian kepada
hamba-Nya itu.
[2] Diringkas dari kitab Ahkamul
Jana-iz karya Asy-Syaikh
Muhammad Nashiruddin Al-
Albani rahimahullahu ta ’ala.
(Dikutip dari http://
www.assalafy.org/mahad/?
p=419#more-419)
0 komentar:
Posting Komentar