Islam adalah agama yang paling
mulia di sisi Allah , karena Islam
dibangun diatas agama yang
wasath (adil) diseluruh sisi
ajarannya, tidak tafrith
(bermudah-mudahan dalam
beramal) dan tidak pula ifrath
(melampaui batas dari ketentuan
syari ’at). Allah berfirman
(artinya):
“ Dan demikian pula, Kami telah
menjadikan kalian (umat Islam)
umat yang adil dan pilihan
… .” (Al Baqarah: 142)
Ziarah kubur termasuk ibadah
yang mulia di sisi Allah bila
dilandasi dengan prinsip wasath
(tidak ifrath dan tidak pula
tafrith). Tentunya prinsip ini tidak
akan terwujud kecuali harus
diatas bimbingan sunnah
Rasulullah . Barangsiapa yang
menjadikan Rasulullah sebagai
suri tauladan satu-satunya,
sungguh ia telah berjalan diatas
hidayah Allah . Allah berfirman
(artinya):
“ Dan jika kalian mentaati (nabi
Muhammad ), pasti kalian akan
mendapatkan hidayah (dari
Allah ). ” (An-Nuur: 54)
Hikmah Dilarangnya Ziarah
Kubur Sebelum Diizinkannya
Dahulu Rasulullah melarang
para sahabatnya untuk berziarah
kubur sebelum disyari ’atkannya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wassallam bersabda:
إِنِّي كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ
عَنْ زِياَرَةِ الْقُبُوْرِ
فَزُوْرُوْهاَ فَإِنَّهاَ
تُذَكِّرُكُمُ اْلآخِرَةَ
وَلْتَزِدْكُمْ زِياَرَتُهاَ
خَيْرًا فَمَنْ أَراَدَ أَنْ يَزُوْرَ
فَلْيَزُرْ وَلاَ تَقُوْلُوا
هُجْرًا ) وِفِي رِوَايَةِ أحْمَدَ:
وَلاَتَقُولُوا مَا يُسْخِطُ
الرَّبُّ )
“Sesungguhnya aku dahulu telah
melarang kalian untuk berziarah
kubur, maka sekarang
berziarahlah! Karena dengannya,
akan bisa mengingatkan kepada
hari akhirat dan akan
menambah kebaikan bagi kalian.
Maka barangsiapa yang ingin
berziarah maka lakukanlah, dan
jangan kalian mengatakan
‘ hujr’ (ucapan-ucapan
batil).” (H.R. Muslim), dalam
riwayat (HR. Ahmad): “dan
janganlah kalian mengucapkan
sesuatu yang menyebabkan
kemurkaan Allah. ”
Al Imam An Nawawi berkata:
“ Sebab (hikmah) dilarangnya
ziarah kubur sebelum
disyari ’atkannya, yaitu karena
para sahabat di masa itu masih
dekat dengan masa jahiliyah,
yang ketika berziarah diiringi
dengan ucapan-ucapan batil.
Setelah kokoh pondasi-pondasi
Islam dan hukum-hukumnya
serta telah tegak simbol-simbol
Islam pada diri-diri mereka,
barulah disyari ’atkan ziarah
kubur. (Al Majmu’: 5/310)
Tidak ada keraguan lagi, bahwa
amalan mereka di zaman
jahiliyah yaitu berucap dengan
sebatil-batilnya ucapan, seperti
berdo ’a, beristighotsah, dan
bernadzar kepada berhala-
berhala/patung-patung di sekitar
Makkah ataupun di atas
kuburan-kuburan yang
dikeramatkan oleh mereka.
Tujuan Disyari’atkannya Ziarah
Kubur
Para pembaca, marilah kita
perhatikan hadits-hadits dibawah
ini:
1. Hadits Buraidah bin Hushaib ,
Rasulullah bersabda:
إِنِّي كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ
عَنْ زِياَرَةِ الْقُبُوْرِ
فَزُوْرُوْهاَ فَإِنَّهاَ
تُذَكِّرُكُمُ اْلآخِرَةَ
وَلْتَزِدْكُمْ زِياَرَتُهاَ
خَيْرًا
“ Sesungguhnya aku dahulu telah
melarang kalian untuk berziarah
kubur, maka (sekarang)
berziarahlah karena akan bisa
mengingatkan kalian kepada
akhirat dan akan menambah
kebaikan bagi kalian. ” (HR.
Muslim)
dari sahabat Buraidah juga,
beliau berkata: “Rasulullah telah
mengajarkan kepada para
sahabatnya, bilamana berziarah
kubur agar mengatakan:
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ
الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤمِنِيْنَ
وَالْمُسْلِمِيْنَ وَإِنَّا إِنْ
شَاءَ اللهُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَ
أَنْتُمْ لَنَا فرَطٌ وَنَحْنُ
لَكُمْ تَبَعٌ وَأَسْأَلُ اللهَ
لَنَا لَكُمُ الْعَافِيَةِ
“ Assalamu’alaikum wahai
penduduk kubur dari kalangan
kaum mukminin dan muslimin.
Kami Insya Allah akan menyusul
kalian. Kalian telah mendahului
kami, dan kami akan mengikuti
kalian. Semoga Allah
memberikan ampunan untuk
kami dan kalian. ”(HR. Muslim
3/65)
2. Hadits Abu Sa’id Al Khudri
dan Anas bin Malik :
فَزُوْرُوْهاَ فَإِنّ فِيهَا
عِبْرَةً )وِفِي رِوَايَةِ أَنَسِ
بْنِ مَالِكٍ: تُرِقُّ الْقَلْبَ
وَتُدْمِعُ الْعَيْنَ وَتُذَكِّرُ
الْآخِرَةَ )
“sekarang berziarahlah ke
kuburan karena sesungguhnya di
dalam ziarah itu terdapat
pelajaran yang besar … . Dalam
riwayat sahabat Anas bin Malik :
… karena dapat melembutkan
hati, melinangkan air mata dan
dapat mengingatkan kepada hari
akhir. ” (H.R Ahmad 3/37-38,
dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-
Albani dalam Ahkamul Janaiz
hal: 228).
3. Hadits ‘Aisyah :
“Dahulu, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wassallam pernah keluar
menuju kuburan Baqi’ lalu beliau
mendo’akan kebaikan untuk
mereka. Kemudian ‘Aisyah
bertanya kepada Rasulullah
tentang perkara itu. Beliau
berkata: “Sesungguhnya aku
(diperintahkan oleh Allah) untuk
mendo ’akan mereka. (HR.
Ahmad 6/252 dishahihkan oleh
Asy Syaikh Al Albani , lihat
Ahkamul Janaiz hal. 239)
Dalam riwayat lain, ‘Aisyah
bertanya: “Apa yang aku
ucapkan untuk penduduk
kubur? Rasulullah berkata:
“ Ucapkanlah:
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ
الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤمِنِيْنَ
وَالْمُسْلِمِيْنَ وَيَرْحَمُ
اللهُ الْمُسْتَقْدِمِيْنَ مِنَّا
وَالمُسَتَأْخِرِيْنَ وَإِنَّا إِنْ
شَاءَ اللهُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَ
“ Assalamu’alaikum wahai
penduduk kubur dari kalangan
kaum mukminin dan muslimin.
Semoga Allah memberikan
rahmat kepada orang-orang
yang mendahului kami ataupun
yang akan datang kemudian.
Dan kami Insya Allah akan
menyusul kalian. ” (HR. Muslim
hadits no. 974)
Dari hadits-hadits di atas, kita
dapat mengetahui kesimpulan-
kesimpulan penting tentang
tujuan sebenarnya dari ziarah
kubur:
a. Memberikan manfaat bagi
penziarah kubur yaitu untuk
mengambil ibrah (pelajaran),
melembutkan hati,
mengingatkan kematian dan
mengingatkan tentang akan
adanya hari akhirat.
b. Memberikan manfaat bagi
penghuni kubur, yaitu ucapan
salam (do ’a) dari penziarah
kubur dengan lafadz-lafadz yang
terdapat pada hadits-hadits di
atas, karena inilah yang diajarkan
oleh Nabi , seperti hadits Aisyah
dan yang lainnya.
Bilamana ziarah kubur kosong
dari maksud dan tujuan tersebut,
maka itu bukanlah ziarah kubur
yang diridhoi oleh Allah . Al-
Imam Ash-Shan ’ani rahimahullah
mengatakan: “Semuanya
menunjukkan tentang
disyariatkannya ziarah kubur dan
penjelasan tentang hikmah yang
terkandung padanya yaitu agar
dapat mengambil ibrah
(pelajaran). Apabila kosong dari
ini (maksud dan tujuannya) maka
bukan ziarah yang
disyariatkan. ” (Lihat Subulus
Salam, 2/162)
Catatan Penting Bagi Penziarah
Kubur
Beberapa hal penting yang harus
diperhatikan bagi penziarah
kubur, yaitu:
Pertama: Menjauhkan hujr yaitu
ucapan-ucapan batil.
Sebagaimana hadits Rasulullah :
“… maka barangsiapa yang ingin
berziarah maka lakukanlah dan
jangan kalian mengatakan
‘ hujr’ (ucapan-ucapan
batil).” (H.R. Muslim), dalam
riwayat (HR. Ahmad): “…dan
janganlah kalian mengucapkan
sesuatu yang menyebabkan
kemurkaan Allah. ”
Berbicara realita sekarang, maka
sering kita jumpai para penziarah
kubur yang terjatuh dalam
perbuatan ini. Mereka
mengangkat kedua tangannya
sambil berdo ’a kepada penghuni
kubur (merasa belum puas /
khusyu ’) mereka sertai dengan
sujud, linangan air mata
(menangis), mengusap-usap dan
mencium kuburannya. Tidak
sampai disini, tanah kuburannya
dibawa pulang sebagai oleh-oleh
keluarganya untuk mendapatkan
barakah atau sebagai penolak
bala ’. Adakah perbuatan yang
lebih besar kebatilannya di
hadapan Allah dari perbuatan
ini? Padahal tujuan diizinkannya
ziarah kubur -sebagaimana yang
telah disebutkan- adalah untuk
mendo ’akan penghuni kubur,
dan bukan berdo’a kepada
penghuni kubur.
Kedua: Tidak menjadikan
kuburan sebagai masjid.
Rasulullah bersabda:
اللهمَّ لاَتَجْعَل قَبْرِيْ
وَثَنًا يُعْبَدُ اشْتَدَّ
غَضَبُ اللهِ عَلى قَوْمٍ
اتَّخَذُوا قُبُورَ
أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
“ Ya Allah, janganlah Engkau
jadikan kuburanku sebagai
watsan (sesembahan selain
Allah), sungguh amat besar
sekali kemurkaan Allah terhadap
suatu kaum yang menjadikan
kuburan-kuburan para nabi
sebagai masjid-masjid.” (HR.
Ahmad)
Kalau demikian, bagaimana
besarnya kemurkaan Allah
kepada orang yang menjadikan
kuburan selain para nabi sebagai
masjid?
Makna menjadikan kuburan
sebagai masjid mencakup
mendirikan bangunan masjid di
atasnya ataupun beribadah
kepada Allah di sisi kuburan.
Maka dari itu, tidak pernah
dijumpai para sahabat Nabi
meramaikan kuburan dengan
berbagai jenis ibadah seperti
shalat, membaca Al Qur ’an, atau
jenis ibadah yang lainnya. Karena
pada dasarnya perbuatan itu
adalah terlarang, lebih tegas lagi
larangan tersebut ketika
Rasulullah bersabda:
لاَتَجْعَلُوا بُيُوْتَكُمْ
قُبُوْرًا وَلاَ تَجْعَلُوا
قَبْرِيْ عِيْدًا وَصَلُّوا
عَلَيَّ فَإِنَّ صَلاَتَكُمْ
تَبْلُغُنِيْ حَيْثُ كُنْتُمْ
“ Janganlah kalian menjadikan
rumah-rumah kalian seperti
kuburan dan jangan pula kalian
menjadikan kuburanku sebagai
tempat yang selalu dikunjungi.
Karena di manapun kalian
bershalawat untukku, niscaya
akan sampai kepadaku.” (HR.
Abu Dawud)
Ketiga: Tidak melakukan safar
(perjalanan jauh) dalam rangka
ziarah kubur.
Rasulullah bersabda:
لاَ تَشُدُّوا الرِّحاَلَ إِلاَّ
إِلَى ثَلاَثَةِ مَساَجِدَ.
مَسْجِدِي هَذاَ وَالْمَسْجِدِ
الْحَراَمِ وَالْمَسْجِدِ
اْلأَقْصَى
“ Jangan kalian bepergian
mengadakan safar (dengan
tujuan ibadah) kecuali kepada
tiga masjid: masjidku ini, Masjid
Al-Haram, dan Masjid Al-
Aqsha. ” (HR. Al-Bukhari no. 1139
dan Muslim no. 415)
Ziarah ke kubur Nabi dan dua
sahabatnya Abu Bakar dan Umar
merupakan amalan
mustahabbah (dicintai) dalam
agama ini, namun dengan syarat
tidak melakukan safar semata-
mata dengan niat ziarah.
Sehingga salah kaprah anggapan
orang bahwa safar ke masjid An
Nabawi atau safar ke tanah Suci
(Masjidil Haram) hanya dalam
rangka berziarah ke kubur Nabi
dan tidak dibenarkan pula safar
ke tempat-tempat napak tilas
para nabi dengan niat ibadah,
sebagaimana penegasan hadits di
atas tidak bolehnya mengadakan
safar dalam rangka ibadah
kecuali ke tiga masjid saja.
Al Imam Ahmad meriwayatkan
tentang kejadian Abu bashrah Al
Ghifari yang bertemu Abu
Hurairah . Beliau bertanya
kepada Abu bashrah: “Dari
mana kamu datang? Abu
bashrash menjawab: “Aku
datang dari Bukit Thur dan aku
shalat di sana. ” Berkata Abu
Hurairah : “Sekiranya aku
menjumpaimu niscaya engkau
tidak akan pergi ke sana, karena
aku mendengar Rasulullah
bersabda: “Jangan kalian
bepergian mengadakan safar
(dengan tujuan ibadah) kecuali
kepada tiga masjid: masjidku ini,
Masjid Al-Haram, dan Masjid Al-
Aqsha. ”
Adapun hadits-hadits yang
tersebar di masyarakat seperti:
مَنْ زَارَ قَبْرِي فَقَدْ
وَجَبَتْ لَهُ شَفَاعَتِي
“ Barang siapa yang berziarah ke
kuburanku, niscaya baginya akan
mendapatkan syafaatku. ”
مَنْ زَرَانِي وَ زَارَ أَبِي فِي
عَامٍ وَاحِدٍ ضَمِنْتُ لَهُ
عَلَى اللهِ الْجَنَّةَ
“ Barangsiapa berziarah ke
kuburanku dan kuburan
bapakku pada satu tahun (yang
sama), aku menjamin baginya Al
Jannah. ”
مَنْ حَجَّ وَلَمْ يَزُرْنِي
فَقَدْ جَفَانِي
“ Barangsiapa berhaji dalam
keadaan tidak berziarah ke
kuburanku, berarti ia
meremehkanku ”
Semua hadits-hadits di atas ini
dho ’if (lemah) bahkan
maudhlu’ (palsu), sehingga tidak
diriwayatkan oleh Al-Imam
Bukhari, Muslim, tidak pula
Ashabus-Sunan; Abu Daud, An-
Nasai ’ dan selain keduanya, tidak
pula Imam Malik, Asy-Syafi’i,
Ahmad, Ats-Tsauri, Al-Auzai’, Al-
Laitsi dan lainnya dari para
imam-imam ahlu hadits. (lihat
Majmu ’ Fatawa 27/29-30).
Keempat: Tanah kubur Nabi
tidaklah lebih utama dibanding
Masjid Nabawi
Tidak ada satu dalil pun dari Al
Qur ’an, As Sunnah ataupun
perkataan dari salah satu ulama
salaf yang menerangkan bahwa
tanah kubur Nabi lebih utama
dibanding Masjidil Haram, Masjid
Nabawi atau Masjidil Aqsha.
Hanyalah pernyataan ini berasal
dari Al Qadhi Iyadh. Segala
pernyataan yang tidak dilandasi
dengan Al Qur ’an ataupun As
Sunnah sangat perlu
dipertanyakan, apalagi tidak ada
seorang pun dari ulama yang
menyatakan demikian. (Lihat
Majmu ’ Fatawa 27/37)
Kelima: Tidak mengkhususkan
waktu tertentu baik hari ataupun
bulan. Karena tidak ada satu
nash pun dari Al-Qur ’an, As-
Sunnah ataupun amalan para
sahabat nabi yang menjelaskan
keutamaan waktu tertentu untuk
ziarah.
Keenam: Tidak diperbolehkan
jalan ataupun duduk diatas
kubur. Sebagaimana Rasulullah
bersabda:
لأَنْ يَجْلِسَ أَحَدُكُمْ عَلَى
جَمْرَةٍ فَتُحْرِقَ ِثيَابَهُ
فَتُخْلِصَ إِلَى جِلْدِهِ
خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَجِلِسَ
عَلَى قَبْرٍ
“ Sungguh jika salah seorang
diantara kalian duduk di atas
bara api, sehingga membakar
bajunya dan menembus kulitnya,
lebih baik baginya daripada
duduk di atas kubur ”. (HR.
Muslim 3/62)
لأَنْ أَمْشِي عَلَى جَمْرَةٍ أَوْ
سَيْفٍ أو أَخْصِفَ نَعْلِي
بِرِجْلِي أَحَبُّ إلَيَّ مِنْ أَن
أَمْشِيَ عَلَى قَبْرِ مُسْلِمٍ
“ Sungguh aku berjalan di atas
bara api, atau (tajamnya) sebilah
pedang, ataupun aku menambal
sandalku dengan kakiku, lebih
aku sukai daripada aku berjalan
di atas kubur seorang
muslim. ” (HR. Ibnu Majah dan
selainnya)
(Sumber http://
www.assalafy.org/mahad/?
p=114 )
0 komentar:
Posting Komentar