Sebagaimana bulan Muharram
(Jawa: Suro) itu diyakini sebagai
bulan yang keramat dan
membawa sial, maka muncul
pula anggapan bahwa bulan
Shafar adalah bulan yang
membawa sial, naas, dan penuh
dengan malapetaka. Karena
bulan sial, maka tidak boleh
mengadakan hajatan pada bulan
tersebut, atau melakukan
pekerjaan-pekerjaan penting
lainnya karena akan
mendatangkan bencana, atau
kegagalan dalam pekerjaannya
itu.
Sungguh sangat disayangkan,
sebagian kaum muslimin di
negeri ini pun justru terpengaruh
oleh keyakinan yang merupakan
warisan dari tradisi Paganisme
Jahiliyyah para penyembah
berhala itu.
Menganggap sial waktu-waktu
tertentu, atau hewan-hewan
tertentu, atau sial karena melihat
adanya peristiwa dan mimpi
tertentu sebenarnya hanyalah
khayalan dan khurafat belaka.
Itu merupakan sebuah keyakinan
yang menunjukkan dangkalnya
aqidah dan tauhid orang-orang
yang mempercayai keyakinan
tersebut.
Alhamdulillah, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam yang
diutus oleh Allah subhanahu
wata ’ala dengan membawa misi
utama berdakwah kepada tauhid
dan memberantas segala bentuk
kesyirikan telah menepis
anggapan dan keyakinan yang
bengkok tersebut. Beliau
shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda:
لاَ عَدْوَى وَلاَ طِيَرَةَ وَلاَ
هَامَةَ وَلاَ صَفَرَ .
“Tidak ada penularan penyakit
(dengan sendirinya), tidak ada
thiyarah, tidak ada kesialan
karena burung hantu, dan tidak
ada kesialan pada bulan
Shafar. ” (HR. Al-Bukhari, Muslim,
Abu Dawud, dan Ahmad).
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
menolak keyakinan orang-orang
Musyrikin Jahiliyyah yang
menganggap bulan Shafar
sebagai bulan sial, mereka
mengatakan bahwa bulan Shafar
adalah bulan bencana.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam pun menepis
kebenaran anggapan tersebut.
Bulan Shafar itu seperti bulan-
bulan lainnya. Padanya ada
kebaikan, ada juga kejelekan.
Bulan Shafar tidak bisa
memberikan pengaruh apa-apa.
Bulan tersebut sama seperti
waktu-waktu lainnya yang telah
Allah subhanahu wata ’ala
jadikan sebagai kesempatan
untuk melakukan amal-amal
yang bermanfaat.
Keyakinan ini terus menerus ada
pada sebagian umat Islam hingga
hari ini. Ada di antara mereka
yang menganggap sial bulan
Shafar, ada yang menganggap
sial hari-hari tertentu, seperti
hari Rabu, atau hari Sabtu, atau
hari-hari lainnya. Sehingga pada
hari-hari tersebut mereka tidak
berani melangsungkan
pernikahan atau hajatan yang
lain, karena mereka meyakini
atau menganggap bahwa
pernikahan pada hari-hari
tersebut bisa menyebabkan
ketidakharmonisan rumah
tangga.
Ada pula yang berkeyakinan
kalau mendengar burung gagak,
melihat burung hantu,
berpapasan dengan kucing
hitam, atau yang lainnya, maka
sebentar lagi akan celaka, atau
akan ada orang meninggal, atau
yang lainnya, dan seterusnya dari
anggapan-anggapan negatif.
Anggapan Sial Terhadap Waktu-
Waktu Tertentu Adalah
Kesyirikan
Dalil-dalil yang ada di dalam Al-
Qu ’an dan hadits demikian jelas
menyatakan keharaman
kebiasaan tersebut. Perbuatan
atau anggapan sial seperti itu
termasuk kesyirikan dan tidak
ada pengaruhnya dalam
memberikan kemanfaatan atau
menolak kemudharatan, karena
tidak ada yang mampu
memberikan manfaat dan
menimpakan madharat kecuali
Allah subhanahu wata ’ala. Allah
subhanahu wata’ala berfirman:
وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللَّهُ
بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُ
إِلَّا هُوَ وَإِنْ يُرِدْكَ
بِخَيْرٍ فَلَا رَادَّ
لِفَضْلِهِ.
“Jika Allah menimpakan sesuatu
kemudharatan kepadamu, maka
tidak ada yang dapat
menghilangkannya kecuali Dia.
dan jika Allah menghendaki
kebaikan (manfaat) bagi kamu,
maka tak ada yang dapat
menolak karunia-Nya
tersebut. ” (QS. Yunus: 107)
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda:
وَاعْلَمْ أَنَّ اْلأُمَّةَ لَوِ
اجَتَمَعَتْ عَلَى أَنْ
يَنْفَعُوْكَ بِشَيْءٍ لَمْ
يَنْفَعُوْكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ
قَدْ كَتَبَهُ اللهُ لَكَ وَلَوِ
اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ
يَضُرُّوْكَ بِشَيْءٍ لَمْ
يَضُرُّوْكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ
كَتَبَهُ اللهُ عَلَيْكَ .
“Dan ketahuilah, seandainya
umat manusia berkumpul untuk
memberikan kemanfaatan
bagimu dengan sesuatu niscaya
mereka tidak dapat memberikan
kemanfaatan bagimu kecuali
dengan sesuatu yang telah Allah
tetapkan untukmu. Dan
sebaliknya, jika mereka semua
berkumpul untuk
memudharatkanmu dengan
sesuatu, niscaya mereka tidak
dapat menimpakan
kemudharatan tersebut kecuali
dengan sesuatu yang telah Allah
tetapkan atasmu. ” (HR. At-
Tirmidzi)
Perbuatan menganggap sial
waktu-waktu tertentu, atau
menganggap datangnya bencana
dengan berdasarkan apa yang
dia lihat, dia dengar, atau dia
rasakan, maka ini dinamakan
tathayyur atau thiyarah.
Thiyarah Adat Jahiliyyah
Secara bahasa (etimologi),
thiyarah atau tathayyur
merupakan bentuk mashdar dari
kata / kalimat تَطَيَّرَ
(tathayyara). Dan asalnya diambil
dari kata اَلطَّيْرُ (ath-thairu)
yang berarti burung, karena
musyrikin Arab Jahiliyyah dahulu
melakukan thiyarah dengan
menggunakan burung, yaitu
dengan cara melepaskan seekor
burung yang kemudian dilihat ke
mana arah terbangnya burung
tersebut. Kalau terbang ke arah
kanan, berarti ini tanda
keberuntungan sehingga dia pun
berangkat meneruskan
pekerjaannya. Dan sebaliknya,
kalau ternyata burung tersebut
terbang ke arah kiri, maka ini
tanda kesialan sehingga dia
menghentikan atau
membatalkan pekerjaannya
tersebut.
Adapun secara istilah
(terminologi) syari ’at, thiyarah
atau tathayyur adalah
beranggapan sial atau merasa
akan bernasib naas berdasarkan/
disebabkan sesuatu yang dia
lihat, dia dengar, atau waktu-
waktu tertentu. Penggunaan
istilah thiyarah atau tathayyur ini
lebih meluas daripada sekedar
beranggapan sial dengan
menggunakan burung. Sehingga
setiap orang yang beranggapan
atau merasa bernasib sial
dengan berdasarkan hal-hal
tersebut, maka dia telah terjatuh
kepada perbuatan thiyarah
walaupun tidak dengan
menggunakan burung.
Berikut beberapa contoh
perbuatan thiyarah berdasarkan
sebabnya:
1. Karena sesuatu yang dilihat
Seperti melihat kucing hitam,
melihat burung hantu, melihat
kecelakaan, melihat orang gila,
dan yang lainnya kemudian dia
beranggapan nanti akan
mengalami nasib yang naas.
2. Karena sesuatu yang didengar
Seperti mendengar suara burung
gagak, lolongan anjing, atau
ketika hendak berdagang, dia
mendengar orang yang
memanggilnya: ‘Wahai Si Rugi’,
yang kemudian dengan sebab itu
dia mengurungkan niatnya untuk
berjualan.
3. Karena waktu-waktu tertentu
Seperti menganggap sial hari-
hari tertentu (Jum ’at Kliwon,
Rabu Pon, dan lainnya), atau
bulan-bulan tertentu
(Muharram, Shafar, dan lainnya),
atau tahun-tahun tertentu.
Dan termasuk thiyarah pula
adalah menganggap sial angka-
angka tertentu, seperti angka
tiga belas. Dan ini seperti
anggapan sial orang-orang sesat
dari kalangan Syi ’ah Rafidhah
terhadap angka sepuluh. Mereka
tidak suka dengan angka ini
karena kebencian dan
permusuhan mereka terhadap
Al- ’Asyrah Al-Mubasysyarina bil
Jannah (sepuluh shahabat yang
diberi kabar gembira masuk Al-
Jannah). Yang demikian itu
disebabkan kebodohan dan
kedunguan akal mereka.
Demikian pula ahli nujum
(ramalan bintang/zodiak atau
yang semisalnya), mereka
membagi waktu menjadi waktu
naas dan sial, serta waktu
bahagia dan baik. Tidaklah
samar lagi bahwa ramalan
bintang seperti ini adalah haram
dan termasuk jenis sihir.
Pelaku thiyarah sesungguhnya
telah bergantung/bersandar
kepada sesuatu yang tidak ada
hakekatnya, bahkan hal itu
hanya merupakan sebuah
dugaan dan khayalannya saja.
Antara sesuatu yang dia
berthiyarah kepadanya dengan
kejadian yang menimpanya
tidaklah memiliki hubungan apa-
apa. Bagaimana bisa bulan
Muharram, bulan Shafar, hari
Rabu, Sabtu, mendengar burung
hantu atau burung gagak, dan
yang lainnya menjadi penentu
nasib seseorang? Hal ini jelas
dapat merusak aqidah dan
tauhid seseorang yang
meyakininya, karena dapat
memalingkan tawakkal dia
kepada selain Allah subhanahu
wata ’ala.
Seseorang yang membatalkan
rencananya untuk mengadakan
hajatan, atau mengurungkan
niatnya untuk bepergian karena
thiyarah yang dia lakukan,
berarti ia telah mengetuk pintu
kesyirikan bahkan ia telah masuk
ke dalamnya. Dia telah
menghilangkan tawakkalnya
kepada Allah subhanahu
wata ’ala dan membuka pintu
bagi dirinya untuk takut kepada
selain Allah subhanahu wata ’ala
dan bergantung kepada selain
Ash-Shamad (Dzat Maha Tempat
Bergantung). Sehingga pelaku
thiyarah telah menyimpang dari
apa yang Allah subhanahu
wata ’ala firmankan:
وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا
إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ .
“Dan hanya kepada Allah
hendaknya kamu bertawakkal,
jika kamu benar-benar orang
yang beriman. ” (Al-Ma’idah: 23)
Karena itulah Nabi shallallahu
‘ alaihi wasallam telah
memperingatkan dan
menegaskan kepada kita bahwa
thiyarah termasuk kesyirikan
sebagaimana dalam sabdanya:
اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ اَلطِّيَرَةُ
شِرْكٌ .
“Thiyarah adalah kesyirikan,
thiyarah adalah kesyirikan.” (HR.
Ahmad dan Abu Dawud).
Obat dari Penyakit Ini
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda:
مَنْ رَدَّتْهُ الطِّيَرَةُ عَنْ
حَاجَتِهِ فَقَدْ أَشْرَكَ،
قَالُوْا: فَمَا كَفَّارَةُ ذَلِكَ؟
قَالَ : أَنْ تَقُوْلَ : اَللّهُمَّ
لاَ خَيْرَ إِلاَّ خَيْرُكَ، وَلاَ
طَيْرَ إِلاَّ طَيْرُكَ، وَلاَ إِلهَ
غَيْرُكَ.
“Barangsiapa yang keperluannya
tidak dilaksanakan disebabkan
berbuat thiyarah, maka sungguh
dia telah berbuat kesyirikan. Para
shahabat bertanya: Bagaimana
cara menghilangkan anggapan
(thiyarah) seperti itu? Beliau
bersabda: Hendaknya engkau
mengucapkan (do ’a):
اَللّهُمَّ لاَ خَيْرَ إِلاَّ
خَيْرُكَ، وَلاَ طَيْرَ إِلاَّ
طَيْرُكَ، وَلاَ إِلهَ غَيْرُكَ .
“Ya Allah, tidak ada kebaikan
kecuali itu datang dari Engkau,
tidak ada kejelekan kecuali itu
adalah ketetapan dari Engkau,
dan tidak ada yang berhak
diibadahi dengan benar selain
Engkau. ” (HR. Ahmad dan Ath-
Thabarani).
Selain itu, thiyarah dapat
dihilangkan dengan berusaha
untuk tawakkal kepada Allah
subhanahu wata ’ala saja.
Bergantung hanya kepada-Nya
dalam rangka meraih apa yang
diinginkan dan menghindari dari
sesuatu yang tidak diinginkan,
serta mengiringi itu semua
dengan usaha dan amal yang
tidak menyelisihi syari’at.
Apapun yang menimpa kita baik
berupa kesenangan, kelapangan,
kesedihan, musibah, dan yang
lainnya, kita meyakini bahwa itu
semua merupakan kehendak
Allah subhanahu wata ’ala yang
penuh dengan keadilan dan
hikmah-Nya.
Sumber:
Kitab At-Tauhid, Asy-Syaikh
Muhammad bin ‘Abdil Wahhab.
Al-Qaulul Mufid ‘ala Kitabi At-
Tauhid, Asy-Syaikh Muhammad
bin Shalih Al- ’Utsaimin.
Al-Khuthab Al-Minbariyyah, Asy-
Syaikh Shalih Al-Fauzan.
Fatwa Asy-Syaikh Muhammad
bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh.
Fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah lil
Buhutsil ‘Ilmiyyah wal Ifta’.
Ditulis oleh Abu Abdillah Kediri.
Artikel Terkait:
1. Dilarang Menganggap Sial
Bulan Shafar
2. Bulan Shafar Bulan Sial??
(Dikutip dari http://
www.assalafy.org/mahad/?
p=425#more-425)
0 komentar:
Posting Komentar