Banner 468 X 60

Kamis, 30 September 2010

Blogger Buzz: Stats Gadgets Graduate from Draft

Read more..

Rabu, 29 September 2010

Dukun Sahabat Setan

Ustadz Abulfaruq Ayip Syafrudin


Perdukunan ada di mana-mana.
Dalam tumbuh kembangnya,
dunia perdukunan (termasuk
paranormal) hadir tak semata di
tingkat akar rumput yang rata-
rata berpendidikan rendah. Pun
tak semata di area yang dihuni
rakyat jelata yang miskin, papa
dan hidup terbelakang. Dunia
perdukunan menyentuh juga
manusia yang hidup dalam
kawasan elite, prestisius bahkan
borjuis. Perdukunan merambah
kemana pun. Menyeruak, masuk
ke alam kehidupan semua strata
dan latar belakang manusia,
kecuali orang-orang yang
dirahmati-Nya.
Hasil penelitian ilmiah pada
masyarakat Bugis-Makasar,
diperoleh beragam keahlian
sanro (sebuah istilah paling
populer untuk dukun).
Kelompok sanro pappamole,
sanro pabballe, atau sanro
tomalasa, yaitu dukun yang ahli
mengobati orang sakit atau yang
berusaha menyembuhkan
penyakit. Sanro puru, dukun
yang biasa mengobati orang
yang berpenyakit puru atau
sarampa (cacar). Sanro pattiro-
tiro atau sanro paccini-cini atau
sanro patontong, yaitu dukun
peramal. Misal, menentukan
letak barang yang hilang atau
dicuri, menyebutkan pelaku atau
ciri-ciri pencurinya, dan
sebagainya. Dukun ini suka
meramal nasib atau masa depan
orang, melihat sifat dan tabiat
seseorang meski sang dukun
hanya tahu nama orangnya,
meramal hari atau waktu yang
baik seumpama hendak
bepergian atau melakukan hajat
tertentu. Sanro sehere (dukun
sihir) yang memelihara jin yang
bisa disuruh membawa guna-
guna dan memasukkannya ke
tubuh seseorang.
Di Aceh, terkait masalah
kekuatan ghaib ini disebut
eleumee. Cara untuk
memperoleh eleumee disebut
dengan amalan eleumee.
Beberapa macam eleumee yang
tersebar di sebagian masyarakat
Aceh seperti eleumee keubay,
yaitu ilmu kebal yang menjadikan
kebal terhadap tusukan senjata
tajam. Termasuk dalam ilmu
kebal ini antara lain eleumee
ma’rifat beusoe (ilmu ma’rifat
besi), eleumee rante but (ilmu
rantai perbuatan). Ada juga
eleumee tuba yaitu ilmu untuk
membuat racun dan
penawarnya. Jenisnya banyak,
seperti eleumee kulat yang
terkenal berasal dari Lam Teuba,
untuk membuat racun dari
jamur tertentu. Juga ada yang
disebut eleumee burong, ilmu
bersahabat dengan makhluk
halus. Eleumee pari, di mana
burong (burung) yang dipelihara
digunakan untuk menjaga
tuannya dari serangan ghaib.
Adapun eleumee sandrung yaitu
ilmu untuk memanggil makhluk
halus dan memasukkannya ke
dalam tubuh manusia. Ada pula
yang disebut eleumee akhirat
atau lebih dikenal dengan
kramat. Kekuatan kramat
bersifat umum, seperti
mengobati yang sakit, mengusir
setan, melancarkan usaha
mencari rezeki, dan pergi shalat
Jumat ke Makkah. Kisah tentang
ureueng kramat (orang kramat)
selalu berkisar di dayah
(pesantren) dan alim ulama,
karena eleumee ini senantiasa
disandingkan dengan nilai-nilai
agama. Namun, dalam batas
tertentu hal itu menjadi kabur.
Karena, seseorang yang
menginginkan kedudukan
kramat nyatanya menghendaki
menjadi orang yang memiliki
kesaktian, melakukan amalan
yang tidak bersumber pada nilai-
nilai agama yang benar, bahkan
justru melakukan perbuatan
bid’ah. Praktik yang sering
dilakukan ureueng kramat
maupun yang memiliki eleumee,
yaitu dengan memberi ajemmat.
Ajemmat adalah secarik kertas
yang ditulisi atau digambari
huruf Arab. Isinya beragam, ada
berupa tulisan kutipan ayat suci,
ada pula hanya huruf yang tidak
dipahami maknanya. Secarik
kertas tersebut lantas disimpan
dalam saku, ikat pinggang atau
dibakar lantas abunya
digosokkan pada badan atau
dimasukkan ke air di gelas lalu
diminum airnya. Mirip ajemmat,
dikenal pula tangkay. Yaitu
sebuah benda yang dianggap
mempunyai kekuatan yang
bersifat melindungi pemiliknya.
Benda-benda yang dipakai
sebagai tangkay seperti batu
akik, daun-daunan, benang
warna-warni, dan lain-lain.
(Dukun, Mantra dan
Kepercayaan Masyarakat, T.
Sianipar, Al-Wisol, Munawir
Yusuf, hal. 17-19 dan 147-149)
Dalam kehidupan masyarakat
Jawa juga tumbuh pemahaman
tentang perdukunan. Dukun
perewangan, yaitu dukun yang
bertindak sebagai mediator
dalam masalah mistik. Dukun
wiwit, yaitu yang melakukan
upacara panen. Dukun
temanten, yang mengatur
prosesi upacara pengantin agar
tidak terganggu. Dukun ramal.
Dukun sihir. Dukun susuk,
dukun yang menangani
peristiwa-peristiwa alam, seperti
menahan hujan atau membantu
agar barang-barang yang ada
tidak hilang dicuri. Masih banyak
lagi ragam dukun yang ada
dalam kehidupan masyarakat
Jawa.
Maka, dari beberapa bentuk
aktivitas dukun di atas, ada
beberapa kategori yang
menjadikan sebagian masyarakat
meminta bantuan kepada
dukun. Di antaranya, masyarakat
datang kepada seorang dukun
lantaran terkait masalah
kesehatan, penyakit, masalah
karir jabatan, masalah ekonomi,
bisnis atau sejenisnya, masalah
jodoh, hubungan suami istri, dan
masalah keselamatan secara
umum.

Dukun menurut Asy-Syaikh
Shalih bin Fauzan hafizhahullah,
adalah seseorang yang mengaku
mengetahui hal-hal ghaib.
Seperti, dirinya mengaku
mengetahui peristiwa-peristiwa
yang akan terjadi di muka bumi
ini. Mengaku mengetahui pula
tempat barang-barang yang raib.
Ini semua bisa dilakukan
lantaran sang dukun meminta
bantuan para setan yang
mencuri dengar (menyadap)
berita dari langit. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

هَلْ أُنَبِّئُكُمْ عَلَى مَنْ
تَنَزَّلُ الشَّيَاطِينُ.
تَنَزَّلُ عَلَى كُلِّ أَفَّاكٍ
أَثِيمٍ. يُلْقُونَ السَّمْعَ
وَأَكْثَرُهُمْ كَاذِبُونَ

“Apakah akan Aku beritakan
kepadamu, kepada siapa setan-
setan itu turun? Mereka turun
kepada tiap-tiap pendusta lagi
yang banyak dosa, mereka
menghadapkan pendengaran
(kepada setan) itu, dan
kebanyakan mereka adalah
orang-orang pendusta.” (Asy-
Syu’ara: 221-223)
Setan mencuri pendengaran dari
pernyataan-pernyataan malaikat,
lantas oleh setan perkataan
tersebut disampaikan ke telinga
dukun. Kemudian sang dukun
pun menambahi dengan seratus
kedustaan bersama kalimat
tersebut. Maka manusia pun
membenarkan apa yang
dikatakan sang dukun dengan
sebab perkataan yang telah
didengar setan dari langit.
(‘Aqidatut Tauhid, hal. 126)
Adapun menurut Asy-Syaikh
Shalih bin Abdul ‘Aziz Alu Asy-
Syaikh, hakikat perbuatan dukun
adalah dia meminta bantuan
kepada jin untuk (mengetahui)
berita-berita yang terkait
perkara-perkara ghaib pada
masa lalu atau masa yang akan
datang. Yang tentu saja, perkara
yang akan datang ini tidak ada
yang mengetahui kecuali hanya
Allah Jalla wa ‘Ala. (Syarhu Kitab
At-Tauhid, hal. 250)
Nampak keterkaitan antara
dukun dengan jin. Praktik dukun
yang menggunakan cara-cara
magis tidak lepas dari bantuan
jin. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam pernah ditanya perihal
dukun. Aisyah radhiyallahu ‘anha
berkata:

سَأَلَ أُنَاسٌ النَّبِيَّ صلى
الله عليه وسلم عَنِ الْكُهَّانِ
فَقَالَ: إِنَّهُمْ لَيْسُوا
بِشَيْءٍ. فَقَالُوا: يَا
رَسُولَ اللهِ، فَإِنَّهُمْ
يُحَدِّثُونَ بِالشَّيْءِ
يَكُونُ حَقًّا؟ فَقَالَ
النَّبِيُّ صلى الله عليه
وسلم : تِلْكَ الْكَلِمَةُ مِنَ
الْحَقِّ يَخْطَفُهَا الْجِنِّيُّ
فَيُقَرْقِرُهَا فِي أُذُنِ
وَلِيِّهِ كَقَرْقَرَةِ
الدَّجَّاجَةِ فَيَخْلِطُونَ
فِيْهِ أَكْثَرَ مِنْ مِائَةِ
كَذْبَةٍ

“Orang-orang bertanya kepada
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
perihal dukun. Maka beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjawab, ‘Sungguh mereka itu
bukanlah suatu apapun.’ Lantas
orang-orang berkata, ‘Mereka
(para dukun) itu mengatakan
sesuatu bisa jadi benar.’ Maka
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, ‘Kalimat (perkataan)
itu dari yang benar, lantas jin
menyambarnya, lalu disampaikan
kepada telinga walinya seperti
suara ayam berkotek.
Tercampurlah di dalamnya
dengan seratus lebih
kedustaan’.” (HR. Al-Bukhari no.
7561)
Sungguh para dukun mendapat
tempat yang leluasa sebelum
Islam ada. Akan tetapi, setelah
kedatangan Islam penjagaan
langit makin diperketat. Jadilah
ruang gerak dukun semakin
kecil. Allah Subhanahu wa Ta’ala
mengabarkan terkait keberadaan
setan:

وَأَنَّا لَمَسْنَا السَّمَاءَ
فَوَجَدْنَاهَا مُلِئَتْ حَرَسًا
شَدِيدًا وَشُهُبًا. وَأَنَّا كُنَّا
نَقْعُدُ مِنْهَا مَقَاعِدَ
لِلسَّمْعِ فَمَنْ يَسْتَمِعِ
الْآنَ يَجِدْ لَهُ شِهَابًا
رَصَدًا

“Dan sesungguhnya kami telah
mencoba mengetahui (rahasia)
langit, maka kami mendapatinya
penuh dengan penjagaan yang
kuat dan panah-panah api, dan
sesungguhnya kami dahulu
dapat menduduki beberapa
tempat di langit itu untuk
mendengar-dengarkan (berita-
beritanya). Tetapi sekarang
barangsiapa yang (mencoba)
mendengar-dengarkan (seperti
itu) tentu akan menjumpai
panah api yang mengintai (untuk
membakarnya).” (Al-Jin: 8-9)
Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:

إِلَّا مَنِ اسْتَرَقَ السَّمْعَ
فَأَتْبَعَهُ شِهَابٌ مُبِينٌ

“Kecuali setan yang mencuri-curi
(berita) yang dapat didengar
(dari malaikat) lalu dia dikejar
oleh semburan api yang
terang.” (Al-Hijr: 18)
Itulah hakikat dukun yang tidak
bisa dilepaskan dari keterikatan
dengan jin (setan). Sebagaimana
disebutkan Asy-Syaikh Shalih bin
Abdul ‘Aziz Alu Asy-Syaikh
hafizhahullah, bahwa masalah
dukun masuk dalam
pembahasan Kitabut Tauhid,
lantaran dukun meminta
pelayanan (bantuan) kepada jin.
Sedangkan meminta bantuan
pada jin merupakan kekufuran
dan termasuk syirik yang paling
besar terhadap Allah Jalla wa
‘Ala. Sungguh, meminta bantuan
kepada jin dalam beberapa
perkara tidaklah akan bisa terjadi
kecuali dengan cara taqarrub
(mendekatkan diri) kepada jin
tersebut dengan sesuatu yang
termasuk peribadatan. Bagi para
dukun adalah satu kemestian –
agar jin membantu menyebutkan
perkara-perkara ghaib kepada
mereka– melakukan upaya
taqarrub kepada jin melalui
prosesi peribadatan. Prosesi
peribadatan tersebut di
antaranya dalam bentuk
penyembelihan (hewan),
melakukan istighatsah,
mengkufuri Allah Jalla wa ‘Ala
dengan bentuk perilaku
menghinakan mushaf (Al-
Qur’an), mencela Allah
Subhanahu wa Ta’ala, atau
melalui perbuatan-perbuatan
syirik dan kufur lainnya. (Syarhu
Kitabi At-Tauhid, hal. 250-251)
Karenanya tidak mengherankan
bila dalam praktik perdukunan,
sang dukun minta disediakan
ayam dengan warna tertentu,
kambing dengan ketentuan
tertentu, kemenyan, telur, bunga
dengan berbagai rupa, dan
lainnya. Semua permintaan
tersebut kelak dijadikan sebagai
sesaji atau tumbal. Semua
perbuatan tersebut merupakan
bentuk perbuatan syirik karena
termasuk upaya mendekatkan
diri (taqarrub) kepada setan
sebagai wujud rasa takut
mereka. Penyembelihan hewan
yang dilakukan merupakan
bentuk penyembelihan kepada
selain Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Bentuk kurban bagi jin.
Padahal Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah
bersabda sebagaimana dalam
hadits Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu ‘anhu:

لَعَنَ اللهُ مَنْ ذَبَحَ
لِغَيْرِ اللهِ

“Allah telah melaknat orang
yang menyembelih karena selain
Allah.” (HR. Muslim no. 4978)
Asy-Syaikh Muhammad bin
Abdillah Al-Imam hafizhahullah
memasukkan dukun dalam
kategori tukang sihir. Kata
beliau, penyihir meliputi tukang
ramal, dukun, ‘arraf (orang yang
mengaku bisa mengetahui
keberadaan barang yang hilang).
Kebanyakan dari keempat
golongan ini, yaitu penyihir,
tukang ramal, dukun, dan ‘arraf
adalah orang-orang yang
menghambakan diri kepada jin
dan para setan mereka. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَكِنَّ الشَّيَاطِينَ
كَفَرُوا

“Hanya setan-setan itulah yang
kafir (mengerjakan sihir).” (Al-
Baqarah: 102)
Firman-Nya:

هَلْ أُنَبِّئُكُمْ عَلَى مَنْ
تَنَزَّلُ الشَّيَاطِينُ.
تَنَزَّلُ عَلَى كُلِّ أَفَّاكٍ
أَثِيمٍ. يُلْقُونَ السَّمْعَ
وَأَكْثَرُهُمْ كَاذِبُونَ

“Apakah akan Aku beritakan
kepadamu, kepada siapa setan-
setan itu turun? Mereka turun
kepada tiap-tiap pendusta lagi
yang banyak dosa, mereka
menghadapkan pendengaran
(kepada setan) itu, dan
kebanyakan mereka adalah
orang-orang pendusta.” (Asy-
Syu’ara: 221-223)
Juga firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala:

وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ
إِلَى أَوْلِيَائِهِمْ
لِيُجَادِلُوكُمْ

“Sesungguhnya setan itu
membisikkan kepada kawan-
kawannya agar mereka
membantah kamu.” (Al-An’am:
121)
Barangsiapa, dari keempat
macam orang tersebut, yang
(mengatakan) tidak mendapat
berita dari para setan dan jin,
maka dia itu dajjal, pendusta
yang melakukan praktik sihir
dengan cara menyampaikan
perkataan dusta, menipu demi
meraup harta duniawi. (Irsyadun
Nazhir ila Ma’rifati ‘Alamat As-
Sahir, hal. 10)
Disebutkan pula bahwa ‘arraf
adalah juga dukun. Dua nama
namun menunjukkan sesuatu
yang satu. Dinyatakan oleh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullahu bahwa al-’arraf
adalah nama bagi dukun, tukang
nujum, dan rammal (orang yang
meramal dengan cara
memukulkan kerikil dan
menggaris di pasir). (Syarhu
Kitabit Tauhid, hal. 255-256)
Sebagai agama yang membawa
rahmat, Islam melarang keras
keberadaan dukun dan praktik
perdukunan. Islam melarang
seseorang mendatangi dukun.
Sebagaimana hadits Mu’awiyah
bin Al-Hakam As-Sulami
radhiyallahu ‘anhu yang
menyatakan, “Wahai Rasulullah,
sungguh seorang dari kami
mendatangi dukun.” Kata
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam:

فَلَا تَأْتِهِمْ

“Jangan engkau mendatangi
mereka.” (HR. Muslim no.537)
Juga berdasar hadits dari
Shafiyyah radhiyallahu ‘anha,
dari sebagian istri Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, beliau bersabda:

مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ
عَنْ شَيْءٍ فَصَدَّقَهُ بِمَا
يَقُولُ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ
صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً

“Barangsiapa yang mendatangi
dukun, lantas dia bertanya
tentang sesuatu kemudian
membenarkan apa yang
diucapkan dukun tersebut,
tidaklah diterima shalatnya
selama 40 malam.” (HR. Muslim
no. 2231, tanpa lafadz

فَصَدَّقَ بِهِ .
Tambahan
lafadz tersebut tertera dalam
hadits yang diriwayatkan Al-
Imam Ahmad dalam Musnad-
nya, 4/28, 5/380)
Secara zhahir hadits, sekadar
bertanya kepada dukun
merupakan bakal tidak
diterimanya shalat selama 40
malam. Akan tetapi, yang
demikian ini tidaklah bersifat
mutlak. Perlu ada rincian. Ini
sebagaimana dinyatakan As-
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-
Utsaimin rahimahullahu. Terkait
bertanya kepada dukun ini,
beliau rahimahullahu merinci
menjadi empat bagian:
1. Semata-mata bertanya, maka
yang seperti ini haram
hukumnya. Berdasarkan sabda
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam:

مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ
عَنْ شَيْءٍ فَصَدَّقَهُ بِمَا
يَقُولُ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ
صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً

“Barangsiapa yang mendatangi
dukun, lantas dia bertanya
tentang sesuatu kemudian
membenarkan apa yang
diucapkan dukun tersebut,
tidaklah diterima shalatnya
selama 40 malam.”
Penetapan sanksi atas orang
yang bertanya kepada dukun
menunjukkan atas
keharamannya. Ini berarti bahwa
tidaklah ada sanksi kecuali atas
perbuatan yang diharamkan.
2. Bertanya lalu membenarkan
apa yang dikatakan dukun
tersebut. Yang seperti ini
menjadikan pelakunya kufur
lantaran dia membenarkan
dalam perkara yang ghaib dan
mendustakan Al-Qur’an, yaitu
firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala:

قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي
السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ
الْغَيْبَ إِلَّا اللهُ

“Katakanlah: ‘Tidak ada seorang
pun di langit dan di bumi yang
mengetahui perkara yang ghaib,
kecuali Allah’.” (An-Naml: 65)
3. Pertanyaan yang diajukan
kepada dukun dalam rangka
menguji dukun tersebut, apakah
dia seorang yang jujur atau
pendusta. Tidak dalam rangka
mengambil perkataannya. Yang
semisal ini tidak mengapa dan
tidak masuk dalam kategori
hadits di atas. Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah
bertanya kepada Ibnu Shayyad:
مَا ذَا خَبَأْتُ لَكَ؟ قَاَلَ:
الدُّخُّ. فَقَالَ: اخْسَأْ فَلَنْ
تَعْدُوَ قَدْرَكَ
“Apakah yang aku sembunyikan
darimu?” Jawab Ibnu Shayyad:
“Asap.” Kata Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam: “Diamlah.
Maka, sekali-kali kamu tidak
akan melampaui (apa yang telah
Allah Subhanahu wa Ta’ala)
takdirkan padamu.”
Maka, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menyembunyikan sesuatu
dari Ibnu Shayyad dalam rangka
mengujinya. (HR. Al-Bukhari no.
3055)
4. Bertanya dalam rangka
menampakkan kelemahan dan
kedustaan dukun. Ini diuji
dengan perkara-perkara yang
akan memperjelas bahwa dia
adalah lemah dan dusta. Yang
demikian ini dituntut. Bahkan
terkadang bisa menjadi wajib
hukumnya. Sebab, menunjukkan
kebatilan perkataan dukun, tidak
diragukan lagi sebagai perkara
yang dituntut adanya, bahkan
bisa menjadi sesuatu yang wajib.
(Al-Qaulul Mufid ‘ala Kitabit
Tauhid, hal. 341)
Bagaimana hukum membantu
dukun yang menggunakan sihir?
Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam
hafizhahullah menyatakan
bahwa termasuk sebesar-besar
dosa yang paling besar adalah
melakukan tolong-menolong
dengan tukang sihir. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ
وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا
عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan tolong-menolonglah kamu
dalam (mengerjakan) kebaikan
dan takwa, dan jangan tolong-
menolong dalam berbuat dosa
dan permusuhan.” (Al-Ma’idah:
2)
Firman-Nya:
وَلَا تُجَادِلْ عَنِ الَّذِينَ
يَخْتَانُونَ أَنْفُسَهُمْ إِنَّ
اللهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ
خَوَّانًا أَثِيمًا.
يَسْتَخْفُونَ مِنَ النَّاسِ
وَلَا يَسْتَخْفُونَ مِنَ اللهِ
وَهُوَ مَعَهُمْ إِذْ يُبَيِّتُونَ
مَا لَا يَرْضَى مِنَ الْقَوْلِ
وَكَانَ اللهُ بِمَا يَعْمَلُونَ
مُحِيطًا. هَا أَنْتُمْ هَؤُلَاءِ
جَادَلْتُمْ عَنْهُمْ فِي
الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فَمَنْ
يُجَادِلُ اللهَ عَنْهُمْ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ أَمْ مَنْ يَكُونُ
عَلَيْهِمْ
“Dan janganlah kamu berdebat
(untuk membela) orang-orang
yang mengkhianati dirinya.
Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang
selalu berkhianat lagi
bergelimang dosa, mereka
bersembunyi dari manusia, tetapi
mereka tidak bersembunyi dari
Allah, padahal Allah beserta
mereka, ketika pada suatu
malam mereka menetapkan
keputusan rahasia yang Allah
tidak ridhai. Dan adalah Allah
Maha meliputi (ilmu-Nya)
terhadap apa yang mereka
kerjakan. Beginilah kamu, kamu
sekalian adalah orang-orang
yang berdebat untuk (membela)
mereka dalam kehidupan dunia
ini. Maka siapakah yang akan
mendebat Allah untuk
(membela) mereka pada hari
kiamat? Atau siapakah yang jadi
pelindung mereka (terhadap
siksa Allah)?” (An-Nisa’: 107-109)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
لَعَنَ اللهُ مَنْ لَعَنَ
وَالِدَيْهِ، وَلَعَنَ اللهُ مَنْ
آوَى مُحْدِثًا
“Allah melaknat orang yang
melaknat kedua orangtuanya,
dan Allah melaknat terhadap
orang yang melindungi orang
yang jahat (kriminal).” (HR.
Muslim no. 1978, dari Ali bin Abi
Thalib radhiyallahu ‘anhu)
Kata Asy-Syaikh Muhammad Al-
Imam hafizhahullah, termasuk
memberi perlindungan kepada
pelaku bid’ah atau kriminal, yaitu
membiarkan ia tinggal bersama
keluarganya, atau tinggal di
kampungnya, di kotanya, atau di
perkampungan muslim.
Termasuk pula memberi
perlindungan kepada pelaku
sihir adalah dengan mereka
dipungut uang lalu dilepaskan
bebas. Sehingga dia bisa
melangsungkan tindak kriminal.
Tidak ada upaya untuk
menjebloskannya ke penjara
hingga nampak sikap penyesalan
dan taubat pada diri dukun atau
tukang sihir ini. Tentunya,
dengan taubat yang sebenarnya.
Akan tetapi, kenyataan yang ada
justru dia diberi tempat untuk
menyembunyikan dirinya.
Karenanya, Asy-Syaikh
Muhammad Al-Imam
menasihatkan, hendaknya wajib
atas negara muslim untuk
menegakkan hukum kepada
para tukang sihir (termasuk
dukun, tukang ramal, dan
lainnya, pen.) jika mereka belum
menampakkan taubat yang
sebenar-benarnya. Jika tukang
sihir tersebut telah kafir maka
dia dibunuh karena telah murtad
dari Islam. Jika dia belum kafir,
hanya melakukan salah satu
dosa terbesar dari dosa-dosa
yang paling besar, maka
dihukum ta’zir (hukuman yang
bukan had, tidak ditentukan
kadarnya oleh syariat). Lain
halnya bila dia ternyata telah
membunuh seseorang dengan
sihirnya, maka dia dihukum mati.
Hendaknya pula masyarakat
bahu-membahu, saling
menolong dengan pihak
pemerintah dalam hal tersebut.
Menegakkan hukum terhadap
pelaku sihir termasuk sebesar-
besar upaya untuk melindungi
masyarakat muslimin dari hal-hal
yang menyebabkan kekufuran
dan kesyirikan. (Irsyadun Nazhir
ila Ma’rifati ‘Alamat As-Sahir, hal.
83 dan 94)
Adapun kepada tukang sihir,
dukun, tukang nujum, dan
lainnya, hendaklah bertaubat
kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala dengan sebenar-
benarnya, dengan menunaikan
perintah Allah Subhanahu wa
Ta’ala Yang Maha Esa dan Maha
Kuasa. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
قُلْ يَاعِبَادِيَ الَّذِينَ
أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ
لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ
اللهِ إِنَّ اللهَ يَغْفِرُ
الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ
الْغَفُورُ الرَّحِيمُ.
وَأَنِيبُوا إِلَى رَبِّكُمْ
وَأَسْلِمُوا لَهُ مِنْ قَبْلِ أَنْ
يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ ثُمَّ
لَا تُنْصَرُونَ. وَاتَّبِعُوا
أَحْسَنَ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ
مِنْ رَبِّكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ
يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ
بَغْتَةً وَأَنْتُمْ لَا
تَشْعُرُونَ
“Katakanlah: ‘Wahai hamba-
hamba-Ku yang melampaui
batas terhadap diri mereka
sendiri, janganlah kamu berputus
asa dari rahmat Allah.
Sesungguhnya Allah
mengampuni dosa-dosa
semuanya. Sesungguhnya Dialah
Yang Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang. Dan
kembalilah kamu kepada
Rabbmu, dan berserah dirilah
kepada-Nya sebelum datang
azab kepadamu kemudian kamu
tidak dapat ditolong (lagi). Dan
ikutilah sebaik-baik apa yang
telah diturunkan kepadamu dari
Rabbmu sebelum datang azab
kepadamu dengan tiba-tiba,
sedang kamu tidak
menyadarinya’.” (Az-Zumar:
53-55)
Maka, bagi orang yang
memerhatikan ayat-ayat Al-
Qur’an, dia akan melihat bahwa
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
menjanjikan maghfirah
(ampunan) dan rahmah bagi
hamba-hamba-Nya. (Irsyadun
Nazhir, hal. 103)
Wallahu a’lam.


www.majalahsyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=827
Read more..

Kamis, 23 September 2010

Dukun dan Ciri-Cirinya

Ustadz Qomar Suaidi, Lc

Perdukunan, ramalan nasib, dan
sejenisnya telah tegas
diharamkan oleh Islam dengan
larangan yang keras. Sisi
keharamannya terkait dengan
banyak hal, di antaranya:

1. Apa yang akan terjadi itu
hanya diketahui oleh Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Maka
seseorang yang meramal berarti
ia telah menyejajarkan dirinya
dengan Allah Subhanahu wa
Ta’ala dalam hal ini. Ini
merupakan kesyirikan, membuat
sekutu (tandingan) bagi Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Atau;

2. Meminta bantuan kepada jin
atau setan. Ini banyak terkait
dengan praktik perdukunan dan
sihir semacam santet atau
sejenisnya.
Praktik sihir, ramal, dan
perdukunan sendiri telah dikenal
di masyarakat Arab dengan
beberapa istilah. Para dukun dan
peramal itu terkadang disebut:

1. Kahin
Al-Baghawi rahimahullahu
mengatakan bahwa Al-Kahin
adalah seseorang yang
mengabarkan sesuatu yang akan
terjadi di masa yang akan
datang. Ada pula yang
mengatakan, al-kahin adalah
yang mengabarkan apa yang
tersembunyi dalam qalbu.

2. ‘Arraf
Al-Baghawi rahimahullahu
mengatakan bahwa ia adalah
orang yang mengaku-ngaku
mengetahui urusan-urusan
tertentu melalui cara-cara
tertentu, yang darinya ia
mengaku mengetahui tempat
barang yang dicuri atau hilang.

3. Rammal
Raml dalam bahasa Arab berarti
pasir yang lembut. Rammal
adalah seorang tukang ramal
yang menggaris-garis di pasir
untuk meramal sesuatu. Ilmu ini
telah dikenal di masyarakat Arab
dengan sebutan ilmu raml.

4. Munajjim, ahli ilmu nujum
Nujum artinya bintang-bintang.
Akhir-akhir ini populer dengan
nama astrologi (ilmu
perbintangan) yang dipakai
untuk meramal nasib.

5. Sahir, tukang sihir
Ini lebih jahat dari yang
sebelumnya, karena dia tidak
hanya terkait dengan ramalan
bahkan dengan ilmu sihir yang
identik dengan kejahatan.
Dan masih ada lagi tentunya
istilah lain. Namun hakikatnya
semuanya bermuara pada satu
titik kesamaan yaitu meramal,
mengaku mengetahui perkara
ghaib (sesuatu yang belum
diketahui) yang akan datang,
baik itu terkait dengan nasib
seseorang, suatu peristiwa, mujur
dan celaka, atau sejenisnya.
Perbedaannya hanyalah dalam
penggunaan alat yang dipakai
untuk meramal. Ada yang
memakai kerikil, bintang, atau
yang lain. Oleh karenanya
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullahu mengatakan:
“Al-‘Arraf, adalah sebutan bagi
kahin, munajjim, dan rammaal,
serta yang sejenis dengan
mereka, yang berbicara dalam
hal mengetahui perkara-perkara
semacam itu dengan cara-cara
semacam ini.” (dinukil dari
Kitabut Tauhid)
Dengan demikian, apapun nama
dan julukannya, baik disebut
dukun, tukang sihir, paranormal,
‘orang pintar’, ‘orang tua’,
spiritualis, ahli metafisika, atau
bahkan mencatut nama kyai dan
gurutta (sebutan untuk tokoh
agama di Sulawesi Selatan), atau
nama-nama lain, jika dia bicara
dalam hal ramal-meramal
dengan cara-cara semacam di
atas maka itu hukumnya sama:
haram dan syirik, menyekutukan
Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Demikian pula istilah-istilah ilmu
yang mereka gunakan, baik
disebut horoskop, zodiak,
astrologi, ilmu nujum, ilmu
spiritual, metafisika,
supranatural, ilmu hitam, ilmu
putih, sihir, hipnotis dan ilmu
sugesti, feng shui, geomanci,
berkedok pengobatan alternatif
atau bahkan pengobatan Islami,
serta apapun namanya, maka
hukumnya juga sama, haram.
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan
hafizhahullah mengatakan saat
menjelaskan sebuah hadits Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِذَا قَضَى اللهُ الْأَمْرَ فِي
السَّمَاءِ ضَرَبَتِ
الْمَلَائِكَةُ بِأَجْنِحَتِهَا
خضَعَانًا لِقَوْلِهِ كَأَنَّهُ
سِلْسِلَةٌ عَلَى صَفْوَانٍ
فَإِذَا فُزِّعَ عَنْ قُلُوبِهِمْ
قَالُوا: مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ؟
قَالُوا لِلَّذِي قَالَ: الْحَقَّ
وَهُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيْرُ.
فَيَسْمَعُهَا مُسْتَرِقُ
السَّمْعَ وَمُسْتَرِقُ
السَّمْعِ هَكَذَا بَعْضَهُ
فَوْقَ بَعْضٍ –وَوَصَفَ
سُفْيَانُ بِكَفِّهِ
فَحَرَّفَهَا وَبَدَّدَ بَيْنَ
أَصَابِعِهِ- فَيَسْمَعُ
الْكَلِمَةَ فَيُلْقِيهَا إِلَى
مَنْ تَحْتَهُ ثُمَّ يُلْقِيهَا
الْآخَرُ إِلَى مَنْ تَحْتَهُ
حَتَّى يُلْقِيهَا عَلَى
لِسَانِ السَّاحِرِ أَوِ الْكَاهِنِ
فَرُبَّمَا أَدْرَكَ الشِّهَابُ
قَبْلَ أَنْ يُلْقِيَهَا
وَرُبَّمَا أَلْقَاهَا قَبْلَ أَنْ
يُدْرِكَهُ فَيَكْذِبُ مَعَهَا
مِائَةَ كِذْبَةٍ فَيُقَالُ:
أَلَيْسَ قَدْ قَالَ لَنَا يَوْمَ
كَذَا وَكَذا كَذَا وَكَذَا؟
فَيُصَدَّقُ بِتِلْكَ
الْكَلِمَةِ الَّتِي سُمِعَ مِنَ
السَّمَاءِ

Apabila Allah memutuskan
sebuah urusan di langit,
tertunduklah seluruh malaikat
karena takutnya terhadap firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala
seakan-akan suara rantai
tergerus di atas batu. Tatkala
tersadar, mereka berkata: “Apa
yang telah difirmankan oleh
Rabb kalian?” Mereka
menjawab: “Kebenaran, dan dia
Maha Tinggi lagi Maha Besar.”
Lalu berita tersebut dicuri oleh
para pencuri pendengaran
(setan). Demikian sebagian
mereka di atas sebagian yang
lain –Sufyan menggambarkan
tumpang tindihnya mereka
dengan telapak tangan beliau
lalu menjarakkan antara jari
jemarinya–. (Pencuri berita) itu
mendengar kalimat yang
disampaikan, lalu
menyampaikannya kepada yang
di bawahnya. Yang di bawahnya
menyampaikannya kepada yang
di bawahnya lagi, sampai dia
menyampaikannya ke lisan
tukang sihir atau dukun.
Terkadang mereka dijumpai oleh
bintang pelempar sebelum dia
menyampaikannya, namun
terkadang dia bisa
menyampaikan berita tersebut
sebelum dijumpai oleh bintang
tersebut. Dia menyisipkan seratus
kedustaan bersama satu berita
yang benar itu. Kemudian
petuah dukun yang salah
dikomentari: “Bukankah dia
telah mengatakan demikian pada
hari demikian?” Dia dibenarkan
dengan kalimat yang
didengarnya dari langit itu.” (HR.
Al-Bukhari no. 4522 dari sahabat
Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu)
Pada (hadits ini) terdapat
keterangan tentang batilnya sihir
dan perdukunan, bahwa
keduanya sumbernya sama yaitu
mengambil dari setan. Oleh
karena itu, sihir tidak boleh
diterima, demikian pula berita
tukang sihir. Juga dukun dan
berita dukun. Karena sumbernya
batil. Disebutkan dalam hadits
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam:

مَنْ أَتَى كَاهِناً أَوْ عَرَّافًا
لمَ ْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ
أَرْبَعِيْنَ يَوْماً

“Barangsiapa mendatangi dukun
atau peramal maka tidak
diterima shalatnya 40 hari.”
Dalam hadits yang lain:

مَنْ أَتَى كَاهِناً أَوْ عَرَّافاً
فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُوْلُ
فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ
عَلَى مُحَمَّدٍ صلى الله عليه
وسلم

“Barangsiapa mendatangi dukun
atau peramal lalu memercayai
apa yang dia katakan maka dia
telah kafir dengan apa yang
diturunkan kepada Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Dalam hadits ini terdapat
keterangan batilnya sihir atau
dukun, larangan membenarkan
tukang sihir atau dukun, atau
mendatangi mereka. Akan tetapi
di masa ini, para tukang sihir dan
dukun muncul dengan julukan
tabib atau ahli pengobatan.
Mereka membuka tempat-
tempat praktik serta mengobati
orang-orang dengan sihir dan
perdukunan. Namun mereka
tidak mengatakan: “Ini sihir, ini
perdukunan.” Mereka
tampakkan kepada manusia
bahwa mereka mengobati
dengan cara yang mubah, serta
menyebut nama Allah
Subhanahu wa Ta’ala di depan
orang-orang. Bahkan terkadang
membaca sebagian ayat Al-
Qur’an untuk mengelabui
manusia, tapi dengan sembunyi
mengatakan kepada orang yang
sakit, “Sembelihlah kambing
dengan sifat demikian dan
demikian, tapi jangan kamu
makan (dagingnya), ambillah
darahnya”, “Lakukan demikian
dan demikian”, atau mengatakan
“Sembelihlah ayam jantan atau
ayam betina” ia sebutkan sifat-
sifatnya dan mewanti-wanti “Tapi
jangan menyebut nama Allah
Subhanahu wa Ta’ala”. Atau
menanyakan nama ibu atau
ayahnya (pasien), mengambil
baju atau topinya (si sakit) untuk
dia tanyakan kepada setan
pembantunya, karena setan juga
saling memberi informasi.
Setelah itu ia mengatakan: “Yang
menyihir kamu itu adalah fulan”,
padahal dia juga dusta. Maka
wajib bagi muslimin untuk
berhati-hati. (I’anatul Mustafid)
Ciri-ciri Dukun atau Penyihir
Berikut ini beberapa ciri dukun,
sehingga dengan mengetahui
ciri-ciri tersebut, hendaknya kita
berhati-hati bila kita dapati ciri-
ciri tersebut ada pada seseorang
walaupun dia mengaku hanya
sebagai tukang pijat bahkan kyai.

Di antara ciri tersebut:

1. Bertanya kepada yang sakit
tentang namanya, nama ibunya,
atau semacamnya.

2. Meminta bekas-bekas si sakit
baik pakaian, sorban, sapu
tangan, kaos, celana, atau
sejenisnya dari sesuatu yang
biasa dipakai si sakit. Atau bisa
juga meminta fotonya.

3. Terkadang meminta hewan
dengan sifat tertentu untuk
disembelih tanpa menyebut
nama Allah Subhanahu wa
Ta’ala, atau dalam rangka
diambil darahnya untuk
kemudian dilumurkan pada
tempat yang sakit pada
pasiennya, atau untuk dibuang di
tempat kosong.

4. Menulis jampi-jampi dan
mantra-mantra yang memuat
kesyirikan.

5. Membaca mantra atau jampi-
jampi yang tidak jelas.

6. Memberikan kepada si sakit
kain, kertas, atau sejenisnya, dan
bergariskan kotak. Di dalamnya
terdapat pula huruf-huruf dan
nomor-nomor.

7. Memerintahkan si sakit untuk
menjauh dari manusia beberapa
saat tertentu di sebuah tempat
yang gelap yang tidak dimasuki
sinar matahari.

8. Meminta si sakit untuk tidak
menyentuh air sebatas waktu
tertentu, biasanya selama 40
hari.

9. Memberikan kepada si sakit
sesuatu untuk ditanam dalam
tanah.

10. Memberikan kepada si sakit
sesuatu untuk dibakar dan
mengasapi dirinya dengannya.

11. Terkadang mengabarkan
kepada si sakit tentang namanya,
asal daerahnya, dan problem
yang menyebabkan dia datang,
padahal belum diberitahu oleh si
sakit.

12. Menuliskan untuk si sakit
huruf-huruf yang terputus-putus
baik di kertas atau mangkok
putih, lalu menyuruh si sakit
untuk meleburnya dengan air
lantas meminumnya.

13. Terkadang menampakkan
suatu penghinaan kepada agama
misal menyobek tulisan-tulisan
ayat Al-Qur’an atau
menggunakannya pada sesuatu
yang hina.

14. Mayoritas waktunya untuk
menyendiri dan menjauh dari
orang-orang, karena dia lebih
sering bersepi bersama setannya
yang membantunya dalam
praktik perdukunan. (Kaifa
Tatakhallas minas Sihr)

Ini sekadar beberapa ciri dan
bukan terbatas pada ini saja.
Dengannya, seseorang dapat
mengetahui bahwa orang
tersebut adalah dukun atau
penyihir, apapun nama dan
julukannya walaupun terkadang
berbalut label-label keagamaan
semacam kyai atau ustadz.
Dilarang Mendatangi Dukun
Bila kita telah mendengar
tentang seseorang yang memiliki
ciri-ciri sebagaimana dijelaskan di
atas, janganlah kita
mendatanginya. Hal itu sangat
dilarang dalam agama Islam.
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan
menjelaskan:
Dalam Shahih Muslim
disebutkan:

مَنْ أَتَى كَاهِناً أَوْ عَرَّافًا
لمَ ْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ
أَرْبَعِيْنَ يَوْماً

“Barangsiapa mendatangi dukun
maka tidak akan diterima
shalatnya selama 40 hari.”
Hukum ini sebagai akibat dari
hanya mendatangi dukun saja.
Karena (sekadar) mendatanginya
sudah merupakan kejahatan dan
perbuatan haram, walaupun ia
tidak memercayai dukun
tersebut. Oleh karenanya, ketika
sahabat Mu’awiyah Ibnul Hakam
radhiyallahu ‘anhu bertanya
kepada Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam perihal dukun
beliau menjawab: ‘Jangan kamu
datangi dia.’ Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam melarangnya
walaupun sekadar
mendatanginya. Jadi hadits ini
menunjukkan tentang haramnya
mendatangi dukun walaupun
tidak memercayainya, walaupun
yang datang mengatakan:
‘Kedatangan saya hanya sekadar
ingin tahu’. Ini tidak boleh.
“Tidak diterima shalatnya selama
empat puluh hari” dalam sebuah
riwayat “40 hari 40 malam.”
Ini menunjukkan beratnya
hukuman bagi yang mendatangi
dukun, di mana shalatnya tidak
diterima di sisi Allah Subhanahu
wa Ta’ala, tidak ada pahalanya di
sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala,
walaupun ia tidak diperintahkan
untuk mengulangi shalatnya,
karena secara lahiriah ia telah
melakukan shalat. Akan tetapi,
antara dia dengan Allah
Subhanahu wa Ta’ala, dia tidak
mendapatkan pahala dari
shalatnya karena tidak Allah
Subhanahu wa Ta’ala terima. Ini
adalah ancaman keras yang
menunjukkan haramnya
mendatangi dukun, sekadar
mendatangi walaupun tidak
memercayai. Adapun bila
memercayainya maka hadits-
hadits yang akan dijelaskan
berikut telah menunjukkan
ancaman yang keras, kita
berlindung kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bahwa beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:

مَنْ أَتَى كَاهِناً أَوْ عَرَّافاً
فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُوْلُ
فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ
عَلَى مُحَمَّدٍ صلى الله عليه
وسلم

“Barangsiapa mendatangi dukun
atau peramal lalu memercayai
apa yang dia katakan maka dia
telah kafir dengan apa yang
diturunkan kepada Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Dalam hadits ini ada dua
masalah:
Masalah pertama: mendatangi
dukun.
Masalah kedua: memercayainya
pada apa yang ia beritakan dari
perdukunannya. Hukumnya ia
telah dianggap kafir terhadap
apa yang Allah Subhanahu wa
Ta’ala turunkan kepada Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Karena tidak akan
bersatu antara membenarkan
apa yang diturunkan kepada
Muhammad Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dengan membenarkan
berita dukun yang itu adalah
pekerjaan setan. Dua hal yang
tidak mungkin bersatu,
memercayai Al-Qur’an dan
memercayai dukun.
Yang nampak dari hadits itu
bahwa ia telah keluar dari Islam.
Dari riwayat dari Al-Imam
Ahmad rahimahullahu ada dua
pemahaman dalam hal kekafiran
semacam ini. Satu riwayat,
bahwa maksudnya kekafiran
besar yang mengeluarkan dari
agama. Riwayat yang lain:
kekafiran kecil, di bawah
kekafiran tadi.
Ada pendapat ketiga: tawaqquf,
yakni kita baca hadits
sebagaimana datangnya tanpa
menafsirkan serta mengatakan
kafir besar atau kecil. Kita
katakan seperti kata Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
cukup.
Tapi yang kuat –wallahu a’lam–
adalah pendapat yang pertama,
bahwa itu adalah kekafiran yang
mengeluarkan dari agama.
Karena tidak akan bersatu
antara iman kepada Al-Qur’an
dengan iman kepada
perdukunan. Karena Allah
Subhanahu wa Ta’ala telah
mengharamkan perdukunan,
dan memberitakan bahwa itu
adalah perbuatan setan, maka
orang yang memercayai dan
membenarkan berarti telah kafir
dengan kekafiran besar. Inilah
yang nampak dari hadits.
(I’anatul Mustafid)
Demikian penjelasan beliau
tentang mendatangi dukun.
Adapun tentang bertanya-tanya
atau konsultasi dengan para
dukun, telah dijelaskan dalam
rubrik Manhaji secara lebih
detail.
Ada satu hal yang perlu lebih
kita sadari, yaitu kecanggihan
teknologi yang ada ternyata
digunakan para dukun untuk
mencari mangsa. Sehingga tidak
mesti seseorang datang ke
tempat praktik dukun tersebut,
tapi justru dukunnya yang
mendatangi seseorang melalui
radio, televisi, internet, atau SMS.
Dengan itu, bertanya kepada
dukun jalannya semakin
dipermudah. Cukup dengan
ketik: ”reg spasi ....” selanjutnya
mengirimkannya ke nomor
tertentu melalui ponsel,
seseorang sudah bisa
mendapatkan layanan
perdukunan. Bahkan, sampai-
sampai ada sebuah stasiun
televisi yang membuat program
khusus untuk menayangkan
kompetisi di antara dukun/
tukang sihir.
Subhanallah, cobaan nyata
semakin berat. Kaum muslimin
mesti menyadari hal ini. Jangan
sampai kecanggihan teknologi ini
membuat kita semakin jauh dari
ajaran agama. Justru seharusnya
kita gunakan kemajuan teknologi
ini untuk membantu kita agar
semakin taat kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
Semoga kaum muslimin
menerima dan memahaminya
dengan baik sehingga menyadari
akan bahaya perdukunan, untuk
kemudian kaum muslimin pun
bersatu dalam memerangi
perdukunan.


Sumber:www.majalahsyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=830
Read more..

Selasa, 14 September 2010

Tidur Siang

Ustadzah Ummu 'Abdirrahman
Bintu 'Imran


Masa anak-anak masa penuh
aktivitas. Anak-anak seolah tak
berhenti bergerak, dari satu
aktivitas ke aktivitas yang lain.
Lebih-lebih lagi bermain, sebuah
aktivitas yang menjadi favorit
dalam dunia anak. Kadang
karena asyik bermain atau
melakukan aktivitas yang lain,
anak jadi susah diminta tidur
siang. Bahkan tidur siang menjadi
sesuatu yang menjengkelkan
karena memutuskannya dari
kegembiraan aktivitas yang
dilakukannya.
Ternyata faktor yang
menghalangi anak-anak istirahat
di siang hari bukan hanya datang
dari diri mereka sendiri. Bahkan
terkadang, ada orangtua yang
justru menghasung anak-anak
untuk menyibukkan waktunya
dengan segudang kegiatan,
tanpa istirahat siang. Les ini, les
itu, kegiatan ini dan itu, bersiap
menyongsong ini dan itu,
sehingga anak tak berhenti dari
satu kesibukan ke kesibukan
yang lain.
Kita –orangtua– seyogianya tidak
membiarkan anak-anak tanpa
tidur siang ataupun sekadar
beristirahat di siang hari. Dari sisi
kesehatan, tentu hal ini banyak
manfaatnya, mengistirahatkan
tubuh sejenak dari aktivitas agar
bugar kembali untuk
menyambut aktivitas berikutnya.
Tak hanya dari sisi kesehatan
tinjauannya. Jauh lebih penting
lagi, tidur siang adalah sunnah
yang diajarkan dan dilakukan
oleh Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Beliau
memerintahkan kita untuk tidur
siang dalam sabda beliau yang
dinukilkan oleh Anas bin Malik
radhiyallahu ‘anhu:

قِيْلُوا فَإِنَّ الشَّيَاطِيْنَ
لاَ تَقِيْلُ

“Qailulah-lah (istirahat sianglah)
kalian, sesungguhnya setan-setan
itu tidak pernah istirahat
siang.” (HR. Abu Nu’aim dalam
Ath-Thibb, dikatakan oleh Al-
Imam Al-Albani rahimahullahu
dalam Ash-Shahihah no. 1637:
isnadnya shahih)
Yang dimaksud dengan qailulah
adalah istirahat di tengah hari,
walaupun tidak disertai tidur.
(An-Nihayah fi Gharibil Hadits)
Apa yang dilakukan dan
dihasung oleh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini
juga diikuti oleh para sahabat
radhiyallahu ‘anhum. Di
antaranya ‘Abdullah bin Mas’ud
radhiyallahu ‘anhu dalam riwayat
dari ‘Umar ibnul Khaththab
radhiyallahu ‘anhu:

رُبَّمَا قَعَدَ عَلَى بَابِ
ابْنِ مَسْعُوْدٍ رِجَالٌ مِنْ
قُرَيْشٍ، فَإِذَا فَاءَ
الْفَيْءُ قَالَ: قُوْمُوا فَمَا
بَقِيَ فَهُوَ لِلشَّيْطَانِ.
ثُمَّ لاَ يَمُرُّ عَلَى أَحَدٍ
إِلاَّ أَقَامَهُ

Pernah suatu ketika ada orang-
orang Quraisy yang duduk di
depan pintu Ibnu Mas’ud. Ketika
tengah hari, Ibnu Mas’ud
mengatakan, “Bangkitlah kalian
(untuk istirahat siang, pent.)!
Yang tertinggal hanyalah bagian
untuk setan.” Kemudian tidaklah
Umar melewati seorang pun
kecuali menyuruhnya
bangkit.” (HR. Al-Bukhari dalam
Al-Adabul Mufrad no.1238,
dikatakan oleh Al-Imam Al-
Albani rahimahullahu dalam
Shahih Al-Adabil Mufrad no.
939: hasanul isnad)
Dalam riwayat yang lainnya
disebutkan:

كَانَ عُمَرُ رضي الله عنه
يَمُرُّ بِنَا نِصْفَ النَّهَارِ
–أَوْ قَرِيْبًا مِنْهُ –
فَيَقُوْلُ: قُوْمُوا
فَقِيْلُوا، فَمَا بَقِيَ
فَلِلشَّيْطَانِ

Biasanya ’Umar radhiyallahu
‘anhu bila melewati kami pada
tengah hari atau mendekati
tengah hari mengatakan,
“Bangkitlah kalian! Istirahat
sianglah! Yang tertinggal menjadi
bagian untuk setan.” (HR. Al-
Bukhari dalam Al-Adabul
Mufrad no.1239, dikatakan oleh
Al-Imam Al-Albani
rahimahullahu dalam Shahih Al-
Adabil Mufrad no. 939: hasanul
isnad)
Begitulah kebiasaan para
sahabat g. Diceritakan oleh Anas
bin Malik radhiyallahu ‘anhu,
ketika datang pengharaman
khamr, para sahabat sedang
duduk-duduk minum khamr di
rumah Abu Thalhah radhiyallahu
‘anhu. Dengan segera mereka
menuangkan isi bejana khamr,
lalu mereka istirahat siang di
rumah Ummu Sulaim
radhiyallahu ‘anha, istri Abu
Thalhah radhiyallahu ‘anhu.
Anas radhiyallahu ‘anhu
menuturkan:

مَا كَانَ لِأَهْلِ الْمَدِيْنَةِ
شَرَابٌ– حَيْثُ حُرِّمَتِ
الْخَمْرُ –أَعْجَبُ إِلَيْهِمْ
مِنَ التَّمْرِ وَالْبُسْرِ،
فَإِنِّي لَأُسْقِي أَصْحَابَ
رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه
وسلم وَهُمْ عِنْدَ أَبِي
طَلْحَةَ، مَرَّ رَجُلٌ قَالَ: إِنَّ
الْخَمْرَ قَدْ حُرِّمَتْ. فَمَا
قَالُوا: مَتَى؟ أَوْ حَتَّى
نَنْظُرَ. قَالُوا: يَا أَنَسُ،
أَهْرِقْهَا، ثُمَّ قَالُوا عِنْدَ
أُمِّ سُلَيْمٍ حَتَّى أَبْرَدُوا
وَاغْتَسَلُوا، ثُمَّ
طَيَّبَتْهُمْ أُمُّ سُلَيْمٍ
ثُمَّ رَاحُوا إِلَى النَّبِيِّ
صلى الله عليه وسلم فَإِذَا
الْخَبَرُ كَمَا قَالَ الرَّجُلُ.
قَالَ أَنَسٌ: فَمَا طَعِمُوهَا
بَعْدُ

“Tidak ada minuman yang paling
disukai penduduk Madinah
tatkala diharamkannya khamr,
selain (khamr dari) rendaman
kurma. Sungguh waktu itu aku
sedang menghidangkan
minuman itu kepada para
sahabat Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam yang sedang
berada di rumah Abu Thalhah.
Tiba-tiba lewat seseorang, dia
mengatakan, “Sesungguhnya
khamr telah diharamkan!” Sama
sekali para sahabat tidak
menanyakan, “Kapan?” atau
“Kami lihat dulu.” Mereka justru
langsung mengatakan, “Wahai
Anas, tumpahkan khamr itu!”
Lalu mereka pun beristirahat
siang di rumah Ummu Sulaim
sampai hari agak dingin, setelah
itu mereka mandi. Kemudian
Ummu Sulaim memberi mereka
minyak wangi. Setelah itu
mereka beranjak menuju ke
hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Ternyata beritanya
memang seperti yang dikatakan
orang tadi. Maka mereka tak
pernah lagi meminumnya setelah
itu.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-
Adabul Mufrad no.1241,
dikatakan oleh Al-Imam Al-
Albani rahimahullahu dalam
Shahih Al-Adabil Mufrad no.
940: shahihul isnad)
Anas bin Malik radhiyallahu
‘anhu mengabarkan kebiasaan
para sahabat Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dahulunya:

كَانُوا يُجَمِّعُوْنَ ثُمَّ
يَقِيْلُوْنَ

“Mereka (para sahabat) dulu
biasa melaksanakan shalat
Jum’at, kemudian istirahat
siang.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-
Adabul Mufrad no.1240,
dikatakan oleh Al-Imam Al-
Albani rahimahullahu dalam
Shahih Al-Adabil Mufrad no.
939: shahihul isnad)
Jika para sahabat saja
bersemangat mengikuti perintah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam serta mengajak yang
lainnya melakukan kebaikan ini,
tentu kita tak pantas
meninggalkannya. Kita
melakukan dan kita ajak anak-
anak kita untuk melakukannya
pula.
Manfaat yang besar akan
mereka dapatkan; tubuh akan
terasa segar untuk
melaksanakan berbagai ketaatan
kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala, juga menyelisihi kebiasaan
setan yang tak pernah istirahat di
siang hari. Lebih penting lagi,
membiasakan diri mereka untuk
meneladani sunnah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Wallahu a’lamu bish-shawab.


www.majalahsyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=797
Read more..

Siapakah Al Jibt dan Thaghut ?

Ustadz Abu Ubaidah Syafruddin


أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ
أُوتُوا نَصِيبًا مِنَ
الْكِتَابِ يُؤْمِنُونَ
بِالْجِبْتِ وَالطَّاغُوتِ
وَيَقُولُونَ لِلَّذِينَ
كَفَرُوا هَؤُلَاءِ أَهْدَى مِنَ
الَّذِينَ ءَامَنُوا سَبِيلًا.
أُولَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ
اللهُ وَمَنْ يَلْعَنِ اللهُ
فَلَنْ تَجِدَ لَهُ نَصِيرًا

“Apakah kamu tidak
memerhatikan orang-orang yang
diberi bagian dari Al-Kitab?
Mereka percaya kepada Al-Jibt
dan thaghut, serta mengatakan
kepada orang-orang kafir
(musyrik Makkah) bahwa mereka
itu lebih benar jalannya dari
orang-orang yang beriman.
Mereka itulah orang yang
dikutuk Allah, niscaya kamu
sekali-kali tidak akan
memperoleh penolong
baginya.” (An-Nisa’: 51-52)
Sebab Turunnya Ayat
Ibnu Jarir rahimahullahu
meriwayatkan (5/133):
Muhammad bin Al-Mutsanna
telah menceritakan kepada kami,
ia berkata: Ibnu Abi ‘Adi telah
menceritakan kepada kami, dari
Dawud, dari Ikrimah, dari Ibnu
Abbas radhiyallahu ‘anhuma,
beliau berkata: Ketika Ka’b bin
Asyraf tiba di Makkah, orang-
orang Quraisy berkata
kepadanya: “Engkau adalah
orang yang paling baik dari
penduduk Madinah dan pemuka
mereka.” Ia menjawab: “Ya
(betul)!” Mereka berkata:
“Maukah kamu melihat kepada
seorang shanbur1 yang terputus
dari kaumnya? Ia mengaku
bahwa dirinya lebih baik dari
kami. Sementara kami yang lebih
memerhatikan orang-orang yang
menunaikan haji, pengabdi
Ka’bah, dan memberi minum
(bagi orang-orang yang
menunaikan ibadah haji) setiap
zaman (terlebih pada musim
dingin saat paceklik).” Ia berkata:
“Kalian lebih baik daripada dia.”
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma berkata: “Maka
turunlah ayat:

إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ

“Sesungguhnya orang-orang
yang membencimu dia yang
terputus.” (Al-Kautsar: 3)
Turun juga ayat:

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ
أُوتُوا نَصِيبًا مِنَ
الْكِتَابِ يُؤْمِنُونَ
بِالْجِبْتِ وَالطَّاغُوتِ
وَيَقُولُونَ لِلَّذِينَ
كَفَرُوا هَؤُلَاءِ أَهْدَى مِنَ
الَّذِينَ ءَامَنُوا سَبِيلًا.
أُولَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ
اللهُ وَمَنْ يَلْعَنِ اللهُ
فَلَنْ تَجِدَ لَهُ نَصِيرًا

“Apakah kamu tidak
memerhatikan orang-orang yang
diberi bagian dari Al-Kitab?
Mereka percaya kepada jibt dan
thaghut serta mengatakan
kepada orang-orang kafir
(musyrik Makkah) bahwa mereka
itu lebih benar jalannya dari
orang-orang yang beriman.
Mereka itulah orang yang
dikutuk Allah, niscaya kamu
sekali-kali tidak akan
memperoleh penolong
baginya.” (An-Nisa: 51)
Hadits ini juga disebutkan oleh
Al-Hafizh Ibnu Katsir
rahimahullahu dalam Tafsirnya
(1/513). Beliau berkata: Al-Imam
Ahmad rahimahullahu berkata:
Muhammad bin Abi ‘Adi
menceritakan kepadaku…,
dengan sanad seperti di atas.
Ibnu Hibban rahimahullahu juga
meriwayatkan dalam kitab
Shahihnya, sebagaimana
terdapat dalam kitab Mawarid
Azh-Zham’an (hal. 428). Asy-
Syaikh Abu Abdirrahman Muqbil
bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullahu
berkata: “Semua perawinya
adalah para perawi shahih.
Hanya saja yang rajih (kuat)
bahwa (hadits ini) mursal
(ucapan Ibnu Abbas radhiyallahu
‘anhuma, pen.), sebagaimana
yang disebutkan dalam Takhrij
Tafsir Ibnu Katsir2.” (Lihat Ash-
Shahih Al-Musnad min Asbabin
Nuzul, Asy-Syaikh Abu
Abdirrahman Muqbil bin Hadi
Al-Wadi’i rahimahullahu, hal. 77)
Penjelasan Mufradat Ayat
أَلَمْ تَرَ
“Apakah kamu tidak
memerhatikan...” Sebagian
ulama ada yang memakai
kalimat ini dengan makna أَلَمْ
تَرَ بِقَلْبِكَ yakni أَلَمْ
تَعْلَمْ. Artinya, apakah kamu
tidak melihat (dengan
penglihatan hati/ilmu) dengan
membawa kepada makna ru’yah
qalbiyah atau ilmiyah.
Ada pula yang memaknai
النَّظَرُ (melihat dengan
penglihatan mata) dengan
membawa kepada makna ru’yah
bashariyah, sehingga artinya
apakah kamu tidak
memerhatikan (melihat dengan
mata).
Banyak para ulama tafsir yang
menguatkan makna pertama,
ru’yah qalbiyah atau ‘ilmiyah.
Karena orang-orang Arab
menempatkan kata الْعِلْمُ
(pengetahuan) pada makna
الرُّؤْيَةُ (penglihatan). Yakni
kata ‘melihat’ dimaknakan
dengan ‘mengetahui’. Demikian
pula sebaliknya, mereka
menempatkan kata الرُّؤْيَةُ
(penglihatan) pada makna
الْعِلْمُ. Yakni kata
‘mengetahui’ dimaknakan
dengan ‘melihat’. Seperti dalam
firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala (sebagai misal penglihatan
bermakna pengetahuan).

أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ
رَبُّكَ بِأَصْحَابِ الْفِيلِ

“Apakah kamu tidak
memerhatikan (dengan hati/
ilmu) bagaimana Rabb-Mu telah
bertindak kepada tentara
gajah.” (Al-Fiil: 1)
Adapun firman Allah Subhanahu
wa Ta’ala (sebagai misal
pengetahuan bermakna
penglihatan):

وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ
الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا إِلَّا
لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ
الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ
عَلَى عَقِبَيْهِ

“Dan Kami tidak menetapkan
kiblat yang menjadi kiblatmu
(sekarang) melainkan agar Kami
mengetahui (supaya nyata
terlihat) siapa yang mengikuti
Rasul dan siapa yang
membelot.” (Al-Baqarah: 143)
Kalimat ﭽ ﭾ ﭿ ﮀ ﮁ bermakna
إِلَّا لِنَرَى مَنْ يَتَّبِعُ
الرَّسُولَ, artinya: “Melainkan
agar Kami bisa melihat dengan
nyata siapa yang mengikuti
Rasul….” (Lihat Tafsir Ath-
Thabari, Al-Alusi)
Ada pula yang memaknakan
الرُّؤْيَةُ dalam ayat ini adalah
ru’yah bashariyah bermakna
melihat, dengan dalil bahwa
kalimat رَأَ ى di sini muta’addi
dengan huruf إِلَى sehingga
maknanya menjadi النَّظَرُ
(melihat dengan mata). (Lihat Al-
Jadid fi Syarhi Kitabit Tauhid,
karya Asy-Syaikh Muhammad Al-
Qar’awi rahimahullahu hal. 143,
Al-Qaulul Mufid karya Asy-
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-
Utsaimin rahimahullahu, 1/468)
Huruf hamzah istifham
(pertanyaan) dalam kalimat ﮍ ﮎ
ketika masuk/bergandeng
bersama huruf nafi لَمْ,
mengubah kalimat pertanyaan
yang ada menjadi kalimat
penetapan. Atau diistilahkan
oleh para ulama dengan istifham
lit taqrir atau lil ijab.
Kalimat أَلَمْ تَرَ dalam
bahasa Arab digunakan untuk
menyebutkan suatu perkara
yang mengherankan
(mengagumkan). Seperti
kekaguman Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
terhadap seorang yang bernama
Mujazziz Al-Mudliji. Dalam
sebuah hadits3, ‘Aisyah
radhiyallahu ‘anha berkata:
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam masuk ke rumahku dalam
keadaan wajah beliau berseri-seri
sambil terheran-heran. Beliau
berkata:

أَلَمْ تَرَيْ أَنَّ مُجَزِّزًا
الْمُدْلِجِيَّ دَخَلَ عَلَيَّ
فَرَأَى أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ
وَزَيْدًا وَعَلَيْهِمَا
قَطِيفَةٌ قَدْ غَطَّيَا
رُءُوسَهُمَا وَبَدَتْ
أَقْدَامُهُمَا فَقَالَ: إِنَّ هَذِهِ
الْأَقْدَامَ بَعْضُهَا مِنْ
بَعْضٍ

“Apakah kamu tidak
memerhatikan (dengan
penglihatan hati/ilmu) Mujazziz
Al-Mudliji (sambil terheran-
heran)? Dia baru saja masuk
rumah kemudian melihat
(menyaksikan) Zaid bin Haritsah
dan putranya Usamah bin Zaid
sedang berbaring tidur. Kepala
keduanya tertutupi oleh qathifah
(kain beludru), tetapi kaki-
kakinya terlihat. (Mereka berdua
tidur dengan satu selimut,
sementara kaki-kakinya
tersingkap. Zaid berkulit putih,
sedangkan Usamah berkulit
hitam, pen.) Kemudian Mujazziz
berkata: ‘Sesungguhnya kaki-kaki
ini sebagiannya adalah dari
sebagian yang lain (yakni ada
hubungan kerabat’.”
إِلَى الَّذِينَ أُوتُوا
“Orang-orang yang
didatangkan…,” maknanya yaitu
orang-orang yang diberi dan
tidak diberi seluruh Al-Kitab
(sebagian saja). Mereka
diharamkan (terhalangi)
mendapatkan seluruh kitab
karena kemaksiatan yang
mereka lakukan. (Al-Qaulul
Mufid, 1/468)
Mayoritas ulama ahli tafsir
menyebutkan bahwa yang
dimaksud dalam ayat ini adalah
sekumpulan ahlul kitab dari
kalangan Yahudi.
Abu Ja’far Ath-Thabari
rahimahullahu berkata:
“Mungkin juga mereka yang
dimaksud dalam ayat ini adalah
orang-orang yang disebut oleh
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma, seperti Huyai bin
Akhthab dan Ka’b bin Al-
Asyraf.”
Ibnu Katsir rahimahullahu
menyebutkan riwayat Ibnu
‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma
dari jalan ‘Ikrimah atau Sa’id bin
Jubair, maknanya bahwa mereka
Huyai bin Akhthab, Salam bin
Abil Haqiq, Abu Rafi’, Ar-Rabi’
bin Abil Haqiq, Abu ‘Amir,
Wahwah bin ‘Amir, Burdah bin
Qais. Wahwah, Abu ‘Amir, dan
Burdah berasal dari Bani Wail,
sedangkan yang lain semuanya
dari Bani Nadhir. (Ibnu Katsir,
1/486)
نَصِيبًا
“Bagian.”
Banyak ahli tafsir memaknai kata
ﯺ dalam ayat ini dengan nasib
atau bagian, seperti Ath-Thabari,
Al-Qurthubi, dan yang lain.
Sebagian ada yang memaknai
dengan makna بَعْضًا
(sebagian dari), seperti Al-Alusi.
مِنَ الْكِتَابِ
“dari Al-Kitab,” yaitu Taurat. Asy-
Syaikh Ibnu Utsaimin berkata:
“Al-Kitab di sini mencakup
Taurat dan Injil. Kalimat ﯹ ﯺ ﯻ
ﯼ , Allah Subhanahu wa Ta’ala
tidak menurunkan dengan
kalimat أُوتُوا الْكِتَابِ .
Karena diberi sebagiannya saja,
mereka tidak memiliki ilmu yang
sempurna terhadap apa yang
ada dalam Al-Kitab. (Al-Qaulul
Mufid 1/469)
يُؤْمِنُونَ
“Mereka percaya,” yaitu percaya
(beriman) kepada al-jibt dan
thaghut, kufur kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala, dalam
keadaan mereka mengetahui
bahwa beriman kepada
keduanya adalah kufur, percaya
kepada keduanya adalah syirik.
(Tafsir Ath-Thabari)
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin
rahimahullahu menerangkan:
“Maknanya adalah
membenarkan, menetapkan, dan
tidak mengingkarinya.”
بِالْجِبْتِ وَالطَّاغُوتِ
“Kepada al-jibt dan thaghut.”
Ada beberapa pendapat ulama
dalam memaknai kata al-jibt. Di
antaranya:

1. Al-Jibt adalah sihir. Ini adalah
pendapat Umar bin Al-
Khaththab, Ibnu ‘Abbas, Abul
Aliyah, Mujahid, ‘Atha, ‘Ikrimah,
Sa’id bin Jubair, Asy-Sya’bi, Al-
Hasan, Adh-Dhahak, dan As-
Suddi.

2. Al-Jibt adalah setan. Pendapat
ini juga dikemukakan oleh Ibnu
‘Abbas, Abul Aliyah, Mujahid,
Atha’, ‘Ikrimah, Sa’id bin Jubair,
Asy-Sya’bi, Al-Hasan, ‘Athiyyah,
dan Qatadah.

3. Al-Jibt adalah syirik. Pendapat
ini dinyatakan oleh Ibnu ‘Abbas
radhiyallahu ‘anhuma, menurut
bahasa orang Habasyah.

4. Al-Jibt adalah al-ashnam
(patung-patung). Pendapat ini
dikemukakan oleh Ibnu ‘Abbas
radhiyallahu ‘anhuma.

5. Al-Jibt adalah al-kahin
(dukun). Ini adalah pendapat
Asy-Sya’bi, Abul Aliyah,
Muhammad bin Sirin, dan
Makhul.

6. Al-Jibt adalah Huyai bin
Akhthab. Pendapat ini
dinyatakan oleh Ibnu ‘Abbas
radhiyallahu ‘anhuma.

7. Al-Jibt adalah Ka’b bin Al-
Asyraf. Pendapat ini dikatakan
oleh Mujahid.

8. Al-Jibt adalah suara (bisikan)
setan. Pendapat ini dilontarkan
oleh Al-Hasan.

9. Abu Nashr bin Ismail bin
Hammad Al-Jauhari dalam
kitabnya Ash-Shihah,
menyebutkan bahwa Al-Jibt
adalah suatu kalimat yang
dipakai untuk memaknai patung,
dukun, tukang sihir, dan yang
lainnya.

10. Al-Jibt adalah tukang sihir
(menurut bahasa Habasyah).
Pendapat ini dinyatakan Ibnu
Zaid, Sa’id bin Jubair, Abul
Aliyah, Ibnu Sirin, dan Makhul.

11. Al-Jibt adalah segala sesuatu
yang disembah selain Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Pendapat
ini dinyatakan oleh Al-Imam
Malik bin Anas.

Tentang kata thaghut, juga ada
beberapa pendapat:

1. Setan. Ini pendapat Umar bin
Al-Khaththab, Ibnu ‘Abbas, Abul
Aliyah, Atha’, Sa’id bin Jubair,
Asy-Sya’bi, Al-Hasan, Adh-
Dhahhak, As-Suddi, dan
‘Ikrimah.

2. Tandingan-tandingan selain
Allah Subhanahu wa Ta’ala,
berhala-berhala dan semua yang
setan menyeru (mengajak)
kepadanya.

3. Al-Kahin (dukun). Pendapat ini
dikemukakan oleh Mujahid, Sa’id
bin Jubair, Abul Aliyah, dan
Qatadah.

4. Ibnul Qayyim berkata:
“Thaghut adalah segala sesuatu
yang dengannya seorang hamba
melampaui batas, baik berupa
yang diibadahi, yang diikuti, atau
yang ditaati.”
Ahlul ilmi mengatakan bahwa
makna atau tafsir inilah yang
paling menyeluruh, sedangkan
penafsiran yang lain merupakan
tafsir misal (bentuk konkret yang
ada).
Ibnu Katsir rahimahullahu
menjelaskan: “Pendapat yang
memaknakan kata thaghut
dengan setan adalah pendapat
yang kuat sekali, karena
mencakup seluruh kejelekan dan
keburukan yang dahulu
dilakukan orang-orang jahiliah.
Seperti menyembah berhala,
mengadukan perkara kepadanya
(sebagai pemutus dan pengatur),
dan meminta tolong
kepadanya.” (Tafsir Ibnu Katsir,
1/294)
Al-Imam Al-Qurthubi
rahimahullahu berkata: “Yang
benar dari pendapat para ulama
tentang makna kata al-jibt dan
thaghut adalah membenarkan
(memercayai) dua perkara yang
diibadahi selain Allah Subhanahu
wa Ta’ala, menyembah
(beribadah kepada)nya, dan
menjadikan keduanya
sesembahan selain Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Karena al-
jibt dan thaghut adalah dua
nama yang diperuntukkan bagi
segala sesuatu yang dimuliakan
(diagungkan) selain Allah
Subhanahu wa Ta’ala, dengan
melakukan peribadatan
(menyembah), menaati, dan
tunduk (merendahkan dan
menghinakan diri) kepadanya,
apapun bentuknya. Baik berupa
batu, manusia, maupun setan.
Jika segala sesuatu tadi (batu dan
yang selainnya) diperlakukan
sedemikian rupa (disembah,
ditaati, dan seterusnya) maka
berhala-berhala yang dahulu
disembah orang-orang jahiliah
telah menjadi sesuatu yang
dimuliakan (diagungkan) dengan
melakukan ibadah kepada selain
Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dengannya, berhala-berhala itu
telah menjadi al-jibt dan thaghut.
Demikian pula setan yang
dahulu ditaati orang-orang kafir
dalam bermaksiat kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
Termasuk pula tukang sihir dan
dukun, yang ucapan keduanya
diterima (dipercaya) oleh orang-
orang yang menyekutukan Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
Sedangkan Huyai bin Akhthab
dan Ka’b bin Asyraf, keduanya
adalah orang yang berilmu dari
kalangan orang-orang Yahudi,
tetapi keduanya bermaksiat
kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala, kufur kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-
Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam
sehingga keduanya termasuk al-
jibt dan thaghut.

وَيَقُولُونَ لِلَّذِينَ
كَفَرُوا هَؤُلَاءِ أَهْدَى مِنَ
الَّذِينَ ءَامَنُوا سَبِيلًا .

“Dan mengatakan kepada
orang-orang kafir (musyrik
Makkah) bahwa mereka itu lebih
benar jalannya dari orang-orang
yang beriman.”
Al-Hafizh Ibnu Katsir
rahimahullahu berkata: “Mereka
mengutamakan orang-orang
kafir daripada orang-orang
muslim disebabkan kejahilan,
sedikitnya pemahaman terhadap
agama mereka, dan ingkarnya
mereka terhadap Kitabullah
(Taurat) yang ada pada mereka.
Misalnya seperti yang tersebut
dalam asbabun nuzul di
atas.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/486)

أُولَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ
اللهُ وَمَنْ يَلْعَنِ اللهُ
فَلَنْ تَجِدَ لَهُ نَصِيرًا

“Mereka itulah orang yang
dikutuk Allah, niscaya kamu
sekali-kali tidak akan
memperoleh penolong baginya.”
Al-Hafizh Ibnu Katsir
rahimahullahu berkata: “Inilah
laknat dari Allah Subhanahu wa
Ta’ala atas mereka, sekaligus
berita bahwa tidak ada penolong
bagi mereka baik di dunia
maupun di akhirat. Karena
mereka datang kepada kaum
musyrikin hanya untuk meminta
pertolongan. Mereka
mengatakannya kepada kaum
musyrikin, agar kaum musyrikin
condong kepada mereka dan
kemudian mau menolong
mereka. Hal itu telah dikabulkan
dan dibuktikan dengan
datangnya mereka bersama-
sama pada Perang Ahzab, hingga
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan para sahabatnya membuat
parit di sekitar Madinah.
Cukuplah hanya Allah
Subhanahu wa Ta’ala yang
menolak kejahatan mereka,
sebagaimana firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala:

وَرَدَّ اللهُ الَّذِينَ كَفَرُوا
بِغَيْظِهِمْ لَمْ يَنَالُوا
خَيْرًا وَكَفَى اللهُ
الْمُؤْمِنِينَ الْقِتَالَ وَكَانَ
اللهُ قَوِيًّا عَزِيزًا

“Dan Allah menghalau orang-
orang yang kafir itu yang
keadaan mereka penuh
kejengkelan, (lagi) mereka tidak
memperoleh keuntungan
apapun. Dan Allah
menghindarkan orang-orang
mukmin dari peperangan. Dan
adalah Allah Maha Kuat lagi
Maha Perkasa.” (Al-Ahzab: 25)
Makna dan Faedah Ayat
Asy-Syaikh Sa’di rahimahullahu,
setelah menyebutkan ayat di
atas, mengatakan: “Ini termasuk
di antara keburukan, kejelekan,
dan kedengkian orang-orang
Yahudi terhadap Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
kaum mukminin. Akhlak mereka
yang rendah dan tabiat yang
buruk, telah membawa mereka
untuk tidak beriman kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Mereka menggantinya
dengan beriman kepada al-jibt
dan thaghut, yaitu beriman
kepada segala bentuk
peribadatan selain Allah
Subhanahu wa Ta’ala, atau
berhukum dengan selain syariat
Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Termasuk dalam hal ini adalah
sihir dan perdukunan, beribadah
kepada selain Allah Subhanahu
wa Ta’ala, menaati (mengikuti)
setan. Semua ini termasuk
bagian dari al-jibt dan thaghut.
Demikian pula perbuatan
mereka berupa kekufuran,
kedengkian dengan
mengutamakan jalan yang
ditempuh oleh orang-orang yang
kufur kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala –para penyembah
berhala– di atas jalan yang
ditempuh orang-orang beriman,
dengan: mengatakan kepada
orang-orang kafir (musyrik
Makkah) bahwa mereka itu lebih
benar jalannya dari orang-orang
yang beriman. (Tafsir As-Sa’di
hal. 182)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullahu mengatakan:
“Banyak orang yang mengaku
Islam, berpaling dari (ajarannya)
hingga membuang jauh-jauh Al-
Qur’an di belakang punggung
mereka serta rela mengikuti apa
yang dibisikkan oleh setan. Ia
tidak mengagungkan perintah
Al-Qur’an dan larangan-Nya,
tidak berloyalitas kepada orang
yang diperintahkan Al-Qur’an
untuk berloyal kepadanya, dan
tidak memusuhi orang yang
diperintahkan Al-Qur’an untuk
memusuhinya. Bahkan dia
mengagungkan orang yang
mampu melakukan beberapa
perkara yang luar biasa.
Sebagian mereka ada yang tahu
bahwa perkara luar biasa itu
datangnya dari setan, tetapi
tetap mengagungkannya karena
dorongan hawa nafsu, hingga
dia mengutamakannya di atas
jalan (petunjuk) Al-Qur’an,
sebagaimana orang-orang kafir
(Yahudi). Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman tentang
mereka:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ
أُوتُوا نَصِيبًا مِنَ
الْكِتَابِ يُؤْمِنُونَ
بِالْجِبْتِ وَالطَّاغُوتِ
“Apakah kamu tidak
memerhatikan orang-orang yang
diberi bagian dari Al-Kitab?
Mereka percaya kepada Al-Jibt
dan thaghut.” (An-Nisa’: 51)
(Majmu’ Fatawa, Tafsir Surat An-
Nisa’)
Ayat ini termasuk ayat yang
pertama dicantumkan oleh
Syaikul Islam Muhammad bin
Abdul Wahhab rahimahullahu
dalam Kitabut Tauhid, pada bab
Ma Ja’a anna Ba’dha Hadzihil
Ummati Ya’budu Al-Autsan
(Penjelasan adanya sebagian
umat ini yang menyembah
berhala).
Asy-Syaikh Muhammad Al-
Qar’awi rahimahullahu berkata
dalam kitabnya Al-Jadid (hal.
143): “Pada ayat ini, Allah
Subhanahu wa Ta’ala
mengarahkan pandangan Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi
wa sallam secara khusus dan
kaum muslimin secara umum,
pada beberapa perbuatan
orang-orang Yahudi yang
menyimpang lagi mungkar. Yaitu
mereka memercayai
penyembahan berhala serta
mengedepankan peribadatan
tersebut di atas peribadatan
orang-orang mukmin terhadap
Rabb mereka, karena Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
para sahabatnya berada
padanya. Walaupun mereka
(orang-orang Yahudi)
mengetahui bahwa kitab mereka
yang dahulu (Taurat) telah
menerangkan, agama Islam lebih
utama daripada peribadatan
kepada berhala, bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam benar adanya, serta apa
yang dibawa adalah perkara
yang haq; akan tetapi sifat
dengki dan dendam
membutakan mereka serta
menghalangi untuk
mengucapkan kebenaran.
Mereka kemudian membuat tipu
daya dengan bermuka manis di
hadapan orang kafir dan
perbuatan mereka (peribadatan
kepada berhala). Namun Allah
Subhanahu wa Ta’ala enggan
(dengan semua itu) kecuali
untuk menyempurnakan cahaya-
Nya meskipun orang-orang kafir
tidak menyukai.”
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin
rahimahullahu berkata: “Alasan
Asy-Syaikh Muhammad memberi
judul dalam bab ini adalah untuk
membantah orang yang
mengatakan bahwa kesyirikan
tidak mungkin terjadi (dilakukan)
pada umat ini. Mereka
mengingkari bahwa peribadatan
kepada kuburan dan para wali
termasuk bagian dari syirik,
karena umat ini telah terjaga dari
kesyirikan berdasarkan hadits
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dari Jabir radhiyallahu
‘anhu:
إِنَّ الشَّيْطَانَ قَدْ أَيِسَ
أَنْ يَعْبُدَهُ الْمُصَلُّونَ
فِي جَزِيرَةِ الْعَرَبِ
وَلَكِنْ فِي التَّحْرِيشِ
بَيْنَهُمْ
“Sesungguhnya setan telah putus
asa dari disembah oleh orang-
orang yang shalat di jazirah
Arab, akan tetapi dengan
mengadu domba mereka.” (HR.
Muslim)
Terhadap syubhat ini beliau
menjawab: “Keputusasaan setan
pada suatu perkara yang telah
dikabarkan oleh Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam disebabkan
setan telah menyaksikan Fathul
Makkah dan masuknya manusia
berbondong-bondong ke dalam
agama Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Akan tetapi kenyataan
yang akan terjadi tidak
mengharuskan keadaannya
sesuai dengan apa yang disangka
oleh setan. Bahkan yang terjadi
bisa berbeda.” (Al-Qaulul Mufid,
1/467)
Asy-Syaikh As-Sa’di
rahimahullahu, setelah
menyebutkan judul yang
disebutkan Asy-Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab
rahimahullahu di atas,
menerangkan: “Maksud dari
judul ini adalah mengingatkan
dari kesyirikan dan
menumbuhkan rasa khawatir
terhadapnya, bahwa syirik
merupakan perkara yang pasti
terjadi pada umat ini, serta
sebagai bantahan terhadap
orang yang berpendapat bahwa
seseorang yang telah
mengucapkan kalimat Laa ilaha
illallah dan disebut sebagai
orang Islam, akan tetap
senantiasa tetap berada di atas
keislamannya walaupun
melakukan perbuatan yang
membatalkan keislamannya,
seperti beristighatsah (meminta
perlindungan/ keselamatan)
kepada penghuni kubur, berdoa
kepada mereka, serta menyebut
perbuatan itu sebagai tawassul
dan bukan ibadah. Ini adalah
perkara yang batil. Karena al-
watsan (berhala) adalah nama
yang mencakup seluruh perkara
yang disembah selain Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Tidak ada
bedanya antara pohon, batu,
maupun bangunan (seperti
kuburan, prasasti, dll, pen.).
Tidak ada bedanya pula apakah
yang dikultuskan itu nabi, orang-
orang shalih, atau orang-orang
yang buruk (jahat). Hal itu
tetaplah merupakan ibadah,
sedangkan ibadah hanyalah hak
Allah Subhanahu wa Ta’ala
semata. Maka barangsiapa
berdoa atau beribadah kepada
selain Allah Subhanahu wa
Ta’ala berarti ia telah menjadikan
(sesuatu yang diibadahi itu)
sebagai berhala dan
mengeluarkan dirinya dari
agama Islam, sehingga tidaklah
bermanfaat pengakuan bahwa
dirinya adalah muslim. Betapa
banyak orang musyrik yang
mengaku dirinya beragama
Islam. Begitu juga orang-orang
mulhid (atheis), kafir, dan
munafik. Karena yang teranggap
pada diri seseorang adalah ruh
agama dan hakikatnya
(bertauhid yang benar dan
beramal shalih), bukan sekadar
nama dan julukan yang tidak
ada hakikatnya.” (Al-Qaulus
Sadid, hal. 102-103)
Ayat di atas juga menunjukkan
bahwasanya ilmu terkadang
tidak memberikan manfaat bagi
pemiliknya dan tidak menjaganya
dari kesesatan. Adalah hal yang
mengherankan jika Allah
Subhanahu wa Ta’ala telah
memberikan kepada sebagian
hamba-Nya ilmu, namun justru
tidak memberikan manfaat
baginya. Maka ilmu itu (akan)
menjadi sesuatu yang akan
menghujat dirinya.
Di antara faedah ayat ini juga
adalah wajibnya
memperingatkan dan
menjauhkan (umat) dari al-jibt
dan thaghut dengan segala
bentuknya.
Faedah yang lain, bahwa
sebagian umat ini ada yang
percaya kepada al-jibt dan
thaghut, sebagaimana
disebutkan oleh Asy-Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab
rahimahullahu dalam salah satu
bab dalam Kitabut Tauhid.
Wallahu a‘lam bish-shawab.
1 Shanbur adalah seorang laki-
laki yang sendirian, lemah,
rendah, tidak punya keluarga
(ayah, ibu, kerabat), tidak punya
keturunan (cucu), tidak punya
penolong, dan sangat hina. (Al-
Qamus 2/73)
2 Isyarat kepada Takhrij Tafsir
Ibnu Katsir yang ditulis oleh Asy-
Syaikh Muqbil rahimahullahu
dan sebagian murid beliau.
Adapun yang pernah kami
jumpai baru sampai surat Al-
An’am, dan sudah dicetak.
Wallahu a’lam bish-shawab.
3 HR. Al-Bukhari (no. 3731, 6770,
6771, dengan Al-Fath 12/66-68),
Muslim (no. 1459, dengan Syarh
Shahih Muslim, 10/282-284).


www.majalahsyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=833
Read more..

Sabtu, 11 September 2010

Membentengi Rumah dari Setan bag 2

Ustadzah Ummu Ishaq Al-
Atsariyyah


Pada lembaran ini di edisi yang
lalu kita telah membicarakan
lima hal yang dapat dilakukan
untuk membentengi rumah dari
setan, yaitu:
1. Mengucapkan salam ketika
masuk rumah dan banyak
berzikir
2. Berzikir kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala ketika
makan dan minum
3. Banyak membaca Al-Qur’an
dalam rumah
4. Membaca secara khusus surah
Al-Baqarah dalam rumah
5. Banyak melakukan shalat
sunnah/nafilah dalam rumah.
Berikut ini kelanjutan dari lima
hal di atas:

Membersihkan rumah dari suara
setan
Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman dalam kalam-Nya
yang agung:

وَاسْتَفْزِزْ مَنِ
اسْتَطَعْتَ مِنْهُمْ
بِصَوْتِكَ

“Hasunglah siapa yang engkau
sanggupi dari kalangan mereka
dengan suaramu.” (Al-Isra: 64)
Mujahid rahimahullahu
menerangkan, suara setan
adalah laghwi (ucapan sia-sia/
main-main) dan nyanyian/lagu.
(Tafsir Ath-Thabari, 8/108)
Sebuah hadits dari sahabat yang
mulia, Abu Malik Al-Asy’ari
radhiyallahu ‘anhu,
mengingatkan kita bahwa
nyanyian, musik berikut alatnya
bukanlah perkara yang terpuji,
namun lebih dekat kepada azab.
Abu Malik radhiyallahu ‘anhu
berkata: Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:

لَيَكُونَنَّ مِن أُمَّتِي
أَقوَامٌ يَستَحِلُّونَ الْحِرَ
وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ
وَالْمَعَازِفَ، وَلَيَنْزِلَنَّ
أَقوَامٌ إِلَى جَنْبِ عَلَمٍ،
يَرُوحُ عَلَيهِمْ بِسَارِحَةٍ
لَهُم، يَأتِيهِم– يَعنِي
الفَقِيرَ- لِحَاجَةٍ
فَيَقُولُوا: ارْجِعْ إِلَينَا
غَدًا. فَيُبَيِّتُهُمُ اللهُ
وَيَضَعُ الْعَلَمَ، وَيَمْسَخُ
أَخَرِينَ قِرَدَةً وَخَنَازِيرَ
إِلَى يَومِ الْقِيَامَةِ

“Benar-benar akan ada
sekelompok orang dari umatku
yang menghalalkan zina, sutera,
khamr, dan alat musik. Ada
sekelompok orang yang tinggal
di lereng puncak gunung. Setiap
sore seorang penggembala
membawa (memasukkan) hewan
ternak mereka ke kandangnya.
Ketika datang kepada mereka
seorang fakir untuk suatu
kebutuhannya, berkatalah
mereka kepada si fakir, ‘Besok
sajalah kamu kemari!’ Maka di
malam harinya, Allah Subhanahu
wa Ta’ala azab mereka dengan
ditimpakannya gunung tersebut
kepada mereka atau diguncang
dengan sekuat-kuatnya.
Sementara yang selamat dari
mereka, Allah Subhanahu wa
Ta’ala ubah menjadi kera-kera
dan babi-babi hingga hari
kiamat.” (HR. Al-Bukhari no.
5590)
Musik dan lagu merupakan
perkara yang jelas
keharamannya1. Allah
Subhanahu wa Ta’ala
mengingatkan:

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي
لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ
عَنْ سَبِيلِ اللهِ بِغَيْرِ
عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا
أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ

“Dan di antara manusia (ada)
orang yang mempergunakan
perkataan yang tidak berguna
untuk menyesatkan (manusia)
dari jalan Allah tanpa ilmu dan
menjadikan jalan Allah sebagai
olok-olokan. Mereka itu akan
beroleh azab yang
menghinakan.” (Luqman: 6)
Menurut sahabat Abdullah bin
Abbas radhiyallahu ‘anhuma dan
Abdullah bin Mas'ud
radhiyallahu ‘anhu, juga
pendapat Ikrimah, Mujahid, dan
Al-Hasan Al-Bashri –semoga
Allah Subhanahu wa Ta’ala
merahmati mereka– ayat ini
turun berkenaan dengan musik
dan nyanyian. (lihat Tahrim
Alatith Tharbi, karya Asy-Syaikh
Al-Albani rahimahullahu, hal.
142-144)
Abdullah bin Mas’ud
radhiyallahu ‘anhu sampai
mengatakan, “Musik/nyanyian
akan menumbuhsuburkan
kemunafikan di dalam
qalbu.” (Diriwayatkan Ibnu Abid
Dunya dalam Dzammul Malahi
dan Al-Baihaqi, dishahihkan Al-
Imam Al-Albani dalam At-Tahrim
hal. 10)
Al-Imam Malik rahimahullahu
ketika ditanya tentang sebagian
penduduk Madinah yang
membolehkan nyanyian, beliau
menjawab, “Sungguh menurut
kami, orang-orang yang
melakukannya adalah orang
fasik.” (Diriwayatkan Abu Bakr
Al-Khallal rahimahullahu dalam
Al-Amru bil Ma’ruf dan Ibnul
Jauzi rahimahullahu dalam Talbis
Iblis hal. 244 dengan sanad yang
shahih)
Al-Imam Ath-Thabari
rahimahullahu berkata, “Telah
sepakat ulama di berbagai negeri
tentang dibenci dan terlarangnya
nyanyian.” (Tafsir Al-Qurthubi,
14/56)
Dari penjelasan di atas, jelaslah
bagi kita haramnya nyanyian
sebagai suara setan. Maka bila
dalam sebuah rumah selalu
disenandungkan lagu-lagu dan
diputar musik, niscaya setan
akan menempati rumah
tersebut. Setan ini tentunya tidak
sendiri. Ia akan memanggil bala
tentaranya dari segala penjuru,
lalu mereka menebarkan
kerusakan dalam rumah tersebut
serta membuat perselisihan serta
perpecahan, kemarahan, dan
kebencian di antara anggota-
anggotanya. Karenanya,
janganlah kita menjadikan rumah
kita sebagai sarang setan, tempat
mereka beranak-pinak.
Membuang lonceng dari rumah
Bila sekiranya di rumah kita ada
lonceng-lonceng yang digantung
serupa dengan naqus/lonceng
gereja dalam hal suara ataupun
model/bentuknya, walaupun
tujuan kita hanya sebagai hiasan,
maka singkirkanlah. Karena Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda dalam hadits yang
disampaikan Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu:

الْجَرَسُ مَزَامِيرُ الشَّيطَانِ

“Lonceng itu adalah seruling
setan.” (HR. Muslim no. 5514)
Masih dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu, ia
memberitakan sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لاَ تَصْحَبُ الْمَلاَئِكَةُ
رُفْقَةً فِيهَا كَلْبٌ وَلاَ
جَرَسٌ

“Para malaikat tidak akan
menyertai perkumpulan/
rombongan yang di dalamnya
ada anjing atau lonceng (yang
biasa dikalungkan di leher
hewan, pen.).” (HR. Muslim no.
5512)
Para malaikat adalah tentara Ar-
Rahman. Mereka selalu berada
dalam permusuhan dengan
tentara setan. Maka, bila di
suatu tempat tidak ada tentara
Ar-Rahman, siapa gerangan yang
menguasai tempat tersebut?
Tentu para tentara setan.
Apa sebabnya para malaikat
menjauhi lonceng? Ada yang
mengatakan karena jaras/
lonceng menyerupai naqus yang
biasa dibunyikan di gereja. Ada
pula yang berpandangan karena
lonceng termasuk gantungan
yang terlarang bila dipasang di
leher. Ada juga yang
berpendapat karena suara yang
ditimbulkannya. Pendapat yang
akhir ini diperkuat dengan
riwayat
:
الْجَرَسُ مَزَامِيرُ الشَّيطَانِ

“Lonceng itu adalah seruling
setan.” (Al-Ikmal 6/641, Al-
Minhaj 13/321)
Yang umum kita lihat, lonceng-
lonceng itu digantungkan di
leher hewan peliharaan. Dari
lonceng tersebut keluarlah suara
berirama bila hewan yang
memakainya berjalan atau
menggerak-gerakkan lehernya.
Tentunya menggantung lonceng
seperti ini dibenci dengan dalil
hadits di atas.
Faedah
Fadhilatusy Syaikh Muhammad
ibnu Shalih Al-Utsaimin
rahimahullahu menyatakan,
dering yang terdengar dari jam
sebagai pengingat waktu dan
yang semisalnya, tidaklah masuk
dalam pelarangan, karena
lonceng itu tidak digantungkan
di leher hewan peliharaan dan
suaranya keluar hanya di waktu-
waktu tertentu sebagai
pengingat. Demikian pula bel
rumah yang biasa dipasang di
pintu rumah, tidak masuk dalam
larangan. (Syarhu Riyadhish
Shalihin, 4/338)
Ada faedah penting yang juga
disampaikan oleh Asy-Syaikh
Ibnu Utsaimin rahimahullahu
dalam kitab yang sama, kita
bawakan di sini sebagai
tambahan ilmu. Asy-Syaikh
rahimahullahu mengingatkan
tentang adanya sebagian
telepon, ketika tersambung
dengan nomor yang dituju
namun masih menanti orang
yang dituju karena sedang tidak
ada di tempat (masih
dipanggilkan misalnya, pen.)
didapatkan adanya pesan:
“Tunggulah beberapa saat,
dengarkanlah terlebih dahulu
musik ini!” Hal ini jelas haram
karena musik hukumnya haram.
Akan tetapi bila seseorang tidak
mampu menghubungi orang
yang diinginkan kecuali
sebelumnya terdengar
sambungan suara musik maka
dosanya ditanggung oleh orang
yang menginginkan musik tadi
sebagai nada tunggu untuk
nomor teleponnya. Hanya saja,
kalau bisa disampaikan nasihat
kepada yang bersangkutan maka
disampaikan hingga musik tidak
lagi menjadi nada tunggu,
sekadar pesan, “Tunggulah
beberapa saat!” Setelah itu diam,
tidak ada suara lain, sampai
akhirnya orang yang dituju
berbicara.
Ada sebagian orang menjadikan
bacaan Al-Qur’an sebagai nada
tunggu atau nada sambung, di
mana saat terhubung dengan
nomor yang dituju terdengar
lantunan beberapa ayat Al-
Qur’an. Ketahuilah, perbuatan
seperti ini justru merendahkan
nilai Kalamullah, walaupun yang
melakukannya tidak bermaksud
demikian. Al-Qur’an turun
kepada kita untuk sesuatu yang
lebih mulia dan lebih agung
daripada hal tersebut. Al-Qur’an
turun untuk memperbaiki qalbu
dan amalan-amalan. Al-Qur’an
tidak turun untuk dijadikan nada
tunggu pada telepon dan
selainnya. Selain itu, terkadang
yang menghubungi kita
bukanlah orang yang
mengagungkan Al-Qur’an, tidak
perhatian terhadapnya dan
terasa berat baginya mendengar
sesuatu dari Kitabullah.
Terkadang juga yang
menghubungi kita seorang
Nasrani, seorang kafir, atau
seorang Yahudi. Ia dengar Al-
Qur’an tersebut lalu ia
menyangka itu adalah nyanyian,
karena ia tidak kenal dengan Al-
Qur’an, apalagi bila ia bukan
orang Arab yang mengerti
bahasa Arab. Dengan begitu
tidaklah diragukan, perbuatan
demikian justru merendahkan
Al-Qur’an. Karenanya, kepada
orang yang menjadikan Al-
Qur’an sebagai nada tunggu
dinasihatkan: bertakwalah
engkau kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala! Kalamullah itu lebih
mulia untuk dijadikan sebagai
nada tunggu!
Adapun kata-kata hikmah yang
ada riwayatnya atau hadits yang
ada riwayatnya dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidaklah terlarang dipakai
sebagai nada tunggu, seperti
hadits:
دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا
يَرِيبُكَ
“Tinggalkan apa yang
meragukanmu menuju kepada
apa yang tidak meragukanmu.”2
مَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ
فَقَدِ اسْتَبرَأَ لِدِيْنِهِ
وَعِرضِهِ
“Siapa yang berhati-hati dari
perkara syubhat maka sungguh
ia telah menjaga agama dan
kehormatannya.”3 Wallahu
ta’ala a’lam. (Syarhu Riyadhish
Shalihin, 4/338-339)
Tidak menempatkan gambar dan
patung di dalam rumah
Gambar dan patung yang
dimaksudkan di sini adalah yang
berupa/berbentuk makhluk
bernyawa (hewan dan
manusia)4. Gambar dan patung
seperti ini harus disingkirkan dari
rumah, terkecuali boneka untuk
mainan anak perempuan,
demikian kata Al-Qadhi
rahimahullahu. (Al-Minhaj,
14/308)
Namun boneka ini tidak boleh
dalam bentuk yang detail,
sebagaimana jawaban
Fadhilatusy Syaikh Muhammad
ibnu Shalih Al-Utsaimin
rahimahullahu ketika ditanya
tentang masalah ini. (lihat
Majmu’ Fatawa wa Rasail
Fadhilatusy Syaikh, no. 329,
2/227-278)5
Makhluk Allah Subhanahu wa
Ta’ala yang mulia, para malaikat,
tidak akan memasuki rumah
yang di dalamnya ada gambar
dan patung. Sementara seperti
yang telah kita katakan, bila para
malaikat keluar dari rumah,
niscaya yang bersarang di dalam
rumah tersebut adalah para
setan karena rumah itu adalah
rumah yang buruk.
Aisyah radhiyallahu ‘anha
pernah membeli namruqah6
yang bergambar (makhluk
hidup). Ketika Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
melihat namruqah tersebut
beliau hanya berdiri di depan
pintu, enggan untuk masuk ke
dalam rumah. Aisyah
radhiyallahu ‘anha pun
mengetahui ketidaksukaan
tampak pada wajah beliau.
Aisyah radhiyallahu ‘anha
berucap:
أَتُوبُ إِلَى اللهِ، مَاذَا
أَذنَبْتُ؟ قَالَ: مَا هَذِهِ
النَّمْرُقَةُ؟ قُلتُ:
لِتَجْلِسَ عَلَيْهَا
وَتَوَسَدَّهَا. قَالَ: إِنَّ
أَصْحَابَ هَذِهِ الصُّوَرِ
يُعَذَّبُونَ يَومَ الْقِيَامَةِ،
يُقَالُ لَهُمْ: أَحْيُوا مَا
خَلَقتُمْ؛ وَإِنَّ الْمَلاَئِكِةَ
لاَ تَدْخُلُ بَيْتًا فِيهِ
الصُّوَرةُ
“Aku bertaubat kepada Allah,
apa gerangan dosa yang
kuperbuat?” Rasulullah
menjawab, “Untuk apa
namruqah ini?” “Aku
membelinya agar engkau bisa
duduk di atasnya serta
menjadikannya sebagai
sandaran,” jawab Aisyah.
Rasulullah kemudian
memberikan penjelasan,
“Sungguh pembuat gambar-
gambar ini akan diazab pada
hari kiamat dan dikatakan
kepada mereka, ’Hidupkanlah
apa yang telah kalian ciptakan’
dan sesungguhnya rumah yang
di dalamnya ada gambar-gambar
(bernyawa) tidak akan dimasuki
para malaikat.” (HR. Al-Bukhari
no. 5957 dan Muslim no. 5499)
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu
berkata dari Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لاَ تَدْخُلُ الْمَلاَئِكَةُ
بَيْتًا فِيهِ تَمَاثِيلُ أَوْ
تَصَاوِيرُ
“Para malaikat tidak akan masuk
ke sebuah rumah yang di
dalamnya ada patung-patung
atau gambar-gambar.” (HR.
Muslim no. 5511)
Tidak memelihara anjing atau
membiarkan anjing masuk ke
dalam rumah
Abu Thalhah radhiyallahu ‘anhu
menyampaikan sabda Rasul yang
mulia Shallallahu ‘alaihi wa
sallam:
لاَ تَدْخُلُ الْمَلاَئِكَةُ
بَيْتًا فِيهِ كَلْبٌ وَلاَ
صُورَةٌ
“Para malaikat tidak akan masuk
ke sebuah rumah yang di
dalamnya ada anjing dan
gambar.” (HR. Al-Bukhari no.
3225 dan Muslim no. 5481)
Aisyah radhiyallahu ‘anha
mengisahkan:
وَاعَدَ رَسُولَ اللهِ صلى الله
عليه وسلم جِبرِيلُ فِي
سَاعَةٍ يَأتِيهَا فِيهَا،
فَجَاءَتْ تِلْكَ السَّاعَةُ
وَلَمْ يَأتِهِ، وَفِي يَدِهِ
عَصًا فَأَلقَاهَا مِنْ يَدِهِ
وَقَالَ: مَا يُخلِفُ اللهُ
وَعْدَهُ وَلاَ رُسُلُهُ. ثُمَّ
الْتَفَتَ فَإِذَا جِرْوُ
كَلْبٍ تَحْتَ سَرِيرٍ،
فَقَالَ: يَا عَائِشَةُ، مَتَى
دَخَلَ هَذَا الْكَلْبُ هَهُنَا؟
فَقَالَتْ: مَا دَرَيتُ. فَأَمَرَ
بِهِ فَأُخرِجَ فَجَاءَ
جِبْرِيلُ، فَقالَ رَسُولُ
اللهِ :nوَاعَدْتَنِي
فَجَلَسْتُ لَكَ فَلَمْ
تَأتِ. فَقَالَ: مَنَعَنِي
الْكَلْبُ الَّذِي كَانَ فِي
بَيْتِكَ، إِناَّ لاَ نَدْخُلُ
بَيْتًا فِيهِ كَلْبٌ وَلاَ
صُورَةٌ
Jibril berjanji kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
untuk mendatangi beliau di
suatu waktu. Maka tibalah waktu
tersebut namun ternyata Jibril
tak kunjung datang menemui
beliau. Ketika itu di tangan
beliau ada sebuah tongkat,
beliau melemparkan tongkat
tersebut dari tangan beliau
seraya berkata, “Allah dan para
utusannya tidak akan menyelisihi
janjinya.” Beliau lalu menoleh
dan ternyata di bawah tempat
tidur ada seekor anjing kecil.
Beliau berkata, “Ya Aisyah,
kapan anjing itu masuk ke sini?”
“Saya tidak tahu,” jawab Aisyah.
Beliau lalu menyuruh anjing itu
dikeluarkan. Setelah itu datang
Jibril. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata,
“Engkau berjanji kepadaku untuk
datang di waktu tadi, aku pun
duduk menantimu namun
ternyata engkau tidak kunjung
datang.” Jibril memberi alasan,
“Anjing yang tadi berada dalam
rumahmu mencegahku untuk
masuk karena sungguh kami
tidak akan masuk ke sebuah
rumah yang di dalamnya ada
anjing dan tidak pula masuk ke
rumah yang ada gambar.” (HR.
Muslim no. 5478)
Dengan demikian, haram bagi
seorang muslim memelihara
anjing7 tanpa ada kebutuhan,
terkecuali anjing untuk berburu,
anjing penjaga kebun, atau
penjaga hewan ternak/
peliharaan, sebagaimana
pengecualian yang disebutkan
dalam hadits Ibnu Umar
radhiyallahu ‘anhuma yang akan
datang penyebutannya.
Apakah boleh memelihara anjing
untuk menjaga rumah? Dalam
hal ini ada perselisihan
pendapat. Satu pendapat
mengatakan tidak boleh sesuai
zhahir hadits yang ada. Namun
pendapat yang paling shahih
menurut Al-Imam An-Nawawi
rahimahullahu adalah boleh
dikarenakan ada kebutuhan,
wallahu a’lam. (Al-Minhaj,
10/480)
Barangsiapa memelihara anjing
tanpa kebutuhan maka ia
terkena ancaman hadits Ibnu
Umar radhiyallahu ‘anhuma
berikut ini. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنِ اقْتَنَى كَلْبًا إِلاَّ
كَلْبَ مَاشِيَةٍ أَوْ ضَارٍ
نَقَصَ مِنْ عَمَلِهِ كُلَّ
يَوْمٍ قِيرَطاَنِ
“Siapa yang memelihara anjing
kecuali anjing penjaga ternak
atau anjing berburu berkurang
dua qirath pahala amalannya
setiap hari.” (HR. Al-Bukhari no.
5482 dan Muslim no. 3999)
Fadhilatusy Syaikh Muhammad
ibnu Shalih Al-Utsaimin
rahimahullahu menyatakan,
anjing itu memiliki beragam
warna, namun khusus anjing
berwarna hitam dinyatakan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam sebagai setan ketika
dipertanyakan kepada beliau,
“Apa bedanya anjing merah atau
anjing putih dengan anjing
hitam?” Beliau menjawab:
الْكَلْبُ الْأَسْوَدُ شَيطَانٌ
“Anjing hitam adalah setan.”
Anjing hitam ini bila lewat di
hadapan orang yang sedang
shalat akan memutus shalat
orang tersebut sehingga ia harus
mengulangi shalatnya dari awal.
Demikian pula bila anjing ini
lewat di antara orang yang
shalat dan sutrahnya.
Mayoritas ulama berpendapat,
anjing hitam tidak boleh
dijadikan anjing pemburu karena
anjing ini setan, walaupun ia
telah diajari dan ketika dilepas
untuk berburu pemiliknya telah
mengucapkan basmalah.
Sebagaimana orang kafir dari
kalangan bani Adam yang tidak
halal bagi kita memakan hewan
buruannya, terkecuali bila ia
seorang Yahudi atau Nasrani,
demikian pula setan berupa
anjing tidak sah buruannya.
Adapun anjing selain warna
hitam tidaklah membatalkan
shalat dan boleh dijadikan
hewan pemburu sesuai syarat-
syarat yang diterangkan para
ulama.
Sementara memelihara anjing
tanpa kebutuhan hukumnya
haram termasuk dosa besar.
Sebagai hukumannya, orang
yang memelihara anjing itu
dikurangi pahala amalannya
setiap hari sebesar dua qirath.
Satu qirath sendiri kata
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam adalah semisal gunung
Uhud. Dikecualikan dari
pengharaman ini adalah bila
anjing itu dipelihara untuk
dijadikan hewan pemburu atau
penjaga ladang agar tidak
dirusak oleh hewan-hewan
ternak, atau anjing itu dipelihara
sebagai penjaga ternak, baik
berupa unta, kambing, ataupun
sapi. Sehingga ternak-ternak ini
terjaga dari serigala ataupun dari
pencuri. Anjing bisa pula
dimanfaatkan untuk menjaga
harta, misalnya seseorang
memiliki harta di satu tempat
dan tidak ada penjaga keamanan
(seperti satpam) di tempat
tersebut, lalu ia memanfaatkan
anjing sebagai penjaga hartanya.
Hal ini dibolehkan. Adapun
selain kepentingan yang telah
disebutkan maka hukumnya
haram.
Termasuk hikmah Allah
Subhanahu wa Ta’ala, Dia
jadikan yang buruk itu untuk
yang buruk dan yang jelek untuk
yang jelek. Orang-orang kafir
dari kalangan Yahudi, Nasrani,
dan atheis di negeri timur
ataupun barat, biasa memelihara
anjing yang mereka rawat
sedemikian rupa dengan penuh
kasih sayang. Demikianlah Allah
Subhanahu wa Ta’ala jadikan
orang-orang yang buruk dan
jelek tersebut menyayangi hewan
yang buruk… (Syarhu Riyadhish
Shalihin, 4/334-336)
Hendaklah peringatan yang
seperti ini menjadi perhatian kita.
Karena ada di antara keluarga
muslim, yang mungkin mereka
jahil (tidak tahu) atau bersikap
masa bodoh atau sok meniru
orang Barat, memelihara anjing
di rumah mereka sebagai hewan
kesayangan keluarga. Anjing tadi
bebas keluar masuk ke rumah
tuannya. Bahkan masuk ke
kamar dan ikut tidur di tempat
tidur tuannya. Anjing itu pun
biasa menjilati bejana/wadah
makan dan minum mereka,
sementara pemiliknya tiada
perhatian akan hal ini. Padahal
bejana/wadah tadi ternajisi
karenanya dengan najis yang
berat sehingga pembasuhannya
harus sampai tujuh kali, salah
satunya dengan tanah,
sebagaimana datang
pengajarannya dari As-Sunnah
yang shahihah8.
Wallahu ta’ala a’lam bish-
shawab. (insya Allah
bersambung)
1 Lihat pembahasan lebih detail
tentang musik dan lagu dalam
rubrik Kajian Utama Majalah
Asy-Syariah edisi 40.
2 Hadits shahih riwayat At-
Tirmidzi dan An-Nasa’i,
dishahihkan dalam Al-Irwa’.
3 HR. Al-Bukhari dan Muslim.
4 Pembahasan tentang hukum
gambar bernyawa pernah
dimuat secara bersambung
dalam majalah Asy-Syariah edisi
21, 22, dan 23.
5 Lihat kembali fatwa tentang
boneka yang pernah dimuat
dalam majalah Asy-Syariah edisi
23, pada rubrik Fatawa Al-
Mar’ah Al-Muslimah.
6 Namruqah adalah bantal-
bantal yang dijejer berdekatan
satu dengan lainnya, atau bantal
yang digunakan untuk duduk.
(Fathul Bari, 10/478)
7 Pernah datang larangan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam untuk membunuh semua
anjing kecuali anjing berburu
atau anjing penjaga kambing/
ternak. Namun kemudian
larangan tadi mansukh
(dihapus), sehingga semua anjing
tidak boleh dibunuh, kecuali
anjing yang berwarna murni
hitam dan punya dua titik putih
di atas kedua matanya.
Sebagaimana hal disebutkan
antara lain dalam hadits berikut
ini:
Jabir ibnu Abdillah radhiyallahu
‘anhuma berkata, “Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan kami membunuh
anjing-anjing, sampai ada
seorang wanita datang dari
dusun membawa anjingnya kami
pun membunuh anjingnya.
Kemudian setelahnya Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
melarang membunuh anjing…
" (HR. Muslim no. 3996)
8 Yaitu hadits Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
طُهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا
وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَن
يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ
أُوْلاَهُنَّ بِالتُّرَابٌِ
"Sucinya bejana salah seorang
kalian bila dijilati (bagian
dalamnya) oleh anjing adalah
dengan mencucinya sebanyak
tujuh kali, cucian pertamanya
dengan tanah." (HR. Muslim)
Dalam satu lafadz ada
tambahan:
فَلْيُرِقْهُ
"Tuanglah airnya ke tanah."
Maksudnya sebelum bejana tadi
dicuci, hendaknya air yang ada di
dalamnya dituang/dibuang.


Sumber:www.majalahsyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=939
Read more..