Banner 468 X 60

Selasa, 25 Januari 2011

WANDU(Wanita Durhaka)

Tak ada gading yang tak retak.
Mungkin pribahasa ini sudah
sering terlintas di telinga kita.
Kandungan pribahasa ini sering
kita jumpai dalam kehidupan
kita. Apalagi dalam kehidupan
berumah tangga yang penuh
dengan problema. Awalnya,
semua terasa indah. Namun
ketika badai menghadang, petir-
petir kemarahan menyambar,
awan pekat menyelimuti, tangis
pilu mengiris hati; membuat
semuanya berubah. Semuanya
harus diterima sebagai
sunnatullah. Kadang kita
menangis, dan terkadang kita
tertawa. Semua itu berada di
bawah kehendak Allah -
Subhanahu wa Ta’la- .
Kehidupan berumah tangga
akan indah, jika masing-masing
anggotanya mendapat
ketentraman. Sedang
ketentraman akan terwujud jika
sesama anggota keluarga saling
menghargai, dan memahami
tugas masing-masing. Namun,
tatkala hal tersebut tidak ada,
maka alamat kehancuran ada di
depan mata.

Diantara penyebab
hancurnya keharmonisan itu
adalah durhakanya seorang istri
kepada suaminya. Maka, pada
edisi kali ini kita akan membahas
bahaya istri yang durhaka.

Pembaca yang budiman,
sesungguhnya Allah -Subhanahu
wa Ta’la- menciptakan istri bagi
kita, agar kita merasa tentram
dan tenang kepadanya.
Sebagaimana firman Allah -
Subhanahu wa Ta’la-

"Dan diantara tanda-tanda
kekuasan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu istri-istri
dari jenismu sendiri, supaya
kamu cenderung dan merasa
tentram kepadanya, dan
dijadikan-Nya di antaramu rasa
kasih dan sayang. Sesungguhnya
yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum
yang berpikir." (QS. Ar-
Ruum :21)

Al-Hafizh Ibnu Katsir Ad-
Dimasyqiy-rahimahullah-
berkata menafsirkan ayat ini,
"Kemudian diantara
kesempurnaan rahmat-Nya
kepada anak cucu Adam, Allah
menciptakan pasangan mereka
dari jenis mereka, dan Allah
ciptakan diantara mereka
mawaddah (yakni, cinta), dan
rahmat (yakni, kasih sayang).
Sebab seorang suami akan
mempertahankan istrinya karena
cinta kepadanya atau sayang
kepadanya dengan jalan wanita
mendapatkan anak dari suami,
atau ia butuh kepada suaminya
dalam hal nafkah, atau karena
kerukunan antara keduanya,
dan sebagainya". [Lihat Tafsir
Al-Qur'an Al-Azhim (3/568)]

Jadi, maksud adanya pernikahan
adalah untuk menciptakan
kecenderungan (ketenangan),
kasih sayang, dan cinta. Sebab
seorang istri akan menjadi
penyejuk mata, dan penenang di
kala timbul problema. Namun,
jika istri itu durhaka lagi
membangkang kepada suaminya,
maka alamat kehancuran ada
didepan mata. Dia tidak lagi
menjadi penyejuk hati, tapi
menjadi musibah dan neraka
bagi suaminya.
Kedurhakaan seorang istri
kepada suaminya amat banyak
ragam dan bentuknya, seperti
mencaci-maki suami,
mengangkat suara depan suami,
membuat suami jengkel,
berwajah cemberut depan suami,
menolak ajakan suami untuk
jimak, membenci keluarga suami,
tidak mensyukuri (mengingkari)
kebaikan, dan pemberian suami,
tidak mau mengurusi rumah
tangga suami, selingkuh,
berpacaran di belakang suami,
keluar rumah tanpa izin suami,
dan sebagainya.
Allah -Subhanahu wa Ta’la-
telah mengancam istri yang
durhaka kepada suaminya
melalui lisan Rasul-Nya ketika
Beliau -Shollallahu ‘alaihi
wasallam- bersabda,

َال ُرُظْنَي ُهللا ىَلِإ
ٍةَأَرْما َال ُرُكْشَت
اَهِجْوَزِل َيِهَو َال
ْيِنْغَتْسَت ُهْنَع

"Allah tidak akan melihat
seorang istri yang tidak mau
berterima kasih atas kebaikan
suaminya padahal ia selalu
butuh kepada suaminya" .[HR.
An-Nasa'iy dalam Al-Kubro
(9135 & 9136), Al-Bazzar dalam
Al-Musnad (2349), Al-Hakim
dalam Al-Mustadrok (2771),
dan lainnya. Hadits ini di-shohih-
kan oleh Syaikh Al-Albaniy
dalam Ash-Shohihah (289)]

Tipe wanita seperti ini banyak
disekitar kita. Suami yang capek
banting tulang setiap hari untuk
menghidupi anak-anaknya, dan
memenuhi kebutuhannya,
namun masih saja tetap berkeluh
kesah dan tidak puas dengan
penghasilan suaminya. Ia selalu
membanding-bandingkan
suaminya dengan orang lain,
sehingga hal itu menjadi beban
yang berat bagi suaminya. Maka
tidak heran jika neraka dipenuhi
dengan wanita-wanita seperti ini,
sebagaimana sabda Nabi -
Shollallahu ‘alaihi wasallam-
,
ُتْيِرُأ َراَّنلا اَذِإَف
ُرَثْكَأ اَهِلْهَأ ُءاَسِّنلا
َنْرُفْكَي . َلْيِق:
َنْرُفْكَيَأ ِهللاِب ؟ ,
لاق: َنْرُفْكَي
َرْيِشَعْلا َنْرُفْكَيَو
َناَسْحِإلْا , ْوَل
َتْنَسْحَأ ىَلَإ
َّنُهاَدْحِإ َرْهَّدلا , َّمُث
ْتَأَر َكْنِم اًئْيَش,
ْتَلاَق: اَم ُتْيَأَر
َكْنِم ًارْيَخ ُّطَق

"Telah diperlihatkan neraka
kepadaku, kulihat mayoritas
penghuninya adalah wanita,
mereka telah kufur (ingkar)!"
Ada yang bertanya, "apakah
mereka kufur (ingkar) kepada
Allah?" Rasullah -Shollallahu
‘alaihi wasallam- menjawab,
"Tidak, mereka mengingkari
(kebaikan) suami. Sekiranya
kalian senantiasa berbuat baik
kepada salah seorang dari
mereka sepanjang hidupnya, lalu
ia melihat sesuatu yang tidak
berkenan, ia (istri durhaka itu)
pasti berkata, "Saya sama sekali
tidak pernah melihat kebaikan
pada dirimu". [HR. Bukhariy
dalam Shohih-nya (29), dan
Muslim dalam Shohih-nya (907)]
Pembaca yang budiman, jika
para wandu mengetahui betapa
besar kedudukan seorang suami
di sisinya, maka mereka tidak
akan berani durhaka dan
membangkang kepada suaminya.
Cobalah tengok hadits Hushain
bin Mihshon ketika ia berkata,
"Bibiku telah menceritakan
kepadaku seraya berkata,

ُتْيَتَأ َلْوُسَر ِهللا
ىَّلَص ُهللا ِهْيَلَع
َمَّلَسَو ْيِف ِضْعَب
ِةَجاَحْلا, َلاَق: )ْيَأ
ِهِذَه ُتاَذَأ ٍلْعَب
ِتْنَأ(, ُتْلُق :
)ْمَعَن(, َلاَق:
)َفْيَكَف ِتْنَأ ُهَل(,
ْتَلاَق: )اَم ُهْوُلآ َّالِإ
اَم ُتْزَجَع ُهْنَع(, لاق:
)َنْيَأَف ِتْنَأ ُهْنِم,
اَمَّنِإَف َوُه ِكُتَّنَج
ِكُراَنَو )

"Saya mendatangi Rasulullah -
Shollallahu ‘alaihi wasallam-
untuk suatu keperluan. Beliau
bertanya:"siapakah ini? Apakah
sudah bersuami?."sudah!",
jawabku. "Bagaimana hubungan
engkau dengannya?", tanya
Rasulullah. "Saya selalu
mentaatinya sebatas
kemampuanku". Rasulullah -
Shollallahu ‘alaihi wasallam-
bersabda, "Perhatikanlah
selalu bagaimana
hubunganmu denganya, sebab
suamimu adalah surgamu, dan
nerakamu". [HR. An-Nasa'iy
dalam Al-Kubro (8963), Ahmad
dalam Al-Musnad (4/341/no.
19025), dan lainnya. Hadits ini di-
shohih-kan oleh Al-Albaniy
dalam Ash-Shohihah (2612), dan
Adab Az-Zifaf (hal. 213)]
Dari hadits ini, kita telah
mengetahui betapa besar dan
agungnya hak-hak suami yang
wajib dipenuhi seorang istri
sampai Rasulullah -Shollallahu
‘alaihi wasallam- pernah
bersabda,

ْوَل ُتْنُك اًرُمآ اًدَحَأ
ْنَأ َدُجْسَي ٍدَحَأل
ُتْرَمَأل َةَأْرَمْلا ْنَأ
َدُجْسَت اَهِجْوَزِل

"Sekiranya aku memerintahkan
seseorang untuk sujud kepada
lainnya, niscaya akan
kuperintahkan seorang istri sujud
kepada suaminya" . [HR. At-
Tirmidziy dalam As-Sunan
(1159), dan lainnya. Hadits ini di-
shohih-kan oleh Syaikh Al-
Albaniy dalam Al-Irwa' (1998)]
Jika seorang istri tidak memenuhi
hak-hak tersebut atau durhaka
kepada suami, maka ia
mendapatkan ancaman dari
Allah -Ta’ala- lewat lisan Nabi -
Shallallahu ‘alaihi wa sallam-,

ِناَنْثِا َال ُزِواَجُت
اَمُهُتَالَص
اَمُهَسْوُؤُر : ٌدْبَع
َقَبَأ ْنِم ِهْيِلاَوَم
ىَّتَح َعِجْرَي ,
ٌةَأَرْماَو ْتَصَع اَهَجْوَز
ىَّتَح َعِجْرَت

"Ada dua orang yang sholatnya
tidak melampaui kepalanya:
budak yang lari dari majikannya
sampai ia kembali, dan wanita
yang durhaka kepada suaminya
sampai ia mau rujuk (taubat)".
[HR. Ath-Thobroniy dalam Ash-
Shoghir (478), dan Al-Hakim
dalam Al-Mustadrok (7330)]
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa
sallam- bersabda,

ٌةَثَالَث َال ُزِواَجُت
ْمُهُتَالَص ْمُهَناَذآ :
ُدْبَعْلا ُقِبآلْا
ىَّتَح َعِجْرَي ,
ٌةَأَرْماَو ْتَتاَب
اَهُجْوَزَو اَهْيَلَع
ٌطِخاَس , ُماَمِإَو ٍمْوَق
ْمُهَو ُهَل َنْوُهِراَك

"Ada tiga orang yang sholatnya
tidak melampaui telinganya:
Hamba yang lari sampai ia mau
kembali, wanita yang bermalam,
sedang suaminya marah
kepadanya, dan seorang
pemimpin kaum, sedang mereka
benci kepadanya". [HR. At-
Tirmidziy (360). Hadits ini di-
hasan-kan oleh Al-Albaniy dalam
Takhrij Al-Misykah (1122)]
Ini merupakan ancaman yang
amat keras bagi para wandu
(wanita durhaka), karena
kedurhakaannya menjadi sebab
tertolaknya amal sholatnya di sisi
Allah. Dia sholat hanya sekedar
melaksanakan kewajiban di
hadapan Allah. Adapun
pahalanya, maka ia tak akan
mendapatkannya, selain lelah
dan capek saja. Wal’iyadzu
billahmin dzalik.
Al-Imam As-Suyuthiy-
rahimahullah- berkata dalam
Quuth Al-Mughtadziy saat
menjelaskan kandungan dua
hadits di atas, "Maksudnya,
sholatnya tak terangkat ke langit
sebagaimana dalam hadits Ibnu
Abbas di sisi Ibnu Majah, "Sholat
mereka tak akan terangkat
sejengkal di atas kepala mereka".
Ini merupakan perumpamaan
tentang tidak diterimanya amal
sholatnya sebagaimana dalam
hadits Ibnu Abbas di sisi Ath-
Thobroniy, "Allah tak akan
menerima sholat mereka"
sampai ia rujuk (kembali)
…" [Lihat Tuhfah Al-Ahwadziy
(2/291)]
Diantara bentuk kedurhakaan
seorang istri kepada suaminya,
enggannya seorang istri untuk
memenuhi hajat biologis
suaminya. Keengganan seorang
istri dalam melayani suaminya,
lalu suami murka dan jengkel
merupakan sebab para malaikat
melaknat istri yang durhaka
seperti ini. Nabi -Shallallahu
‘alaihi wa sallam- bersabda,

اَذِإ اَعَد ُلُجُرَّلا
ُهَتَأَرْما ىَلِإ ِهِشاَرِف
ْتَبَأَف َتاَبَف
َناَبْضَغ اَهْيَلَع
اَهْتَنَعَل ُةَكِئَالَمْلا
ىَّتَح َحِبْصُت

"Jika seorang suami mengajak
istrinya (berjimak) ke tempat
tidur, lalu sang istri enggan, dan
suami bermalam dalam keadaan
marah kepadanya, maka para
malaikat akan melaknat sang istri
sampai pagi". [HR. Al-Bukhoriy
Kitab Bad'il Kholq (3237), dan
Muslim dalam Kitab An-Nikah
(1436)]
Seorang suami saat ia butuh
pelayanan biologis (jimak) dari
istrinya, maka seorang istri tak
boleh menolak hajat suaminya,
bahkan ia harus berusaha sebisa
mungkin memenuhi hajatnya,
walaupun ia capek atau sibuk
dengan suatu urusan. Nabi -
Shallallahu ‘alaihi wa sallam-
bersabda,

ْيِذَّلاَو ُسْفَن
ٍدَّمَحُم ِهِدَيِب َال
يِّدَؤُت ُةَأْرَمْلا َّقَح
اَهِّبَر ىَّتَح َيِّدَؤُت
َّقَح اَهِجْوَز, ْوَلَو
اَهَلَأَس اَهَسْفَن َيِهَو
ىَلَع ٍبَتَق ْمَل
ُهْعَنْمَت

"Demi (Allah) Yang jiwa
Muhammad ada di Tangan-Nya,
seorang istri tak akan memenuhi
hak Robb-nya sampai ia mau
memenuhi hak suaminya.
Walaupun suaminya meminta
dirinya (untuk berjimak), sedang
ia berada dalam sekedup, maka
ia (istri) tak boleh
menghalanginya". [HR. Ibnu
Majah dalam Kitab An-Nikah
(1853). Hadits ini dikuatkan oleh
Al-Albaniy dalam Adab Az-Zifaf
(hal. 211)]
Perhatikan hadits ini, Nabi -
Shallallahu ‘alaihi wa sallam-
memberikan bimbingan kepada
para wanita yang bersuami agar
memperhatikan suaminya saat-
saat ia dibutuhkan oleh
suaminya. Sebab kebanyakan
problema rumah tangga timbul
dan berawal dari masalah
kurangnya perhatian istri atau
suami kepada kebutuhan
biologis pasangannya, sehingga
"solusinya" (baca: akibatnya)
munculllah kemarahan, dan
ketidakharmonisan rumah
tangga.
Syaikh Al-Albaniy-
rahimahullah- berkata dalam
Adab Az-Zifaf (hal. 210), "Jika
wajib bagi seorang istri untuk
mentaati suaminya dalam hal
pemenuhan biologis (jimak),
maka tentunya lebih wajib lagi
baginya untuk mentaati suami
dalam perkara yang lebih
penting dari itu, seperti mendidik
anak, memperbaiki (mengurusi)
rumah tangga, dan sejenisnya
diantara hak dan kewajibannya".
Seorang wanita yang durhaka
kepada suaminya, akan selalu
dibenci oleh suaminya, bahkan ia
akan dibenci oleh istri suaminya
dari kalangan bidadari di surga.
Istri bidadari ini akan marah.
Saking marahnya, ia mendoakan
kejelekan bagi wanita yang
durhaka kepada suaminya..
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa
sallam- bersabda,

َال يِذْؤُت ٌةَأَرْما
اَهَجْوَز يِف اَيْنُّدلا
َّالِإ ْتَلاَق ُهُتَجْوَز
َنِم ِرْوُحْلا ِنْيِعْلا :
َال ِهْيِذْؤُت , ِكَلَتاَق
ُهللا , اَمَّنِإَف َوُه
َكَدْنِع ٌلْيِخَد
ُكِشْوُي ْنَأ ِكَقِراَفُي
اَنْيَلِإ

"Tidaklah seorang istri menyakiti
suaminya di dunia, melainkan
istrinya dari kalangan bidadari
akan berkata, "Janganlah engkau
menyakitinya. Semoga Allah
memusuhimu. Dia (sang suami)
hanyalah tamu di sisimu; hampir
saja ia akan meninggalkanmu
menuju kepada kami". [HR. At-
Tirmidziy Kitab Ar-
Rodho' (1174), dan Ibnu Majah
dalam Kitab An-Nikah (2014).
Hadits ini di-shohih-kan oleh Al-
Albaniy dalam Adab Az-Zifaf
(hal. 212)]
Cukuplah beberapa hadits yang
kami bacakan dan nukilkan
kepada Anda tentang bahayanya
seorang wanita melakukan
kedurhakaan kepada suaminya,
yakni tak mau taat kepada suami
dalam perkara-perkara yang
ma’ruf (boleh) menurut syari’at.
Semoga wanita-wanita yang
durhaka kepada suaminya mau
kembali berbakti, dan bertaubat
sebelum ajal menjemput. Pada
hari itulah penyesalan tak lagi
bermanfaat baginya.


Sumber : Buletin Jum’at Al-
Atsariyyah edisi 84 Tahun II.
Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas.
Alamat : Pesantren Tanwirus
Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58,
Kel. Borong Loe, Kec. Bonto
Marannu, Gowa-Sulsel. HP :
08124173512 (a/n Ust. Abu
Fa’izah).
www.almakassari.com/artikel-islam/muslimah/wandu-wanita-durhaka.html#more-334
Read more..

Rabu, 24 November 2010

Hukum Mengambil Gambar Para Ulama di Majelis-majelis Mereka

Syaikh Muqbil rahimahullah

Tanya : Apa hukum mengambil
gambar para ulama dalam
muktamar-muktamar dan
muhadharah-muhadharah
mereka?

Jawab : “Gambar adalah perkara
yang diharamkan, Nabi
Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi
wasallam bersabda :

َال ُلُخْدَت ُةَكِئَالَمْلا
اًتْيَب ِهْيِف ٌبْلَك َالَو
ٌةَرْوُص

“ Para malaikat tidak akan
masuk ke dalam rumah yang
terdapat anjing dan gambar di
dalamnya”.
Dan beliau bersada :

َنَعَل ُهللا َنْيِرِّوَصُمْلا

“Allah melaknat para
penggambar”.
Dan dalam J ami’ At-Tirmidzy
dari hadits Abu Hurairah dari
Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala
alihi wasallam bahwa beliau
bersabda :

ُجُرْخَت ٌقُنُع َنِم ِراَّنلا
َمْوَي ِةَماَيِقْلا, اَهَل
ِناَنْيَع ِناَرِصْبَت,
ِناَنُذُأَو ِناَعَمْسَت ٌناَسِلَو
ُقِطْنَي, ُلْوُقَي : يِّنِإ
ُتْلِّكُو ٍثَالَثِب : ِّلُكِب
ٍراَّبَج ٍدْيِنَع, ِّلُكِبَو
ْنَم اَعَد َعَم ِهللا اًهَلِإ َرَخآ
َنْيِرِّوَصُمْلاِبَو

“Akan keluar sebuah leher dari
Neraka pada Hari Kiamat, dia
mempunyai 2 mata yang melihat,
2 telinga yang mendengar dan
lisan yang berbicara, dia
berkata : “Saya diberikan
perwakilan (untuk menyiksa) tiga
(kelompok) : semua yang keras
kepala lagi penentang, semua
yang beribadah bersama Allah
sembahan yang lain dan para
penggambar”.
Dan Nabi Shollallahu ‘alaihi wa
‘ala alihi wasallam telah enggan
untuk masuk ke kamar ‘ A`isyah
ketika (kamarnya) ditutupi
dengan tirai yang ada gambar-
gambarnya. Maka dalil ini
membantah orang-orang yang
mengatakan : “Tidak ada gambar
yang terlarang kecuali yang
memiliki bentuk (3 dimensi –
pent.)”. Maka beliau telah
enggan untuk memasuki
ruangan itu sampai tirainya
disingkirkan, dan beliau
bersabda :

َّنِإ ْنِم ِّدَشَأ ِساَّنلا
اًباَذَع َمْوَي ِةَماَيِقْلا,
َنْيِذَّلا َنْوُرِّوَصُي ِهِذَه
َرَوُّصلا

“Sesungguhnya di antara
manusia yang paling keras
siksaannya pada hari Kiamat
adalah orang-orang yang
menggambar gambar-gambar
ini”.
Adapun (gambar) yang harus
dan tidak boleh tidak, seperti
SIM, Pasport dan KTP, maka
dosanya atas (baca : ditanggung)
pemerintah”.
Apakah dilukis atau dipotret atau
direkam dalam bentuk video,
semuanya masuk dalam kategori
menggambar. (pent.)


Sumber : Jurnal Al-Atsariyyah
Vol. 02/Th01/2006
www.almakassari.com/artikel-islam/fiqh/hukum-mengambil-gambar-para-ulama-di-majelis-majelis-mereka.html#more-138
Read more..

Selasa, 23 November 2010

Fenomena TKI di Arab Saudi

Sebuah pemerintahan Islam atau
masyarakat Islam bukanlah
sebuah kumpulan orang-orang
yang tidak pernah berbuat dosa
sama sekali, sehingga kita bisa
menuduh para ulama yang
membimbing masyarakat
tersebut telah gagal atau tidak
becus dalam membina
negaranya.
Bahkan di masa kepemimpinan
Rasulullah shallallahu’alaihi wa
sallam yang masyarakatnya
adalah generasi terbaik ummat
ini, ada orang yang didera
karena minum khamar[1], ada
yang dirajam karena berzina[2],
bahkan ada yang murtad keluar
dari Islam[3]. Namun tidak ada
satupun yang menuduh
Rasulullah shallallahu’alaihi wa
sallam telah gagal mendidik para
sahabatnya. Karena memang,
tidak ada satupun manusia yang
terjaga dari kesalahan selain
para Nabi dan Rasul
‘alaihimussalam, olehnya
Rasulullah shallallahu’alaihi wa
sallam bersabda:

كُلُّ بنِي آدَمَ خَطَّاءٌ ،
وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ
التَّوَّابُونَ

“Setiap anak adam senantiasa
berbuat salah, dan sebaik-baik
orang yang berbuat salah adalah
yang senantiasa bertaubat.” (HR.
At-Tirmidzi dan Ibnu Majah,
dihasankan Asy-Syaikh Al-
Albani dalam Shohihut Targhib,
no. 3139)

Pengalaman belajar di Saudi,
bergaul dengan sebagian pekerja
Indonesia yang kebetulan
ketemu di masjid, di jalan, di
toko, di majelis-majelis ilmu dan
dalam suatu bimbingan ibadah
haji tahun 1431 H atas
permintaan sebuah travel yang
pesertanya lebih dari 90 %
pekerja Indonesia, sisanya India,
Maroko dan Philipina. Semua itu
menyisakan banyak cerita yang
mungkin sebagiannya bisa
dijadikan pelajaran, terutama
yang berkaitan dengan
hubungan antara pekerja dan
majikan, yang oleh musuh-
musuh Dakwah Tauhid dijadikan
senjata untuk menjatuhkan
ulama Ahlus Sunnah di negeri
ini. Insya Allah akan kami sarikan
dalam beberapa poin berikut:

1. Para majikan tidak
semuanya memahami agama
dengan baik, banyak yang awam,
tidak mau belajar agama dan
banyak yang zalim terhadap
pekerjanya[4]. Kepada mereka
para ulama di negeri ini telah
menasihati, baik secara pribadi
maupun terang-terangan, seperti
nasihat Asy-Syaikh Muhammad
bin Ahmad Al-Fiyfiy
hafizhahullah yang sangat
menyentuh di www.sahab.net[5]
yang berjudul At-Tahdzir min
Zhulmil Khudam wal ‘Ummal
(Peringatan Keras dari
Perbuatan Zalim kepada para
Pembantu dan Pekerja).
Demikian pula para khatib dan
imam masjid terkadang
menyampaikan khutbah tentang
bahaya perbuatan zalim
terhadap para pekerja

2. Oleh karena itu,
seharusnya TKI diberikan
informasi tentang keadaan calon
majikannya sebelum dia
memutuskan bekerja kepada
majikan tersebut, semoga hal ini
bisa menjadi catatan untuk
semua pihak yang terkait dalam
pemberangkatan TKI

3. Alhamdulillah tidak semua
majikan yang zalim, masih
banyak yang baik insya Allah,
meskipun bukan dari kalangan
mutawwa’[6], atau penuntut
ilmu, apalagi masyaikh. Bentuk-
bentuk kebaikan mereka yang
bisa saya ceritakan di sini:
Dari 100 orang yang ikut haji
dalam bimbingan kami hampir
semuanya dibiayai oleh
majikannya, biayanya sekitar
3500 riyal atau senilai kurang
lebih 7,5 juta rupiah
Perhatian majikan kepada
pekerjanya selama melaksanakan
ibadah haji dalam bentuk
menelepon dan menanyakan
kabar serta bagaimana
pelayanan travel terhadap
mereka. Jika pekerjanya
mengadukan pelayanan travel
yang kurang bagus, tidak lama
kemudian majikan akan
menelepon pengurus travel ini
dan memarahinya habis-habisan
Sampai-sampai ada majikan yang
berkata kepada pekerjanya,
“Sampaikan kepada pengurus
travel, berapa saja biaya yang dia
minta akan saya berikan, asalkan
kamu mendapat pelayanan yang
baik”.

Seorang Ikhwan dibebaskan oleh
majikannya dari seluruh
pekerjaannya demi untuk
menuntut ilmu, masih ditambah
dengan uang saku per bulan
dikirim secara rutin oleh
majikannya. Bahkan Ikhwan yang
lain, sampai pulang ke Indonesia
masih dikirimi uang secara rutin
oleh majikannya, demi untuk
membiayai kegiatan-kegiatan
dakwah

Seorang pekerja asal Sumbawa,
apabila dia cuti pulang kampung
majikannya biasa menitipkan
uang untuk dibagi-bagikan
kepada keluarga dan
tetangganya yang miskin

Pekerja asal Jawa Barat,
mengabarkan tentang
pembangunan masjid di
kampungnya yang belum selesai,
langsung dikucurkan dana oleh
majikannya tanpa mengecek
langsung ke lokasi apakah
dananya sampai atau tidak

Seorang pekerja asal Jawa Barat,
majikannya biasa mengantarnya
untuk menghadiri pengajian yang
diadakan oleh Kantor Dakwah
untuk Orang-orang Asing
Seorang Ikhwan menceritakan,
saudarinya bekerja pada seorang
masyaikh, bertahun-tahun
bekerja kepada keluarga
masyaikh tersebut tidak pernah
sekalipun dia berada dalam satu
ruangan bersama majikannya
yang laki-laki

Seorang Ustadz menceritakan,
bahwa seorang majikan meminta
bantuannya untuk menasihati
pembantu wanitanya yang sering
menggodanya untuk berzina,
akhirnya sang Ustadz menelepon
dan menasihati pembantu ini

Banyak majikan yang
mensyaratkan supirnya harus
disertai istrinya untuk mengantar
anak-anak puteri mereka ke
sekolah. Demikian pula
sebaliknya, pembantu wanita
harus datang bersama
mahramnya

Para masyaikh banyak sekali
membebaskan pekerja mereka
dari semua pekerjaan jika para
pekerja ini benar-benar mau
menuntut ilmu

4. Sebenarnya aturan-aturan
pemerintah Saudi sangat
menjamin para pekerja asing,
diantaranya kewajiban majikan
untuk membuatkan asuransi
kesehatan bagi para pekerjanya
dan hukuman yang setimpal bagi
para majikan yang zalim
terhadap pekerjanya, berikut
beberapa kasus yang kami
dengarkan:

Seorang majikan memukul
supirnya, sang supir ini
ditemukan oleh seorang Ikhwan
Saudi dan membawanya ke
kantor polisi, saat itu juga
majikannya langsung dijemput
dan ditahan oleh polisi dan wajib
diqishah atau membayar
sejumlah uang kepada
pekerjanya yang dizalimi

Cerita seorang Ustadz, ada
majikan yang dituntut oleh
pengadilan untuk membayar
berapapun yang diminta oleh
seorang pembantu wanita yang
dizalimi oleh si majikan
Seorang majikan yang
membunuh pekerjanya terancam
hukuman mati, namun pihak
keluarga di Indonesia lebih
memilih untuk memaafkan dan
menerima ganti rugi (diyah),
akhirnya uang milyaran rupiah
dititipkan melalui kedutaan
Indonesia

5. Ketika majikan berbuat
zalim, masalah terbesar para
pekerja Indonesia adalah tidak
mampu melapor ke kantor polisi,
diantaranya karena kendala
bahasa, tidak mengerti dengan
aturan-aturan yang ada dan
tidak adanya pendamping
mereka yang siap siaga ketika
dibutuhkan.

Adapun pemerintah
Philipina, sangat terkenal
pendampingan dan
pembelaannya kepada
pekerjanya, jika ada masalah
yang terjadi pada pekerjanya
mereka akan langsung turun ke
lokasi dan menggunakan
kekuatan diplomasinya untuk
menekan pemerintah Saudi agar
memproses menurut hukum
yang berlaku. Sehingga jarang
terdengar ada masalah antara
majikan dan pekerja Philipina,
padahal jumlah mereka (di luar
kota suci Makkah dan Madinah)
tidak kalah banyak dengan
pekerja Indonesia

6. Masalah terbesar dari sisi
syari’at adalah datangnya para
pekerja wanita (TKW) tanpa
disertai mahram atau suami.
Hampir semua masalah terjadi
pada TKW yang tidak bersama
suami atau mahramnya, sehingga
dengan mudah mereka dizalimi
tanpa ada yang membela
mereka atau melaporkan ke
kantor polisi. Padahal Nabi
shallallahu’alaihi wa sallam telah
melarang safar wanita tanpa
mahram dalam sabda beliau:

لا تسافر المرأة إلا مع ذي محرم
ولا يدخل عليها رجل إلا ومعها
محرم

“Janganlah wanita melakukan
safar (bepergian jauh) kecuali
bersama mahramnya, dan
janganlah seorang laki-laki asing
menemuinya melainkan wanita
itu disertai mahramnya.” (HR.
Al-Bukhari dari Abdullah bin
Abbas radhiyallahu’anhuma)

7. Alhamdulillah, dengan
sebab kerja di Saudi banyak
sekali pekerja yang mendapatkan
kebaikan yang sangat besar,
diantara bentuknya:

Banyak pekerja yang tadinya
beraqidah sufiyah quburiyah dan
aqidah kesyirikan lainnya dengan
berbagai macam bid’ahnya, tidak
melaksanakan sholat lima waktu
dan tidak memahami adab-adab
Islami. Setelah tinggal di Saudi
mereka tersentuh dakwah
tauhid, meninggalkan semua
bentuk syirik dan bid’ah, rajin
melaksanakan sholat lima waktu
dan mulai berhias dengan adab-
adab Islami

Pekerja-pekerja Philipina, Nepal
dan Sri Lanka yang tadinya
beragama Nasrani, Hindu dan
Budha juga banyak sekali
(sampai puluhan ribu orang)
yang masuk Islam dengan sebab
da’i-da’i dan buku-buku yang
dicetak dengan bahasa mereka
oleh Kantor-kantor Dakwah
untuk Orang-orang Asing di
bawah naungan Kementrian
Wakaf, Dakwah dan Bimbingan
Saudi Arabia
Bisa menghadiri majelis-majelis
ilmu para ulama
Bisa melaksanakan ibadah haji
dan umroh

8. Sayang sekali, banyak
Kantor Dakwah untuk Orang-
orang Asing disusupi oleh
hizbiyyun dari sebuah partai
Islam di Indonesia dengan hanya
bermodalkan ijazah LC dari LIPIA
[7], diantara kerusakan yang
mereka lakukan:

Fasilitas dakwah digunakan
untuk mendakwahkan kebatilan
manhaj mereka
Mengajak kepada perpecahan
dengan menjajakan partai
mereka di musim Pemilu
Beberapa orang TKI yang ana
temui, telah ikut kajian mereka
bertahun-tahun namun tidak
nampak adanya perubahan
dalam aqidah dan ibadahnya
menjadi lebih baik. Berbeda
dengan TKI yang mengikuti
kajian da’i-da’i Ahlus Sunnah,
alhamdulillah banyak yang
berubah menjadi lebih baik,
seperti yang ana singgung di atas
Hal itu karena memang tidak
ada perhatian mereka terhadap
dakwah tauhid dan sunnah
kecuali sedikit, malah mereka
lebih banyak memanfaatkan
para TKI untuk bisnis pengiriman
barang dan travel haji, dengan
bimbingan haji yang tidak
mengikuti petunjuk Nabi
shallallahu’alaihi wa sallam

9. Kezaliman yang diderita
sebagian TKI bukan hanya oleh
majikan di Saudi tapi juga oleh
PJTKI maupun calo-calonya di
Indonesia. Ana pernah
menyaksikan sendiri bagaimana
para TKI ini dibentak-bentak dan
diperlakukan tidak seperti
manusia di tempat
penampungan TKI di Jakarta.
Bahkan ketika sudah bekerja di
Saudi sebagian TKI masih
diwajibkan mengirim sejumlah
uang setiap bulan kepada calo-
calo ini di Indonesia

10. Kami menghimbau kepada
semua pihak yang terkait dalam
pemberangkatan TKI (termasuk
keluarga para TKI) ataupun yang
diberi amanah oleh pemerintah
untuk mengurus TKI di Saudi
maupun di negara lainnya;
hendaklah bertakwa kepada
Allah Ta’ala, janganlah mengirim
TKW tanpa disertai suami atau
mahramnya dan hendaklah
melaksanakan tugas pembelaan
dan pengurusan TKI sesuai
amanah pemerintah. Ingatlah
pertanggungjawabannya kelak di
hari kiamat!
Inilah catatan ringan kami, hasil
dari dialog dengan beberapa
TKI, semoga bisa diambil
pelajarannya baik oleh TKI, calon
TKI maupun semua pihak yang
terkait dalam pengurusan TKI.
Semoga Allah Ta’ala
memperbaiki keadaan kaum
muslimin dan pemerintah
mereka.
Wallahu A’la wa A’lam wa Huwal
Musta’an.

Footnote:
[1] Al-Imam Al-Bukhari
rahimahullah meriwayatkan
dalam Shahihnya (6391):
عن أنس بن مالك رضي الله
عنه : أن النبي صلى الله
عليه و سلم ضرب في الخمر
بالجريد والنعال وجلد أبو
بكر أربعين

[2] Seperti kisah Ma’iz bin Malik
radhiyallahu’anhu dalam riwayat
Al-Bukhari (6438) dan Muslim
(4520)

[3] Seperti kisah suami Ummu
Habibah radhiyallahu’anha yang
murtad di negeri Habasyah

[4] Ada juga majikan atau orang
Saudi yang Sufi (murid-muridnya
Alwi Al-Maliki), Syi’ah dan Hizbi
Ikhwani. Salah seorang Ustadz
kita, ketika diketahui oleh
majikannya yang Ikhwani bahwa
Ustadz kita ini pernah belajar di
Darul Hadits Dammaj,
majikannya mulai mempersulit
ruang gerak beliau, sampai saat
ini beliau dipaksa pulang ke
Indonesia dengan membayar
ganti rugi kepada majikannya
sebesar 6000 riyal. Adakah yang
mau membantu?

[5] http://www.sahab.net/home/
index.php?Site=News&Show=829

[6] Mutawwa’ adalah istilah
orang-orang awam di Saudi
untuk menyebut orang yang
nampak keshalihannya dan
menjalankan sunnah seperti
jenggot dan memendekkan
pakaian (tidak sampai menutupi
mata kaki)

[7] Lebih disayangkan lagi, ada
seorang Ustadz terkenal,
penerjemah buku Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab
rahimahullah yang dicetak oleh
Kantor Kerjasama Dakwah dan
Bimbingan Islam di Riyadh, yang
memberikan jalan kepada da’i-
da’i hizbi ini untuk masuk
menjadi pembina-pembina TKI di
Kantor-kantor Dakwah untuk
Orang-orang Asing di Saudi.

www.nasihatonline.wordpress.com/2010/11/22/fenomena-tki-di-arab-saudi/#comment-890
Read more..

Senin, 22 November 2010

Salah Kaprah Tentang Niat

Melafazhkan niat sudah trend di
Indonesia, baik di kalangan
awam maupun kaum santri
terpelajar. Seakan perkara ini
menjadi suatu kewajiban bagi
mereka dan aib jika mereka
tidak melafazhkan niat ketika
ingin melaksanakan sholat,
wudhu, dan berbagai macam
ibadah lainnya. Bahkan ada
sebagian di antara mereka
menganggap sholatnya batal jika
tidak melafazhkan niat. Tragisnya
lagi, jika mereka memutuskan tali
persaudaraan lantaran
saudaranya yang lain tidak
melafazhkan niat. Padahal
mereka diperintahkan oleh Allah
untuk menyambung tali
persaudaraan.Inilah salah
kaprah yang menimbulkan
perpecahan yang kita saksikan di
Indonesia.

Apa itu Niat ?
Kalau kita membuka kitab-kitab
kamus berbahasa arab, maka
kita akan jumpai ulama bahasa
akan memberikan definisi
tertentu bagi niat. Muhammad
bin Abu Bakr Ar-Rozy
Rahimahullah berkata saat
memaknai niat, “ Meniatkan
adalah menginginkan sungguh-
sungguh”. [Lihat Mukhtar Ash-
Shihah (1/286)]

Ibnu Manzhur -rahimahullah-
berkata, " Meniatkan sesuatu
artinya memaksudkannya dan
meyakininya. Niat adalah arah
yang dituju". [Lihat Lisan Al-
Arab (15/347)]

Dari ucapan dua orang ulama
bahasa ini, bisa kita simpulkan
bahwa niat ( نِيَّةٌ ) adalah
maksud dan keinginan seseorang
untuk melakukan suatu amalan
dan pekerjaan. Jadi niat itu
merupakan amalan hati.
Komentar Para Ulama tentang
Melafazhkan Niat
Para ulama telah membicarakan
masalah ini bahwa melafazhkan
dan mengeraskan niat
tidaklah wajib atau mustahab
menurut kesepakatan para
ulama kaum muslimin kecuali
segelintir di antara mereka dan
sebagian orang-orang
belakangan ini. Para ulama itu
menganggap orang yang
mengeraskan niat sebagai ahli
bid’ah yang menyelisihi syari’at.

Dari kalangan madzhab
Malikiyyah, Abu Abdillah
Muhammad bin Al-Qosim At-
Tunisi -rahimahullah- berkata, "
Niat termasuk amalan hati.
Mengeraskannya adalah bid’ah,
disamping itu mengganggu
orang".
Seorang Ulama dari kalangan
madzhab Asy-Syafi’iyyah Syaikh
Ala’uddin Ibnul Aththor, dari
kalangan madzhab Asy-Syafi’i –
rahimahullah- berkata, "
Mengeraskan suara ketika
berniat disertai gangguan
terhadap orang-orang yang
sedang sholat merupakan
perkara haram menurut ijma’.
Jika tidak disertai gangguan,
maka ia adalah bid’ah yang jelek.
Jika ia maksudkan riya’
dengannya , maka ia haram dari
dua sisi, termasuk dosa besar.
Orang yang mengingkari
seseorang yang berpendapat itu
sunnah, orangnya benar. Sedang
orang yang membenarkannya
keliru. Menisbahkan hal itu
kepada agama Allah karena ia
yakin itu agama merupakan
kekufuran. Tanpa meyakini itu
agama, (maka penisbahan itu)
adalah ma’shiyat. Wajib bagi
orang mu’min yang mampu
untuk melarangnya dengan
keras, mencegah dan
menghalanginya. Perkara ini
tidaklah pernah dinukil dari
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa
sallam-, seorang sahabatnya,
dan tidak pula dari kalangan
ulama kaum muslimin yang bisa
dijadikan teladan". [Lihat
Majmu'Ar-Rosa'il Al-Kubro
(1/254-257), di dalamnya
disebutkan ucapan kedua ulama
di atas]

Mengeraskan dan melafazhkan
niat bukanlah termasuk sunnah
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa
sallam-, dan tidak wajib menurut
empat ulama’ madzhab baik
dalam wudhu’, sholat, shoum
maupun ibadah lainnya, bahkan
merupakan perkara baru yang
diadakan oleh sebagian orang-
orang belakangan
Abu Dawud As-Sijistany ,
penulis kitab As-Sunan pernah
bertanya kepada Imam Ahmad,
"Apakah seorang yang mau
melaksanakan sholat
mengucapkan sesuatu sebelum
takbir?" Jawab beliau, " Tidak
usah! ". [Lihat Masa'il Abi
Dawud (hal.31)]

Abu Bakr As-Suyuthy -
rahimahullah-, seorang ulama
bermadzhab Syafi’iyyah berkata,
"Diantara jenis-jenis bid’ah juga
adalah berbisik-bisik ketika
berniat sholat. Itu bukanlah
termasuk perbuatan Nabi -
Shallallahu alaihi wa sallam-, dan
para sahabatnya. Mereka
tidaklah pernah mengucapkan
niat sholat, selain takbir.

Allah
Ta’ala berfirman,
“Sungguh pada diri Rasulullah
ada contoh yang baik bagi
kalian”. Asy-Syafi’iy Radhiyallahu
anhu berkata: "Berbisik-bisik
ketika berniat sholat, bersuci
termasuk bentuk kejahilan
terhadap syari’at, dan kerusakan
dalam berpikir". [Lihat Al-Amr
bil Ittiba' (hal. 295-296) karya
As-Suyuthiy, dengan tahqiq
Masyhur Hasan Salman, cet. Dar
Ibn Al-Qoyyim & Dar Ibn Affan]

Dampak Buruk Melafazhkan
Niat
Jika suatu perkara tak ada
tuntunannya dari Rasulullah -
Shallallahu alaihi wa sallam- dan
para sahabatnya, maka hal itu
akan mendatangkan malapetaka
dan musibah bagi pelakunya
berupa dampak buruk yang
kadang tidak terpikir oleh
pelakunya. Demikian pula
melafazhkan niat banyak
memiliki dampak buruk.
Sekarang dengarkan Imam Ibnul
Jauzy -rahimahullah-
mengisahkan nasib orang-orang
yang melafazhkan niat seraya
berkata, "Diantara (tipuan setan)
itu yaitu tipuannya terhadap
mereka ketika berniat sholat.
Maka diantara mereka ada yang
berkata, "Saya berniat sholat
demikian". Lalu ia ulangi karena
ia kira niatnya batal. Padahal
niatnya tidak batal, sekalipun ia
melafazhkannya. Diantara
mereka ada yang bertakbir, lalu
ia batalkan. Bertabir lagi , lalu
dibatalkan. Jika imam sudah
ruku’, maka orang kena was-was
inipun bertakbir. Eh, apakah
yang menyebabkan hadirnya niat
ketika itu ?! Itu tidaklah terjadi
kecuali karena Iblis ingin
meluputkannya dari fadhilah dan
keutamaan.

Diantara orang-
orang yang kena was-was, ada
yang bersumpah dengan nama
Allah, "Saya tidak ada akan
bertakbir lagi kecuali kali ini".
Ada juga diantara mereka yang
bersumpah atas nama Allah
akan meninggalkan hartanya,
dan mentalaq istrinya. Semua ini
merupakan tipu-daya setan.
Padahal syari’at itu mudah dan
bersih dari bahaya-bahaya
seperti ini, dan juga hal ini tak
pernah terjadi pada diri
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa
sallam- dan para sahabatnya
sedikitpun". [Lihat Talbis Iblis
(hal.138) karya Ibnul Jauzy]

Orang ini telah dikuasai waswas
yang dihembuskan oleh setan ke
dalam jiwanya. Sedang waswas
ini muncul disebabkan karena
niat sebenarnya sudah ada di
hati orang waswas ini,namun ia
sendiri menyangka niat tak ada
di hati, lalu ia hendak
menghadirkan niatnya dengan
bantuan lisannya. Padahal
menghadirkan sesuatu yang
sudah ada, itu perkara mustahil.
[Lihat Majmu' Al-Fatawa
(18/263-264) oleh Syaikhul Islam]

Alangkah benarnya apa yang
ditegaskan oleh seorang ulama
Maghrib, Syaikh Muhammad
Al-Muntashir Ar-Raisuny–
rahimahullah- bahwa orang yang
senantiasa melafazhkan niat
tidak lepas dari dua
kemungkinan, entah dia itu salah
jalan, atau dia itu orang yang
dikuasai oleh waswas setan yang
selalu berusaha untuk
mengacaukan ibadah orang dan
membisikkan kepadanya bahwa
niat harus dilafazhkan dan
dikeraskan, tak cukup di hati
saja!! Padahal niat itu cukup di
hati, tak perlu dibuatkan lafazh
tertentu lalu diucapkan atau
dijaharkan. [ Lihat Wa Kullu
Bid'ah Dholalah, (hal.91-92)]

Banyak orang di negeri kita,
ketika ia diberitahu bahwa tak
ada sunnah dan contohnya
melafazhkan niat saat kalian
mau wudhu’ atau sholat karena
tak pernah dilakukan oleh Nabi -
Shallallahu alaihi wa sallam- dan
para sahabatnya. Serta-merta
mereka marah dan
beralasan,"Siapa yang bilang
tak ada contohnya? Inikan
madzhab Syafi’iy !!"

Alasan ini tidaklah berdasar
karena ada dua hal berikut ini :

Pertama , Madzhab tidaklah
bisa dikatakan contoh atau
dijadikan dalil sebab dalil
menurut para ulama adalah Al-
Qur’an, Sunnah dan ijma’.

Kedua , madzhab Syafi’iy justru
sebaliknya menyatakan bahwa
niat itu tempatnya di hati, tak
perlu dilafazhkan.
Syaikh Abu Ishaq Asy-Syairozy–
rahimahullah- , seorang
pembesar madzhab Syafi’i
berkata, " Kemudian ia berniat.
Berniat termasuk fardhu-fardhu
sholat karena berdasarkan sabda
Nabi, "Sesugguhnya amalan itu
tergantung niatnya dan bagi
setiap orang apa yang ia
niatkan", dan karena ia (sholat)
juga merupakan ibadah murni
(mahdhoh). Maka tidak sah
tanpa disertai niat seperti puasa.
Sedang tempatnya niat itu
adalah di hati. Jika ia berniat
dengan hatinya, tanpa lisannya,
niscaya cukup. Diantara
sahabat kami ada yang
berkata, "Dia berniat dengan
hatinya, dan melafazhkan (niat)
dengan lisan". Pendapat ini tak
ada nilainya karena niat itu
adalah menginginkan sesuatu
dengan hati". [Lihat Al-
Muhadzdzab (3/168) -Majmu']

Al-Hafizh Ibnu Qoyyim Al-
Jauziyyah –rahimahullah-
berkata, “Nabi -Shallallahu alaihi
wa sallam-, apabila hendak
menunaikan sholat, beliau
berkata, "Allahu Akbar". Beliau
tidak mengucapkan sesuatu
apapun sebelumnya, dan tidak
melafazhkan niat sama sekali.
Beliau tidak berkata, “Usholli
lillahi sholatu kadza mustaqbilal
qiblah arba’ah raka’at imaman
au ma’muman”. Tidak pula
berkata, "Ada’an", dan
"qodho’an", serta tidak pula,
"Fardhol Wakti". Inilah sepuluh
bid’ah yang tak pernah dinukil
satu lafazhpun oleh seseorang
dari Nabi -Shallallahu alaihi wa
sallam, baik dengan sanad yang
shohih,dho’if, musnad, maupun
mursal satu lafazhpun. Bahkan
tidak pula dari sahabat beliau.
Tak pernah dianggap bagus oleh
seorang tabi’in, dan maupun
Empat Imam Madzhab. Cuma
ada sebagian orang-orang
belakangan yang tertipu dengan
ucapan Asy-Syafi’i Radhiyallahu
anhu dalam perkara sholat,
"Sesungguhnya sholat itu itu
tidaklah seperti puasa. Seseorang
tidaklah masuk dalam sholat
kecuali dengan dzikir". Lalu dia
menyangka bahwa maksudnya
"dzikir" adalah seseorang
melafazhkan niat. Padahal Imam
Asy-Syafi’i memaksudkan dzikir
dengan takbiratul ihram. Tiada
lain kecuali itu. Bagaimana
mungkin Asy-Syafi’i
menganjurkan suatu perkara
yang tak pernah dilakukan oleh
Nabi dalam satu sholat pun, dan
tidak pula seorang diantara para
kholifah dan sahabatnya.

Inilah
petunjuk dan perjalanan hidup
mereka. Jika ada yang bisa
memperlihatkan kepada kami
satu huruf pun dari mereka
dalam perkara itu, niscaya
kami akan terima dengan
pasrah. Tak ada suatu petunjuk
pun yang lebih sempurna dari
petunjuknya, dan tak ada
sunnah kecuali mereka terima
dari pemilik syari’at -Shallallahu
alaihi wa sallam-”.[Lihat Zaadul
Ma'ad (1/21)]

Pendapat yang ditegaskan oleh
sebagian kecil dari pengikut
madzhab Asy-Syafi’iy dalam
masalah ini telah disanggah
sendiri oleh Asy-Syairoziy
sebagaimana telah kami
sebutkan tadi. Maka kelirulah
orang yang menyangka bahwa
"bolehnya melafazhkan niat"
merupakan madzhab Asy-Syafi’iy
dan pengikutnya!! Persangkaan
ini kami telah kami bantah
secara ilmiah dalam buletin ini
pada edisi 09 dengan judul
"Melafazhkan Niat, Madzhab
Syafi’iyyah?"
Awal Sholat adalah Takbir,
Bukan Melafazhkan niat.
Takbir merupakan awal gerakan
dan perbuatan yang dilakukan
dalam sholat, tapi tentunya
didahului adanya niat, maksud
dan keinginan untuk sholat,
tanpa melafazhkan niat karena
niat merupakan pekerjaan hati.
Kalau niat dilafazhkan, maka
tidak lagi disebut "niat", tapi
disebut "an-nuthq" atau "at-
talaffuzh" artinya mengucapkan.
Semoga dipahami, ini penting!!
Banyak sekali dalil-dalil yang
menunjukkan takbir merupakan
awal gerakan sholat, tanpa
didahului melafazhkan dan
mengeraskan niat. Diantara dalil-
dalil tersebut:
Dari Ummul Mu’minin A’isyah
Rodhiyallahu anha berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَسْتَفْتِحُ الصَّلَاةَ
بِالتَّكْبِيرِ

"Dulu Rasulullah -Shallallahu
alaihi wa sallam- membuka
sholatnya dengan takbir" .
[HR.Muslim (498)]
Hadits ini menunjukkan bahwa
beliau membuka sholatnya
dengan melafazhkan takbir,
bukan melafazhkan niat atau
seperti melafazhkan ta’awwudz,
basmalah atau dzikir yang
berbunyi : ilaika anta maqshudi
waridhoka anta mathlubi
(artinya: Tujuanku hanyalah
kepada-Mu, dan ridho-Mu yang
aku cari). Semua perkara ini tak
ada petunjuknya dari Nabi -
Shallallahu alaihi wa sallam-.

Dari sini kita mengetahui dan
memastikan bahwa melafazhkan
dan menjaharkan niat tak ada
tuntunannya dari Nabi. Maka
alangkah benarnya apa yang
ditegaskan oleh Syaikhul Islam
ketika beliau berkata, "Andaikan
seorang diantara mereka hidup
seumur Nuh Alaihissalam untuk
memeriksa: apakah Rasulullah
atau salah seorang sahabatnya
pernah melakukan hal itu,
niscaya ia tak akan
mendapatnya, kecuali ia terang-
terangan dusta. Andaikan dalam
hal ini ada kebaikannya, niscaya
mereka akan mendahului dan
menunujuki kita".[LihatMawarid
Al-Aman, (hal.221)]

Ringkasnya , melafazhkan dan
mengeraskan niat merupakan
perkara baru yang tak ada
dasarnya dalam Islam. Jika
seseorang mengamalkannya, dia
telah menyelisihi petunjuk Nabi -
Shallallahu alaihi wa sallam-
yang tidak pernah mengajarkan
perkara itu kepada sahabatnya
dan akhir dari pada amalan
orang ini sebagaimana yang
disabdakan oleh Nabi

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا
مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌ

“Barang siapa yang mengadakan
suatu perkara (baru) dalam
urusan (agama) kami ini yang
bukan termasuk darinya,maka
perkara itu tertolak”. [HR.Al-
Bukhory (2697)]
Ibnu Daqiq Al-Ied -
rahimahullah- berkata, “Hadits
ini merupakan kaidah yang
sangat agung diantara kaidah-
kaidah agama.Dia termasuk
"Jawami’ Al-Kalim" (ucapan
ringkas, padat maknanya), yang
diberikan kepada Al-Mushthofa -
Shallallahu alaihi wa sallam- ,
karena hadits ini jelas sekali
dalam menolak segala bentuk
bid`ah dan perkara-perkara
baru”. [Lihat Syarh Al-Arba`in
(hal.43)]

Diantara perkara baru yang
tertolak amalannya adalah
melafazhkan niat dan sejenisnya.
[Lihat Al-Ibda' fi Madhoor Al-
Ibtida' (hal.256-257) oleh Syaikh
Ali Mahfuzh, As-Sunan Wa Al-
Mubtada'at (hal.45) oleh Syaikh
Muhammad bin ahmad Asy-
Syuqoiry , Al-Bida' wa Al-
Muhdatsat wa Ma La Ashla
Lahu (hal.497-498 & 635),

Fatawa Islamiyyah (1/315) oleh
Syaikh Ibnu Baz, Tashhih Ad-
Du'a (hal.317-318) oleh Syaikh
Bakr bin Abdullah Abu Zaid,
danAs-Sunan Al-Mubtada'at fi
Al-Ibadat (hal.32-36) oleh Amer
Abdul Mun'im Salim –
rahimahumullah-]


Sumber : Buletin Jum’at At-
Tauhid edisi 108 Tahun II.
Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas.
Alamat : Pesantren Tanwirus
Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58,
Kel. Borong Loe, Kec. Bonto
Marannu, Gowa-Sulsel. HP :
08124173512 (a/n Ust. Abu
Fa’izah). Pimpinan Redaksi/
Penanggung Jawab : Ust. Abu
Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary,
Lc.

www.almakassari.com/artikel-islam/fiqh/salah-kaprah-tentang-niat.html#more-590
Read more..

Sabtu, 06 November 2010

Hukum Mencium Mushaf(Al Quran)

Asy Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al-Albani


Beliau berkata: Perkara ini -
menurut keyakinan kami- adalah
masuk ke dalam keumuman
hadits "Jauhilah oleh kalian
perkara-perkara baru karena
setiap perkara baru adalah
bid’ah dan setiap kebid’ahan
adalah sesat", dalam hadits lain
"Setiap kesesatan dalam
Neraka".
Banyak kalangan punya
pendirian tertentu dalam
menyikapi hal ini, mereka
mengatakan, "Ada apa dengan
mencium mushaf? Bukankah ini
hanya untuk menampakkan
sikap membesarkan dan
mengagungkan Al Qur’an?"
Kita katakan kepada mereka,
"Kalian benar, tak ada apa-apa
melainkan hanya pengagungan
terhadap Al Qur’anul Karim,
tetapi perhatikanlah, apakah
sikap pengagungan ini luput atas
generasi umat yang pertama,
yang mereka tiada lain adalah
para sahabat Rosulullah
demikian pula para tabi’in dan
para tabi’ut tabi’in setelahnya?"
Tidak ragu lagi jawabannya
adalah seperti jawaban Ulama
Salaf, " Jika perkara itu baik,
tentu mereka akan mendahului
kita padanya".
Ini satu masalah, masalah yang
lainnya adalah apa hukum asal
mencium sesuatu, bolehkah atau
terlarang?
Di sini perlu kami paparkan
suatu hadits yang diriwayatkan
oleh Bukhari dan Muslim dari
sahabat Abbas bin Rabi’ah, ia
berkata, "Aku melihat Umar bin
Khoththob mencium hajar aswad
dan berkata, "Sesungguhnya aku
tahu engkau adalah batu, tidak
dapat memberi mudharat tidak
pula memberi manfa’at,
sekiranya bukan karena Aku
telah melihat Rasulullah
menciummu Aku tak akan
menciummu"".


Kalau demikian, kenapa Umar
mencium hajar aswad? Apakah
karena filsafat yang muncul
darinya?
Jadi asal hukum mencium ini
hendaknya berjalan di atas
sunnah yang dulu. Ingatlah sikap
Zaid bin Tsabit beliau telah
berkata, "Bagaimana kalian
melakukan sesuatu yang tidak
dilakukan Rasulullah?".
Jika ditanyakan kepada yang
mencium mushaf, "Bagaimana
kalian melakukan sesuatu yang
tidak dilakukan Rasulullah?", ia
akan mengarahkan jawaban
yang aneh sekali, seperti "Hai
saudaraku ada apa dengan ini?
Ini mengagungkan Al Qur`an!",
maka katakan padanya, "Hai
saudaraku, apakah Rasulullah
tidak mengagungkan Al Qur`an?
Tidak ragu lagi bahwa beliau
mengagungkan Al Qur`an,
walau demikian beliau tidak
menciumnya".
Saya katakan, "Tidak ada jalan
untuk mendekatkan diri kepada
Allah kecuali dengan apa yang
telah disyari’atkanNya, oleh
karena itu kita bertindak sesuai
dengan apa yang disyari’atkan
untuk kita dari keta’atan dan
ibadah-ibadah, tidak
menambahinya walau satu kata,
karena hal ini seperti ucapan
Nabi, "Tidak aku tinggalkan
sesuatupun yang Allah telah
perintahkan kalian, kecuali aku
telah perintahkan kalian
dengannya"".
Oleh karena itu maka mencium
mushaf (Al Qur’an) adalah
bid’ah, dan setiap kebid’ahan
adalah sesat, setiap kesesatan
tempatnya di neraka.

Dinukil dari "Kaifa Yajibu ‘Alaina
An-Nufassirol Qur’an"
Sumber: Buletin Al Wala’ Wal
Bara’ Bandung
Edisi ke-5 Tahun ke-1 / 10
Januari 2003 M / 06 Dzul Qo’dah
1423 H
www.ghuroba.blogsome.com/2007/11/14/mencium-mushaf-al-quran/

Read more..

Sesaji-Sesajian-Sesajen:Adakah Dalam Islam?

Abu Abdillah Ahmad

Sesajen berarti sajian atau
hidangan. Sesajen memiliki nilai
sakral di sebagaian besar
masyarakat kita pada umumnya.
Acara sakral ini dilakukan untuk
ngalap berkah (mencari berkah)
di tempat-tempat tertentu yang
diyakini keramat atau di berikan
kepada benda-benda yang
diyakini memiliki kekuatan ghaib,
semacam keris, trisula dan
sebagainya untuk tujuan yang
bersifat duniawi.
Sedangkan waktu penyajiannya
di tentukan pada hari-hari
tertentu. Seperti malam jum’at
kliwon, selasa legi dan
sebagainya. Adapun bentuk
sesajiannya bervariasi tergantung
permintaan atau sesuai "bisikan
ghaib" yang di terima oleh orang
pintar, paranormal, dukun dan
sebagainya.

Banyak kaum muslimin
berkeyakinan bahwa acara
tersebut merupakan hal biasa
bahkan dianggap sebagai bagian
daripada kegiatan keagamaan.
Sehingga diyakini pula apabila
suatu tempat atau benda
keramat yang biasa diberi sesaji
lalu pada suatu pada saat tidak
diberi sesaji maka orang yang
tidak memberikan sesaji akan
kualat (celaka, terkena kutukan).
Anehnya perbuatan yang
sebenarnya pengaruh dari ajaran
Animisme dan Dinamisme ini
masih marak dilakukan oleh
orang-orang pada jaman
modernisasi yang serba canggih
ini. Hal ini membuktikan pada
kita bahwa sebenarnya
manusianya secara naluri/ fitrah
meyakini adanya penguasa yang
maha besar, yang pantas
dijadikan tempat meminta,
mengadu, mengeluh, berlindung,
berharap dan lain-lain. Fitrah
inilah yang mendorong manusia
terus mencari Penguasa yang
maha besar ? Pada akhirnya ada
yang menemukan batu besar,
pohon-pohon rindang, kubur-
kubur, benda-benda kuno dan
lain-lain, lalu di agungkanlah
benda-benda tersebut.
Pengagungan itu antara lain
diekspresikan dalam bentuk
sesajen yang tak terlepas dari
unsur-unsur berikut:
menghinakan diri, rasa takut,
berharap, tawakal, do’a dan
lainnya. Unsur-unsur inilah yang
biasa disebut dalam islam
sebagai ibadah.
Islam datang membimbing
manusia agar tetap berjalan
diatas fitrah yang lurus dengan
diturunkannya syari’at yang
agung ini. AllahTa’ala
menerangkan tentang fitrah
yang lurus tersebut dalam Al
Qur’an (yang artinya): "Rasul-
rasul mereka berkata apakah
ada keragu-raguan terhadap
Allah, pencipta langit dan
bumi ?" (QS. Ibrahim : 10).

Allah juga berfirman (yang
artinya): "Maka hadapkanlah
wajahmu dengan lurus kepada
Agama (Allah), tetaplah atas
fitrah Allah yang telah
menciptakan manusia menurut
fitrah itu. Tidak ada perubahan
pada fitrah Allah. Itulah agama
yang lurus tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahuinya.
" (QS. Ar Rum : 30).

Berkenaan dengan ayat-ayat
diatas, nabi pun bersabda (yang
artinya): “Setiap anak dilahirkan
diatas fitrah, maka kedua orang
tuanyalah yang menjadikannya
Yahudi, Nasrani atau penyembah
api." (HR Bukhari, Muslim dan
Abu Hurairah, Al Irwa’ :1220).
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda dalam hadits Qudsi
(yang artinya): "(Allah berfirman)
Aku menciptakan hamba-
hamba-Ku diatas agama yang
lurus (hanif) lalu syetan
menyesatkan mereka" (HR.
Muslim dan Ahmad dari
shahabat ‘Iash bin Himar).
Imam Ibnu Abil Izzi
menerangkan, "Bahwa bayi itu
terlahir sesuai dengan fitrah."
Artinya bukan dalam keadaan
kosong jiwanya, melainkan
mengerti tauhid dan
syirik." (Syarah Aqidah
Thahawiyah : 83).

Fitrah ini akan tetap terjaga
dengan cara menghambakan diri
kepada Allah sepenuhnya. Inilah
yang disebut dengan tauhid
ibadah. Allah Ta’ala berfirman
(yang artinya): "Dan tidaklah Aku
menciptakan jin dan manusia
kecuali agar menyembah-Ku.
" (QS. Ad Dzariyat : 56).

lbnu Katsir menerangkan ayat ini
bahwa, "Allah menciptakan
manusia dan jin agar mereka
menyembah-Nya ". (Tafsir Ibnu
Katsir surat Ad Dzariyat : 56).

Ibadah yang penting untuk
diketahui adalah ibadah hati
seperti do’a, takut, berharap,
tawakal, cinta dan lain-lain.
Semua bentuk ibadah yang
agung itu haruslah ditujukan
kepada Allah semata,
sebagaimana firman-Nya (yang
artinya): "Dan sesungguhnya
masjid-masjid itu milik Allah
maka janganlah kamu menyeru
bersama Allah itu
seorangpun !" (QS. Al Jin : 18).
Allah Ta’ala berfirman (yang
artinya): "Janganlah kalian takut
kepada mereka, tetapi takutlah
kepada-Ku jika kalian benar-
benar beriman. " (QS. Ali Imran :
175).
Allah berfirman (yang artinya):
"Barang siapa yang mengharap
perjumpaan dengan Rabbnya
maka hendaknya ia beramal
shalih dan jangan melakukan
kesyirikan dalam beribadah
kepada Rabbnya dengan
seorangpun." (QS. A1 Kahfi :
110).

Pengharapan yang dibarengi
ketundukan dan penghinaan diri
haruslah ditujukan kepada Allah
semata. Jika seseorang
memperuntukkan raja’ (harapan)
seperti ini kepada selain-Nya,
sesungguhnya ia telah berbuat
kesyirikan. Syariat Islam tidak
melarang ummatnya untuk
memiliki sikap raja’ akan tetapi
raja’ yang dipuji dan dianjurkan
adalah yang diiringi dengan amal
shalih dan taubat dari
kemaksiatan (SyarahUshuluts
Tsalasah : 53).
Allah juga berfirman (yang
artinya): "Dan hanya kepada
Allah hendaklah kamu
bertawakal jika benar-benar
kamu orang-orang
beriman." (QS. Al Maidah : 23)
Tawakal berarti menyandarkan
segala urusan kepada-Nya
semata baik itu urusan yang
mendatangkan keuntungan
maupun yang mengakibatkan
kerugian atau madharat.
Keterangan-keterangan diatas
menunjukkan bahwa acara
ritualis sesajen bertentangan
dengan syariat Islam yang
murni. Sebab didalamnya
mengandung pengagungan,
penghambaan, pengharapan,
takut yang semestinya hanya
diperuntukkan kepada Allah
semata. Mudah-mudahan Allah
jauhkan kita dari segala bentuk
kesyirikan. Allahu Ta’ala A’lam.

Dinukil dari Risalah Dakwah Al
Atsari Cileungsi
Edisi 13/Th. II 1420
Judul Asli: Sesajen Adakah Dalam
Islam ?
Sumber: www.darussalaf.or.id
versi offline
www.ghuroba.blogsome.com/2008/01/27/ritual-sesaji-sesajian-sesajen-adakah-dalam-islam/#more-248

Read more..

Jumat, 05 November 2010

Syirik Mahabbah

Ditanamkannya sifat mahabbah
(cinta) pada jiwa setiap manusia
di muka bumi ini merupakan
faktor penggerak jiwa dan
raganya untuk condong kepada
sesuatu yang dia cintai. Tidaklah
aneh, bila dia akan mencintai
apa yang ia suka, dan membenci
apa yang ia tak suka, senantiasa
berusaha mencocoki siapa yang
dicintai, dengan mentaati apa
yang diperintah dan menjauhi
apa yang dilarang.
Memang, sedemikian besar
pengaruh mahabbah pada jiwa
setiap manusia. Yang tentunya
setiap dari mereka terutama
seorang muslim yang telah
mengikrarkan Laa Ilaaha lIlallah
hendaklah benar-benar
mencermati perkara yang
ternyata rentan terhadap
tauhidnya ini. Jangan sampai dia
tidak memahami permasalahan
urgent yang tidak sedikit kaum
muslimin di tengah-tengah kita
tertimpa kerancuan di dalamnya.

Tidak ada jalan yang lebih
selamat dan hikmah melainkan
dengan menelaah ilmu yang
datang dari Al Qur’an dan As
Sunnah dengan bimbingan para
ulama, yang mereka paling tahu
dan jujur di dalam menjelaskan
kedua wahyu yang agung
tersebut.
Adapun upaya yang mereka
tempuh di dalam menerangkan
pembahasan ini kepada kita
adalah membagi bentuk-bentuk
mahabbah di dalam karya-karya
berharga mereka. Sehingga
sangat disayangkan kalau
terdapat seorang muslim tersesat
disebabkan tidak mampu
memilah pembagian tadi.
Wallahul Musta ’an.

Mahabbah secara garis besar
terbagi menjadi tiga macam.
Yang ini semua merupakan
rangkuman dari keterangan Al
Imam Ibnu Qoyyim Al Jauziyyah
di dalam dua karya besar beliau
“Al Jawabul Kafi” hal. 450-451
dan “Thoriqul Hijratain” hal.
295-296, Asy Syaikh Sulaiman
Alu Syaikh di dalam “Taisirul
‘Aziizil Hamid” hal. 389, Asy
Syaikh Abdurrahman Nashir As
Sa ’di di dalam “Al Qoulus Sadid”
hal. 112-113 dan Asy Syaikh
Muhammad bin Sholih Al
‘ Utsaimin di dalam “Al Qoulul
Mufid” 2/141-142
rahimahumulloh, dengan
beberapa keterangan tambahan.

Pertama : Mahabbah Tabi’at
Macam mahabbah yang pertama
ini bukanlah pembicaraan kita di
sini. Namun sangat penting
untuk kita singgung dan
perhatikan seiring betapa banyak
saudara-saudara kita tergelincir
di dalam perkara ini, baik
disadari maupun tidak.
Yaitu mahabbah yang seseorang
condong kepada apa yang
diinginkannya secara tabiat
kemanusiaannya. Seperti
kecintaan dan keinginannya
kepada perkara-perkara mubah
yang di antaranya Allah ?
sebutkan di dalam ayat-Nya:

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ
الشَّهَوَاتِ من النِّسَاءِ وَ
البَنِيْنَ وَ الْقَنَاطِيْرِ
الْمُقَنْطَرَةِ من الذَّهَبِ وَ
الْفِضَّةِ وَ الْخَيْلِ
الْمُسَوَّمَةِ وَ الأَنْعَامِ وَ
الْحَرْثِ ذَالك مَتَاعُ
الْحَيَاةِ الدُّنْيَا، وَ اللهُ
عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَئَابِ

Dijadikan indah pada
(pandangan) manusia untuk
mencintai apa-apa yang diingini
dari wanita-wanita, anak-anak,
harta yang banyak dari jenis
emas dan perak, kuda pilihan,
binatang ternak dan sawah
ladang. Itulah kesenangan
kehidupan dunia dan di sisi Allah
adalah tempat kembali yang
baik ”. (QS. Ali Imran: 14).
dan juga ayat-ayat lainnya yang
tidak sedikit jumlahnya.
Mahabbah jenis ini tidaklah
dicela dan dilarang untuk
diberikan di antara makhluk-
makhluk Allah. Namun Allah
senantiasa memperingatkan
bahwa apa yang di sisi-Nya
berupa kehidupan Jannah
adalah kenikmatan yang hakiki.
Allah jadikan perkara-perkara
duniawi sebagai ujian, apakah
mereka memahami dan
mengindahkan peringatan
tersebut. Allah ? berfirman:

إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَ
أَوْلاَدُكُمْ فِتْنَةٌ وَ اللهُ
عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيْمٌ
“ Hanyalah harta-harta dan
anak-anak kalian adalah ujian.
Dan yang di sisi Allah adalah
balasan kebaikan yang
besar. ” (QS. At Taghabun: 15).
Jangan sampai mahabbah ini
sampai menghalangi seseorang
dari ketaatan kepada Rabb-Nya.
Allah ? tegaskan:

يَأََيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا لاَ
تُلْهِكُمْ أَمِْوَالُكُمْ وَ لاَ
أَوْدُكُمْ عَنْ ذِكْرِاللهِ

Wahai orang-orang yang
beriman janganlah harta-harta
dan anak-anak kalian
menghalangi dari dzikir kepada
Allah ”. (QS. Al Munafiqun: 9).
Bahkan sebaliknya, mahabbah ini
justru dapat menjadi bagian dari
sebuah ibadah sehingga
mendatangkan balasan kebaikan
jika mampu mendorong dan
membantu seseorang untuk
semakin taat dan cinta kepada
Allah ?. Rasululloh ? bersabda:

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِا لنِّيَاتِ
وَ إِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا
نَوَى

Hanyalah amalan-amalan
kebaikan itu tergantung dengan
niatnya. Dan hanyalah bagi
seseorang balasan sesuai dengan
apa yang diniatkan ”.
(Muttafaqun ‘Alaih).
Kedua : Mahabbah kepada apa
yang dicintai Allah, karena Allah
dan di jalan-Nya.
Mahabbah ini terwujud pada diri
seseorang kepada sesuatu yang
memang dicintai Allah baik
berupa manusia, seperti para
nabi, rasul, orang-orang
mukmin, atau amalan, seperti
sholat, zakat, amalan-amalan
kebaikan, ataupun waktu, seperti
bulan Ramadhan, seperti hari-
hari terakhir di bulan tersebut,
ataupun tempat seperti masjid-
masjid Allah, Ka ’bah dan
selainnya.
Macam kedua ini diterangkan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah di dalam “Majmu’
Fatawa” 1/93 yang secara makna
bahwa ini menunjukkan hakekat
dari mahabbah kepada Allah.
Karena hakekat mahabbah
kepada Allah adalah mencintai
apa yang Allah cintai dan
membenci apa yang Dia benci.
Rasululloh ? bersabda :

مَنْ أَحَبَّ للهِ وَ أَبغَضَ
للهِ وَ أَعْطَى للهِ وَ مَنَعَ
للهِ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ
الإِيْمَانُ

Barangsiapa mencintai karena
Allah, membenci karena Allah,
memberi karena Allah, menahan
pemberian karena Allah, maka
telah sempurnalah
keimanannya ”. (H.R. Abu Dawud
dengan sanad yang dishahihkan
Asy Syaikh Al Albani di dalam As
Shahihah no. 360).
Tidaklah berlebihan bila macam
mahabbah yang kedua ini
merupakan penyempurna dan
konsekuensi mahabbah
seseorang kepada Allah, iman
dan tauhidnya. Wa Lillahil
Hamdu.
Ketiga : Mahabbah kepada Allah
Mahabbah ini adalah mahabbah
ibadah yang menyebabkan
seorang hamba menundukkan
hatinya untuk mengagungkan
Dzat yang dia cintai, mentaati
dengan sebenar-benar ketaatan
di dalam menjalankan perintah-
Nya dan menjauhi larangan-Nya
di atas seluruh makhluk-Nya.
Bila mahabbah ibadah ini
diberikan kepada selain Allah,
maka ini termasuk perbuatan
syirik kepada Alloh ?. Asy Syaikh
As Sa ’di rahimahullah di dalam
“Al Qoulus Sadid” hal. 110
tatkala menjelaskan mahabbah
jenis ketiga ini mengatakan:
“ Pokok tauhid dan ruhnya
adalah pemurniaan mahabbah
kepada Allah saja. Mahabbah ini
merupakan pokok penyembahan
dan peribadatan kepada-Nya.
Bahkan ia merupakan hakekat
ibadah dan tidaklah sempurna
tauhid sampai sempurnanya
mahabbah seorang hamba
kepada Rabbnya. ”
Memang demikianlah
kedudukan mahabbah di dalam
lingkup ibadah. Kalaulah
seseorang beribadah tanpa
disertai mahabbah maka jadilah
dia beribadah tanpa ruh yang
menggerakkan hati untuk
menghadap Allah ?.
Bahkan mahabbah sendiri
merupakan faktor penggerak
hati terkuat untuk senantiasa
menghadap Allah dibandingkan
khauf (rasa takut dari adzab
Allah) dan roja ’ (rasa harap
terhadap rahmat-Nya). Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah dalam “Majmu’
Fatawa” 1/95 berkata :
“Ketahuilah bahwa penggerak
hati manusia untuk menghadap
Allah ? ada tiga macam :
mahabbah, khauf dan roja ’.
Yang paling kuat adalah
mahabbah, karena dialah sendiri
yang memang diinginkan secara
dzatnya. Dia diinginkan di
kehidupan dunia dan akhirat
berbeda dengan khauf yang
hilang dan sirna di kehidupan
akhirat. Allah ? berfirman
: أَلاَ إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللهِ لاَ
خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ
يَحْزَنُوْنَ
“ Ketahuilah sesunggunya wali-
wali Allah itu tidak ada
ketakutan (di kehidupan akhirat
mendatang) dan tidak pula sedih
(dari kehidupan dunia yang dia
tinggalkan). ” (QS. Yunus : 62).
Yang diinginkan dari khauf
adalah menghindari dan
mencegah dari keluarnya
seorang hamba dari jalan
kebaikan. Adapun mahabbah
mendorong seseorang untuk
menempuh jalan menuju Dzat
yang dia cintai tersebut. Sesuai
dengan lemah dan kuatnya
kadar mahabbah, dia
menempuh jalan tersebut.
Sedangkan khauf dialah yang
mecegahnya untuk keluar dari
jalan tadi. Adapun roja ’
membimbingnya dalam
menempuh jalan tersebut. Maka
ini adalah suatu asas yang
agung. Wajib bagi setiap hamba
untuk memperhatikannya.
Karena tidaklah terwujud
penghambaan diri (kepada
Allah) tanpa dengannya. Padahal
setiap orang wajib untuk menjadi
hamba Allah bukan selain-Nya ”.
Berdasarkan penjelasan tersebut
tepatlah ungkapan murid
terbesar beliau Syaikhul Islam Al
Imam Ibnu Qoyyim Al Jauziyah
rahimahullah tatkala berkata di
dalam “Al Jawabul Kafi” hal.
447 : “Dan asas kesyirikan
kepada Allah adalah syirik
mahabbah, sebagaimana Allah ?
berfirman :

وَ مِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ
مِنْ دُوْنِ اللهِ أَنْدادًا
يُحِبُّوْنَهُمْ كَحُبِّ اللهِ وَ
الَّذِيْنَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًا
للهِ

Dan di antara manusia ada
yang menjadikan selain Allah
sebagai sekutu-sekutu yang
mereka mencintainya
sebagaimana mencintai Allah.
Dan orang-orang yang beriman
lebih besar cintanya kepada
Allah.” (QS. Al Baqarah: 165).
Para ulama tafsir memberikan
tafsiran tentang ayat tersebut
dengan dua penafsiran yang
cukup kuat.
Pendapat pertama : mengatakan
bahwa di antara manusia
terdapat orang-orang musyrikin
yang mencintai sekutu-sekutu
selain Allah sebagaimana mereka
mencintai Allah. Berdasarkan
tafsiran ini maka ucapan Allah:

وَ الَّذِيْنَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًا
للهِ

Memiliki makna bahwa orang-
orang yang beriman lebih tinggi
kecintaannya kepada Allah ?
daripada kecintaan orang-orang
musyrikin tadi kepada Allah.
Karena kecintaan orang-orang
mukminin murni untuk Allah
sedangkan kecintaan orang-
orang musyrikin terdapat unsur
penyekutuan antara Allah dan
selain-Nya.
Pendapat kedua : mengatakan
bahwa orang-orang musyrikin
mencintai sekutu-sekutu selain
Allah sebagaimana kecintaan
orang-orang mukmin kepada
Allah. Sehingga berdasarkan
penafsiran ini maka ucapan
وَ
الَّذِيْنَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًا
للهِ
mengandung
arti bahwa
orang-orang mukmin lebih kuat
cintanya kepada Allah daripada
kecintaan orang-orang musyrikin
kepada sekutu-sekutu selain
Allah. Hal ini disebabkan
cintanya orang-orang mukmin
kepada Allah tetap terwujud baik
dalam keadaan senang maupun
dalam keadaan genting.
Sedangkan kecintaan orang-
orang musyrikin kepada selain
Allah hanya terbentuk pada saat
mereka senang saja.
Pendapat pertama nampaknya
lebih dekat kepada kebenaran
berdasarkan konteks ayat itu
sendiri. Pendapat ini dipilih oleh
Al Imam Ath Thobari, Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah, Ibnu
Qoyyim Al Jauziyah dan Asy
Syaikh Ibnu Utsaimin
rahimahumullah.
Titik fokus pengkajian ayat
Allah ? ini benar-benar
mengarah kepada kondisi yang
terjadi pada akidah dan
keimanan orang-orang musyrikin
ketika ayat itu turun. Bukanlah
mereka orang-orang yang
menyakini bahwa selain Allah
mampu mendatangkan rizki,
mendatangkan kemanfaatan dan
menjauhkan dari segala
mudharat. Sekali-kali bukan.
Bahkan mereka benar-benar
mengimani bahwa itu semua
hanya mampu dilakukan
Allah ? .
Hanyalah menurut mereka
bahwa mahabbah ibadah itu
dapat diberikan kepada Allah
dan selain-Nya. Allah sendiri
memberi nama perbuatan dan
keyakinan mereka sebagai
kesyirikan. Lebih menyedihkan
lagi, masih banyak terdapat di
sebagian besar kaum muslimin,
semoga Allah melimpahkan dan
menetapkan hidayah kepada kita
semuanya mewarisi keyakinan
mereka. Kita saksikan wujud
gambaran mahabbah mereka
kepada selain Allah tatkala
mendatangi kota Makkah dan
Madinah. Mereka bahkan
berpendapat bahwa ziarah ke
kubur Nabi ? lebih utama dan
agung daripada ziarah ke Baitul
Haram. Mengapa demikian?
Tidaklah aneh bila itu didasarkan
pada kecintaan mereka kepada
Rasul ? setara dengan kecintaan
mereka kepada Allah bahkan
lebih daripada itu. Padahal
kecintaan kepada Rasul ?
hendaklah diberikan sebagai
penyempurna dan mengikuti
kecintaan kepada Allah ?.
Betapa banyak pula mereka
lebih khusu ’ bila beribadah di
dekat kubur seorang nabi atau
wali daripada di masjid-masjid
Allah. Mereka lebih ikhlas untuk
mengeluarkan harta yang
banyak untuk memperbaiki
kubur tersebut daripada
menginfakkan kepada orang-
orang fakir muslimin. Tidak takut
untuk bersumpah dengan nama
Allah untuk berdusta namun
takut bila bersumpah dengan
nama wali fulan untuk berdusta.
Bahkan berani membela fasilitas-
fasilitas kesyirikan dengan harta
dan jiwanya bila merasa
terganggu dengan seruan
dakwah tauhud. Wal ’
iyadzubillah. Ingatlah dengan
berita Allah di dalam firman-
Nya :

وَ إِذّا ذُكِرَ اسْمُ اللهِ وَحْدَهُ
اشْمَأَزَّتْ قُلُوْبُ الذِّيْنَ
لاَ يُؤْمِنُوْنَ بِالآخِرَةِ وَ
إِذَا ذُكِرَ الَّذِيْنَ من دُوْنِهِ
إِذَا هُمْ يَسْتَبْشِرُون

Dan bila disebut nama Allah
saja kesallah hati orang-orang
yang tidak beriman kepada
akhirat. Namun bila disebut
sekutu-sekutu selain Allah tiba-
tiba mereka langsung
bergembira. ” (QS. Az Zumar: 45)
Dan ingatlah pula kejadian yang
pasti akan terjadi di Hari Kiamat
antara orang-orang yang
memberikan mahabbah kepada
sekutu-sekutu selain Allah
dengan sekutu-sekutu itu sendiri.
ِAllah ? berfirman :
“Hanyalah apa yang kalian
jadikan sebagai sesembahan-
sesembahan selain Allah ? itu,
kalian saling mencintai di
kehidupan dunia saja. Lantas
pada Hari Kiamat sebagian kalian
dengan sebagian yang lainnya
saling mengingkari dan
melaknat. Dan An Naar lah
tempat tinggal kalian. ” (QS. Al
Ankabut: 25).
Bila mereka telah tinggal di An
Naar maka dengarkanlah suatu
kepastian dari Allah :
“ Dan tidaklah mereka bisa
keluar dari An Naar.” (QS. Al
Baqarah: 167). “Ya Allah
selamatkan kami semua dari An
Naar. ”

Tanya Jawab
Soal : Apa tanda-tanda seorang
hamba itu mencintai Rabbnya ? ?
Jawab :
“ Sebenarnya pertanyaan di atas
dapat di jawab apabila kita
membaca awal-awal
pembahasan ini dengan
seksama. Namun tidak
berlebihan bila kita bawakan
jawaban seorang alim yaitu Asy
Syaikh Hafidz bin Ahmad Al
Hakami rahimahullah di dalam
Kitab A ’lamus Sunnah Al
Mansyurah hal. 31, beliau
menjawab :
Tanda-tandanya adalah seorang
hamba mencintai apa yang Dia
cintai, membenci apa yang Dia
benci, menunaikan perintah-
perintah-Nya menjauhi larangan-
larangan-Nya, mencintai wali-
wali-Nya, membenci musuh-
musuh-Nya. Oleh karena itu tali
iman yang paling kokoh adalah
mencintai dan benci di jalan
Allah”.
Kita katakan: ”Jawaban akhir
beliau tersebut didasarkan pada
sebuah hadits Ibnu Abbas, beliau
berkata : “Rasulullah ? bertanya
kepada Abu Dzar tali iman apa-
aku (pariwayat hadist) menduga
– yang paling kokoh ? Dia (Abu
Dzar) menjawab : Allah dan
Rasul-Nya yang lebih tahu.
Beliau ? bersabda :

المُوَالاةُ فىِ اللهِ وَ
المُعَادَاةُ فىِ اللهِ وَ الحُبُّ
فىِ اللهِ وَ البُغْضُّ فىِ
اللهِ

Saling mencintai di jalan Allah,
saling membenci di jalan-Nya,
mencintai dan membenci di
jalan-Nya. (Diriwayatkan Ath
Thabrani dan dihasankan Asy
Syaikh Al Albani di dalam Ash
Shahihhah no. 998 dan 1728)
Wallahu A’lam bish Showab

www.assalafy.org/mahad/?p=22
Read more..